Cinta Berawal dari Pramuka: Kisah Romantis di Tengah Perkemahan

Posted on

Jadi, bayangkan kamu lagi di perkemahan pramuka, di mana tenda-tenda berjejer, api unggun berkelap-kelip, dan suara tawa teman-teman mengisi udara. Di sinilah semuanya dimulai—bukan hanya tentang tali, simpul, atau ketrampilan bertahan hidup, tapi juga tentang cinta yang tumbuh di antara seragam cokelat dan sepatu bot.

Siapa sangka, di tengah kegiatan seru dan petualangan, hati bisa terikat lebih erat daripada simpul yang kita buat? Yuk, ikuti kisah Naura dan Brahma yang bakal bikin kamu percaya bahwa cinta bisa datang dari mana saja, bahkan dari perkemahan pramuka!

 

Kisah Romantis di Tengah Perkemahan

Kilau Api Unggun Pertama

Suasana perkemahan malam itu terasa berbeda. Sejak matahari terbenam di balik pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, hawa dingin mulai menyelimuti, namun kehangatan dari api unggun yang menyala di tengah lapangan menyeimbangkan segalanya. Nyala apinya memantul di wajah-wajah peserta pramuka yang duduk melingkar, sementara suara tawa, tepuk tangan, dan nyanyian khas pramuka memenuhi udara. Aroma kayu terbakar menguar, berpadu dengan aroma tanah basah yang baru tersentuh embun malam.

Naura duduk di tepi lingkaran, sedikit menjauh dari kerumunan yang tampak begitu asyik. Matanya tidak fokus pada nyala api di tengah lapangan, tapi lebih pada sosok seseorang di sisi lain lingkaran. Brahma. Ia duduk di sana, bercanda dengan teman-temannya, terlihat begitu nyaman dan menikmati malam. Dengan seragam pramukanya yang masih rapi meski sudah seharian beraktivitas, dia terlihat seperti pusat perhatian.

Sebenarnya, Naura bukanlah orang yang suka menarik perhatian. Sejak awal, ia memang lebih memilih menikmati suasana dalam kesunyian, memerhatikan hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan orang lain. Namun, malam itu, pikirannya justru dipenuhi oleh satu hal: Brahma. Sosok ketua regu yang selama ini hanya ia perhatikan dari kejauhan.

“Kok sendirian, Naura?” Suara hangat itu tiba-tiba terdengar, membuatnya tersentak kecil. Dia menoleh dan mendapati Brahma berdiri di sampingnya, senyum ramah terpampang di wajahnya.

Naura mencoba menenangkan diri, meski jantungnya terasa berdetak lebih cepat. “Eh, aku cuma… menikmati malam,” jawabnya pelan, sedikit canggung.

Brahma lalu duduk di sebelahnya tanpa ragu, masih dengan senyumnya yang menenangkan. “Aku lihat kamu sering sendiri, suka menyendiri, ya?”

Naura hanya mengangguk, merasa sedikit aneh dengan arah pembicaraan ini. “Iya, aku lebih suka menikmati suasana daripada ramai-ramai.”

Brahma mengangguk mengerti. “Kadang aku juga gitu, sih. Tapi, kalau di pramuka, kita belajar untuk saling dukung, kan? Apalagi dalam regu, kita harus kuat sebagai tim.”

Naura tersenyum kecil, meski masih merasa canggung. Brahma, seseorang yang jarang ia ajak bicara, kini duduk di sampingnya, seolah mereka sudah lama akrab. “Iya, benar juga,” jawab Naura, mencoba terdengar lebih santai.

Sejenak, hening menyelimuti mereka. Hanya suara riuh dari api unggun dan nyanyian teman-teman mereka yang terdengar di sekeliling. Naura tidak tahu harus berkata apa. Tapi, sebelum kebingungannya semakin berlanjut, Brahma kembali membuka pembicaraan.

“Jadi, kenapa kamu ikut pramuka?” tanyanya sambil menatap api unggun di depannya.

