Daftar Isi
Siapa bilang cinta itu selalu manis? Kadang, cinta itu bikin kita terjebak dalam situasi yang bikin deg-degan! Kenalin, Verra—cewek biasa yang berani jatuh cinta sama bad boy sekolah, Azka.
Dia bukan cuma ganteng, tapi juga punya aura misterius yang bikin banyak orang penasaran. Tapi, di balik senyumnya yang menawan, ada rahasia yang siap mengguncang dunia Verra. Yuk, ikutin perjalanan cinta mereka yang penuh liku dan kejutan ini!
Cinta Bad Boy
Di Balik Tembok yang Dingin
Siang itu, suasana di lorong sekolah terasa sesak. Suara tawa dan obrolan para siswa memenuhi udara, sementara langkah kaki mereka yang tergesa-gesa berderap di lantai marmer yang mengkilap. Verra melangkah perlahan, membiarkan matanya berkelana ke sekeliling, namun fokusnya selalu kembali ke satu sudut—sebuah sudut yang selalu sepi, jauh dari perhatian kebanyakan orang. Di sanalah, di bawah cahaya temaram dari jendela tinggi, Azka berdiri, menyender pada dinding dengan pandangan kosong ke luar.
Verra merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu tentang Azka yang membuat suasana sekitar terasa berhenti. Orang-orang bilang, dia cowok yang harus dihindari. Nggak ada yang mau dekat dengannya, takut terjerumus ke dalam masalah yang seringkali dia bawa. Tapi Verra nggak bisa memungkiri rasa penasaran yang terus menghantui pikirannya. Setiap kali dia melewati lorong itu, matanya seakan-akan selalu tertarik untuk mencuri pandang ke arah Azka.
“Kenapa aku harus kepikiran dia sih?” batin Verra sambil melangkah pelan. Meski tahu rumor-rumor tentang Azka, entah kenapa, dia tak bisa berhenti memperhatikan cowok itu. Mungkin karena Azka berbeda dari yang lain. Bukan cuma penampilannya yang keras—jaket kulit hitam, jeans robek, dan sepatu bot yang berat—tapi lebih pada sikapnya yang selalu tenang, dingin, seolah-olah dia nggak peduli dengan dunia di sekelilingnya.
Verra menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan langkahnya, kali ini lebih mendekati Azka. Mereka sudah seringkali bertemu di lorong ini, tapi nggak pernah sekalipun mereka benar-benar bicara. Mungkin kali ini, dia bisa memulai percakapan, meskipun itu hanya sekadar basa-basi.
Tanpa disadari, jarak di antara mereka semakin dekat. Hanya beberapa meter lagi. Azka masih tak bergeming, matanya tetap tertuju pada jendela, seakan-akan dia memandang sesuatu yang jauh di luar sana.
“Hai.” Suara Verra terdengar pelan, hampir tenggelam oleh suara keramaian di sekitarnya.
Azka menoleh perlahan. Pandangannya bertemu dengan Verra, tapi ekspresinya tetap datar, seperti dinding yang sulit ditembus. “Hai.”
Verra merasa sedikit gugup, tapi dia nggak mau menyerah begitu saja. “Kamu sering di sini ya?” tanyanya, mencoba mengalirkan percakapan.
Azka mengangkat bahu ringan. “Tempat ini tenang. Nggak banyak orang yang ganggu.”
Verra tertawa kecil, meskipun rasa gugupnya belum hilang. “Mungkin itu sebabnya kamu suka di sini.”
Azka tidak langsung menjawab, hanya menatap Verra dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Lalu, dia melirik jam tangannya dan kembali menatap jendela. “Kamu sendiri ngapain di sini? Tempat ini bukan buat kamu.”
Verra merasakan detak jantungnya semakin cepat, tapi dia tetap memberanikan diri untuk menjawab. “Aku cuma… penasaran. Kamu selalu di sini, sendirian. Nggak bosan?”
