Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Mengubah Luka Jadi Motivasi

Posted on

Siapa bilang cinta selalu indah? Kadang, cinta bisa bikin kita jatuh, terluka, dan bingung. Tapi, justru dari situ kita belajar dan bangkit! Cerita ini tentang Ara, yang menemukan jalan untuk melepaskan cinta bertepuk sebelah tangan dan menyadari bahwa hidup masih menyimpan banyak warna.

 

Mengubah Luka Jadi Motivasi

Pesan yang Tak Pernah Dibalas

Langit malam menggantung kelabu saat Ara berdiri di halte bus, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Hanya ada satu pesan yang ia kirim sejam lalu—pesan sederhana, tidak berlebihan, tapi penuh harapan.

“Gyan, lagi sibuk?”

Namun, seperti biasa, tidak ada balasan. Hanya centang dua tanpa tanda sedang mengetik.

Ara menggigit bibirnya. Jemarinya menari di layar, ingin mengetik sesuatu lagi, tapi ia urung. Ia tahu kalau ia mengirim pesan terlalu banyak, ia akan terlihat putus asa. Tapi bukankah ia memang begitu?

Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Udara dingin menusuk kulit, tapi ia tetap berdiri di sana, membiarkan pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sudah berkali-kali ia tanyakan pada dirinya sendiri. Kenapa harus aku yang mencintai lebih dulu? Kenapa harus aku yang berharap?

Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Ara menoleh dan melihat Gyan di seberang jalan. Lelaki itu baru saja keluar dari sebuah restoran bersama beberapa temannya. Tertawa, berbincang, terlihat begitu menikmati malamnya.

Hatinya berdesir. Sebuah dorongan aneh membuatnya ingin berlari ke sana, memanggil nama Gyan, dan bertanya: Kenapa kamu gak pernah membalas pesanku?

Tapi sebelum Ara bisa melakukan apa pun, matanya menangkap sosok lain di samping Gyan—Larissa.

Gadis itu tersenyum lebar, dengan gaya santainya yang selalu terlihat effortless. Lalu, tanpa ragu, Larissa meraih lengan Gyan, bergelayut manja.

Dada Ara mencelos. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Ia ingin mengalihkan pandangan, tapi matanya seolah terpaku pada pemandangan di depannya.

Tak perlu konfirmasi apa pun, tak perlu penjelasan dari siapa pun. Semua orang tahu, termasuk dirinya sendiri.

Gyan tak pernah membalas pesannya karena ia tidak penting.

Esok paginya, Ara duduk di meja pojok kantin kampus, menatap latte-nya yang sudah mulai dingin. Ia tidak lapar, tidak haus. Ia hanya ingin menghindari orang-orang, terutama satu orang tertentu.

Ponselnya masih tergeletak di atas meja. Tidak ada notifikasi baru. Tidak ada balasan dari Gyan.

“Pagi.”

Suara itu datang dari Kenzo, yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan satu cangkir kopi di tangan. Ara mengangkat wajah, lalu memaksakan senyum kecil.

“Pagi.”

Kenzo menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya duduk tanpa menunggu izin. “Kamu kenapa?”

“Gak apa-apa.”

Kenzo mendengus kecil. “Kalau gak apa-apa, kenapa mukamu kayak orang habis patah hati?”

Ara menunduk, mengaduk latte-nya tanpa tujuan. Ia tidak ingin membahasnya, tapi ia juga tahu kalau Kenzo bukan tipe orang yang mudah dibohongi.

Seakan tahu Ara enggan berbicara, Kenzo mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapnya serius. “Gyan sama Larissa, ya?”

Ara terdiam. Ia tidak mengangguk, tidak mengiyakan. Tapi diamnya sudah cukup sebagai jawaban.

Kenzo mendesah pelan. “Ara, aku gak mau sok tahu atau gimana, tapi kamu sadar gak sih kalau kamu udah terlalu lama bertahan di tempat yang gak ada jalannya?”

Ara mengerjapkan mata. “Maksud kamu?”

“Maksud aku, kamu nunggu sesuatu yang gak akan datang.”

Ucapan itu menyakitkan, tapi Ara tidak bisa membantah. Karena di lubuk hatinya yang terdalam, ia pun tahu kalau Kenzo benar.

“Kamu harus mulai berhenti, Ra,” lanjut Kenzo dengan nada lebih lembut. “Cinta itu gak harus diperjuangin sendirian.”

Ara menghela napas panjang. “Aku tau, Kenzo. Aku tau.”

“Tapi?”

“Tapi aku gak bisa.” Suaranya melemah. “Aku gak tahu gimana caranya.”

Kenzo diam sejenak sebelum akhirnya menyunggingkan senyum simpul. “Mulai dari berhenti nunggu balasan dari orang yang gak peduli, mungkin?”

