Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Lucu dan Sedih di Balik Persahabatan

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasain jatuh cinta sama teman sekelas yang bahkan nggak nyadar kalo kamu itu ada? Ya, kayak nunggu balasan chat yang nggak kunjung datang. Di satu sisi, kamu pengen banget dia tahu perasaanmu, tapi di sisi lain, kamu juga takut kehilangan persahabatan itu.

Nah, siap-siap deh! Ini adalah kisah Cassia dan Jendral yang penuh tawa, sedih, dan drama, di mana cinta bertepuk sebelah tangan jadi bumbu utama! Ayo, kita intip perjalanan mereka yang bikin hati ini rasanya mau tertawa dan menangis sekaligus!

 

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Pertemuan Tak Terduga

Di kelas 12 IPA 3, suasana belajar selalu dipenuhi tawa dan keriuhan. Jendral, dengan senyum menawannya, duduk di bangku dekat jendela, dikelilingi teman-teman sekelasnya. Dengan rambut yang selalu rapi dan gaya yang kasual, dia seolah menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, Cassia duduk sendirian di sudut kelas, selalu tenggelam dalam bukunya. Dia tidak terlalu suka keramaian; dunia bacaannya memberinya kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di luar sana.

Hari itu, pelajaran matematika berjalan membosankan. Guru mereka, Pak Budi, sedang menjelaskan rumus limit dengan penuh semangat. Namun, semua perhatian tertuju pada Jendral yang, tampaknya, lebih tertarik pada chat di ponselnya. Cassia, yang duduk di depan Jendral, merasa sedikit terganggu. “Aduh, Jendral, kenapa sih kamu enggak fokus?” gumamnya pelan, tidak ingin terdengar oleh guru.

Tanpa disadari, Jendral mendengar. “Eh, kamu bilang apa, Cassia?” tanyanya sambil mengalihkan perhatian dari ponsel. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Saat itu, hati Cassia berdebar kencang, dan dia merasa seperti dikelilingi ribuan kupu-kupu.

“Enggak, aku cuma… bilang pelajaran ini membosankan,” jawab Cassia dengan cepat, berusaha mengalihkan perhatian. Tetapi dia tahu, Jendral pasti tidak percaya. Dia berusaha meredakan rasa gugupnya dengan berusaha fokus pada papan tulis.

Setelah beberapa saat, Jendral yang merasa kesulitan dengan soal yang diberikan, tiba-tiba mengangkat tangannya. “Pak Budi, boleh minta bantuan?”

“Saya tidak mengerti soal nomor tiga ini,” tambahnya dengan nada mengeluh.

Pak Budi menatapnya dengan senyum sabar. “Coba tanyakan pada temanmu di sebelah, Cassia. Mungkin dia bisa membantu.”

Semua mata di kelas langsung tertuju pada Cassia. “Hah? Aku?” pikirnya. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Jendral tersenyum, seolah-olah meminta bantuan darinya. “Cassia, bisakah kamu bantu aku dengan soal ini?”

Melihat wajahnya yang berharap, Cassia tidak bisa menolak. Dia berdiri, berusaha menyembunyikan kegugupannya dan melangkah ke meja Jendral. “Baiklah, coba tunjukkan soal yang kamu maksud.”

Dia mengambil buku Jendral dan melihat soal nomor tiga. “Hmm, ini soal tentang limit. Kamu harus…”

Jendral mendengarkan dengan seksama. Saat Cassia menjelaskan, dia merasakan kehangatan di hatinya. Jendral mengangguk, seolah-olah semua yang diucapkan Cassia adalah hal yang paling menarik yang pernah dia dengar. Cassia, yang biasanya tidak percaya diri, merasa sedikit berani ketika Jendral memperhatikannya. Dalam sekejap, semua rasa canggung itu hilang.

“Jadi, kamu bisa membantu aku setiap kali ada soal yang sulit, kan?” Jendral menatapnya dengan tatapan serius.

“Hah? Mungkin. Tapi aku tidak janji akan selalu ada,” jawab Cassia, mencoba mengalihkan perhatian agar tidak terlihat terlalu berbunga-bunga.

“Cuma bercanda, Cassia. Aku hanya butuh waktu buat memahami pelajaran ini,” balasnya sambil tertawa. Suara tawa Jendral membuat Cassia tersenyum, meskipun ada sedikit rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, Jendral akan selalu lebih memilih Dira—gadis cantik dan populer di sekolah.