Azka menghela napas panjang, seolah-olah pertanyaan Verra tidak penting, tapi juga tidak mengganggu. “Bosan? Mungkin. Tapi lebih baik sendirian di sini daripada di tengah orang-orang yang cuma bikin pusing.”
Verra terdiam sejenak, merenungkan jawaban Azka. Kata-katanya terdengar dingin, tapi di balik itu, Verra merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tersembunyi di balik sikap cueknya. “Kamu nggak suka orang lain, ya?”
Azka menatap Verra sekali lagi, kali ini sedikit lebih lama. “Bukan nggak suka. Cuma nggak peduli.”
Verra merasakan dirinya semakin penasaran. Di balik sikap dingin Azka, dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Mungkin ada alasan mengapa dia selalu sendirian, mengapa dia begitu menjauhkan diri dari orang lain. “Kenapa nggak peduli?”
Azka tersenyum tipis, tapi senyum itu nggak membawa kehangatan. “Orang-orang cuma peduli sama diri mereka sendiri. Kalau kamu terlalu dekat, ujung-ujungnya kamu cuma bakal dikecewain.”
Jawaban itu membuat Verra terdiam. Ada rasa sakit yang tersembunyi di balik kata-kata Azka. Dia tahu, cowok ini mungkin sudah banyak melalui hal-hal yang tidak mudah. Dan meskipun Azka berusaha menunjukkan wajah yang tegar dan dingin, Verra bisa merasakan ada luka yang belum sembuh di balik sikapnya.
“Kayaknya nggak semua orang begitu, deh,” kata Verra akhirnya. “Mungkin kamu cuma belum ketemu orang yang peduli sama kamu.”
Azka mendengus pelan. “Kalau pun ada, buat apa? Pada akhirnya semua sama aja.”
Verra nggak tahu harus menjawab apa. Ada bagian dari dirinya yang ingin membantah, ingin memberitahu Azka bahwa dia salah. Tapi, dia juga paham kalau ucapan Azka itu datang dari pengalaman hidupnya sendiri—sesuatu yang nggak bisa dia pahami sepenuhnya. “Mungkin kamu cuma butuh waktu.”
Azka menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. “Waktu nggak akan mengubah apa-apa.”
Verra terdiam lagi. Percakapan mereka mungkin terdengar sederhana, tapi dia bisa merasakan ada jarak yang mulai terjembatani. Setidaknya, Azka nggak langsung mengabaikannya. Itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini.
“Verra,” panggil suara dari kejauhan. Itu Lia, teman dekatnya yang sedang melambai-lambaikan tangan dari ujung lorong. “Ayo cepetan, kelas mau mulai!”
Verra menoleh dan mengangguk, lalu kembali menatap Azka. “Aku harus pergi,” katanya, sambil tersenyum tipis. “Mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi?”
Azka tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sebelum kembali memalingkan wajahnya ke jendela. Namun, sebelum Verra melangkah pergi, dia sempat mendengar suara Azka yang pelan, nyaris seperti gumaman. “Mungkin.”
Verra tersenyum sedikit lebih lebar saat berjalan menuju Lia. Meskipun percakapan itu singkat dan sederhana, dia merasa sudah mencapai sesuatu yang penting—sebuah pintu kecil ke dunia Azka yang tertutup rapat selama ini. Dan, di balik dinding dingin itu, dia yakin ada sisi lain dari Azka yang belum pernah dilihat orang lain.
“Siapa yang kamu ajak ngobrol tadi?” tanya Lia penasaran begitu Verra mendekat.
“Nggak ada. Cuma Azka.”
Lia berhenti sejenak, kaget. “Azka? Serius? Kamu ngobrol sama dia?”
Verra mengangguk sambil tertawa kecil. “Kenapa nggak?”
“Kamu nggak takut? Dia kan…” Lia menggantungkan kata-katanya, seolah takut melanjutkan.
“Dia nggak seburuk yang kamu kira,” jawab Verra tenang. “Cuma… orang belum paham aja.”
Lia masih menatapnya dengan ekspresi kaget, tapi Verra sudah tak peduli. Ada sesuatu tentang Azka yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Dan meskipun itu mungkin berarti memasuki dunia yang penuh risiko, Verra merasa siap untuk melangkah lebih jauh.
