Cerpen Tragis dan Menyentuh: Perjalanan Pemulihan Seorang Pria yang Rusak

Posted on

Terkadang, hidup nggak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Kita bisa jatuh, terluka, bahkan merasa seperti nggak ada harapan. Tapi siapa sangka, di tengah kejatuhan itu, ada secercah cahaya yang bisa menuntun kita bangkit lagi?

Cerita ini tentang seseorang yang dulu terlihat sangat rusak, penuh luka dan kehilangan. Tapi di balik semua itu, dia menemukan kekuatan untuk melangkah maju, meski perlahan. Karena, meskipun kita merasa hancur, tak ada yang salah dengan mencoba memperbaiki diri—meski harus memulai dari awal lagi.

 

Cerpen Tragis dan Menyentuh

Bayang-Bayang yang Tertinggal

Suara sepatu lusuh yang terbuat dari bahan sintetis itu tergerus pelan di trotoar kota yang sepi. Ryvan, pria itu, melangkah tanpa tujuan yang jelas. Wajahnya yang tirus dan pucat, terbalut oleh debu dari jalanan yang dipenuhi polusi. Di setiap langkahnya, ada beban yang tersisa dari masa lalu yang terlalu berat untuk ditinggalkan. Terlihat jelas, meski di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, bahwa ia membawa rindu akan masa yang tak akan pernah kembali.

Aku berdiri di balik jendela toko roti kecil yang ku kelola. Toko ini sudah berusia puluhan tahun, namun masih tetap bertahan meski tak sepopuler dulu. Mungkin karena roti-rotinya yang sederhana namun lezat, atau mungkin karena aku tidak pernah membiarkan diri untuk menutupnya.

Namun, kali ini aku tak sedang sibuk dengan kue-kue manis atau pelanggan yang datang berdesakan. Mataku justru terfokus pada sosok pria yang baru saja lewat. Ryvan. Aku mengenalnya dari jauh, sejak ia muncul beberapa hari lalu. Seorang pria yang tampak sangat berbeda dari yang lain. Seperti bayang-bayang dari masa lalu yang terlupakan, ia berdiri begitu saja di luar toko roti, menatap dalam ke dalam. Sepertinya dia sedang mencari sesuatu, atau mungkin… sedang berusaha menemukan dirinya kembali.

Aku tahu, sesuatu yang mengganggu hatiku setiap kali melihatnya. Ada rasa empati yang muncul begitu saja, meskipun aku tahu tak ada banyak hal yang bisa kulakukan untuknya. Tapi aku tidak bisa membiarkannya hanya berdiri di sana, terus menatap tanpa kata.

Aku melangkah keluar, menuju pintu toko yang berderit saat dibuka. “Masih di sini lagi?” tanyaku pelan, mencoba memulai percakapan. Aku tak tahu kenapa aku melakukannya, tapi ada rasa yang mendorongku untuk bertanya.

Ryvan hanya tersenyum kecil, senyuman yang terasa lebih pahit daripada manis. “Ya, aku… hanya ingin melihat-lihat,” jawabnya pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri.

Aku memandangnya sebentar. Wajahnya yang dulu terlihat tegar kini tampak letih. Lihat saja dari pakaiannya yang compang-camping, seakan tak peduli lagi dengan dunia sekitar. Rambutnya yang kusut, dan mata yang terbelah antara harapan yang hampir pudar dan keputusasaan yang tak bisa dibendung.

Aku berdiri diam sejenak, meresapi situasi yang ada. Tak ada yang spesial dari toko ini, hanya sebuah tempat kecil di pinggir jalan, tapi entah kenapa aku merasa seolah-olah dia membutuhkan tempat untuk berlindung, meskipun hanya untuk beberapa detik.

“Mau masuk? Ada roti sisa di dapur,” tawarku dengan lembut. Aku tahu dia tak akan menolaknya—siapa yang akan menolak makanan, meskipun hanya sepotong roti yang sudah hampir habis?

