Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ketemu sama orang yang super sombong, ngerasa dirinya paling oke, tapi akhirnya malah sendirian dan nggak ada yang peduli? Nah, cerpen ini tentang Kimbu, si ulat sombong yang ngerasa dia bisa segalanya.
Tapi ternyata, sombong itu nggak bikin dia makin keren, malah bikin dia makin kesepian. Penasaran gimana kisahnya berakhir? Langsung aja baca, deh!
Cerpen Ulat Sombong
Kimbu Sang Ulat Hebat
Pagi itu, di taman yang penuh dengan warna-warni bunga, Kimbu merasa lebih hebat dari sebelumnya. Badannya yang gemuk berkilau di bawah sinar matahari, membuatnya tampak seperti raja di dunia ulat. Semua tanaman di sekelilingnya tampak biasa saja, dan setiap ulat yang lewat, ia pandang dengan rasa ingin menunjukkan betapa luar biasanya dirinya.
Kimbu melintasi jalan setapak di antara bunga-bunga besar dengan langkah sombong, mengangkat tubuhnya agar semakin menonjol. Ia suka sekali menarik perhatian. Setiap kali ada ulat lain yang melintas, ia akan menatap mereka dengan tatapan merendahkan.
“Lihat tuh, ulat-ulat kecil itu. Apa yang mereka pikirkan?” gumam Kimbu pada dirinya sendiri sambil melirik sekeliling.
Saat itu, ia bertemu dengan seekor ulat lain yang tampak lebih kecil dari dirinya. Ulat itu bergerak pelan, seakan ragu dengan langkahnya. Kimbu langsung merasa kesempatan untuk menguasai percakapan itu datang.
“Hei, kamu!” Kimbu memanggil ulat itu dengan suara keras. “Kamu baru di sini, ya? Jangan coba-coba bersaing denganku. Aku ini ulat terbaik yang ada di taman ini. Semua bunga dan tanaman di sini kenal aku, tahu betapa kuatnya aku.”
Ulat kecil itu berhenti dan menatap Kimbu dengan tatapan yang tenang. Matanya yang lembut tidak menunjukkan ketakutan sama sekali. “Aku baru saja tiba di sini. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang taman ini,” jawabnya pelan.
Kimbu tertawa terbahak-bahak. “Tahu? Hah, kamu pikir kamu bisa seperti aku? Jangan mimpi! Kamu harus tahu, tubuhku ini besar dan kuat, tidak ada ulat lain yang bisa menandingiku.”
Dengan langkah besar, Kimbu berjalan lebih dekat, seolah ingin menekan ulat kecil itu dengan kehadirannya. “Aku bisa bertahan lebih lama di sini. Lihat saja, mereka semua mengagumi aku. Mereka tahu siapa yang paling hebat.”
Ulat kecil itu hanya mengangguk perlahan, seolah tidak merasa terganggu oleh kata-kata Kimbu. “Mungkin, tapi aku percaya setiap ulat punya cara unik untuk bertahan hidup.”
“Pfft, cara unik?” Kimbu mendengus dengan rasa jijik. “Jangan sok bijak, kecil. Aku sudah lebih dulu ada di sini. Kalau kamu ingin bertahan hidup di taman ini, kamu harus belajar banyak dariku.”
Namun, ulat kecil itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum tipis, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pohon terdekat. Kimbu melihatnya pergi dengan rasa heran. Ia tak mengerti kenapa ulat kecil itu tidak terkesan atau takut dengan ucapannya.
“Ah, dia pasti bodoh. Sepertinya dia belum tahu betapa hebatnya aku,” pikir Kimbu, lalu melanjutkan langkahnya dengan penuh percaya diri.
Kimbu berjalan sepanjang jalan setapak, menikmati pandangan bunga-bunga yang mengelilinginya. Semua tanaman ini adalah miliknya, dan ia merasa berhak atas semuanya. Setiap kali ia melihat ulat lain, ia hanya memberi mereka senyum penuh kemenangan, seolah-olah ia tahu mereka pasti iri padanya.
