Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Sedih Seruni dan Elang yang Terhalang Orang Tua

Posted on

Jadi, pernah nggak sih kamu ngerasain cinta yang bikin jantung berdebar, tapi ternyata harus berakhir karena orang tua? Yup, ini dia cerita tentang Seruni dan Elang, dua hati yang saling jatuh cinta, tapi takdir dan restu orang tua berusaha memisahkan mereka. Siap-siap baper, karena kisah ini bakal bikin kamu melo!

 

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Senyummu di Tepi Taman

Pagi itu, Seruni berjalan pelan di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi. Cahaya matahari menembus dedaunan, menciptakan pola cahaya yang indah di tanah. Aroma segar bunga-bunga di taman seolah mengundangnya untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahan alam. Hari ini, dia ingin merasakan kebahagiaan dalam kesederhanaan, jauh dari bayang-bayang kesedihan yang sering menghantuinya.

Saat sampai di tepi taman, Seruni melihat Elang sudah menunggu di bangku kayu, memainkan gitar kesayangannya. Dengan rambut hitamnya yang acak-acakan dan senyum cerah yang tak pernah gagal membuat hatinya berdebar, Elang tampak seperti bintang yang baru turun dari langit. Dia selalu bisa mengubah suasana hati Seruni hanya dengan keberadaannya.

“Hey, kenapa kamu datang lebih awal?” tanya Seruni sambil mendekat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang muncul saat melihatnya.

“Jangan bilang kamu mau mengajakku berlari lagi,” Elang menggoda, matanya bersinar. “Kamu tahu aku lebih suka berdiam diri di sini, menikmati musik.”

Seruni tertawa kecil. “Ayo, kita sudah sepakat untuk berlari bersama setiap akhir pekan. Ini bagian dari latihan kita untuk menjadi lebih sehat, kan?”

Elang menggeleng, tapi senyumannya tak bisa disembunyikan. “Baiklah, jika itu membuatmu bahagia. Tapi kita harus memberi diri kita sedikit waktu untuk bersantai setelahnya.”

Setelah beberapa saat bercanda, mereka mulai berlari di sepanjang jalur setapak. Udara segar memenuhi paru-paru mereka, dan suara tawa mereka mengisi taman. Seruni merasa seolah dunia ini milik mereka berdua, tanpa ada beban atau masalah.

Mereka berhenti di sebuah danau kecil di tengah taman, di mana burung-burung berkicau riang. Elang duduk di tepi danau, memandang ke arah air yang berkilauan. “Kamu tahu, aku sering berpikir tentang mimpi kita. Tentang menjadi musisi dan melukis dunia dengan musik.”

“Dan aku ingin jadi seniman, menggambarkan keindahan yang kita lihat di sini,” jawab Seruni, dengan mata berbinar. “Bayangkan, jika kita bisa membuat karya seni yang bisa menggugah hati orang-orang. Mereka akan merasakan apa yang kita rasakan.”

Elang menatapnya, seolah mencoba menyimpan setiap detail wajah Seruni dalam ingatannya. “Aku ingin kita bisa menciptakan sesuatu bersama. Suatu hari nanti, kita akan melakukan tur ke tempat-tempat indah dan berbagi seni kita dengan dunia.”

Seruni merasakan jantungnya berdegup kencang. “Ya, aku ingin itu. Kita harus berjuang untuk mewujudkannya. Tapi… bagaimana jika orang tua kita tidak setuju?”

Elang terdiam sejenak, dan ekspresinya berubah serius. “Kamu tahu, mereka berharap aku bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Mereka ingin aku menikahi seseorang yang mereka pilih.”

Senyum Seruni perlahan memudar. “Kamu… kamu yakin bisa memilih sendiri? Atau kamu akan mengikuti semua harapan mereka?”

“Aku… aku tidak tahu,” jawab Elang, suaranya bergetar. “Kadang aku merasa terjebak. Di satu sisi, ada cinta kita. Di sisi lain, ada harapan orang tua yang sudah berkorban banyak untukku.”

Seruni merasakan sakit di dadanya. Cintanya pada Elang seperti bunga yang berusaha tumbuh di antara celah-celah beton. “Elang, jika orang tua kamu memaksa, aku tidak ingin menjadi penghalang. Aku ingin kamu bahagia.”

“Dan kamu juga berhak bahagia,” jawab Elang, sambil menggenggam tangan Seruni. “Apa pun yang terjadi, kamu akan selalu ada di hatiku.”