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—Azka bukan sekadar bad boy yang semua orang takuti. Ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik sikap dinginnya, dan Verra berniat menemukan apa yang selama ini disembunyikan.
Tatapan di Atas Atap
Hari berikutnya, Verra bangun dengan semangat yang berbeda. Semangat itu datang dari rasa penasaran yang semakin membara untuk memahami Azka. Dia tahu bahwa hari ini dia harus berusaha lebih keras untuk menemukan cara agar bisa berbicara lagi dengannya. Sebuah ide terlintas di benaknya; dia harus pergi ke atap sekolah. Di sanalah tempat favorit Azka, dan mungkin, justru di situlah kesempatan mereka untuk lebih mengenal satu sama lain.
Setelah melewati jam-jam pelajaran yang terasa membosankan, Verra akhirnya berhasil meloloskan diri dari kerumunan dan menuju tangga ke atap. Suara riuh siswa di bawahnya semakin samar saat dia mendaki tangga. Begitu sampai di atas, dia menarik napas dalam-dalam dan menyambut angin sejuk yang bertiup. Pemandangan dari atas sangat menakjubkan—kota ini tampak begitu kecil, seolah semua masalah dan kegelisahan bisa hilang hanya dengan menatap cakrawala.
Dan di sana dia melihatnya. Azka, berdiri di pinggir atap dengan tangan menyelip di saku jaket kulitnya, memandang jauh ke depan, seolah-olah dia mencari sesuatu di ujung cakrawala. Verra merasa jantungnya berdegup kencang. Dia memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi. Bagaimana jika Azka menolaknya lagi? Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan semua keraguan.
“Azka!” serunya, berusaha menyalurkan kepercayaan diri.
Azka menoleh, dan untuk sekejap, wajahnya tampak terkejut. “Verra? Kenapa kamu di sini?” tanyanya, sedikit terkejut tapi tidak marah.
“Aku… hanya ingin lihat pemandangan,” jawabnya sambil berusaha santai, padahal sebenarnya jantungnya berdegup kencang.
Azka melangkah sedikit ke arah Verra, dan untuk pertama kalinya, mereka berdiri cukup dekat, jauh dari kerumunan. “Tempat ini bukan untuk orang lain,” katanya, menegaskan posisi mereka.
“Jadi, tempat ini milikmu?” Verra menyeringai, menginginkan suasana yang lebih ringan.
“Kalau bisa dibilang begitu,” jawab Azka, suaranya datar. “Tapi, kamu bisa tinggal sebentar.”
Verra merasa sedikit beruntung. “Makasih! Aku cuma penasaran dengan tempat ini.”
Azka mengangguk. “Kamu mau lihat ke bawah?” Dia menunjuk ke arah tepi atap, tempat pandangan bisa langsung melihat ke jalanan di bawah.
Verra maju sedikit, menatap ke bawah. “Wow, dari sini semuanya terlihat kecil banget. Semua masalah seolah menghilang.”
Azka berdiri di sampingnya, dan untuk sesaat, mereka berdua terdiam, menikmati pemandangan yang sama. Verra bisa merasakan kedekatan yang aneh di antara mereka, meski Azka tetap terlihat dingin dan tak terjangkau.
“Pernahkah kamu merasa tidak nyaman di antara keramaian?” Verra tiba-tiba bertanya, memecah keheningan.
Azka menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kadang. Tapi lebih baik sendirian. Jadi, tidak perlu memikirkan apa pun.”
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Verra penasaran, menantang pandangan dingin Azka dengan matanya yang penuh rasa ingin tahu. “Kamu tidak ingin punya teman?”
“Tentu aku ingin, tapi teman yang seperti apa? Yang bisa mengerti siapa aku? Rasanya, tidak ada.” Azka menjawab dengan nada jujur, membuat Verra terkesan.