Namun, Ryvan menggelengkan kepala. “Tidak, Bu. Terima kasih,” jawabnya singkat, namun ada keletihan yang terdengar jelas dari suaranya. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata itu. Sebuah luka yang belum sembuh.

“Apa kamu tidak lapar? Hanya sedikit saja.” Aku mencoba memaksanya dengan sedikit rayuan. Aku melihat ke sekeliling, toko yang sepi, roti yang tak terjual, semuanya terasa hampa.

Ryvan menatapku sejenak, lalu kembali menunduk. “Aku… tidak tahu apakah masih ada yang layak dimakan dalam hidupku, Bu,” jawabnya, kalimat itu terdengar lebih seperti sebuah pertanyaan daripada sebuah pengakuan.

Ada sesuatu yang dalam di balik kata-katanya. Sesuatu yang sudah lama terpendam. Aku tidak tahu pasti apa yang dia maksud, tapi aku bisa merasakannya. Kesedihan yang berat, sebuah cerita yang mungkin belum selesai.

Aku melangkah lebih dekat, duduk di bangku kayu yang terletak di luar toko. “Kita semua pernah merasa seperti itu. Bahkan aku, kadang merasa seperti roti yang sudah basi, tak berguna lagi,” kataku sambil tersenyum tipis. Aku berusaha memberikan kesan bahwa aku memahami perasaannya, meski sebenarnya aku belum pernah merasakan kesulitan yang sama.

Ryvan tetap diam, namun kali ini, dia duduk di sampingku. Ada keheningan yang menyelimuti kami. Suara angin malam yang merambat melalui celah-celah bangunan, lampu jalan yang temaram, dan keramaian yang sangat jauh di ujung sana. Tapi dalam kesunyian ini, aku merasa seolah dunia hanya milik kami berdua.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, Bu,” ucapnya pelan, suaranya penuh penyesalan. “Sepertinya semua yang aku lakukan hanya membawa kehancuran.”

Aku menoleh, menatapnya lebih dalam. “Kehancuran itu, kadang datang tanpa kita minta. Tapi bukan berarti kita harus terus hidup dalam kehancuran itu,” jawabku. Aku tidak tahu apakah kata-kataku bisa menyembuhkan apa yang dia rasakan, tapi aku ingin dia tahu, ada harapan meskipun itu sekecil apa pun.

Kami duduk dalam diam, hanya suara napas dan langkah kaki yang berlalu di kejauhan. Toko roti ini bukan tempat yang besar, hanya sebuah ruang kecil yang terpisah dari dunia luar, namun malam itu aku merasa bahwa ia sedang memberikan tempat bagi dua jiwa yang kehilangan arah.

Setelah beberapa saat, Ryvan berdiri. “Aku harus pergi, Bu,” katanya, meskipun tidak ada satu pun orang yang menunggunya di luar sana.

Aku mengangguk, meski rasa ingin menahannya begitu kuat. “Jangan ragu untuk kembali jika kamu merasa butuh sesuatu,” kataku, suara lembut namun penuh arti. Aku tidak tahu apakah ia akan kembali, atau mungkin ia akan terus berjalan sendiri seperti biasa. Tapi entah kenapa, aku merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan dalam pertemuan ini.

Ryvan menoleh untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi. Wajahnya yang lusuh itu kembali menatap dunia yang luas, seakan mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan. Namun malam ini, aku berharap sedikit harapan bisa tumbuh dalam dirinya, meskipun sekecil potongan roti yang sering terlupakan.

Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasa sedikit lega meski hatiku masih penuh pertanyaan. Apa yang akan terjadi pada pria itu? Apa yang bisa kulakukan untuk membantunya? Pertanyaan itu masih menggantung di udara, tak terjawab. Tetapi satu hal yang aku tahu pasti, malam ini bukan akhir dari kisahnya.

Bukan juga akhir dari cerita aku dan Ryvan.