Seruni menatap mata Elang, merasa seolah semua impian mereka tergantung di antara mereka. “Tapi, bagaimana jika semua ini hanya mimpi? Mimpiku untuk bersamamu?”

Elang menarik napas dalam-dalam, menciptakan keheningan di antara mereka. “Kita tidak boleh menyerah. Kita harus berjuang demi mimpi kita.”

Matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna-warna indah. Seruni dan Elang duduk bersebelahan, merasakan kehangatan satu sama lain. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi saat itu, saat itu saja, mereka adalah dua jiwa yang saling melengkapi. Namun, ketidakpastian masih menyelimuti benak Seruni, dan dia merasakan ada sesuatu yang akan mengubah segalanya.

Seiring matahari terbenam, sebuah bayangan gelap mulai muncul, membawa serta kekhawatiran yang mengancam kebahagiaan mereka. Dalam hati Seruni, dia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan semudah itu. Ketika cinta bertepuk sebelah tangan karena harapan orang tua, sebuah ujian besar menanti di depan mereka.

 

Di Antara Cinta dan Harapan

Hari-hari berlalu, dan pertemuan Seruni dan Elang di taman semakin jarang. Kesibukan kuliah dan latihan musik membuat mereka terpisah oleh rutinitas yang menuntut perhatian lebih. Namun, setiap kali Seruni melihat matahari terbenam, hatinya selalu merindukan tawa Elang dan kebersamaan mereka. Rindu yang membara, meski di sisi lain, ada bayang-bayang kekhawatiran yang semakin membesar.

Suatu sore, saat hujan rintik-rintik menghujani kota, Seruni memutuskan untuk mengunjungi Elang. Dia merasa perlu berbicara dengan pemuda itu, mendengar suaranya dan merasakan kehadirannya. Saat sampai di rumah Elang, dia mendapati pemuda itu duduk di teras, gitar terletak di sampingnya, wajahnya tampak serius.

“Elang, kamu ke mana saja? Aku sudah lama tidak melihatmu!” sapa Seruni, berusaha menghilangkan rasa cemas yang menggelayuti hati.

Elang tersenyum lemah, namun matanya menunjukkan keletihan. “Aku sibuk dengan ujian akhir, Ser. Maaf sudah membuatmu khawatir.”

Seruni duduk di sampingnya, merasakan tetes air hujan membasahi rambutnya. “Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja.”

Elang mengangguk, tetapi ekspresinya tetap menunjukkan beban yang berat. “Kamu tahu, orang tuaku semakin mendesak. Mereka ingin aku serius memikirkan masa depanku. Mereka tidak ingin aku terjebak dalam impian yang tidak jelas.”

Sebuah desakan rasa sakit menjalar di dalam hati Seruni. “Tapi, kita punya impian bersama, kan? Kita bisa berjuang untuk itu!”

“Seruni…” Elang menarik napas dalam-dalam, “aku tahu kita punya mimpi, tapi kadang aku merasa tertekan. Orang tuaku menginginkan yang terbaik untukku, dan aku tidak ingin mengecewakan mereka.”

“Jadi, kamu akan meninggalkanku?” tanya Seruni dengan suara bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Elang meraih tangan Seruni, menggenggamnya erat. “Aku tidak ingin itu. Kamu sangat berarti bagiku. Tapi… aku juga tidak bisa melawan kehendak orang tua.”

Seruni merasakan hatinya hancur seiring kata-kata Elang. “Jadi, apa yang harus kita lakukan? Menunggu sampai orang tua kamu setuju?”

“Itu mungkin tidak akan terjadi, Ser,” jawab Elang, suaranya penuh penyesalan. “Mereka sudah menjodohkanku dengan seseorang.”

“Dengan siapa?” tanya Seruni, berusaha menahan amarah yang membara. “Siapa yang lebih baik dari kita?”

Elang terdiam, dan Seruni bisa merasakan betapa beratnya kata-kata yang harus dia ungkapkan. “Dia adalah putri dari pengusaha terkenal. Orang tuaku berharap dengan menggabungkan dua keluarga ini, masa depan yang lebih cerah akan terbentuk.”

Seruni merasa duniannya runtuh. “Jadi, semua ini hanya mimpi belaka? Cinta kita tidak berarti di mata orang tua kamu?”

“Bukan begitu, Ser,” Elang berusaha menjelaskan. “Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Tapi aku juga tidak bisa melawan mereka selamanya. Ini adalah kehidupan yang mereka rencanakan untukku.”

