Daftar Isi
Jadi, bayangin deh, kamu lagi di SMK, tempat yang penuh sama tugas-tugas berat, tugas kelompok yang ngeselin, dan pastinya temen-temen yang bikin hidup kamu jadi lebih seru. Eh, tiba-tiba aja, di tengah semua itu, ada orang yang bikin dunia kamu berasa lebih ringan.
Itu dia yang terjadi ke Arel, cowok yang lebih sering sibuk sama otaknya daripada mikirin cinta. Tapi, apa jadinya kalau cinta itu datang begitu aja, tanpa dia duga? Yuk, simak perjalanan Arel dan Keira yang penuh dengan tawa, pertengkaran konyol, dan pastinya… perasaan yang mulai tumbuh dengan cara yang nggak biasa!
Cinta Bersemi di SMK
Tugas Kelompok yang Bikin Pusing
Suasana kelas yang biasanya penuh dengan suara gaduh siswa di pagi hari, kali ini tampak agak berbeda. Pak Agus, guru matematika kami, baru saja membagikan kertas tugas kelompok yang harus kami kerjakan dalam waktu seminggu. Satu hal yang pasti—tugas kelompok ini selalu berakhir dengan kekacauan.
“Ayo, Arel! Ayo cepat duduk, tugasnya mulai dibagi nih!” seru Keira dari tempat duduknya, setengah berteriak untuk mengingatkanku yang masih berdiri di pintu kelas, sambil mataku melirik ke arah kertas tugas yang baru saja dibagikan Pak Agus.
Aku melangkah ke meja dengan malas. Sejujurnya, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Tugas kelompok itu pasti akan berakhir dengan debat panjang dan perasaan kesal. Kalau aku bisa memilih, aku lebih memilih mengerjakan tugas matematika sendirian daripada harus bekerja sama dengan Keira, karena aku tahu, dia itu nggak pernah bisa kompromi.
Keira, cewek yang satu ini selalu punya cara sendiri dalam mengerjakan tugas. Dan yang lebih parahnya, dia sering menganggap ide orang lain itu nggak ada artinya. Aku bisa bayangkan, dia pasti sudah punya rencana matang di kepala tentang bagaimana tugas ini akan berjalan, tanpa melibatkan aku sedikit pun.
Setelah duduk, aku hanya bisa melemparkan pandangan ke kertas tugas itu dengan ragu. Tugasnya tentang analisis statistik—sesuatu yang aku dan Keira pasti akan debatkan habis-habisan. Di satu sisi, Keira jago banget dalam hal ini, di sisi lain, aku selalu terjebak dengan kebingunganku tentang rumus yang membingungkan itu.
“Arel, kamu ngelamun lagi? Kita harus kerja bareng nih, bukan cuma kamu diem dan nyerah gitu aja,” Keira tiba-tiba memecah keheningan dengan nada agak sinis, tetapi aku bisa tahu itu cuma gaya bercanda dari dia.
Aku mengerjap sedikit, berusaha menanggapi sindirannya. “Ngapain buru-buru, Keira? Tugas ini kan bisa kita kerjain nanti juga,” jawabku dengan gaya acuh tak acuh. Tapi di dalam hati, aku sebenarnya tahu, tugas ini nggak akan selesai kalau aku cuma bersantai.
Keira menyeringai, dengan tatapan tajam yang selalu bikin aku merasa nggak nyaman. “Ayo deh, kerjain bareng, jangan malah ngajak debat. Aku tahu kamu pasti nggak ngerti soal ini,” katanya sambil mengacungkan alis, seolah menantangku.
“Eh, aku bisa kok ngerti!” jawabku kesal, meski dalam hati aku sadar, dia mungkin benar. Tapi aku nggak mau kalah.
Kami pun mulai mengerjakan tugas itu, dan seperti biasa, Keira langsung mengambil alih. Dia menulis rumus yang benar dan menjelaskan berbagai hal dengan lancar, sementara aku hanya bisa menatapnya sambil menulis beberapa angka yang sepertinya nggak ada artinya.