“Tapi aku percaya ada orang-orang di luar sana yang bisa mengerti kamu. Mungkin mereka belum menemukanmu, atau mungkin kamu yang tidak ingin ditemukan,” Verra berkata, berusaha membuka ruang percakapan lebih dalam.
Azka tersenyum tipis. “Kamu ngomong kayak tahu banyak. Tapi kehidupan nyata itu lebih rumit.”
Verra mengangguk, meresapi kata-kata Azka. “Kehidupan memang rumit, tapi bukan berarti kita harus sendirian. Kadang, orang yang kita kira tidak peduli, justru bisa menjadi orang yang paling mendukung.”
“Seperti kamu?” Azka mengangkat alis, seolah mempertanyakan keyakinannya.
“Ya, seperti aku,” jawab Verra tegas, meski di dalam hatinya ada rasa cemas. “Kamu mungkin menganggapku aneh, tapi aku ingin memahami kamu lebih jauh.”
Azka terdiam sejenak, lalu berkata, “Kamu lebih berani daripada yang aku duga. Kebanyakan orang hanya menjauhi aku setelah mendengar namaku.”
Verra merasa sebuah titik di dalam dirinya mulai terhubung dengan Azka. “Jadi, itu kenapa kamu selalu sendirian? Kamu menghindari orang-orang yang berpikiran sempit?”
“Sebagian besar memang begitu. Dan juga… ada hal-hal yang tidak ingin orang lain tahu tentang aku,” Azka menjawab dengan suara rendah, seolah dia membiarkan sedikit kerentanannya keluar.
Verra merasakan suasana yang lebih dalam. “Aku percaya semua orang punya rahasia. Bahkan, aku pun punya. Tapi kadang, berbagi bisa jadi cara untuk meringankan beban.”
Azka menatapnya lebih dalam, seolah mencoba membaca pikirannya. “Kamu percaya, ya? Bahwa berbagi bisa meringankan beban?”
“Ya, aku percaya. Mungkin kita bisa saling berbagi,” Verra menjawab sambil berusaha terlihat percaya diri.
Azka hanya terdiam, seolah merenungkan tawaran itu. Dia memang tampak terkesan, tapi Verra tahu ada ketidakpastian di dalam hatinya. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tertarik sama aku?” tanya Azka, nada suaranya kembali dingin.
“Karena kamu berbeda,” Verra menjawab tegas. “Kamu punya sisi yang menarik, meskipun orang lain hanya melihat dari permukaan. Aku ingin melihat lebih dalam.”
Azka menggelengkan kepalanya dengan senyuman samar. “Kamu mungkin terlalu optimis.”
“Tapi itu yang membuatku aku, bukan? Lagipula, kita kan bisa saling membantu. Mungkin aku bisa membantu kamu sedikit lebih terbuka,” Verra menambahkan, menatap Azka dengan penuh harapan.
“Baiklah, kita lihat saja,” jawab Azka, dan Verra bisa merasakan ada sedikit harapan di balik nada suaranya.
Sekitar waktu yang tidak bisa dipastikan, mereka terdiam di sana, hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari luar, seolah memberi semangat baru bagi mereka berdua.
Di tengah keheningan itu, Verra menyadari bahwa pertemuan ini mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah perjalanan untuk memahami satu sama lain, bahkan jika jalan itu penuh liku dan rintangan. Saat Azka berdiri di sampingnya, Verra merasa hatinya bergetar. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi dia bersiap untuk menantikan setiap momen yang akan datang.
Ketika suara bel berbunyi menandakan waktu istirahat yang hampir habis, Verra menoleh ke arah Azka. “Kayaknya kita harus kembali ke kelas, ya?”
Azka hanya mengangguk. “Kembali ke dunia nyata.”
Verra tersenyum, dan saat mereka berbalik menuju pintu tangga, dia merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Ini bukan hanya tentang Azka; ini tentang menemukan keberanian untuk menjelajahi bagian-bagian baru dari dirinya sendiri. Dan, seiring mereka melangkah kembali ke keramaian sekolah, dia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan mereka yang belum selesai.