Di tengah pelajaran yang membosankan itu, Jendral dan Cassia semakin sering berinteraksi. Setiap kali Jendral merasa kesulitan, dia pasti mencari Cassia. Mereka mulai saling berbagi tawa dan cerita. Namun, di balik tawa itu, Cassia menyimpan perasaan yang mendalam. Setiap senyuman Jendral membuat hatinya bergetar, tetapi dia juga tahu, perasaan itu mungkin tidak pernah terbalas.

Suatu sore, saat bel sekolah berbunyi, Cassia memutuskan untuk tinggal di perpustakaan. Dia menyukai suasana tenang di sana, jauh dari keramaian. Di saat dia asyik membaca buku, tiba-tiba Jendral muncul. “Eh, Cassia! Apa kamu di sini?”

Dia mengangguk sambil tersenyum, merasa bahagia. “Iya, aku lagi baca buku baru. Kamu sendiri?”

“Gak ada yang lebih menarik di luar sana. Jadi, aku datang ke sini,” Jendral menjawab dengan nada santai, dan Cassia merasa hatinya bergetar. Dia suka ketika Jendral selalu mencari kehadirannya.

“Hmm, kamu nggak kangen sama teman-temanmu?” tanya Cassia dengan penasaran.

“Enggak, mereka semua pada sibuk dengan urusan masing-masing. Aku lebih suka ngobrol sama kamu,” balas Jendral dengan serius, menatap matanya dalam-dalam.

Cassia tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu seperti angin segar, tetapi juga membuatnya cemas. “Jendral, kamu tahu kan? Kita ini teman, kan?”

Dia terdiam sejenak. “Tentu. Tapi… kadang, aku merasa kita bisa lebih dari itu.”

Tiba-tiba, suasana menjadi canggung. Cassia merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia ingin bertanya lebih banyak, tetapi rasa takut membuatnya terdiam.

Saat itu, Jendral mengalihkan perhatian, “Eh, mau ikut aku ke kantin? Aku pengen beli es krim. Kamu suka kan?”

“Es krim? Hmm, oke deh! Siapa tahu bisa bikin suasana lebih ceria,” jawab Cassia dengan senyuman, berusaha menutupi rasa gelisahnya.

Mereka melangkah keluar perpustakaan, menuju kantin. Selama perjalanan, Cassia berusaha menenangkan pikiran yang berputar-putar di kepalanya. Dia tahu, perasaannya terhadap Jendral semakin dalam, dan dia takut jika semua ini hanya akan berakhir dengan patah hati.

Di kantin, saat mereka sedang memilih rasa es krim, Cassia melihat Dira dan teman-temannya tertawa riang di meja dekat jendela. Jendral juga melihat ke arah sana, dan dalam sekejap, senyumnya memudar. Cassia merasa hatinya tertegun. Dia ingin Jendral melihatnya dengan cara yang sama, tetapi dia tahu bahwa itu tidak mungkin.

“Iya, Dira dan teman-temannya terlihat asyik. Mungkin kita bisa gabung?” saran Cassia, berusaha tidak menunjukkan rasa sakit yang mulai merayap di hatinya.

Jendral menggeleng, “Enggak, kita lebih seru di sini. Lagipula, aku ingin menghabiskan waktu sama kamu, Cassia.”

Kata-kata itu seperti mantra yang menenangkan. Cassia menatap Jendral dengan rasa campur aduk—senang, kecewa, dan harapan. Di antara es krim dan tawa, dua dunia itu bertabrakan, tetapi perasaan mereka masih terjebak di tengah-tengah kerumunan.

Malam menjelang, dan mereka berdua melanjutkan perbincangan sambil menikmati es krim. Seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, dan hanya ada keduanya di dalam momen itu. Namun, dalam hati Cassia, rasa takut akan kehilangan Jendral tetap membayang, dan dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Momen Canggung

Hari-hari berlalu, dan hubungan Cassia dan Jendral semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Setiap kali melihat Jendral, Cassia merasa bersemangat, tetapi di sisi lain, ada rasa cemas yang terus menggelayuti hatinya.

Suatu pagi di sekolah, Cassia datang lebih awal untuk menyiapkan presentasi kelompok. Dia duduk di bangku belakang, menyusun catatan dengan rapi. Tak lama, Jendral muncul, terlihat bersemangat. “Cassia! Ayo kita latihan presentasi!”

“Eh, iya. Aku baru mau mulai,” jawab Cassia sambil tersenyum. Dia merasa nyaman melihat senyumnya yang ceria.