“Ya ampun, Arel, kamu itu kalau nulis angka kayak lagi main tebak-tebakan, sih,” Keira berkata sambil tertawa kecil.
Aku merasa kesal, tapi berusaha untuk tetap tenang. “Kalau kamu nggak suka, jangan minta bantuan aku deh,” kataku, meskipun dalam hati aku tahu, aku pasti butuh bantuannya.
Keira tertawa lebih keras. “Aduh, kamu nggak ada bedanya sama anak kelas satu, Arel!” katanya, lalu melanjutkan menulis dengan cepat. “Coba deh, jangan cuma duduk diem. Kamu kan bisa bantu nyusun data!”
Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna apa yang baru saja dia bilang. “Kamu nyuruh aku nulis, tapi malah kamu yang nulis semua, Keira!” aku hampir berteriak, sedikit kesal. Tapi aku tahu itu nggak akan mengubah apapun.
Keira berhenti sejenak dan menatapku. “Gini aja deh, kita berhenti bertengkar sekarang, terus kerjain bareng. Kalau kamu masih nggak ngerti, aku jelasin lagi. Jangan cuma diem aja!”
Aku diam sejenak. Rasanya aneh, tapi aku tahu dia benar. Aku sering banget mikir, Keira ini emang beda. Nggak hanya pintar, tapi dia juga punya cara unik buat bikin aku merasa nyaman, meskipun dia sering banget bikin aku pusing dengan caranya yang kadang terkesan semaunya.
Setelah beberapa lama, tugas yang seharusnya cuma butuh beberapa jam untuk diselesaikan, malah menjadi perdebatan panjang. Keira nggak mau menyerah dengan cara kerjanya, sementara aku juga nggak mau mengalah. Tapi anehnya, di tengah-tengah pertengkaran itu, aku malah merasa ada sesuatu yang makin tumbuh di antara kami. Ada ketegangan yang berbeda, bukan hanya soal tugas, tapi juga perasaan yang mungkin—mungkin—sekarang mulai bersemi di dalam hati.
“Kamu nggak pernah serius, Arel,” Keira mendengus, kembali menatapku dengan tatapan yang nggak bisa kubaca. “Serius deh, kenapa kamu harus selalu ngelawan aku?”
Aku menghela napas panjang. “Aku nggak melawan kok, aku cuma… nggak suka kalau cuma kamu yang memutuskan semuanya. Aku juga punya pendapat!”
Keira diam, lalu kembali melirikku dengan mata tajamnya. “Kamu masih nggak ngerti, ya? Tapi yaudah lah, aku bosen debat sama kamu,” katanya sambil menyerah, walau aku tahu dia masih kesal. Tapi anehnya, aku justru merasa sedikit lega.
Lalu suasana hening sejenak, kami berdua sibuk dengan kertas dan tugas yang tersisa. Tanpa sadar, waktu terus berlalu, dan meskipun kami berdua sering bersitegang, ada sesuatu di dalam hati yang mengatakan kalau hari-hari ini mulai terasa berbeda. Tapi aku nggak bisa memahaminya—apakah itu cinta, atau sekedar kesal karena harus mengerjakan tugas dengan Keira. Yang jelas, entah kenapa, aku tahu aku nggak bisa menjauh darinya.
Pukul bel berbunyi, menandakan bahwa waktu sudah habis. Tugas belum sepenuhnya selesai, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang baru. Sesuatu yang aneh, tapi menyenangkan.
“Ayo, Arel! Kita lanjut lagi nanti!” seru Keira sambil bergegas mengemasi tasnya, meninggalkan aku yang masih merenung.
Dan saat aku melangkah keluar dari kelas, aku nggak bisa menahan senyum kecil. Apa yang baru saja terjadi? Aku nggak tahu pasti, tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya.