Naura terdiam sejenak, berpikir. “Aku sebenarnya nggak punya alasan khusus. Dulu, aku ikut karena disuruh orang tua. Tapi lama-lama aku mulai suka. Menyenangkan juga, bisa belajar banyak hal di sini.”

Brahma mengangguk pelan, tampak memikirkan jawabannya. “Aku juga begitu. Awalnya ikut pramuka karena ayahku dulu sangat aktif di sini. Tapi sekarang, aku merasa ada sesuatu yang bikin aku terus bertahan. Alam, tantangan, persahabatan… semuanya terasa lebih bermakna.”

Mendengar jawaban Brahma, Naura merasa ada kedekatan yang tak terduga. Ternyata, di balik sosoknya yang selalu terlihat kuat dan mandiri, Brahma juga punya sisi yang lebih dalam. Mereka melanjutkan percakapan, berbicara tentang pengalaman mereka selama di pramuka, tantangan-tantangan yang dihadapi, dan bagaimana mereka tumbuh dari setiap pelajaran yang didapat.

Malam semakin larut, dan suara di sekitar mereka mulai mereda. Peserta pramuka yang tadi riuh kini satu per satu beranjak ke tenda masing-masing, meninggalkan lingkaran api unggun yang kini hanya menyisakan beberapa bara merah. Hawa dingin semakin menusuk, tapi Naura merasa hangat. Tidak hanya karena api yang masih menyala kecil, tapi karena percakapan dengan Brahma yang tidak disangka-sangka.

“Aku nggak nyangka kita bisa ngobrol sejauh ini,” kata Naura pelan, mengintip ke arah Brahma yang duduk santai di sampingnya.

Brahma tertawa kecil, suara tawanya terdengar tulus. “Aku juga. Tapi kadang, obrolan yang nggak direncanakan malah jadi yang paling menarik, kan?”

Naura mengangguk setuju. Mungkin benar apa yang dikatakan Brahma. Selama ini, dia selalu merasa terlalu jauh dari orang-orang seperti Brahma—orang yang selalu tampak berani, berwibawa, dan bisa mengendalikan situasi. Tapi malam ini, ia melihat sisi yang berbeda. Sisi yang lebih manusiawi, lebih hangat, dan lebih dekat.

“Kamu tahu nggak,” lanjut Brahma tiba-tiba, suaranya sedikit lebih pelan, “Aku selalu perhatikan kamu. Kamu mungkin nggak nyadar, tapi aku sering lihat kamu melakukan hal-hal kecil yang menurutku keren. Kamu selalu tenang, dan nggak banyak bicara, tapi kalau soal kerja sama, kamu salah satu yang terbaik di regu kita.”

Mendengar kata-kata itu, pipi Naura memerah. Brahma? Memperhatikannya? Rasanya tak percaya.

“Aku… aku nggak nyangka kamu perhatikan hal kayak gitu,” Naura balas dengan suara lirih, malu-malu.

“Kenapa nggak? Menurutku, orang yang diam-diam bisa bekerja dengan baik itu luar biasa. Kamu nggak perlu banyak ngomong buat bikin orang tahu kalau kamu bisa diandalkan,” jawab Brahma dengan senyuman kecil.

Malam itu, bagi Naura, adalah malam yang tak pernah ia duga. Percakapan dengan Brahma yang tadinya terasa canggung, berlanjut menjadi sesuatu yang lebih dalam. Dan meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, satu hal yang pasti: ada sesuatu yang berbeda di antara mereka sekarang. Sesuatu yang baru saja mulai tumbuh, seperti bara api unggun yang masih menyala, menunggu untuk ditiup agar lebih besar.

Namun malam itu, api hanya membara perlahan, menunggu waktu yang tepat untuk menyala terang. Dan Naura, dengan perasaan yang tak karuan, akhirnya memutuskan untuk berdiri.

“Aku rasa aku harus masuk tenda. Udah larut,” katanya, sambil mencoba tersenyum.