Ara menatap ponselnya. Layar masih kosong. Tidak ada balasan, dan mungkin tidak akan pernah ada.

Tapi kenapa hatinya masih berharap?

 

Kenyataan yang Menampar

Hari ini mendung. Bukan hanya langit, tapi juga hati Ara.

Ia berjalan melewati koridor kampus dengan langkah berat, mencoba mengabaikan tatapan dan bisikan orang-orang di sekitarnya. Entah perasaannya saja atau tidak, tapi sejak tadi, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada yang mereka bicarakan di belakangnya.

Ara tidak peduli. Atau setidaknya, ia berpura-pura tidak peduli.

Ponselnya masih sunyi. Tidak ada pesan dari Gyan. Tidak ada kabar dari siapa pun. Tapi setelah semalam melihat sendiri bagaimana Larissa menggamit lengan Gyan dengan begitu natural, Ara tahu jawabannya.

Kamu nunggu apa lagi, Ara?

Suara Kenzo terngiang di kepalanya. Ara menunduk, menggigit bibirnya. Hatinya ingin melawan, ingin berkata bahwa ia baik-baik saja. Tapi siapa yang ia coba bohongi?

“Ara!”

Sebuah suara memanggil namanya, membuatnya menoleh. Seorang gadis menghampirinya dengan langkah cepat. Nadine. Salah satu teman seangkatannya yang terkenal paling update soal gosip kampus.

“Aku baru mau cari kamu!” ujar Nadine, napasnya sedikit tersengal.

Ara mengernyit. “Kenapa?”

Nadine menggigit bibir, lalu mengeluarkan ponselnya. “Ini… kamu udah lihat?”

Seketika, jantung Ara berdetak lebih cepat. Dengan ragu, ia menerima ponsel Nadine dan melihat layarnya.

Sebuah foto terpampang jelas di sana. Foto Gyan dan Larissa di salah satu kafe dekat kampus. Gyan terlihat tertawa, sementara Larissa bersandar di bahunya dengan senyum manis.

Bukan sekadar rumor.

Bukan sekadar dugaan.

Ini nyata.

Dan lebih buruknya lagi…

Caption di bawah foto itu berbunyi:
“Akhirnya resmi! Gyan ❤️ Larissa. #couplegoals”

Dunia Ara seakan runtuh dalam sekejap.

“Aku gak ngerti, Ken,” suara Ara lirih. Ia duduk di kursi taman belakang kampus, menatap kosong ke arah rumput yang mulai basah oleh gerimis.

Kenzo ada di sampingnya, menyesap kopinya dengan santai. “Gak ngerti apa?”

“Aku… aku tahu Gyan gak suka sama aku. Tapi kenapa rasanya sesakit ini?”

Kenzo menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Karena kamu udah berharap terlalu lama.”

Ara menggigit bibirnya, menahan perih di dadanya.

Kenzo menghela napas sebelum melanjutkan, “Aku tahu ini nyakitin, Ra. Tapi lebih nyakitin lagi kalau kamu terus maksa bertahan. Gyan udah buat pilihannya, sekarang giliran kamu.”

Ara memejamkan mata, meresapi ucapan Kenzo. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa ia masih bisa menunggu. Tapi… menunggu apa?

Gyan sudah bahagia dengan Larissa.

Sementara ia, masih berdiri di tempat yang sama.

Hujan mulai turun, menyapu semua yang tersisa—termasuk harapan yang ia genggam selama ini.

 

Melepaskan yang Tak Pernah Di Genggam

Hujan deras mengguyur kota malam ini, menciptakan genangan di trotoar dan membiaskan cahaya lampu jalan. Ara berjalan tanpa payung, membiarkan dinginnya air hujan meresap ke dalam jaketnya. Ia tidak peduli. Mungkin, ia memang butuh ini.

Ia sudah terlalu lama bertahan di tempat yang sama, mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menoleh ke arahnya.

Dan sekarang, ia harus menerima kenyataan—kenyataan bahwa selama ini, ia hanya seorang figuran dalam cerita yang ia ciptakan sendiri.

Ponselnya bergetar di saku celana. Dengan enggan, ia merogohnya dan melihat nama yang tertera di layar.

Gyan.

Dada Ara mencelos. Jemarinya sedikit gemetar saat ia mengangkat panggilan itu.

“Halo?” suaranya lebih pelan dari biasanya.

“Ara… kamu di mana?” suara Gyan terdengar di seberang, sedikit tergesa-gesa.

Ara menelan ludah. “Kenapa?”

“Kenzo bilang kamu keluar sendirian pas hujan begini. Kamu gila?”

Ara terkekeh pelan, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Lucu, ya. Aku nunggu kamu balas pesanku berbulan-bulan, tapi baru sekarang kamu peduli.”

Gyan terdiam.

“Kenapa?” tanya Ara lagi. “Kenapa sekarang?”