Tapi satu hal pasti, tugas kelompok ini baru saja menjadi lebih rumit—dan lebih menarik.
Pertengkaran Konyol di Tengah Pekerjaan
Hari berikutnya, Keira duduk di sebelahku lagi. Tugas kelompok yang kami kerjakan semalam belum selesai sepenuhnya. Masih ada data yang harus kami analisis lebih mendalam, dan itu berarti hari ini kami harus bertemu lagi—meskipun aku agak malas. Aku tahu, Keira pasti nggak akan membiarkan tugas ini selesai tanpa campur tangan penuh dari dia.
“Ayo, Arel, bawa laptop kamu ke sini, kita lanjutkan,” katanya sambil mengarahkan tangan ke meja kosong yang ada di sebelahnya.
Aku meliriknya dan menghela napas. “Keira, kamu yakin kita bisa nyelesain ini dalam waktu sekejap? Tugas ini kan nggak semudah itu, loh.”
Keira menatapku dengan tatapan yang hampir mirip dengan tatapan sang pemenang. “Gampang. Kamu tinggal ngikutin aja,” jawabnya sambil membuka laptopnya dengan cekatan, seolah-olah dia sudah mengetahui apa yang harus dilakukan tanpa harus berpikir keras.
Aku mengeluarkan laptopku, tapi rasanya nggak semudah itu. Setiap kali aku mencoba masuk ke dalam topik yang lebih teknis, otakku malah jadi bebal. Sementara itu, Keira terus mengetik dengan lancar, seolah-olah tugas ini cuma tinggal formalitas baginya.
“Jadi, kamu mau langsung mulai dengan bagian statistiknya atau bahas data yang lainnya dulu?” tanyaku, berusaha tidak terlihat malas.
Keira menatapku sebentar. “Terserah, yang penting data kamu bener dulu, baru statistik bisa nyusul.” Keira menjawab dengan nada datar, tetapi wajahnya yang serius itu entah kenapa tetap bisa membuatku merasa konyol.
Aku mulai membuka file data yang sebelumnya kami kumpulkan. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan Keira hari ini. Biasanya dia lebih ceria, tapi kali ini, ada keseriusan yang terasa seperti menggantung di udara. Aku merasa seperti ada yang mengganjal di hatiku.
“Ada apa, Keira? Kamu kok kayak nggak semangat gini?” tanyaku, mencoba memecah ketegangan yang sepertinya muncul entah dari mana.
Keira berhenti sejenak dan menatapku. “Aku capek, Arel. Capek ngurusin tugas ini sendirian terus.” Suaranya agak datar, namun ada rasa lelah yang tidak bisa disembunyikan.
Aku merasa sedikit bersalah, walaupun aku tahu aku juga nggak bisa disalahkan sepenuhnya. “Eh, aku kan udah bantu juga, kok!” jawabku, sedikit defensif.
“Tugas ini nggak cuma soal bantu-bantu, Arel,” katanya, hampir tanpa emosi. “Aku butuh kamu yang bisa berpikir bareng aku, bukan cuma duduk diam dan nunggu perintah.”
Aku terdiam sejenak. Rasanya kata-katanya menohok, tapi aku nggak bisa bohong, kalau aku emang lebih sering jadi penonton dalam tugas ini. Keira benar—aku cuma mengandalkan dia untuk menyelesaikan hampir semuanya.
“Maaf,” aku akhirnya berkata pelan. “Aku nggak nyangka kalau kamu bakal se-stress ini karena tugas.”
Keira menghela napas panjang dan melirik ke arah layar laptop. “Gak usah minta maaf deh, Arel. Kita cuma butuh kerja sama. Kamu mau nggak mulai mikir bareng aku?”
Aku mengangguk perlahan. “Iya, aku mau.”