Brahma mengangguk, lalu berdiri juga. “Ya, besok masih banyak kegiatan. Aku juga harus istirahat.”

Naura mengucapkan selamat malam, lalu berjalan pelan menuju tenda. Namun sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke belakang, melihat Brahma yang masih berdiri di sana, menatap api unggun yang mulai padam.

Dan untuk pertama kalinya, Naura merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin, malam ini bukan hanya soal api unggun yang menyala. Mungkin ada api lain yang mulai berkobar di dalam hatinya—dan siapa tahu, mungkin saja itu juga dirasakan oleh Brahma.

Malam itu, Naura tidur dengan senyum kecil di wajahnya, menanti apa yang akan datang esok hari.

 

Tali Temali dan Hati yang Terikat

Pagi datang lebih cepat dari yang Naura duga. Saat ia membuka matanya, sinar matahari sudah menyusup masuk ke dalam tenda, membangunkan semua orang dengan hangatnya. Suara ramai dari luar sudah terdengar—teman-temannya sedang bersiap untuk aktivitas pagi. Semangat khas pramuka yang tak pernah padam sejak hari pertama perkemahan.

Dengan mata masih mengantuk, Naura merapikan tenda dan keluar, menyesuaikan diri dengan terangnya cahaya pagi. Udara sejuk menyambutnya, aroma hutan pagi terasa segar. Di kejauhan, terlihat Brahma bersama regunya, tengah bercanda dan tertawa seperti biasa. Seolah malam tadi tak ada yang berubah, Brahma kembali ke perannya sebagai ketua regu yang berwibawa dan penuh energi.

Namun, Naura merasa ada yang berbeda. Meskipun tak ada yang aneh dalam sikap Brahma, percakapan mereka semalam terus menggelayuti pikirannya. Kata-kata Brahma, perhatian kecil yang tak ia sadari selama ini—semua itu seperti benang yang kini terikat di hatinya. Tapi, ia berusaha bersikap biasa. Tidak ingin berlebihan, tidak ingin orang lain curiga.

“Naura, ayo cepat! Kita mau mulai lomba tali temali!” suara dari Nina, salah satu teman regunya, membuyarkan lamunannya. Naura bergegas menyusul ke lapangan di mana semua regu sudah berkumpul. Pagi ini, mereka akan bersaing dalam lomba membuat simpul dan tali-temali.

Setiap orang dari regunya mendapat tugas masing-masing. Naura, seperti biasa, ditugaskan membuat simpul dasar. Dia memang ahli dalam hal itu—gerakan tangannya selalu cepat dan tepat, membuat simpul dengan rapi tanpa kesalahan. Dan saat perlombaan dimulai, fokusnya sepenuhnya tertuju pada tali di tangannya.

Namun, sesekali, tanpa sadar, matanya melirik ke arah regu Brahma di seberang. Brahma tampak serius mengarahkan teman-temannya, memastikan semua simpul dibuat dengan benar. Tatapannya sekali dua kali bertemu dengan tatapan Naura, dan meskipun tak ada kata yang terucap, senyuman tipis Brahma terasa seperti rahasia kecil di antara mereka.

“Konsentrasi, Naura!” Nina mengingatkan dengan nada bercanda, menyadari bahwa Naura sempat melamun.

Naura mengangguk cepat, kembali fokus pada tali di tangannya. Tapi, sejujurnya, pikirannya tetap berlari-lari memikirkan Brahma. Apa semalam benar-benar berarti sesuatu bagi Brahma juga? Atau hanya baginya?

Perlombaan berakhir lebih cepat dari yang diduga, dan regu Naura memenangkan salah satu kategori. Suasana gembira menyelimuti mereka semua, tepuk tangan dan sorak sorai bergema di lapangan. Brahma dan regunya juga menang di kategori lain, dan dalam suasana itu, keduanya kembali bertemu pandang, meski hanya sekilas. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang tak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Setelah perlombaan selesai, semua peserta diberi waktu istirahat sebelum sesi kegiatan berikutnya. Naura memilih duduk di tepi lapangan, menikmati sejuknya angin yang bertiup pelan, ketika tiba-tiba, suara langkah mendekat.