“Mau aku jadi audiensmu?” tanya Jendral, duduk di sampingnya.

“Boleh, tapi jangan tertidur ya!” Cassia menggoda, matanya berbinar.

“Siapa yang berani tidur di depan Cassia?” jawab Jendral, membuat Cassia tertawa.

Mereka mulai berlatih, dan Cassia berusaha menjelaskan semua dengan percaya diri. Namun, saat dia menjelaskan bagian yang penting, Jendral tiba-tiba menyela, “Cassia, aku tidak mengerti yang ini. Bisakah kamu menjelaskan lebih sederhana?”

“Ya ampun, kamu ini. Memangnya susah banget ya?” Cassia menyandarkan kepala di telapak tangan, berusaha tidak tersenyum.

“Maksudku, aku bukan jenius seperti kamu,” sahut Jendral sambil tersenyum nakal.

Akhirnya, setelah berdebat lucu dan tertawa, Cassia berhasil menjelaskan semua. “Nah, gitu dong! Sekarang kamu jadi lebih paham, kan?”

“Paham banget! Aku rasa kita bisa dapat nilai A!” seru Jendral dengan semangat.

“Kalau kita gagal, kamu yang tanggung jawab!” balas Cassia dengan nada bercanda, merasa senangnya semakin menghangatkan suasana.

Setelah latihan, mereka berjalan ke kantin. Suasana di kantin ramai, dengan teman-teman yang asyik bercengkerama. Saat mereka beranjak, Jendral tiba-tiba terhenti, melihat Dira bersama teman-temannya di meja dekat pintu keluar. Dira yang cantik, mengenakan gaun cerah, selalu mencuri perhatian semua orang.

“Eh, Cassia, tunggu sebentar. Aku mau ambil sesuatu di sana,” kata Jendral, menunjuk ke arah meja Dira.

“Hah? Sekarang?” Cassia merasa jantungnya berdebar. Dia tidak suka suasana canggung ini.

“Iya, bentar aja. Cuma mau minta catatan dari Dira,” Jendral menjelaskan sambil beranjak. Cassia tidak bisa menahan napasnya.

“Ya udah, cepat ya!” serunya sambil tersenyum, meskipun hatinya terasa berat.

Cassia duduk di meja sambil memikirkan apa yang terjadi. Saat Jendral berinteraksi dengan Dira, semua keraguannya kembali muncul. Dalam hatinya, dia ingin Jendral melihatnya, bukan hanya sebagai teman biasa. Namun, kenyataannya sangat berbeda.

Beberapa menit kemudian, Jendral kembali dengan senyum lebar. “Cassia, aku baru dapat catatan! Dira baik banget, dia membantuku,” ceritanya, wajahnya ceria.

“Wah, hebat! Berarti kamu bisa belajar lebih banyak,” Cassia berusaha menahan rasa kecewa yang mengendap di hatinya.

“Mau kita makan di luar?” ajak Jendral sambil menggigit sandwichnya.

“Iya, pasti asyik!” jawab Cassia bersemangat, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaannya yang terus bergejolak.

Saat mereka menikmati makan siang di luar, Jendral bercerita tentang mimpi-mimpinya. “Aku ingin sekali bisa kuliah di luar negeri. Mungkin di Inggris atau Jepang!”

Cassia menatapnya penuh minat. “Wow, itu keren banget! Tapi, kamu yakin bisa jauh dari rumah?”

“Eh, kalau untuk cita-cita, siapa takut?” Jendral menjawab sambil tertawa. “Kamu sendiri, Cassia? Punya mimpi apa?”

“Aku ingin jadi penulis. Menulis buku yang bisa menginspirasi banyak orang,” jawab Cassia dengan percaya diri, walau hatinya terasa berat.

“Wah, itu impian yang bagus! Nanti kalau kamu jadi penulis terkenal, jangan lupa ajak aku jadi model di sampul bukumu,” Jendral menggoda, membuat Cassia tertawa.

“Ah, kamu ini, nggak tahu diri!” Cassia membalas sambil menyenggol bahunya.

Mereka terus bercanda dan tertawa. Namun, saat suasana makin akrab, Cassia tiba-tiba merasa canggung. Dia teringat bahwa dia belum mengungkapkan perasaannya pada Jendral. Dalam kebisingan kantin, dia merasa seperti terjebak dalam labirin perasaannya sendiri.