Seruni memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir. Dia tahu cinta mereka tidak seharusnya dipisahkan oleh harapan orang tua, tetapi realitas tak terhindarkan itu semakin menghimpitnya. “Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama.”

Elang terkejut mendengar kata-kata Seruni. “Jangan katakan itu. Kita masih bisa mencari jalan keluar!”

“Tapi jalan mana yang bisa kita ambil?” tanya Seruni, suaranya hampir tak terdengar. “Aku tidak ingin menjadi penghalang di hidupmu, Elang. Aku tidak mau mencintai seseorang yang tidak bisa mencintai kembali.”

“Seruni, cintaku padamu tidak akan pernah pudar,” Elang menjawab, berusaha meyakinkan. “Aku ingin kita bertahan, tetapi aku juga tidak bisa menyakiti orang tuaku.”

Seruni merasakan rasa sakit yang dalam di dadanya. “Mungkin kita perlu memberi jarak. Ini terlalu menyakitkan untuk kita berdua. Aku tidak bisa melihat kamu terjebak di antara aku dan orang tuamu.”

Dengan kata-kata itu, Seruni berdiri, meninggalkan Elang yang masih terdiam. Dia merasa semua harapan dan impian yang pernah mereka bangun bersama hancur dalam sekejap. Hujan semakin deras, dan setiap tetesnya seolah mewakili rasa sakit yang terpendam di dalam hatinya.

Ketika dia melangkah pergi, rasa hampa mengisi ruang di hatinya. Di balik langkahnya, dia mendengar suara Elang memanggil namanya, tetapi semakin jauh, semakin dia merasa bahwa cinta mereka akan menjadi kenangan pahit yang tak terlupakan. Di antara cinta dan harapan, mereka terjebak dalam dilema yang sulit, tanpa ada solusi yang tampak di depan mereka.

 

Ketika Bulan Tak Bersinar

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa sepi bagi Seruni. Dia berusaha mengisi waktu dengan kuliah dan melukis, tetapi setiap goresan kuas di kanvas hanya mengingatkannya pada Elang. Rindunya pada senyuman pemuda itu membuat hatinya terasa semakin berat. Setiap malam, saat bulan purnama bersinar di langit, Seruni duduk di teras sambil merenungi semua kenangan indah mereka. Namun, malam itu berbeda. Bulan tidak bersinar secerah biasanya, seolah turut merasakan kepedihan yang dia alami.

Dari jauh, suara tawa teman-teman sekelasnya menggema. Mereka merayakan akhir semester di kafe, tetapi Seruni merasa seolah dunia di sekitarnya telah memudar. Tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan Elang di sisinya. Dalam kesepian itu, teleponnya bergetar, dan dia melihat nama Elang di layar. Jantungnya berdegup kencang, namun rasa takut menyelimuti hatinya. Akankah ini menjadi panggilan terakhir mereka?

Dengan keraguan, Seruni mengangkat telepon. “Halo?”

“Seruni, aku… bisa kita bertemu?” suara Elang terdengar sedikit canggung, dan Seruni merasakan getaran emosional di dalamnya.

“Di mana?” tanyanya, meski hatinya sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan.

“Di taman, tempat kita biasa bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan,” jawab Elang, suaranya terdengar lebih dalam dan serius dari biasanya.

Seruni mengangguk meskipun dia tahu Elang tidak bisa melihatnya. “Baiklah, aku akan ke sana.”

Setelah menyiapkan diri, Seruni bergegas menuju taman, melawan segala rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Saat tiba, Elang sudah menunggu di bangku kayu, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Keduanya terdiam sejenak, menyadari betapa banyak waktu yang telah terbuang.

“Maaf aku membuatmu menunggu,” kata Seruni pelan.

“Tidak apa-apa. Aku justru perlu waktu untuk merenungkan semuanya,” jawab Elang, matanya tertuju ke tanah.

Seruni menahan napas, merasakan ketegangan di udara. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”

Elang menghela napas panjang. “Orang tuaku semakin mendesak. Mereka ingin aku segera menjalin hubungan serius dengan gadis yang mereka pilih. Dan… aku tidak tahu harus berbuat apa.”

Seruni merasakan hatinya nyeri. “Jadi, kamu akan mengabaikanku dan mengikuti kehendak mereka?”