“Kamu hebat tadi,” Brahma berdiri di depannya, senyuman khasnya menghiasi wajah.

Naura mendongak, terkejut sekaligus senang melihat Brahma mendekatinya. “Oh, kamu juga. Tim kamu kelihatan solid tadi.”

Brahma tertawa kecil, lalu duduk di sampingnya. “Ya, kalau nggak solid, kita bakal kalah jauh. Tapi aku lihat kamu nggak cuma fokus di simpul. Sesekali kayaknya kamu melirik regu kami.”

Naura terkejut mendengar komentar itu, pipinya sedikit memerah. “Eh, nggak juga… aku cuma… ya, iseng aja lihat-lihat.”

Brahma mengangguk, terlihat berpikir sejenak. “Aku ngerti kok. Tadi juga aku lihat kamu beberapa kali lirik-lirik,” katanya sambil tersenyum, menggoda.

Naura tersipu malu, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum balik. “Nggak kok, aku serius tadi,” ujarnya, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.

Suasana di antara mereka kembali terasa ringan, seperti ada tarikan yang tidak bisa dijelaskan, tapi sangat jelas terasa. Naura merasakan debaran halus di dadanya. Percakapan dengan Brahma, meski sederhana, terasa begitu berbeda. Setiap kalimat yang terucap seakan menyambung tali-tali kecil yang semakin mengikat hati mereka tanpa disadari.

“Naura,” panggil Brahma tiba-tiba, membuat Naura menoleh.

“Iya?”

“Kamu tahu kan, aku sebenarnya sering lihat kamu bekerja diam-diam di regu kamu. Kamu mungkin nggak selalu di depan, tapi kamu selalu bisa diandalkan. Itu keren.”

Kata-kata Brahma lagi-lagi menyentuh hati Naura. Meskipun sederhana, ada ketulusan dalam setiap kalimat yang diucapkannya. “Terima kasih,” jawab Naura pelan, “Kamu juga. Jadi ketua regu itu nggak gampang.”

Mereka berdua tertawa kecil, merasakan kesamaan dalam pengalaman mereka sebagai bagian dari pramuka. Hanya saja, Brahma lebih sering menjadi pusat perhatian, sementara Naura lebih memilih untuk tetap di belakang layar. Tapi entah bagaimana, mereka saling melengkapi.

Suasana di sekitar mereka mulai ramai lagi. Teman-teman pramuka yang tadinya beristirahat mulai berkumpul untuk kegiatan berikutnya. Brahma berdiri, merenggangkan ototnya, lalu mengulurkan tangan ke Naura.

“Ayo, waktunya kerja lagi. Siapa tahu, nanti kita bisa ngobrol lagi setelah kegiatan selesai.”

Naura menerima uluran tangan itu dan berdiri. Sentuhan singkat tangan Brahma meninggalkan jejak hangat yang sulit diabaikan. “Ya, siapa tahu,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

Kegiatan pramuka kembali berlangsung dengan penuh semangat. Kali ini, mereka harus membuat tenda, sebuah uji keterampilan yang melibatkan kerja sama tim dan koordinasi yang baik. Naura kembali fokus pada tugasnya, bekerja dengan teman-temannya, namun pikiran tentang Brahma terus mengalir di benaknya.

Ketika sesi mendirikan tenda hampir selesai, Naura tak sengaja mendengar percakapan antara Brahma dan salah satu teman pramukanya.

“Brahma, gimana kalau nanti malam kita buat api unggun lagi? Biar suasananya lebih seru,” kata salah seorang temannya dengan semangat.

Brahma tersenyum sambil mengangguk. “Boleh, nanti kita atur. Aku rasa malam nanti akan lebih seru kalau ada api unggun.”