 

Tiga Tahun yang Hilang

Tiga hari berlalu sejak pertemuanku dengan Ryvan, namun aku masih memikirkan setiap kalimat yang dia ucapkan. Setiap kata seakan berputar-putar di pikiranku, meninggalkan jejak yang sulit terhapus. Kehidupan di toko roti berjalan seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada rasa hampa yang menular ke dalam rutinitas harian yang seharusnya biasa saja.

Aku berdiri di depan lemari es, memandangi adonan roti yang telah mengembang dengan sempurna, siap dipanggang. Tapi hatiku tak benar-benar ada di sini, di antara tepung dan gula yang berterbangan. Tidak, pikiranku tetap tertuju pada Ryvan. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan? Kenapa dia begitu terluka, begitu patah? Mengapa dia terlihat seperti seorang pria yang baru saja kehilangan segalanya?

Pagi itu, aku tidak membuka toko roti seperti biasanya. Tiba-tiba aku merasa terdorong untuk keluar dan mencari tahu lebih banyak tentang Ryvan, meski aku tahu aku mungkin tidak seharusnya melakukannya. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi sepertinya ada sesuatu yang mengikat kami, meski aku tak tahu apa itu.

Toko roti sepi pagi itu, jadi aku memutuskan untuk menutupnya sebentar. Mungkin aku bisa berjalan ke tempat yang biasa dia kunjungi, siapa tahu ada petunjuk tentang siapa dia sebenarnya. Mungkin ini terdengar aneh, tapi perasaan itu sangat kuat, dan aku tidak bisa mengabaikannya.

Aku berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di dekat toko. Langit pagi tampak kelabu, awan mendung menutupi sinar matahari. Udara terasa berat, sama seperti perasaan yang menggelayuti pikiranku. Tidak lama kemudian, aku tiba di sebuah taman kecil, tempat yang sering dilalui orang-orang yang ingin sejenak melarikan diri dari hiruk-pikuk kota. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku, menikmati udara pagi yang dingin.

Tiba-tiba aku melihat seseorang yang tak asing. Ryvan.

Dia duduk di sebuah bangku kayu di ujung taman, seperti menunggu sesuatu. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya kekosongan. Aku merasa ragu sejenak. Apa aku harus menghampirinya? Atau akankah aku mengganggunya lagi? Tapi hatiku berkata lain. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa ingin tahu yang mendorongku.

Aku mendekatinya perlahan, mencoba agar langkahku tidak terdengar. Ketika aku cukup dekat, dia menoleh dan matanya bertemu dengan mataku. Ada keheningan sejenak sebelum aku berbicara.

“Kenapa di sini?” tanyaku, suara ku agak bergetar meski aku berusaha terdengar biasa saja.

Ryvan menatapku tanpa berkata apa-apa, seolah menilai apakah aku benar-benar ingin tahu atau hanya ingin ikut campur. Akhirnya dia menghela napas dan menjawab, “Hanya butuh sedikit ruang untuk berpikir.”

Aku duduk di sampingnya, menatap taman yang sepi. “Tentang apa?” tanyaku dengan lembut.

Ryvan menggelengkan kepala, lalu mengangkat bahunya. “Tentang hidup yang terasa begitu berat,” jawabnya, suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya, seakan-akan kata-kata itu berat untuk diungkapkan.

Aku hanya diam sejenak, memberi ruang bagi dia untuk melanjutkan jika dia ingin. Dalam diam ini, aku merasakan kesedihan yang begitu dalam, seakan ada luka yang belum pernah sembuh. Sesuatu dalam diriku mendesak untuk mengulurkan tangan, menawarkan bantuan. Namun, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, selain mendengarkan.

“Aku pernah punya kehidupan yang jauh lebih baik,” lanjut Ryvan setelah beberapa menit terdiam. “Aku dulu punya segalanya. Cinta, keluarga, pekerjaan yang baik. Tapi… semuanya hancur begitu saja.” Suaranya pecah di akhir kalimat, seperti menahan emosi yang hampir tumpah.