Di ujung telepon, suara Gyan terdengar samar. “Ara… aku gak pernah bermaksud nyakitin kamu.”

Ara memejamkan mata. Air hujan mengalir di pipinya, bercampur dengan air mata yang akhirnya tumpah juga.

“Kamu gak pernah bermaksud,” ulang Ara, suaranya sedikit bergetar. “Tapi tetap saja, aku yang terluka.”

Gyan terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Ara… aku minta maaf.”

Ara menghela napas panjang. Ia menatap langit gelap di atasnya, membiarkan hujan menyapu semua perasaan yang masih tersisa.

“Kamu gak perlu minta maaf, Gyan,” ujarnya pelan. “Aku yang salah karena terlalu lama bertahan.”

Ia menekan tombol merah di layar sebelum Gyan sempat mengatakan apa pun lagi.

Hujan masih turun. Jalanan masih sepi. Tapi kali ini, Ara merasa sedikit lebih ringan.

Mungkin, inilah akhirnya.

Akhir dari harapan yang selama ini ia genggam erat.

 

Awal Baru

Keesokan harinya, Ara duduk di meja favoritnya di kafe kecil dekat kampus. Aroma kopi dan roti panggang mengisi udara, tapi hati Ara masih terasa hampa. Meskipun semalam ia telah menutup cerita dengan Gyan, rasanya semua ini belum sepenuhnya berakhir.

Tangan Ara menggenggam cangkir kopi hangat, menatap ke luar jendela. Hujan sudah berhenti, dan matahari perlahan mulai menampakkan sinarnya, memberikan harapan baru. Satu hal yang Ara sadari: hidup tidak berhenti meski satu cerita telah usai.

Ponselnya bergetar di meja. Sekali lagi, ia merogoh dan melihat nama yang muncul di layar.

Kenzo.

Ia mengangkat telepon, tidak sabar menunggu kabar dari sahabatnya. “Halo?”

“Hey, Ra! Kamu di mana?” suaranya ceria.

“Di kafe. Kenapa?”

“Aku mau nyamperin kamu! Ada yang mau aku kasih tahu.”

Tidak lama kemudian, Kenzo datang, membawa senyum lebar dan secangkir kopi untuknya. “Aku tahu kamu butuh ini.”

Ara tersenyum, menerima kopi itu. “Kamu tahu banget, ya.”

“Duh, siapa yang enggak. Nah, aku dapat kabar bagus!” Kenzo duduk di depan Ara, terlihat bersemangat. “Aku tahu kamu lagi down, jadi aku mau kasih kamu semangat.”

Ara mendengarkan dengan penasaran. “Kabar apa?”

“Gyan sama Larissa udah putus!”

Kopi di mulut Ara hampir tersedak. “Serius?”

“Serius! Jadi kamu gak usah nunggu-nunggu lagi. Sekarang kamu bisa move on!”

Kata-kata itu membangkitkan kembali harapan yang selama ini Ara coba kubur. Tapi harapan itu tak lagi terasa sakit. Kali ini, ia merasa berani untuk melangkah maju.

“Ra, kamu harus ingat,” Kenzo melanjutkan. “Cinta yang sejati itu bukan tentang siapa yang bertahan lebih lama. Tapi tentang siapa yang berani melepaskan dan mencari yang lebih baik.”

Ara menatap Kenzo, merasakan kehangatan dari kata-katanya. “Terima kasih, Ken. Kamu selalu tahu cara menghiburku.”

“Mungkin karena aku memang berusaha jadi orang terbaik buat kamu,” Kenzo tersenyum, menggoda.

Ara terkekeh. “Kamu bisa jadi sahabat terbaik, tapi bukan yang ini.”

“Ya sudah, tapi kamu harus percaya sama aku. Ada banyak hal yang menanti di depan sana. Bukan hanya Gyan.”

Ara meneguk kopinya. Kenzo benar. Banyak hal yang bisa menantinya. Mungkin, bukan cinta yang selalu terbayang, tetapi kesempatan untuk menemukan diri sendiri.

“Aku siap untuk mencari kesempatan baru,” katanya mantap.

Senja mulai menyapa. Ara memandangi langit yang berwarna keemasan. Ia merasakan kedamaian dalam dirinya. Hari ini adalah awal baru, tidak hanya untuk cinta, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Seiring senja yang meluk langit, Ara bertekad untuk menemukan kebahagiaannya, tidak peduli seberapa sulit perjalanan itu nanti. Karena, kali ini, ia akan mengukir ceritanya sendiri.

 

Jadi, buat kamu yang lagi galau karena cinta yang tak terbalas, ingatlah: hidup itu terlalu singkat buat dipenuhi rasa sakit. Bangkitlah, cari kebahagiaanmu sendiri, dan jadikan setiap luka sebagai pelajaran. Cinta yang sejati bakal datang saat kamu udah siap! Keep shining!

Leave a Reply