Naura tersenyum kecil mendengar itu. Pikiran tentang api unggun semalam kembali membanjiri pikirannya. Mungkinkah malam ini ada lagi momen seperti itu? Mungkin akan ada percakapan baru, atau bahkan sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa.

Namun, dia cepat-cepat menepis pikirannya. Tidak ingin berharap terlalu banyak, tapi juga tidak bisa mengabaikan harapan kecil yang mulai tumbuh di hatinya.

Ketika hari mulai sore, tenda-tenda akhirnya berdiri kokoh. Semua peserta pramuka beristirahat sebentar sebelum bersiap untuk malam terakhir perkemahan. Naura, yang biasanya tidak terlalu memedulikan hal seperti ini, merasakan kegelisahan yang aneh di hatinya. Malam ini, apakah akan ada sesuatu yang berubah? Atau, apakah semuanya akan tetap seperti biasa?

Hanya waktu yang akan menjawab.

 

Api Unggun yang Berbicara dalam Diam

Malam itu datang dengan cepat. Seperti yang direncanakan, api unggun sudah dinyalakan di tengah lapangan. Suara api yang berderak, bercampur dengan tawa riang para peserta pramuka, menciptakan suasana hangat yang memenuhi udara malam. Bintang-bintang mulai muncul, berkelip di langit gelap, seolah ikut meramaikan malam terakhir perkemahan ini.

Naura duduk bersama regunya, sesekali ikut tertawa mendengar lelucon teman-temannya, namun pikirannya melayang jauh. Matanya tak bisa menahan untuk mencari sosok Brahma, yang duduk tidak terlalu jauh dari kelompoknya. Di bawah sinar api unggun, wajah Brahma terlihat lebih lembut, meskipun masih ada jejak ketegasan dari sosok ketua regu yang penuh tanggung jawab itu. Naura tersenyum kecil, tanpa sadar membayangkan bagaimana pembicaraan mereka tadi siang masih terasa hangat dalam pikirannya.

Namun, detik berikutnya, Brahma sepertinya merasakan tatapannya dan menoleh. Tatapan mereka bertemu, dan meskipun jarak di antara mereka terpisah oleh beberapa regu, Naura merasa ada jarak yang jauh lebih dekat di dalam hatinya. Dia tersipu, tapi kali ini tak ingin berpaling. Brahma membalas senyuman itu, lalu tanpa ragu, bangkit dari tempat duduknya.

Naura menahan napas saat Brahma berjalan mendekat, langkahnya santai namun terarah. Sesaat, Naura merasa seluruh mata di sekitar api unggun mungkin ikut memperhatikan mereka, tapi Brahma tampak tak peduli. Dia berhenti tepat di hadapan Naura.

“Kamu kelihatan menikmati malam ini,” Brahma membuka percakapan, suaranya terdengar akrab, namun dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Naura menatap api sejenak sebelum menjawab. “Iya, suasananya tenang. Rasanya beda, ya, malam ini.”

Brahma mengangguk pelan, matanya juga tertuju pada nyala api. “Iya, mungkin karena ini malam terakhir kita di sini.”

Suasana di antara mereka berubah. Api unggun yang menyala terang di tengah malam hutan seolah menjadi latar bagi obrolan kecil yang mengalir, tapi terasa dalam. Brahma duduk di samping Naura, jarak mereka kini hanya beberapa jengkal. Meski begitu, kehangatan yang terasa di antara mereka lebih dari sekadar jarak fisik.

“Aku masih ingat obrolan kita semalam,” kata Brahma tiba-tiba, membuat Naura menoleh. “Tentang caramu ngelihat hal-hal kecil.”

Naura tersenyum, agak gugup. “Iya, aku juga nggak nyangka kamu bakal ingat hal sekecil itu.”

Brahma menoleh, kali ini tatapannya lebih tajam, tapi bukan karena marah atau terganggu. Ada sesuatu di balik tatapan itu yang Naura tak bisa pahami sepenuhnya. “Hal kecil itu kadang justru yang paling berkesan, Naura.”