Aku merasa sesak di dada, seolah ada beban berat yang turut terjatuh di hatiku. “Apa yang terjadi?” tanyaku, walaupun aku sudah bisa menebak jawabannya. Tapi aku ingin dia mengatakannya, biar dia tahu bahwa aku ingin memahami, bukan sekadar berasumsi.

Ryvan menghela napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku pernah menikah. Aku sangat mencintainya. Kami punya rencana hidup bersama, membangun masa depan. Tapi dia pergi… meninggalkanku, tanpa alasan yang jelas. Aku tidak tahu apa yang salah dengan aku. Semua yang kulakukan, rasanya tidak pernah cukup.”

Kata-kata itu terlontar begitu saja, seperti hujan yang jatuh tanpa bisa dihentikan. Aku merasa hatiku terkoyak mendengarnya. Sepertinya kesedihan Ryvan lebih dari sekadar kehilangan, itu adalah kehancuran yang membawa dampak dalam setiap bagian hidupnya.

“Kenapa kamu tidak bilang dari awal?” kataku pelan, hampir berbisik. “Aku… tidak tahu bahwa kamu sudah melewati itu.”

Ryvan menoleh padaku, matanya tampak lelah dan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin membuatmu terlibat, Bu. Aku sudah cukup banyak membawa beban. Aku tak ingin kamu merasa kasihan padaku.”

Aku menggelengkan kepala, mataku bertemu dengan matanya. “Ini bukan tentang kasihan, Ryvan. Ini tentang kamu sebagai manusia. Tidak ada yang salah jika kamu merasa terluka. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian.”

Dia terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil, senyum yang lebih tulus dibandingkan sebelumnya. “Aku… belum pernah merasa sesederhana itu. Terima kasih.”

Aku tersenyum. Ada perasaan yang sulit diungkapkan, tapi aku merasa sedikit lebih lega. Mungkin hanya dengan berbicara, dia bisa sedikit melepaskan beban yang menekan dirinya. Tapi, aku tahu ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang harus dilalui Ryvan.

Kami duduk di sana untuk waktu yang cukup lama, hanya menikmati keheningan yang kini terasa lebih nyaman. Taman itu tidak lagi sepi. Ada suara-suara yang datang dari jarak jauh, orang-orang yang kembali ke dunia mereka. Tapi di antara semua itu, aku dan Ryvan tetap berada dalam dunia kecil kami, mencoba mencari tahu apa yang bisa kami lakukan dengan hidup yang masih tersisa.

 

Patah yang Tak Terlihat

Hari-hari setelah itu menjadi lebih berat, tapi entah kenapa, kehadiran Ryvan tidak lagi membuatku merasa tertekan. Malah, dia seperti jadi pengingat bagi aku untuk tidak melupakan betapa kuatnya seseorang bisa bertahan meskipun sudah kehilangan hampir segala-galanya. Mungkin karena aku bisa melihat sedikit cahaya dalam dirinya, yang meski pudar, masih ada.

Tapi meski aku mulai merasa sedikit lebih tenang dengan keberadaannya, aku juga tahu, semakin aku mengenal Ryvan, semakin banyak luka-luka yang muncul. Tidak hanya dia, aku pun merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku, dalam cara aku melihat dunia dan orang-orang di sekitarku. Seakan semua yang dulu aku pikir penting, sekarang tidak lagi terasa begitu berarti.

Pada suatu pagi, aku memutuskan untuk mengunjungi tempat Ryvan bekerja. Dia sering bercerita tentang betapa dia mencintai pekerjaannya—di sebuah bengkel mobil tua yang tak jauh dari toko roti. Tempat itu tampak sangat jauh dari kehidupan yang pernah dia miliki sebelumnya, jauh dari kesuksesan dan kenyamanan yang dulu mengelilinginya. Tapi aku tahu, baginya, bengkel itu bukan sekadar tempat mencari uang. Itu adalah tempat di mana dia merasa dirinya masih ada, masih bisa berbuat sesuatu.