Sebelum mereka kembali ke kelas, Jendral berkata, “Cassia, terima kasih ya. Aku senang bisa ngobrol sama kamu. Kamu selalu bikin hariku lebih baik.”

“Hmm, aku juga senang. Semoga kita bisa terus begini,” balas Cassia dengan senyuman, meskipun di dalam hatinya ada perasaan hampa yang tak terucapkan.

Saat bel berbunyi dan mereka kembali ke kelas, Cassia merasa ada yang berbeda. Momen-momen indah itu seakan menggantung di udara, tetapi rasa sakit akan perasaannya yang tak terbalas semakin menggelayuti jiwanya. Dia tahu, seiring berjalannya waktu, semua ini bisa berakhir dengan kekecewaan yang mendalam.

Setiap tawa dan candaan yang mereka bagi terasa seperti benang yang mengikat hati mereka, tetapi Cassia tahu, dia hanya bisa menyimpan rasa itu dalam diam, sambil berharap keajaiban akan terjadi suatu saat nanti.

 

Kejutan Tak Terduga

Hari-hari di sekolah berlalu dengan cepat, dan Cassia semakin terjerat dalam perasaannya untuk Jendral. Setiap detik yang dihabiskan bersama membuatnya merasa bahagia sekaligus terjebak dalam ketidakpastian. Kadang-kadang, saat melihat Jendral tertawa, ada rasa manis yang menghangatkan hatinya, tetapi di sisi lain, ada rasa pahit yang terus menggelayuti pikiran.

Suatu sore, saat Cassia duduk di perpustakaan untuk belajar, dia mendapat pesan dari Jendral. “Cassia! Ada kejutan buatmu. Kita harus ketemu di taman setelah sekolah.”

Jantung Cassia berdegup kencang. Apa kejutan itu? Apakah dia akan mengungkapkan perasaannya? Berbagai harapan dan keraguan mengisi pikirannya. Dia merapikan bukunya dan menunggu bel berbunyi dengan penuh harap.

Setelah pelajaran terakhir, Cassia bergegas ke taman, tempat di mana mereka sering bermain dan bercanda. Di sana, dia menemukan Jendral sudah menunggu dengan senyuman lebar. “Cassia! Kamu datang tepat waktu! Ayo, ikuti aku!”

Jendral menarik tangannya, dan mereka berjalan menuju sudut taman yang jarang dikunjungi. Di sana, ada piknik kecil yang sudah disiapkan. Sebuah selimut besar, beberapa makanan ringan, dan minuman segar. “Surprise! Aku ingin kita punya waktu santai bersama,” Jendral berkata sambil tersenyum, terlihat bangga dengan rencananya.

“Wow, ini luar biasa! Kamu menyiapkan semua ini sendiri?” Cassia terkejut, tidak percaya akan kejutan ini.

“Iya, aku belajar dari video di internet. Gimana, mau coba ini?” Jendral mengeluarkan sandwich dan memegangnya dengan penuh semangat.

“Boleh! Tapi, kamu pasti tidak makan semua ini sendirian, kan?” Cassia menggodanya. Mereka mulai menikmati piknik sambil berbincang.

“Bisa saja, tapi aku lebih suka berbagi sama kamu. Apalagi, kamu selalu bisa bikin suasana jadi lebih hidup,” Jendral menjawab, membuat Cassia tersipu.

Setelah beberapa saat mengobrol dan tertawa, Jendral tiba-tiba terlihat serius. “Cassia, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Jantung Cassia berdetak kencang. “Apa itu? Ngomong aja, aku dengerin.”

Jendral menghela napas, tampak sedikit ragu. “Kamu tahu kan, aku dekat sama Dira? Dia teman baikku.”

“Ya, aku tahu.” Rasa cemburu mulai menggerogoti hati Cassia, tetapi dia berusaha menjaga senyum di wajahnya.

“Jadi, dia mengajak aku untuk ikut acara prom di sekolah,” Jendral melanjutkan, dan saat itu Cassia merasakan suasana hatinya tiba-tiba drop. “Aku rasa itu kesempatan bagus untuk kita semua bersenang-senang. Dan… aku berharap kamu bisa ikut juga.”

“Acara prom? Jadi, kamu akan pergi bersamanya?” Cassia berusaha menjaga suaranya tetap tenang, tetapi hatinya bergetar.

“Iya, tapi bukan berarti aku tidak ingin kamu ikut. Justru, aku berharap kita bisa pergi bersama-sama. Mungkin kita bisa jadi pasangan?”