Kami melanjutkan mengerjakan tugas itu dengan cara yang agak lebih kooperatif. Meski di tengah pekerjaan itu, kami sempat tersandung beberapa kesalahan kecil—entah itu karena aku salah baca angka atau Keira yang terburu-buru menginput data yang ternyata salah. Setiap kali hal itu terjadi, kami berdua tidak bisa menahan tawa, meskipun ada sedikit rasa kesal yang muncul di dalam hati.
Tiba-tiba Keira melemparkan pertanyaan yang cukup serius. “Arel, kamu pernah berpikir nggak sih, kenapa kita nggak pernah bener-bener akur?”
Aku tersentak, kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. “Kenapa, sih? Bukannya kita baik-baik aja, kan?” jawabku dengan sedikit kebingungan, berusaha menyembunyikan ketegangan yang mulai muncul di dalam dada.
Keira memutar kursinya sedikit, menghadap ke arahku. “Kita sering berdebat, Arel. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa… ada yang lebih dari itu. Apa kamu merasa yang sama?”
Aku menatapnya, mencoba mencari tahu maksud dari kata-katanya. Ada sesuatu di matanya yang membuatku ragu. “Aku… aku nggak tahu. Maksud kamu?” jawabku dengan sedikit gugup.
Keira tersenyum tipis. “Aku juga nggak tahu, Arel. Tapi… mungkin kita cuma butuh waktu buat saling ngerti.”
Aku mengangguk pelan, tapi di dalam hatiku, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Ketegangan yang dulu kami rasakan, sekarang terasa lebih cair. Seakan ada koneksi yang mulai terjalin, meskipun kami berdua belum sepenuhnya menyadarinya.
“Jadi, kita lanjut ya?” tanyaku, berusaha mengalihkan percakapan yang agak terlalu dalam itu.
Keira hanya mengangguk sambil tersenyum. “Yup, ayo lanjut.”
Kami melanjutkan pekerjaan itu dengan lebih tenang. Meski masih ada sedikit canggung, tapi tidak seintens sebelum-sebelumnya. Tugas itu akhirnya selesai juga, dan meskipun aku merasa sedikit lelah, ada rasa puas yang tercipta begitu kami menutup laptop dan merapikan semua kertas yang berserakan di meja.
Keira melirik ke arahku sambil memutar pensil di jarinya. “Kamu masih mau bantu aku minggu depan?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
Aku tersenyum, merasa sedikit lega karena akhirnya kami bisa menyelesaikan tugas itu tanpa ribut lagi. “Tentu aja. Tapi kali ini, kita ngerjain bareng, beneran bareng, ya?” jawabku dengan semangat yang mulai muncul lagi.
Keira tertawa kecil. “Deal.”
Pertemuan Tak Terduga dan Awal Baru
Hari Senin kembali datang, membawa kebiasaan lama—tugas, kelas, dan tentunya, Keira yang duduk di sebelahku lagi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebelumnya, saat kami mengerjakan tugas bersama, terasa seperti kami berdua bertarung untuk memahami satu sama lain, namun kini, semuanya terasa lebih ringan. Meski masih banyak hal yang belum kami bahas, ada semacam kesepahaman yang mulai terbentuk.
Aku melirik Keira yang sedang sibuk menyiapkan buku catatannya di meja. Hari ini, tugas besar lainnya menanti, dan aku tahu kami berdua akan bekerja sama lagi—entah suka atau tidak.
“Keira, kamu sudah siap buat ulangan Matematika besok?” tanyaku sambil meletakkan tas di samping kursi. Aku mencoba mengalihkan perhatian dari tumpukan tugas yang sudah menunggu untuk diselesaikan.
Keira melirikku tanpa mengangkat wajahnya. “Siapa yang bilang aku butuh persiapan? Matematika kan gampang.” Jawabannya terdengar santai, tapi aku bisa melihat sedikit cemas di sudut matanya.
Aku tertawa pelan. “Keira, kamu selalu bilang begitu, tapi minggu lalu aja kamu hampir minta jawabannya dari aku,” kataku, sambil berusaha membuat suasana lebih ringan.