“Tidak! Bukan itu maksudku!” Elang tampak gelisah. “Aku mencintaimu, Seruni. Tapi aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Mereka sudah berkorban banyak untukku, dan aku merasa terjebak.”

“Terjebak?” Seruni mengulangi kata itu, merasakan getir di lidahnya. “Kau sudah memutuskan, kan? Apa yang akan kau lakukan?”

Elang menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan. “Aku ingin berjuang, tetapi aku juga tidak bisa berbohong pada orang tua. Mereka ingin aku bahagia, dan aku tahu jika aku menolak mereka, itu akan membuat semuanya semakin sulit.”

Seruni menggelengkan kepala, hatinya terasa hancur. “Tapi cinta kita juga penting, Elang! Apa kau benar-benar ingin meninggalkanku demi impian orang tuamu?”

“Aku… aku tidak tahu.” Elang mengalihkan pandangan, seolah tidak ingin Seruni melihat keraguan di matanya. “Aku hanya merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit.”

Seruni tidak bisa menahan air matanya lagi. “Dan aku tidak mau menjadi alasan kamu menderita. Jika kamu harus memilih, lakukanlah yang terbaik untukmu, meskipun itu berarti harus pergi dariku.”

“Seruni, jangan katakan itu!” Elang meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kamu tidak mengerti. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tetapi aku juga tidak ingin melukai orang tuaku. Mereka menginginkan yang terbaik untukku.”

“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?” tanya Seruni, suaranya semakin parau. “Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama.”

“Tapi aku percaya kita bisa menemukan jalan!” Elang menegaskan, berusaha meyakinkan diri dan Seruni. “Kita bisa memberi mereka waktu. Mungkin jika mereka melihat kita berdua bahagia, mereka akan mengubah pikiran.”

“Dan jika tidak?” Seruni mempertanyakan, rasa putus asa menggerogoti jiwanya. “Apa kamu siap menghadapi konsekuensinya?”

“Seruni…” Elang terlihat bingung, namun hatinya berjuang untuk menemukan jawaban. “Aku akan melakukan apa pun demi cinta kita. Kita hanya butuh waktu.”

“Kadang aku merasa cinta kita seperti bulan yang redup,” Seruni mengucapkan dengan lembut. “Selalu ada, tapi tidak pernah bisa bersinar secerah yang kita inginkan.”

Dengan air mata di pipi, Seruni merasakan kesedihan yang mendalam. Dia tidak ingin mengikat Elang dalam cinta yang menyakitkan, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa membohongi perasaannya. Di antara mereka, cinta dan harapan terasa semakin tipis, berjuang melawan realitas yang pahit.

Dalam ketidakpastian itu, mereka berdua merasa seolah waktu berhenti, terperangkap dalam dilema antara cinta dan harapan yang kian memudar. Di luar taman, langit mulai gelap, dan bulan purnama seolah bersembunyi di balik awan hitam, menandakan bahwa kebahagiaan mereka mungkin akan segera pergi selamanya.

 

Langit yang Meredup

Waktu berlalu, dan harapan Seruni semakin memudar. Setiap kali dia melihat Elang di kampus, rasanya seperti melihat bayangan masa lalu yang tak bisa digapai. Meski mereka masih berteman, setiap interaksi terasa menyakitkan, seperti duri di hati. Seruni berusaha mengalihkan pikirannya dengan aktivitas baru, tetapi bayang-bayang Elang terus membayangi setiap langkahnya.

Suatu sore, saat Seruni duduk sendirian di taman, pikirannya melayang pada malam itu, saat dia dan Elang berbagi mimpi di bawah bintang-bintang. Dia merindukan gelak tawa Elang, suara gitar yang mengalun, dan semua impian yang pernah mereka rangkai bersama. Namun, impian itu kini terasa seperti ilusi yang tak terjangkau.

Satu hari, di luar dugaan, Seruni menerima pesan dari Elang. “Seruni, bisa kita bertemu? Aku perlu berbicara denganmu.”

Jantungnya berdebar kencang. Dia tahu apa yang akan dibicarakan, tetapi dia juga tidak bisa menolak kesempatan untuk mendengar suara Elang. Dengan rasa campur aduk, dia pun menyetujui pertemuan itu.

Di taman tempat biasa, Elang sudah menunggu, terlihat lebih serius dari sebelumnya. Raut wajahnya menunjukkan kerisauan yang mendalam. Seruni merasakan berat di dadanya, seolah semua harapan kembali menyesakkan.