Cassia terdiam sejenak. Bagaimana bisa dia berharap lebih ketika Jendral masih terikat dengan Dira? Namun, dia tahu ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan. “Tentu saja, aku mau! Itu bakal seru!”

“Serius? Wah, berarti ini akan jadi pengalaman seru!” Jendral terlihat sangat senang. “Kita bisa latihan bareng sebelum acara!”

“Jangan khawatir, aku akan mempersiapkan diri dengan baik!” Cassia berusaha terlihat antusias meskipun hatinya terasa berat. Mungkin ini adalah kesempatan untuk memperlihatkan pada Jendral betapa istimewanya dirinya.

Saat mereka melanjutkan piknik, Cassia berusaha mengalihkan pikirannya dari Dira. Dia ingin menjadikan momen ini spesial, walaupun perasaannya terhadap Jendral masih terjebak dalam kebingungan. Tawa dan canda mereka mengisi suasana, tetapi bayangan Dira tetap menghantui pikiran Cassia.

Ketika senja tiba, Jendral meminta foto bersama. “Ayo, kita berpose! Ini momen yang tidak boleh terlewatkan!”

“Eh, boleh juga!” Cassia tersenyum dan berusaha menampakkan keceriaan. Mereka berpose dengan latar belakang matahari terbenam yang indah. “Say cheese!”

Klik! Saat foto diambil, Jendral menggenggam tangan Cassia sejenak, dan dia merasakan aliran listrik yang tak terduga. “Cassia, kamu adalah teman terbaik yang pernah aku miliki.”

“Dan kamu adalah teman terbaikku juga, Jendral,” jawabnya, berusaha menyembunyikan harapannya yang dalam.

Setelah pulang, Cassia masih terbayang-bayang momen itu. Dia merasakan kebahagiaan bercampur ketidakpastian. Kira-kira bagaimana perasaannya di prom nanti? Mungkinkah ini saatnya untuk mengungkapkan perasaannya? Semua pertanyaan itu menggantung di pikirannya, menunggu jawaban di malam yang penuh harapan.

Cassia tahu, meskipun hari-hari terasa cerah dan penuh tawa, dia tidak bisa mengabaikan ketidakpastian yang menyelimuti hatinya. Dia bertekad untuk mempersiapkan segalanya dengan baik, dan mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan cara untuk menyampaikan apa yang dirasakannya sebelum semuanya terlambat.

 

Pilihan yang Mengubah Segalanya

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Cassia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun merah muda yang membuatnya terlihat anggun dan mempesona. Dia tersenyum pada refleksinya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Oke, Cassia. Ini adalah malam yang kamu tunggu. Saatnya menunjukkan siapa kamu sebenarnya,” gumamnya pada diri sendiri.

Di luar, keramaian sudah memadati aula prom. Cassia dan Jendral sepakat untuk bertemu di sana. Ketika dia melangkah masuk, dia terpesona oleh dekorasi yang megah. Lampu-lampu berkilauan, aroma makanan yang menggugah selera, dan suara musik yang mengalun membuat suasana begitu hidup.

Cassia segera mencari Jendral di antara kerumunan. Ketika akhirnya mereka bertemu, hatinya berdegup kencang. Jendral mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat sangat tampan. “Wow, kamu terlihat luar biasa!” seru Jendral, matanya bersinar.

“Terima kasih! Kamu juga, Jendral. Sangat keren!” jawab Cassia sambil tersenyum lebar, tetapi dalam hati, dia masih merasakan ketegangan yang menggelayuti.

Mereka mulai berbaur dengan teman-teman yang lain, dan Cassia berusaha sekuat tenaga untuk menikmati malam itu. Namun, ketika melihat Dira berdansa dengan Jendral, rasa cemburu dan kesedihan kembali menghantui pikiran Cassia. Dia mengingat semua perbincangan tentang betapa dekatnya Jendral dengan Dira. Mungkin ini adalah saat yang sulit untuknya.

Saat lagu lambat diputar, Jendral menarik Cassia ke tengah lantai. “Ayo, kita berdansa!” dia mengajak dengan senyuman lebar. Cassia merasa sedikit terkejut, tetapi dia tidak bisa menolak. Mereka mulai bergerak, dan saat itu, Cassia merasakan jantungnya berdegup kencang.

“Cassia, aku senang kamu mau ikut malam ini. Ini sangat berarti bagiku,” Jendral berbisik saat mereka berdansa.