Jejak di Antara Keramaian
Hari-hari berlalu, dan Verra mulai merasa nyaman dengan kehadiran Azka dalam hidupnya. Setiap hari, mereka bertemu di atap sekolah setelah jam terakhir berakhir. Di sana, mereka berbagi cerita, tawa, dan kerentanan, menciptakan ikatan yang tak terduga di tengah kerumunan teman-teman sekelas mereka. Keduanya mulai saling memahami, seolah-olah mereka menemukan bagian yang hilang dalam diri masing-masing.
Namun, meski kedekatan itu tumbuh, Verra juga merasakan adanya ketegangan yang mengintai di antara mereka. Azka masih menyimpan dinding pertahanan yang tinggi, dan kadang-kadang, ia terjebak dalam kesunyian yang membuat Verra merasa cemas. Suatu sore, saat mereka duduk di pinggir atap, Verra berusaha menghilangkan suasana tegang itu.
“Jadi, apa rencanamu akhir pekan ini?” tanya Verra sambil melirik ke arah Azka, yang mengamati awan yang perlahan bergerak.
Azka menghela napas. “Mungkin aku akan pergi ke tempat yang sepi. Menghindari keramaian.”
“Kamu selalu ingin menjauh dari keramaian, ya?” Verra berusaha menyoroti sifat Azka yang misterius.
“Keramaian itu melelahkan,” jawab Azka datar. “Orang-orang tidak mengerti apa yang mereka lihat.”
Verra berusaha mengingat kembali saat-saat mereka berbagi cerita, dan bagaimana Azka mengungkapkan pandangannya tentang dunia. “Tapi, kadang kita juga butuh orang lain, Azka. Tidak ada salahnya untuk berbagi.”
“Kadang-kadang,” Azka menjawab sambil tersenyum samar. “Tapi orang-orang tidak selalu siap untuk mendengarkan.”
“Atau mungkin mereka hanya tidak tahu bagaimana cara mendengarkan,” Verra menyela, mengangguk penuh pengertian. “Aku percaya ada orang-orang di luar sana yang peduli. Mungkin kita hanya harus mencarinya.”
Azka menatap Verra dengan matanya yang dalam, dan seolah-olah dia sedang mencari kebenaran dalam kata-kata itu. “Kamu tidak takut, ya, dengan apa yang ada di dalam diriku?” tanyanya, nada suaranya kembali serius.
Verra menegakkan punggungnya dan menatap Azka. “Aku tidak takut. Justru, aku ingin tahu. Tidak ada yang sempurna, Azka. Dan aku pikir, di balik semua yang kau sembunyikan, ada seseorang yang lebih nyata.”
Azka tampak terdiam, lalu mengalihkan pandangannya ke bawah. “Kau tidak tahu apa yang bisa terjadi jika kau terlalu dekat dengan seseorang seperti aku.”
“Mungkin aku ingin tahu,” jawab Verra, berusaha membangun jembatan di antara mereka. “Aku ingin mengenalmu lebih baik. Siapa tahu, kita bisa sama-sama menghadapinya.”
Setelah beberapa saat hening, Azka menatapnya lagi. “Oke. Tapi ingat, aku bukan orang yang mudah dipahami.”
“Seharusnya kamu tahu, aku suka tantangan,” Verra membalas sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana yang tegang.
Malam itu, saat pulang, Verra merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Ada harapan baru bahwa mungkin, Azka bisa membuka diri lebih jauh. Namun, ketegangan di antara mereka belum sepenuhnya sirna.
Di sekolah, teman-teman Verra mulai memperhatikan perubahan sikapnya. Beberapa dari mereka, termasuk Rina, sahabat karibnya, menjadi khawatir. Rina menyempatkan diri untuk berbicara dengan Verra saat mereka istirahat di kantin.
“Verra, kamu baik-baik saja? Kamu jadi sering menghabiskan waktu di atap sama Azka,” tanya Rina dengan nada khawatir.
Verra tersenyum, berusaha meyakinkan. “Iya, aku baik-baik saja. Sebenarnya, aku merasa nyaman sama dia.”