Namun, hari demi hari, semakin sedikit ulat yang mau mendekat. Awalnya Kimbu tidak merasa apa-apa. Ia menganggap mereka semua cemburu karena ia lebih hebat. Tapi semakin lama, semakin banyak ulat yang menghindarinya. Saat ia berjalan di sekitar taman, ia tak lagi menemukan teman-teman yang biasanya berkumpul bersama. Semua ulat lebih memilih berkelompok dengan yang lain, saling berbicara, tertawa, dan berbagi cerita.
Kimbu mulai merasa ada yang aneh. Biasanya, ada beberapa ulat yang menyapanya, bahkan meminta nasehat. Namun kini, ia berjalan sendiri, dikelilingi bunga-bunga yang semakin terasa sepi. Ia bertemu dengan seekor ulat lain, namun kali ini, ulat itu hanya menunduk dan berjalan cepat melewatinya.
“Kenapa mereka semua menjauh?” Kimbu bertanya pada dirinya sendiri, merasa cemas untuk pertama kalinya.
Hari itu terasa panjang. Setiap kali Kimbu melintas, tidak ada yang menyapanya. Tidak ada tawa, tidak ada cerita. Semua ulat lebih memilih bersembunyi di balik daun, berkelompok dengan teman-teman mereka yang lebih rendah hati. Kimbu, yang merasa dirinya di atas segalanya, mulai merasakan kesepian yang luar biasa. Tapi ia tidak mengerti apa yang salah. Bukankah ia sudah menunjukkan betapa hebatnya dirinya? Kenapa mereka tidak mengakui kehebatannya?
Menjelang sore, Kimbu kembali berjalan sendirian, dengan perasaan yang semakin berat. Saat itu, ia bertemu dengan ulat kecil yang dulu ia anggap remeh. Ulat kecil itu kini sedang berada di bawah pohon, berbicara dengan beberapa ulat lain, tampak riang dan penuh semangat. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita.
Kimbu berdiri mematung sejenak, memandang mereka dengan rasa iri yang besar. “Apa yang mereka punya yang aku tidak punya?” gumamnya, tetapi tidak ada yang menjawab.
Ulat kecil itu melihat Kimbu dari kejauhan, tetapi kali ini, ia tidak mendekat. Ia hanya tersenyum tipis dan melanjutkan percakapan dengan teman-temannya. Kimbu merasa seperti udara yang terisi kekosongan. Dia telah merasakan apa yang sebelumnya tak pernah ia rasakan—kesepian. Namun, ia masih belum tahu apa yang harus dilakukan.
Hari berganti malam, dan taman itu semakin sunyi. Kimbu duduk sendirian di bawah daun besar, tubuhnya yang dulu kuat kini terasa lelah dan tak berarti. Tanpa sadar, ia mulai merasakan ada yang hilang dalam dirinya, tetapi kesombongannya tak membiarkan dia mengakui itu.
Seiring berjalannya waktu, ia semakin terisolasi, dan perasaan kesepian semakin menguasainya. Namun, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengubah keadaan ini.
Taman yang Sepi
Kimbu duduk termenung di bawah daun besar, matanya menatap kosong pada bunga-bunga yang bergoyang pelan diterpa angin. Pikirannya berlarian, mencoba mengingat saat-saat ketika semua ulat di taman ini memujinya. Semua bunga yang dulu tampak menyenangkan kini terasa hanya sebagai latar belakang hampa. Ia tak tahu kapan semua itu berubah, tetapi yang ia rasakan kini adalah kesepian yang menusuk.
Satu per satu, ia mencoba mencari alasan mengapa semuanya terasa berbeda. “Mungkin mereka sibuk,” pikirnya, berusaha meyakinkan diri. Tapi setiap kali ia berjalan menyusuri taman, tak ada yang menyapanya. Hanya suara angin dan desahan daun yang mengisi keheningan.
Ketika Kimbu berjalan menuju tepian taman yang berbatasan dengan semak-semak tinggi, ia melihat beberapa ulat lain sedang berkumpul. Mereka tampak asyik bercakap-cakap, tawa mereka terdengar riang, meskipun Kimbu hanya bisa mendengarnya dari jauh. Ia ingin sekali mendekat, ikut bergabung, tapi rasa malu dan kesombongannya mencegahnya.