Keira mendengus dan memutar matanya. “Aku minta jawabannya karena kamu satu-satunya yang ngerti soal itu, Arel,” jawabnya, lalu menambahkan, “Dan kamu juga nggak bisa bohong, kan? Kamu pernah ngebantu aku.”
Aku mengangguk setuju, meskipun ada sedikit rasa canggung saat membicarakan hal itu. “Iya, tapi cuma buat bantu sedikit kok, nggak sepenuhnya.” Aku lalu menambahkan, “Jadi, kamu bener-bener nggak khawatir sama ulangan ini?”
Keira menatapku sejenak, lalu menggeleng. “Nggak, aku cuma nggak suka kalau harus ngulang-ngulang pelajaran, itu aja. Aku lebih suka belajar hal yang baru, daripada yang udah pernah aku pelajarin.”
Aku tersenyum. “Bisa juga dibilang kamu tipe orang yang nggak sabaran, ya?”
Keira tersenyum tipis, “Ya, bisa dibilang gitu.” Tapi kemudian, tatapannya berubah serius. “Arel… ngomong-ngomong soal tugas, aku mau ngomong sesuatu.”
Aku sedikit terkejut, karena Keira biasanya nggak begitu serius dalam mengungkapkan sesuatu, apalagi setelah kejadian kemarin yang membuat kami jadi lebih terbuka satu sama lain. “Apa?” tanyaku, berusaha untuk terdengar santai, padahal ada rasa penasaran yang cukup besar.
“Jadi gini… Aku pikir, kita berdua harus lebih sering ngerjain hal-hal bareng, nggak cuma tugas sekolah. Aku nggak mau kita cuma saling ngerti saat tugas doang, Arel,” kata Keira, nadanya sedikit berbeda dari biasanya.
Aku menatapnya dengan kebingunganku. “Maksud kamu apa, Keira?”
“Ya, maksud aku… kita harus punya lebih banyak waktu buat ngobrol, atau mungkin ngelakuin sesuatu bareng, bukan cuma nyari jawaban tugas doang,” jelasnya, seolah-olah dia sedang berusaha membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan teman sekelas.
Aku terdiam sejenak, merasa bingung dengan pernyataan Keira. Aku nggak bisa langsung tahu apa yang dia maksud. Tapi ada sesuatu yang aneh menggelitik di dalam diriku—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
“Keira, kamu maksudnya apa? Apa kamu pengen kita jadi teman yang lebih dekat atau…?” Aku berhenti sejenak, mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat.
Keira menatapku dengan tatapan serius, seakan-akan dia ingin memastikan aku memahami apa yang sedang dia rasakan. “Aku cuma pengen kita nggak cuma saling ngerti di kelas atau saat ada tugas aja. Aku merasa kalau kita bisa lebih deket, kita bisa belajar banyak hal dari satu sama lain, Arel.”
Aku merasa sedikit gugup, ada semacam ketegangan di udara. “Jadi kamu… maksudnya, kita harus lebih sering hangout atau…?”
Keira tersenyum kecil. “Iya, bisa dibilang gitu. Tapi nggak cuma itu. Aku mau kita bisa ngobrol tentang apa aja, bahkan hal-hal yang nggak ada hubungannya sama tugas sekolah.”
Aku mengangguk, meskipun aku masih merasa bingung dengan semua yang sedang dia katakan. “Aku nggak keberatan sih. Kita udah lebih deket dari sebelumnya, kan?”
Keira tertawa kecil. “Ya, setidaknya kita udah nggak ribut tiap hari soal tugas.” Kemudian, dia menambahkan dengan nada lebih serius, “Arel, aku cuma nggak mau hubungan kita cuma segedar tugas aja. Aku pengen lebih.”