“Tapi, kamu tahu kan reputasi Azka? Dia bad boy! Aku khawatir kamu terjerumus,” Rina berusaha mengingatkan.
Verra menggelengkan kepalanya. “Aku tahu, Rina. Tapi dia tidak seburuk yang kau kira. Dia punya alasan sendiri kenapa dia bersikap seperti itu.”
Rina tampak ragu. “Tapi, kamu harus hati-hati. Dia bisa jadi berbahaya untukmu, Verra.”
“Aku akan baik-baik saja. Dia bukan seperti yang orang lain katakan. Dia hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan,” Verra menjelaskan, percaya diri dengan pilihan yang diambilnya.
Setelah percakapan itu, Verra kembali ke kelas dan merasakan semangatnya mulai menghilang. Dia ingin membuktikan bahwa Azka adalah orang yang berbeda. Namun, keraguan dan rasa khawatir dari sahabatnya terus mengganggu pikirannya.
Hari-hari berlalu, dan meski mereka semakin dekat, Verra merasakan semakin banyak tantangan yang harus dihadapi. Dalam setiap pertemuan mereka di atap, dia bisa merasakan semakin banyak rahasia yang disimpan Azka. Momen-momen indah itu selalu diiringi dengan keraguan, seolah ada bayangan gelap yang menghantui mereka.
Suatu hari, saat mereka duduk berdua di atap, Verra merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menanyakan hal yang mengganjal di pikirannya. “Azka, apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”
Azka menatap langit dengan wajah serius, seolah-olah dia sedang mencari jawaban di antara awan. “Kadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui.”
“Kenapa kamu bilang begitu? Aku ingin tahu semua tentangmu, termasuk hal-hal yang menyakitkan,” Verra mencoba meyakinkan.
Azka menghela napas, lalu berbalik menatap Verra. “Karena kadang, pengetahuan itu bisa jadi beban. Dan aku tidak ingin kamu terbebani dengan apa yang ada dalam diriku.”
Verra merasakan hati yang tergetar. “Tapi aku memilih untuk ada di sini, Azka. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya, dan bukan hanya sisi yang kamu tunjukkan.”
Dengan tatapan yang lebih dalam, Azka menjawab, “Kalau begitu, bersiaplah. Karena yang akan kamu lihat tidak selalu indah.”
Mendengar itu, Verra merasakan ketegangan yang meningkat. “Aku tidak akan mundur. Aku siap menghadapi apa pun bersamamu.”
Di tengah ketegangan itu, Azka tersenyum sedikit, seolah terkesan dengan keberanian Verra. “Oke. Mungkin kita bisa mulai dari sini.”
Namun, perasaan lega itu tidak bertahan lama. Sebuah suara dari bawah atap menyadarkan mereka. Seorang siswa dari kelas sebelah memanggil Azka. “Eh, Azka! Mau ikut main basket?”
Mendengar ajakan itu, Azka terlihat bingung. “Nggak, aku…”
“Yuk, main aja! Kita butuh kamu di tim!” seru temannya sambil melambaikan tangan, mengabaikan keberadaan Verra.
Azka menatap Verra dengan ragu. “Mungkin aku harus pergi,” katanya pelan, seolah tidak ingin mengecewakan temannya.
Verra merasakan keraguan yang melintas di antara mereka. “Kalau kamu mau, tidak apa-apa,” jawabnya, meski hatinya sedikit berat.
“Gimana kalau kita lanjutkan ini nanti?” Azka berusaha tersenyum, tetapi ada kekhawatiran di matanya.
“Ya, tentu saja. Aku akan menunggu di sini,” Verra menjawab, berusaha terlihat tegar meski hatinya penuh harapan dan keraguan.
Azka melangkah mundur, meninggalkan Verra dengan pikiran yang bergejolak. Dia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah, dan semakin dekat mereka, semakin banyak tantangan yang akan datang. Di tengah keramaian, Verra merasakan kehadiran Azka menjadi pelita harap yang terus menyala, meskipun banyak misteri yang harus dipecahkan di antara mereka.