“Apakah mereka tidak ingat siapa aku?” gumamnya, memandang kelompok ulat yang semakin jauh.
Dalam kepalanya, Kimbu mulai memutar-mutar alasan, mencari pembenaran. Mereka pasti hanya tidak tahu apa yang telah aku capai. Aku lebih besar, lebih kuat. Mereka tidak bisa mengerti. Namun semakin keras ia memikirkan hal itu, semakin terasa anehnya semua itu. Sebuah pertanyaan sederhana muncul dalam benaknya: Apa yang aku lakukan salah?
Kimbu melangkah maju, menuju tempat yang biasanya ramai dengan aktivitas ulat. Tapi kali ini, tempat itu tampak sepi. Angin yang seharusnya menyegarkan malah terasa dingin. Ia berhenti, menatap langit yang mulai gelap. Tidak ada suara ulat yang biasa terdengar riuh, tak ada suara tawa atau langkah-langkah kaki yang ceria. Hanya keheningan yang memenuhi taman itu.
Saat itulah, sebuah bayangan melintas di depan Kimbu. Ia menoleh dan melihat ulat kecil yang dulu sempat ia anggap remeh. Ulat kecil itu tampak berjalan dengan langkah tenang, seolah tak terganggu oleh apa pun. Kimbu ingin memanggilnya, tetapi ia ragu. Ada perasaan aneh yang mengganjal di dadanya. Apa aku masih bisa berbicara dengannya setelah semua yang terjadi?
Ulat kecil itu berhenti beberapa langkah dari Kimbu, seakan sadar bahwa Kimbu sedang memperhatikannya. Kimbu menarik napas panjang, berusaha mengatur kata-kata yang akan ia ucapkan. “Hei…,” ucapnya pelan, suaranya sedikit gemetar. “Apa kamu… baik-baik saja?”
Ulat kecil itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum ringan. “Aku baik-baik saja, Kimbu. Kau?”
Kimbu tersentak, tak menyangka jawaban itu akan datang begitu tenang. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah, merasa malu. “Aku… aku hanya merasa sedikit bingung,” jawabnya, meski suaranya terdengar ragu. “Semua ini terasa berbeda. Mereka semua… mereka menjauh dariku.”
Ulat kecil itu mengangguk perlahan, seolah mengerti apa yang Kimbu rasakan. “Mungkin kamu terlalu banyak membanggakan dirimu sendiri, Kimbu,” katanya lembut, meskipun kata-katanya tak menyakitkan.
Kimbu terdiam. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa seperti tamparan bagi dirinya. “Maksudmu, aku… sombong?” tanya Kimbu, wajahnya sedikit merona.
“Tidak bermaksud menyakiti perasaanmu,” jawab ulat kecil itu dengan suara tenang. “Tapi, kadang-kadang, saat kita terlalu merasa hebat dan mengabaikan orang lain, kita kehilangan mereka. Orang-orang di sekitar kita akan menjauh. Mereka tidak suka jika kita terus-menerus membuat mereka merasa kecil.”
Kimbu terdiam, menelan kata-kata itu dalam-dalam. Ia mulai merasakan sesuatu yang lain, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang sulit diterima, tapi semakin nyata. “Aku tidak tahu… aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Tidak ada yang salah dengan merasa hebat, Kimbu,” kata ulat kecil itu. “Tapi jangan lupa, kehebatanmu bukan hanya tentang dirimu sendiri. Itu juga tentang bagaimana kita berbagi dengan yang lain.”
Kimbu mengangguk perlahan, merasakan sesuatu yang hangat menyentuh hatinya. Itu adalah pemahaman yang baru. Sebuah kesadaran yang menyakitkan, tetapi juga membuka matanya. Dia sadar bahwa selama ini, dia terlalu terfokus pada dirinya sendiri dan tak pernah benar-benar peduli pada teman-temannya.
Ulat kecil itu melangkah mundur perlahan. “Aku harap kamu bisa memahami itu, Kimbu. Kita semua punya tempat di sini. Tapi, untuk mendapatkannya, kita harus saling peduli, bukan hanya merasa hebat.”