Ada keheningan singkat antara kami berdua, dan aku merasakan betapa kata-katanya menggantung di udara, menciptakan semacam ruang kosong yang penuh dengan kemungkinan. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa gugup dan sedikit cemas. Apa ini berarti sesuatu lebih dari sekadar pertemanan?
Namun, aku hanya tersenyum canggung. “Kita lihat aja nanti, Keira. Yang penting, kita selesain tugas ini dulu, ya?” jawabku, mencoba untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Keira mengangguk, meskipun aku bisa melihat senyumnya yang agak ragu. “Oke, ayo lanjut.”
Kami pun melanjutkan pekerjaan kami, meskipun ada rasa yang sedikit berbeda di antara kami. Keira, yang biasanya begitu ceria dan tak terduga, kini terasa lebih berhati-hati. Aku juga, entah kenapa, merasa ada sesuatu yang mulai berkembang antara kami—sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.
Hari itu, saat kami selesai dengan tugas, Keira memberiku senyum yang lebih manis daripada biasanya, dan aku tahu ada sesuatu yang masih belum terungkap di antara kami. Sesuatu yang mungkin saja akan berubah dalam waktu dekat.
Tapi untuk saat ini, aku cuma berharap bisa melalui hari demi hari, tanpa terlalu memikirkan semua yang belum aku pahami.
Awal Baru dan Langkah yang Pasti
Hari terakhir ujian semester tiba, dan Keira terlihat berbeda. Kali ini, dia tidak tampak santai seperti biasanya. Di kelas, dia duduk dengan lebih serius, menatap soal-soal ujian seolah mencoba mencari arti tersembunyi di balik angka-angka rumit. Aku bisa melihat bagaimana dia berusaha keras untuk tetap tenang meskipun matanya kadang berkelana ke arahku. Sementara aku sendiri, jujur saja, lebih khawatir tentang apakah aku bisa menyelesaikan ujian dengan baik daripada memikirkan tentang hubungan kami.
Beberapa hari sebelum ujian, Keira sempat mengajakku untuk makan siang bersama setelah sekolah. Kami duduk di kafe kecil dekat sekolah, menikmati makanan ringan sembari berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan sekolah. Itu adalah pertama kalinya kami benar-benar berbicara tanpa tekanan tugas atau ujian.
“Arel, gimana kalau kita jalan-jalan ke taman minggu depan?” Keira tiba-tiba bertanya saat kami menikmati es krim berdua.
Aku menatapnya, bingung sekaligus tertarik dengan ide itu. “Taman? Maksud kamu, cuma berdua aja?”
Keira menatapku dengan tatapan serius, tapi matanya tetap berbinar. “Iya, cuma kita berdua. Aku rasa kita butuh waktu buat lebih saling ngerti tanpa ada gangguan apapun.”
Aku merasakan sedikit kegugupan mengalir di dalam diriku. Tentu saja, aku ingin menghabiskan waktu bersamanya, tapi entah kenapa ada keraguan yang mengganjal di hati. “Keira, kamu yakin? Kita udah cukup sering habisin waktu bareng di sekolah, kok…”
Keira tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala. “Gak, Arel. Yang aku maksud itu waktu yang bener-bener buat kita, bukan sekedar di kelas atau ngerjain tugas. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu, tentang segala hal yang kamu suka, dan apa yang ada di dalam kepalamu.”
Aku terdiam. Rasanya kalimat itu menggetarkan lebih dari yang aku kira. Keira tidak hanya bicara soal waktu bersama, tapi juga tentang saling mengenal lebih dalam. Rasanya ini bukan sekedar keinginan sesaat, tapi keinginan untuk benar-benar mengerti satu sama lain.
“Aku nggak tahu, Keira,” kataku pelan, tapi kali ini, aku merasa ada rasa yang lebih tulus mengalir dari dalam diriku. “Aku… aku takut kalau nanti kita malah jadi aneh-aneh, ya nggak?”