Dan saat dia menatap ke arah tempat Azka pergi, Verra menyadari satu hal penting—ini baru permulaan dari perjalanan mereka, dan dia bertekad untuk tidak mundur meski gelombang menghadang.
Ketika Rindu Memanggil
Hari-hari berlalu dan intensitas antara Verra dan Azka semakin meningkat, tetapi ketidakpastian yang mengelilingi mereka mulai terasa lebih berat. Verra merasa cemas, menunggu momen ketika Azka akan membuka diri sepenuhnya. Meskipun mereka telah berbagi banyak hal, Azka masih menyimpan bagian dari dirinya yang belum pernah terungkap.
Suatu sore, saat Verra duduk di kelas, Rina kembali menghampirinya dengan ekspresi khawatir. “Verra, kamu tahu kan, rumor tentang Azka semakin beredar. Dia terlibat dalam banyak hal yang tidak baik.”
Verra menatap Rina, berusaha menyerap informasi tersebut. “Rumor? Apa yang kamu maksud?”
“Katanya, dia terlibat dengan kelompok yang tidak seharusnya. Mereka bilang, dia sering membolos untuk bergaul dengan orang-orang yang tidak seharusnya. Kamu harus hati-hati,” Rina menjelaskan, nada suaranya serius.
Verra merasakan hatinya bergetar. “Tapi itu hanya rumor, kan? Aku yakin Azka bukan seperti itu.”
“Verra, ini bukan sekadar rumor. Aku hanya ingin kamu menjaga dirimu. Dia bisa jadi berbahaya bagimu,” Rina berusaha meyakinkan.
Verra tahu bahwa sahabatnya hanya berusaha melindunginya, tetapi hatinya bertekad untuk memberi Azka kesempatan. Setelah sekolah berakhir, Verra memutuskan untuk menunggu di atap seperti biasa, berharap Azka akan datang.
Waktu berlalu, dan sinar matahari mulai memudar. Verra merasa gelisah. Dia merindukan tawa dan senyuman Azka, tetapi saat yang ditunggu tak kunjung datang. Dalam keheningan, keraguan mulai merayapi pikirannya. Apakah benar semua yang dikatakan orang tentang Azka?
Akhirnya, setelah menunggu cukup lama, Verra memutuskan untuk turun dan mencari Azka. Saat dia berjalan menuju lapangan basket, dia melihat kerumunan teman-teman sekelasnya. Di tengah-tengah mereka, berdiri Azka, tampak begitu berbeda. Ia dikelilingi oleh teman-teman yang tertawa, tetapi ada sesuatu dalam tatapan mata Azka yang membuat Verra merasa tidak nyaman.
“Azka!” teriak Verra, berusaha menerobos kerumunan.
Saat Azka berbalik, Verra dapat melihat perubahannya. Senyumnya tampak lebih lebar, tetapi ada kilatan yang tidak biasa di matanya. “Verra! Kenapa kamu di sini?” dia bertanya, nada suaranya penuh kejutan.
“Aku mencarimu. Rina bilang ada rumor tentangmu, dan aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Verra menjelaskan, berusaha menahan kegugupan.
Azka terlihat ragu sejenak, lalu dia menjawab, “Kau tidak perlu khawatir tentang itu. Ini semua hanya kesalahpahaman.”
Namun, Verra merasa ada yang tidak beres. “Azka, kau tidak bisa terus bersembunyi. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Tidak hanya sisi yang kau tunjukkan pada orang lain.”
“Verra, terkadang lebih baik jika kita tidak mengetahui semuanya,” jawab Azka, suaranya semakin serius. “Ada banyak hal dalam hidupku yang mungkin kau tidak siap untuk menghadapinya.”
“Jangan katakan itu! Aku siap!” Verra mendesak, ingin agar Azka tahu betapa berartinya dia. “Aku tidak akan mundur hanya karena beberapa rumor. Aku percaya padamu.”