Kimbu hanya bisa mengangguk, tak mampu berkata apa-apa lagi. Ulat kecil itu kemudian melangkah pergi, meninggalkan Kimbu yang berdiri termenung di tempat yang sama. Angin berhembus pelan, menyentuh tubuhnya yang lelah. Saat itu, Kimbu merasa, untuk pertama kalinya, ada kekosongan yang tak bisa diisi hanya dengan kesombongan.
Taman yang dulu terasa penuh kini terasa kosong. Kimbu tahu, ia harus berubah, tapi entah bagaimana, ia merasa seperti sudah terlambat. Ia terdiam, membiarkan angin menerpa tubuhnya, merasakan kesejukan yang tak mampu menghapus rasa sesak di dadanya.
Perubahan yang Terlambat
Hari-hari berlalu, dan Kimbu semakin merasa terasingkan. Semua ulat di taman tampak lebih sibuk dengan hidup mereka masing-masing, berkumpul dengan teman-teman mereka, dan berbagi cerita. Kimbu yang dulu dikenal sebagai ulat terbesar dan terkuat kini merasa dirinya seperti bayangan yang menghilang di balik daun-daun. Ia mencoba mendekat kepada beberapa ulat, ingin berbicara, tetapi mereka menghindarinya, memilih untuk tetap bersama kelompok mereka yang lebih ramah dan tidak sombong.
Tiap langkah Kimbu terasa semakin berat. Ia tidak bisa memungkiri perasaan sepinya yang semakin menghimpit. Beberapa kali ia mendekati kelompok-kelompok ulat, berharap ada yang mengajaknya berbicara, tetapi setiap kali ia mencoba, mereka akan berbalik dan pergi. Hati Kimbu terasa semakin hampa, tetapi ia tidak tahu harus melakukan apa.
Pada suatu sore yang sepi, ketika Kimbu sedang duduk di bawah pohon besar, mencoba menenangkan pikirannya, ia melihat sekelompok ulat yang sedang berkumpul di kejauhan. Mereka tampak asyik berbincang, tertawa, dan saling berbagi cerita. Kimbu mengamati mereka dengan rasa iri yang mendalam. Kenapa mereka bisa seperti itu? pikirnya, Kenapa aku tidak bisa masuk ke dalam kelompok mereka?
Ia tahu jawabannya. Kesombongan yang dulu ia banggakan telah membuatnya terasingkan. Sekarang, ia sadar, betapa kesalahan itu telah membuatnya kehilangan banyak hal yang sebenarnya berharga. Tapi, meskipun ia menyadari itu, ia merasa terlambat. Waktu telah berlalu, dan ulat-ulat itu sudah bergerak maju tanpa memperdulikan dirinya.
Dengan langkah ragu, Kimbu memutuskan untuk mendekati kelompok ulat itu. Ia mengangkat tubuhnya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Namun, saat ia hampir tiba di dekat mereka, ia melihat ulat kecil yang dulu memberi nasihat, sedang tertawa bersama mereka. Tanpa sadar, Kimbu berhenti, berdiri diam di tempat. Ulat kecil itu melihat Kimbu dengan tatapan yang tenang, namun tidak ada senyum yang muncul di wajahnya.
Kimbu terdiam, merasa terhimpit oleh kesunyian yang memeluknya. Dengan hati yang berat, ia mundur perlahan, menjauh dari kelompok itu. Rasa malu dan kesedihan melanda dirinya, seolah-olah dunia ini semakin menjauh. Ia kembali ke tempatnya di bawah pohon, merasa lebih kosong dari sebelumnya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Kimbu merasa semakin terpuruk. Ia sudah mencoba mendekati beberapa ulat, berbicara dengan mereka, tetapi selalu saja ada jarak yang sulit diatasi. Ia merasa sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya. Semua perubahan yang ingin ia lakukan terasa sia-sia. Semua ulat yang dulu mengaguminya, kini hanya melihatnya dengan tatapan kosong.