Kalimat itu membuat jantung Naura berdebar kencang. Brahma menunduk, seolah berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Kamu pernah mikir nggak, kenapa kita bisa lebih sering ketemu di sini, padahal di sekolah kita jarang banget ngobrol?”

Naura terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang benar, meskipun mereka satu sekolah, Naura dan Brahma jarang berinteraksi. Mungkin karena kesibukan masing-masing, atau mungkin karena mereka berada di lingkungan sosial yang berbeda. Tapi selama perkemahan ini, segalanya terasa berbeda.

“Aku nggak pernah mikir soal itu sih,” Naura akhirnya menjawab, meskipun pikirannya berputar, berusaha memahami arah percakapan ini.

Brahma mengangguk pelan. “Aku juga nggak. Tapi selama di sini… aku mulai mikir. Mungkin, di luar semua kesibukan kita, ada sesuatu yang ngebawa kita ketemu lagi.”

Naura menahan napas mendengar kata-kata Brahma. Apa maksudnya? Apakah Brahma merasa hal yang sama? Atau ini hanya sebuah percakapan yang kebetulan lebih mendalam dari biasanya? Dia tidak tahu harus menafsirkan bagaimana, tapi suasana di antara mereka membuat segala sesuatu terasa lebih serius.

“Naura,” Brahma memecah keheningan. “Kamu ngerasa nggak, ada sesuatu yang berubah di antara kita sejak perkemahan ini mulai?”

Pertanyaan itu membuat jantung Naura kembali berdegup kencang. Apakah Brahma merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan? Naura merasa seluruh dunia mendadak sunyi, hanya ada mereka berdua di dekat api unggun yang membara.

Naura menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Mungkin. Aku nggak tahu. Kamu sendiri gimana?”

Brahma menatap Naura lebih lama, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkannya. “Aku… ngerasa lebih dekat sama kamu sekarang. Nggak cuma sebagai teman pramuka, tapi lebih dari itu.”

Mendengar pengakuan itu, Naura merasa campur aduk. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, namun di sisi lain, ada ketakutan juga. Apakah dia siap mendengar ini? Apa yang akan terjadi setelah malam ini?

“Aku juga merasa begitu,” jawab Naura jujur, suaranya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku nggak tahu harus gimana.”

Mendengar itu, Brahma tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, kita nggak harus buru-buru. Cuma… aku pengen kamu tahu, kalau aku ngelihat kamu nggak cuma sebagai bagian dari regu pramuka.”

Kata-kata Brahma menggantung di udara, dan Naura merasa suasana semakin tegang namun dalam cara yang baik. Ada rasa lega dan bahagia yang tiba-tiba meluap di dadanya. Selama ini, perasaan yang mungkin dia sendiri tidak sadari ternyata juga dirasakan oleh Brahma.

Api unggun terus menyala, menghangatkan malam, sementara Naura dan Brahma terdiam dalam kebersamaan yang baru mereka temukan. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan malam itu. Hanya kehangatan yang tumbuh di antara mereka, tanpa perlu dijelaskan dengan kalimat panjang.

Malam semakin larut, dan satu per satu peserta mulai meninggalkan api unggun untuk beristirahat di tenda masing-masing. Brahma berdiri, menawarkan tangannya pada Naura sekali lagi, seperti yang ia lakukan tadi siang.

“Yuk, kita balik. Besok masih ada penutupan sebelum kita pulang.”

Naura menerima uluran tangan itu tanpa ragu. Kali ini, genggaman tangan Brahma terasa lebih kuat, lebih penuh arti. Mereka berjalan kembali ke tenda masing-masing, meninggalkan api unggun yang mulai meredup, namun membawa kehangatan baru yang akan terus menyala di hati mereka.

Malam itu, Naura tahu bahwa perkemahan ini tak hanya meninggalkan kenangan pramuka, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih berharga—perasaan yang baru mulai tumbuh di antara mereka.