Azka terlihat tertegun sejenak, seolah-olah mempertimbangkan sesuatu yang dalam. “Kau tidak tahu betapa berbahayanya jika kau terlalu dekat denganku,” katanya, tatapan matanya menembus dalam ke jiwanya.
Verra tidak menyerah. “Setiap orang memiliki masa lalu dan rahasia. Yang penting adalah kita bisa saling menerima. Aku ingin kita saling mengerti.”
Akhirnya, Azka menarik napas dalam dan menatap Verra dengan serius. “Oke, tapi jika aku membagikan semua ini padamu, kau harus bersiap untuk menerima kenyataan yang sulit. Apa kau yakin?”
“Ya,” Verra menjawab tegas. “Aku sudah siap.”
Di tengah keramaian yang masih riuh, Azka mengajak Verra menjauh sedikit dari kerumunan. Mereka menuju sudut lapangan yang lebih sepi, di mana suara tawa teman-teman terdengar samar. Azka berdiri di depannya, wajahnya serius.
“Baiklah. Aku pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak baik. Teman-temanku bukanlah orang-orang yang kau harapkan. Mereka terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap, dan aku sering terjebak di dalamnya,” Azka mengungkapkan.
Verra merasakan dadanya bergetar. “Tapi itu tidak menjelaskan semua tentang dirimu, kan? Apa kamu tidak ingin keluar dari semua ini?”
Azka mengangguk perlahan. “Aku ingin, tapi kadang-kadang, jalan keluar itu tidak mudah. Ada banyak harapan yang hilang, dan terkadang, aku merasa tidak layak untuk itu.”
“Jangan bicara seperti itu! Kau layak mendapatkan yang lebih baik. Kita bisa melakukannya bersama, Azka!” Verra mendesak, merasakan semangat di dalam dirinya.
“Mungkin. Tapi aku tidak ingin kau terbawa arus dengan semua ini,” jawab Azka, tatapan matanya penuh kekhawatiran.
“Tapi aku memilih untuk berada di sini,” Verra menjawab, menekankan pilihannya. “Aku tidak akan pergi, tidak peduli seberapa sulitnya.”
Di saat itu, sebuah keheningan menyelimuti mereka. Azka menatap Verra, dan dalam tatapan itu, Verra bisa merasakan ada harapan yang mulai menyala. Azka mendekat, suara rendahnya hampir berbisik, “Kau adalah orang pertama yang benar-benar melihatku, Verra.”
Verra merasakan jantungnya berdegup kencang. “Karena kamu adalah orang yang pantas untuk dilihat,” katanya dengan tulus.
Dengan perasaan yang mendalam, Azka mengulurkan tangannya, dan Verra meraihnya. Dalam momen itu, mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah, tetapi mereka siap untuk menghadapinya bersama. Mereka berdua ingin membangun masa depan yang lebih baik, meskipun penuh dengan tantangan.
Ketika mereka kembali ke kerumunan, Verra merasa ada kekuatan baru di dalam dirinya. Dia tahu bahwa cinta tidak hanya tentang saat-saat bahagia, tetapi juga tentang saling mendukung saat-saat sulit. Dan di tengah keramaian itu, Verra dan Azka merasakan harapan yang mengalir, mengikat mereka dalam sebuah ikatan yang tak terduga, tetapi kuat.
Saat malam tiba, bintang-bintang bersinar di langit, mengingatkan mereka bahwa selalu ada cahaya di tengah kegelapan. Verra bertekad untuk menjadi cahaya itu dalam hidup Azka, dan Azka berjanji untuk mengizinkan Verra masuk lebih dalam ke dalam dunianya. Mereka tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan dengan cinta yang tulus, mereka akan menghadapi apa pun yang datang di depan mereka.
Di tengah semua liku-liku dan drama, Verra dan Azka belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang saling menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Saat mereka menatap masa depan, ada keyakinan bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi semua rintangan yang menghadang. Siapa bilang cinta bad boy tidak bisa bahagia? Ini baru permulaan kisah mereka—sebuah perjalanan yang akan terus berlanjut, penuh harapan, dan cinta yang tak terduga.