“Seruni, terima kasih sudah datang,” Elang memulai, suaranya bergetar.

“Ada apa, Elang? Kau tampak cemas,” tanya Seruni, berusaha menjaga suara tetap tenang.

“Orang tuaku mengatur segalanya. Mereka sudah mengatur pernikahan untukku dengan gadis yang mereka pilih,” ujar Elang, matanya tidak berani menatap Seruni. “Aku tidak bisa melawan mereka lagi.”

Kata-kata itu membuat jantung Seruni nyeri. “Kapan? Kapan kamu akan menikah?”

“Sebulan lagi,” jawab Elang dengan nada putus asa. “Mereka tidak memberi aku pilihan. Aku merasa terjebak di dalam hidupku sendiri.”

Seruni merasa duniannya runtuh. “Jadi, semua yang kita jalani hanya sia-sia? Cinta kita tidak ada artinya di mata mereka?”

“Bukan begitu, Ser!” Elang hampir berteriak, tetapi suaranya meredup menjadi isak. “Aku mencintaimu, tetapi aku tidak bisa menolak orang tuaku. Mereka sudah berkorban banyak untukku.”

Air mata Seruni mulai mengalir. “Jadi, kamu memilih mereka? Memilih semua ini daripada kita?”

“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun,” jawab Elang dengan penuh rasa bersalah. “Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Ini semua sangat sulit.”

“Jika kamu memilih untuk pergi, aku tidak akan bisa menunggu,” kata Seruni, berusaha menahan suaranya. “Aku tidak ingin cinta kita menjadi sebuah pengorbanan yang sia-sia.”

Elang mengangguk, air mata di matanya menciptakan bayangan kepedihan. “Aku berharap ada cara lain, tetapi semua ini diluar kendaliku.”

Seruni merasakan haru dan hancur di dalam hatinya. “Aku ingin kamu bahagia, Elang, meski itu berarti kita harus terpisah. Tidak ada gunanya berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa kita miliki.”

Dalam keheningan, keduanya merasakan perpisahan yang semakin mendekat. Saat Elang mengulurkan tangan, Seruni menghindar, tidak ingin menyentuh apa yang tidak bisa mereka miliki. Mereka berdua tahu, cinta yang tulus tidak selalu berakhir bahagia, dan kadang, melepaskan adalah satu-satunya jalan yang tersisa.

“Seruni, aku akan selalu mencintaimu,” Elang berbisik, suara lembutnya seperti angin yang berdesir.

“Dan aku akan selalu mengingatmu,” jawab Seruni, hatinya meruntuh di dalam kesedihan. “Tapi kita harus melanjutkan hidup kita, Elang.”

Elang beranjak pergi, langkahnya terasa berat, sementara Seruni tetap berdiri di tempatnya, merasakan keheningan yang menyesakkan. Setiap langkah Elang menjauh adalah sebuah akhir dari kisah cinta yang tak terwujud, tetapi juga sebuah pembelajaran yang berharga tentang cinta yang tulus.

Malam itu, bulan muncul kembali di langit, tetapi tidak ada cahaya cerah yang menyinari hati Seruni. Dia merasakan langit di atasnya gelap dan redup, seperti harapan yang baru saja padam. Tanpa Elang, dunia terasa sepi dan kosong, namun dia tahu, ini adalah jalan yang harus dia lalui.

Meskipun cinta mereka bertepuk sebelah tangan, Seruni berjanji pada dirinya sendiri untuk terus melangkah, meski langkah itu berat. Dia akan membawa kenangan indah itu selamanya, sebagai bagian dari hidupnya, meski harus rela melepaskan. Dalam pelukan malam yang dingin, Seruni mengingat semua tentang cinta yang pernah ada, dan meski menyakitkan, dia tahu cinta sejati tidak akan pernah benar-benar hilang.

 

Jadi, meskipun cinta Seruni dan Elang harus terpisah karena orang tua, kita bisa ambil pelajaran berharga: cinta sejati kadang harus rela mengorbankan diri demi kebahagiaan orang-orang terkasih. Siapa tahu, suatu saat nanti cinta mereka bisa menemukan jalannya lagi.

Tapi untuk sekarang, mari kita hargai semua kenangan manis dan pahit yang mereka jalani. Hidup itu penuh pilihan sulit, tapi yang penting adalah kita bisa menghadapi semuanya dengan hati yang terbuka. Sampai jumpa di kisah cinta lainnya, ya!!

Leave a Reply