 

Menggenggam Takdir di Ujung Tali

Pagi terakhir perkemahan datang dengan cepat. Embun masih membasahi rerumputan saat seluruh peserta bergegas menyelesaikan kegiatan akhir mereka: upacara penutupan dan pembongkaran tenda. Suasana di lapangan terasa campur aduk—antara kelelahan, kelegaan, dan sedih karena harus segera kembali ke rutinitas. Naura berdiri di antara regunya, matanya sesekali melirik ke arah Brahma yang sedang berbicara dengan pembina.

Pikirannya masih penuh dengan percakapan mereka malam sebelumnya di dekat api unggun. Naura tak bisa berhenti memutar ulang kata-kata Brahma dalam benaknya. Bagaimana mungkin selama ini mereka begitu jauh di sekolah, tapi bisa merasa sedekat itu dalam waktu singkat di perkemahan ini? Ada sesuatu yang berbeda, dan Naura mulai memahami bahwa hubungan mereka tidak lagi sebatas rekan pramuka. Namun, meski perasaan mereka jelas saling tertarik, ada realitas yang harus mereka hadapi setelah perkemahan ini berakhir.

Setelah upacara penutupan selesai, para peserta mulai sibuk membongkar tenda dan menyiapkan barang-barang untuk dibawa pulang. Naura dan regunya bekerja cepat, terlatih dari latihan berulang selama kegiatan pramuka sebelumnya. Sementara tangannya sibuk merapikan tenda, matanya terus mengawasi Brahma yang tidak jauh darinya. Dia berharap, mungkin ada kesempatan lain untuk berbicara sebelum mereka berpisah.

Dan kesempatan itu tiba lebih cepat dari yang dia duga.

Saat tenda sudah hampir selesai dibongkar, Brahma datang menghampirinya. “Aku bantuin, ya,” katanya dengan senyum khas yang selalu membuat hati Naura sedikit berdebar.

Naura mengangguk, membiarkan Brahma mengambil alih beberapa tali dan memasukkannya ke dalam tas perlengkapan. Meski mereka bekerja tanpa banyak bicara, kehadiran Brahma di sisinya terasa begitu nyaman. Seakan, diam pun sudah cukup.

Tiba-tiba, di tengah kesibukan membongkar, pembina pramuka mengumumkan bahwa akan ada permainan terakhir sebelum mereka pulang. Permainan simpul tali. Peserta dibagi menjadi pasangan, dan masing-masing harus bekerja sama untuk menyelesaikan simpul paling rumit dalam waktu singkat.

Naura dan Brahma dengan alami berpasangan. “Kita pasti bisa,” kata Brahma dengan nada yakin.

Naura tersenyum, merasa aneh karena detak jantungnya meningkat, padahal ini hanya permainan simpul tali yang biasa mereka lakukan. Tapi kali ini berbeda—ini mungkin momen terakhir mereka sebelum kembali ke dunia nyata. Tanpa disadari, Naura berharap simpul ini bisa menggambarkan hubungan mereka, kuat dan tak terputus.

Permainan dimulai. Mereka bekerja dengan cepat, berfokus pada simpul yang harus diselesaikan. Jari-jari Naura bergerak lincah, mengikuti alur tali yang Brahma arahkan. Sesekali mereka bertatapan, tertawa kecil saat simpulnya agak sulit diatur. Tangan mereka bersentuhan beberapa kali, membuat Naura merasa ada kehangatan yang aneh di antara mereka, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar tali yang sedang mereka ikat.

Setelah beberapa menit, simpul akhirnya selesai. “Selesai!” teriak Brahma dengan bangga, mengangkat tangan mereka berdua ke udara.

Mereka berhasil menyelesaikan simpul dengan sempurna, lebih cepat dari pasangan lain. Pembina pramuka menghampiri mereka dan memberikan pujian, namun Naura hampir tidak mendengarkan. Dia hanya bisa merasakan getaran aneh yang datang dari genggaman tangan Brahma, yang belum dilepaskannya sejak tadi.