Suatu pagi, ketika Kimbu sedang bergerak perlahan menuju tanaman terdekat, ia mendengar suara riuh di kejauhan. Itu adalah suara tawa ulat-ulat yang sedang berkumpul. Kimbu menoleh, berharap bisa mendekat, tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan berat yang menghalangi langkahnya. Ia berhenti sejenak, menatap ke arah kelompok itu.
Ulat kecil, yang dulu pernah mengingatkan Kimbu, kini sedang berbicara dengan teman-temannya, tampak lebih ceria dan penuh energi. Kimbu memandangi mereka dengan rasa hampa. Saat ia ingin mendekat, ia menyadari sesuatu yang pahit. Semua ulat di sana tampak tidak menghiraukannya, bahkan ketika ia melangkah lebih dekat.
Kimbu akhirnya berhenti, melihat ke tanah, merasa lelah dengan semua perasaan yang datang. Mereka benar… pikirnya, Aku terlalu sombong, dan sekarang aku terjebak dalam kesepian ini.
Di tengah keheningan itu, Kimbu mendengar suara langkah pelan di belakangnya. Ia menoleh, dan menemukan ulat kecil yang dulu memberi nasihat kepadanya. Kali ini, ulat kecil itu mendekat, dan matanya penuh dengan kehangatan.
“Aku tahu kamu merasa sendirian, Kimbu,” kata ulat kecil itu pelan. “Tapi, perubahan itu membutuhkan waktu. Tidak mudah untuk mengubah cara kita, apalagi setelah kita berbuat salah.”
Kimbu menatap ulat kecil itu, mencoba memahami kata-katanya. “Tapi aku sudah terlambat,” jawabnya dengan suara pelan. “Semua sudah berubah. Mereka tidak akan pernah melihatku seperti dulu lagi.”
Ulat kecil itu tersenyum lembut, menepuk perlahan tubuh Kimbu. “Perubahan tidak selalu mudah, Kimbu. Tapi, selama kita mau mencoba dan belajar, masih ada kesempatan. Mungkin tidak akan kembali seperti dulu, tetapi kamu bisa menemukan tempatmu lagi.”
Kimbu terdiam, merasakan sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada harapan, meskipun kecil, yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ia tahu, mungkin semuanya tak akan langsung kembali seperti sedia kala, tetapi jika ia terus berusaha, ada kemungkinan bahwa suatu hari nanti, ia akan bisa diterima kembali.
Hari-hari itu terasa lebih ringan baginya. Ia mulai mendekati ulat-ulat lain, mencoba berbicara, tidak dengan kesombongan, tetapi dengan sikap rendah hati. Beberapa ulat mulai memberi perhatian padanya. Meski tidak mudah, Kimbu merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia belajar bahwa untuk diterima, bukan hanya soal ukuran atau kekuatan, tetapi tentang bagaimana kita menghargai orang lain, bagaimana kita memperlakukan mereka dengan tulus.
Namun, Kimbu tahu, bahwa perjalanan ini masih panjang. Mungkin, perubahan yang ia inginkan tidak akan terjadi dalam semalam. Tetapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada secercah harapan.
Ulat yang Berubah
Waktu terus bergulir dengan lambat, dan Kimbu semakin merasa dirinya berubah. Tidak ada yang langsung mengalir mulus, tapi ada sebuah perasaan yang kini lebih sering muncul: rasa damai yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Setiap kali ia mencoba untuk mendekati ulat lain, ia melakukan itu dengan tulus, tanpa berharap lebih dari sekadar persahabatan yang sederhana. Tidak ada lagi kesombongan yang menghalangi langkahnya, hanya keinginan untuk memperbaiki apa yang telah rusak.
Suatu pagi yang cerah, Kimbu duduk di bawah daun besar yang menjadi tempat favoritnya untuk merenung. Sinar matahari menembus celah daun, memberi cahaya hangat di sekitarnya. Beberapa ulat lainnya sedang sibuk bergerak, melintasi tanah dan daun-daun di sekitar. Tidak ada tawa riuh, tetapi suasananya tidak terasa sepi lagi. Taman yang dulu terasa hampa kini mulai hidup kembali bagi Kimbu.