“Ya, aku juga senang bisa di sini,” balas Cassia, berusaha menyembunyikan perasaan yang bergejolak.

Mereka melanjutkan berdansa, dan Cassia berusaha menikmati setiap momen. Namun, saat melihat Jendral tersenyum pada Dira yang sedang berdansa di sebelah mereka, dia merasakan hatinya remuk. “Jendral, bisa kita berbicara sebentar?” katanya, suara sedikit bergetar.

“Oh, ya. Apa ada yang ingin kamu katakan?” Jendral terlihat bingung tetapi mengikuti Cassia ke sudut yang lebih tenang.

“Jendral, aku… aku ingin jujur sama kamu. Selama ini, aku sudah menyimpan perasaan ini, dan aku rasa malam ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya,” Cassia berusaha menata kata-katanya.

“Apa maksudmu?” Jendral bertanya, terlihat semakin serius.

“Aku suka kamu, Jendral. Lebih dari sekadar teman. Tapi aku juga melihat kamu dekat dengan Dira. Aku tidak ingin mengganggu hubungan kalian,” ungkap Cassia, suaranya hampir bergetar.

Jendral terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung. “Cassia, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Dira memang temanku, tapi aku tidak pernah memikirkan hubungan lebih dari itu. Aku… aku sangat menghargai kamu.”

“Jadi, tidak ada perasaan lebih dari itu?” Cassia berusaha tidak menunjukkan betapa hancurnya hatinya saat mendengar jawaban Jendral.

“Bukan begitu! Aku sangat menyukaimu, Cassia! Aku hanya… aku tidak pernah tahu bahwa kamu merasa seperti ini,” Jendral menjelaskan, terlihat frustasi.

Mendengar itu, Cassia merasakan harapan muncul kembali. “Jadi, kamu tidak keberatan jika kita lebih dekat?”

“Tentu saja tidak! Tapi aku juga tidak ingin melukai perasaan Dira,” Jendral menjawab, terlihat bingung antara perasaannya sendiri dan tanggung jawab terhadap temannya.

Malam itu menjadi momen yang penuh kebingungan dan harapan. Cassia merasa seakan-akan terjebak dalam labirin emosi yang sulit dimengerti. Dia ingin sekali agar semuanya lebih sederhana, tetapi realita tidak semudah itu. “Kita bisa membicarakannya lebih lanjut setelah acara ini, Jendral. Mungkin kita perlu waktu untuk berpikir.”

“Ya, aku setuju. Maaf jika aku membingungkanmu,” Jendral mengangguk, tetapi ada sorot harapan di matanya.

Mereka kembali bergabung dengan teman-teman lainnya, tetapi suasana hati Cassia sangat berbeda. Dia berusaha tersenyum dan menikmati malam, tetapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi setelah ini akan menentukan hubungan mereka.

Ketika malam berakhir, Cassia pulang dengan pikiran penuh. Dia merasa lebih baik setelah mengungkapkan perasaannya, tetapi dia juga merasa sedih karena harus menghadapi kenyataan bahwa segalanya mungkin tidak akan berjalan sesuai harapan.

Di dalam hatinya, Cassia menyadari bahwa cinta tidak selalu sejalan dengan harapan. Mungkin ini adalah perjalanan untuk menemukan diri sendiri dan belajar bahwa tidak semua perasaan bisa saling terbalas. Namun, dia merasa bersyukur bisa jujur pada diri sendiri dan Jendral. Mungkin, hanya mungkin, kejujuran ini bisa membuka pintu baru dalam hidup mereka berdua.

Dengan harapan dan keraguan yang menggelayuti, Cassia memandangi bintang-bintang di langit malam. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, dia akan menghadapi semuanya dengan keberanian dan kebijaksanaan yang baru ditemukan. Dan di sinilah, di tengah rasa sakit dan harapan, perjalanan cinta sejatinya baru saja dimulai.

 

Jadi, intinya cinta itu emang ribet! Kadang bikin kita ketawa, kadang bikin kita pengen nyender di dinding sambil nangis. Tapi perjalanan Cassia dan Jendral ngasih pelajaran penting: jangan takut buat bilang apa yang kita rasain, meskipun kadang hasilnya ngecewain.

Siapa tahu, di balik patah hati, ada cerita lucu yang nunggu buat dibagi. Jadi, jangan ragu untuk ungkapin perasaanmu, karena cinta, meski bertepuk sebelah tangan, bisa jadi pengalaman yang nggak bakal terlupakan!

Leave a Reply