Ketika permainan berakhir, seluruh peserta mulai bersiap untuk perjalanan pulang. Naura berdiri, menatap lapangan perkemahan yang sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan. Di sana, mereka tertawa, belajar, dan… menemukan sesuatu yang mungkin tidak mereka duga sebelumnya.

Saat bus mulai datang, Brahma mendekati Naura lagi. Wajahnya kali ini lebih serius, meski masih ada senyum kecil di bibirnya.

“Kamu balik sama siapa nanti?” tanya Brahma.

“Aku naik bus sama teman-teman,” jawab Naura sambil mengangkat bahu. “Kamu?”

“Aku sama regu, tapi…” Brahma terdiam sejenak, tatapannya seperti mencari kata yang tepat. “Aku pengen ngobrol lebih banyak sama kamu, Naura. Setelah ini… kita masih bisa ngobrol kan?”

Kalimat itu sederhana, tapi Naura bisa merasakan kedalaman di baliknya. Ini bukan sekadar obrolan biasa. Ada sesuatu yang ingin Brahma katakan, sesuatu yang mungkin sudah lama dia tahan tapi belum sempat terucap.

Naura mengangguk pelan, meski hatinya berdetak lebih cepat. “Tentu. Kita bisa ngobrol kapan aja.”

Brahma tersenyum lebar, kali ini lebih tulus. “Aku seneng dengarnya. Aku kira, setelah perkemahan ini, kita balik kayak dulu—jauh dan jarang ngobrol.”

Naura tertawa kecil. “Ya nggak gitu juga. Kita masih satu sekolah, Brahma.”

“Ya, tapi… beda aja. Di sini aku ngerasa lebih kenal sama kamu, dan aku pengen itu berlanjut.”

Kata-kata Brahma menohok langsung ke hati Naura. Tanpa sadar, dia tersenyum lembut, merasa lega sekaligus senang mendengar itu.

“Aku juga ngerasa gitu,” jawab Naura pelan. “Mungkin ini awal yang baru buat kita.”

Brahma menatapnya, kali ini dengan sorot mata yang lebih tenang dan penuh keyakinan. “Mungkin, ya. Tapi aku yakin kita bisa ngejalanin ini dengan baik. Mulai dari sini, dari simpul yang kita buat bareng.”

Kata-kata Brahma membawa arti yang lebih dalam bagi Naura. Seolah simpul tali yang mereka buat tadi tidak hanya menyatukan benang-benang tali, tetapi juga perasaan mereka berdua. Ada harapan dan keinginan di baliknya, sebuah ikatan yang perlahan mulai terjalin, dan Naura yakin, ikatan itu akan tetap ada meskipun perkemahan ini berakhir.

Bus mereka akhirnya tiba. Naura dan Brahma saling berpandangan untuk terakhir kalinya sebelum naik ke kendaraan masing-masing. Tidak ada kata perpisahan yang diucapkan, hanya sebuah janji yang tergantung di udara, tak terucap namun jelas terasa.

Dan saat bus mulai melaju, meninggalkan perkemahan yang semakin menjauh, Naura tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Ini baru awal dari kisah mereka—sebuah simpul yang kuat, terikat, dan siap dijalani bersama, meski tanpa tahu pasti ke mana arah berikutnya.

Namun, satu hal yang pasti—api unggun mungkin sudah padam, tetapi kehangatannya akan terus terasa di dalam hati mereka, selamanya.

 

Jadi, saat kamu berpikir bahwa cinta itu selalu berawal dari momen yang megah dan dramatis, ingatlah kisah Naura dan Brahma. Terkadang, cinta itu lahir dari simpul-simpul sederhana yang kita buat di tengah tawa, peluh, dan kerja sama.

Mungkin perkemahan ini telah berakhir, tapi cerita mereka baru saja dimulai—sebuah perjalanan yang penuh harapan, tawa, dan tentu saja, cinta yang tak terduga. Jadi, siapkah kamu untuk membuat simpul cintamu sendiri?

Leave a Reply