Kimbu merasakan perubahan itu di dalam dirinya. Ia mulai berinteraksi dengan ulat lain tanpa merasa cemas atau takut. Meskipun banyak yang masih mengabaikannya, beberapa ulat yang dulunya menjauh kini memberi senyuman kecil saat mereka bertemu. Mereka tidak berbicara banyak, tetapi Kimbu tahu bahwa ada yang berubah. Ada yang mulai melihatnya sebagai bagian dari taman ini, bukan hanya sebagai sosok yang besar dan menakutkan.
Hari itu, ketika Kimbu sedang berjalan di dekat semak-semak, ia melihat ulat kecil yang dulu menasihatinya sedang duduk di bawah pohon, sama seperti dulu. Ulat kecil itu melihatnya dengan mata yang lembut, seolah menunggu sesuatu.
Kimbu menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Aku sudah mencoba,” kata Kimbu, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku tahu perubahan tidak mudah, tapi aku merasa mulai ada harapan. Mungkin semuanya tidak akan kembali seperti dulu, tapi setidaknya aku tahu aku sudah mencoba.”
Ulat kecil itu tersenyum. “Perubahan memang bukan sesuatu yang instan, Kimbu. Tapi, kamu sudah melangkah ke arah yang benar. Orang-orang akan melihat perubahan itu, meskipun kadang itu memerlukan waktu.”
Kimbu mengangguk, merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Aku masih jauh dari sempurna, pikirnya, tapi aku sudah memulai perjalanan yang berbeda.
Beberapa minggu berlalu, dan taman itu semakin terasa hangat dan hidup. Kimbu mulai diterima kembali dalam kelompok-kelompok ulat. Ia tidak lagi merasa seperti bayangan yang menghilang, tetapi lebih seperti bagian yang tak terpisahkan dari taman itu. Walaupun beberapa ulat tetap menjaga jarak, Kimbu tidak lagi merasa marah atau kecewa. Ia tahu, persahabatan yang tulus tidak bisa dipaksakan.
Pada suatu pagi, saat bunga-bunga mulai mekar dan udara terasa segar, Kimbu berdiri di tengah taman. Ia melihat sekelilingnya, memperhatikan ulat-ulat yang kini saling berbicara dan tertawa. Untuk pertama kalinya, ia merasa diterima, bukan karena kekuatan atau ukuran, tetapi karena siapa dirinya yang sebenarnya. Tanpa kesombongan, tanpa keinginan untuk menunjukkan betapa hebatnya dia.
Dan ketika ia melihat ulat kecil yang dulu memberikan nasihat, Kimbu tersenyum dengan tulus. Ia tahu, perjalanan panjang yang ia tempuh membawa perubahan dalam dirinya, dan meskipun itu memakan waktu, ia akhirnya menemukan tempatnya di taman ini.
Kimbu mengangkat tubuhnya, melangkah dengan pasti, bukan untuk mencari pengakuan, tetapi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas, bukan dari kesombongannya, tetapi dari kesepian yang pernah menghantuinya.
Dan di balik seluruh perubahan itu, ada satu hal yang Kimbu pahami: perubahan itu datang bukan hanya karena usaha kita, tetapi juga karena waktu yang memberi kesempatan. Sebuah kesempatan yang tidak selalu datang begitu saja, tetapi jika kita berusaha, jika kita mau belajar, kesempatan itu bisa membawa kita ke tempat yang lebih baik.
Akhirnya, Kimbu merasa siap. Siap untuk terus tumbuh, tidak hanya dalam ukuran, tetapi dalam cara ia melihat dunia. Dan meskipun ia tahu perjalanan ini akan terus berlanjut, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perjalanan itu layak untuk dijalani.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari Kimbu si ulat sombong? Mungkin, kita nggak bisa berubah dalam semalam, tapi kalau kita mau mencoba dan belajar dari kesalahan, perubahan itu pasti bisa terjadi.
Ingat, kesombongan nggak pernah bawa kita kemana-mana, yang penting adalah hati dan cara kita memperlakukan orang lain. Kalau kamu lagi merasa kesepian atau terasing, ingat aja, masih ada kesempatan buat memperbaiki diri dan menemukan tempatmu. Semangat terus!