Keira menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Tapi kalau nggak dicoba, gimana kita tahu, kan?” Dia menyenderkan punggung ke kursi, memandangku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Arel, kadang kita cuma butuh melangkah untuk tahu di mana kita bisa berada.”
Aku merasa kalimat itu seperti pintu yang terbuka, mengundangku untuk melangkah masuk tanpa takut. Kami sudah cukup lama berada di jalur yang sama, mengerjakan tugas, berbicara tentang hal-hal kecil, tapi kini ada lebih dari itu. Ada kemungkinan yang belum pernah kami bicarakan sebelumnya—tentang lebih dari sekadar teman.
Beberapa hari kemudian, setelah ujian selesai, aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke taman bersama Keira, tepat seperti yang dia usulkan. Taman itu tidak jauh dari sekolah, dan suasananya tenang, seakan menunggu untuk menjadi saksi dari percakapan yang lebih dalam.
Kami berjalan berdampingan, sesekali tertawa kecil karena ada beberapa orang yang kami kenal di jalan, namun di antara kami berdua, ada semacam keheningan yang penuh arti. Keira berjalan dengan langkah ringan, sesekali melihat ke arahku dengan senyum yang aku mulai terbiasa lihat.
“Arel,” katanya tiba-tiba, berhenti di bawah pohon besar, “aku cuma ingin bilang terima kasih.”
Aku terkejut. “Untuk apa?”
“Untuk bersedia jadi teman yang lebih dari sekadar teman,” jawabnya, memandangku dengan mata yang penuh makna. “Aku tahu mungkin kita nggak bisa langsung jadi sesuatu yang lebih, tapi aku cuma ingin tahu kalau kita bisa berjalan bareng tanpa takut.”
Aku menatapnya, merasakan betapa kata-katanya menyentuh hati. Keira memang bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaannya, tapi saat ini, semuanya terasa begitu jelas. “Keira, aku nggak tahu apakah aku bisa jadi lebih dari teman buat kamu, tapi aku janji, aku akan ada. Kita mulai dari sini aja dulu,” jawabku, merasa ada kelegaan dalam setiap kata yang keluar.
Keira tersenyum lebar, senyum yang terasa begitu tulus, seperti beban yang akhirnya terlepas dari pundaknya. “Itu sudah cukup buat aku, Arel,” katanya, lalu melanjutkan berjalan perlahan.
Aku mengikutinya, langkah kami kini terasa lebih ringan. Mungkin kami belum tahu apa yang akan datang, tapi setidaknya, untuk saat ini, kami tahu bahwa kami berada di jalur yang sama—menyusuri jalan yang penuh dengan kemungkinan, tanpa takut melangkah lebih jauh.
Dan di sinilah semuanya dimulai. Di taman ini, di bawah pohon besar yang menjadi saksi perasaan yang baru berkembang, kami mulai belajar tentang arti dari persahabatan, kepercayaan, dan mungkin, cinta. Aku tahu ini bukan akhir, tetapi langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang tak bisa dipahami sepenuhnya dalam sekejap. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk melangkah bersama Keira, entah kemana arah itu membawa kami.
Jadi, gimana? Cinta itu emang nggak bisa diprediksi, kan? Tiba-tiba aja bisa muncul di tempat yang paling nggak terduga, bahkan di tengah tugas-tugas SMK yang seabrek. Arel dan Keira mungkin masih baru banget mulai, tapi siapa tahu kan, cerita mereka bakal berkembang jadi sesuatu yang jauh lebih seru?
Kadang, hal-hal yang simpel justru bikin kita lebih tahu tentang diri kita sendiri dan orang lain. Nah, buat kamu yang masih bingung tentang cinta, jangan khawatir. Terkadang, yang kamu butuhin cuma satu langkah buat nyoba dan lihat ke mana arah langkah itu bawa. Siapa tahu, kamu dan ‘dia’ bakal nemuin jalan yang lebih menarik dari yang kamu kira.