Ketika aku sampai di depan bengkel, aku melihat Ryvan sedang membongkar mesin mobil tua yang tampaknya sudah rusak parah. Tangannya terlihat kotor dengan minyak, tapi wajahnya yang tegang menunjukkan keseriusannya. Dia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Aku berdiri di ambang pintu bengkel, ragu apakah harus mengganggunya atau membiarkannya bekerja dengan tenang. Namun, dia tiba-tiba menoleh dan melihatku.

“Ada apa?” tanyanya, suara rendah dan sedikit kelelahan. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menyimpan api yang tidak bisa dipadamkan.

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Aku hanya ingin melihat, apakah semuanya baik-baik saja di sini?”

Ryvan menyeringai kecil, lalu kembali menatap mesin di hadapannya. “Baik-baik saja, kalau kamu hanya ingin melihat.” Dia melanjutkan pekerjaannya, tangan terampilnya bergerak cepat, memperbaiki mesin yang tampaknya sudah hampir tidak bisa diselamatkan.

Aku berdiri di sampingnya, menyaksikan cara dia bekerja. Pekerjaannya, meski terkesan kotor dan kasar, memiliki ketelitian yang luar biasa. Bagiku, ini adalah sisi lain dari dirinya—sisi yang tak banyak orang tahu. Sebuah keahlian yang menyimpan banyak cerita, sebuah cara untuk mengalihkan pikirannya dari kenangan yang menghantui.

“Tiga tahun,” dia berkata tiba-tiba, suaranya serak. “Tiga tahun yang hilang, dan aku masih di sini. Entah kenapa aku masih mencoba bertahan di tempat ini. Tapi kadang, aku merasa seperti mesin ini. Hancur, tapi terus diperbaiki meski tak tahu apa yang sedang diperbaiki.”

Aku mengerti. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku tahu persis apa yang dia maksud. Betapa terkadang hidup terasa seperti rutinitas yang terus berulang, memperbaiki sesuatu yang sudah rusak, tapi tidak tahu apa yang harus diperbaiki lebih dulu. Aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Mungkin karena aku sendiri merasa seperti itu—seperti sedang memperbaiki potongan-potongan hidupku yang rapuh dan terkoyak.

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ryvan?” tanyaku, suaraku lembut. Aku tak tahu kenapa aku bertanya hal ini, tapi entah kenapa pertanyaan itu muncul begitu saja.

Ryvan berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang jauh. Dia meletakkan kunci pas di meja, lalu mengelap tangannya dengan kain. “Aku… tidak tahu. Aku dulu ingin semuanya kembali seperti dulu. Aku ingin hidupku kembali normal. Tapi sekarang, aku merasa seperti… seperti semua yang aku inginkan hanya kenangan kosong.”

Sesuatu dalam diriku bergetar mendengar kata-katanya. Ada begitu banyak kesedihan, ada begitu banyak penyesalan dalam suaranya. Aku ingin menghiburnya, tapi aku tahu, kata-kata takkan pernah cukup untuk mengisi kekosongan yang dia rasakan.

Aku memutuskan untuk mendekatinya, mengangkat tanganku dan meletakkannya di bahunya. “Kamu tidak sendiri, Ryvan,” kataku pelan, merasa berat hati untuk melihatnya begitu terpuruk. “Kamu bisa keluar dari sini. Kamu bisa mulai lagi, meski sedikit demi sedikit.”

Ryvan menoleh padaku, mata kelabunya seolah menembus jauh ke dalam diriku. Ada rasa terima kasih, tapi juga keraguan dalam tatapannya. “Aku sudah lama tak percaya pada hal-hal seperti itu. Mulai lagi… siapa yang mau menerima aku, kalau aku sendiri merasa seperti barang rongsokan?”

Aku menggigit bibir, mencoba untuk mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin tidak mudah, tapi terkadang, mulai dari diri sendiri itu yang paling penting. Kalau kamu tak percaya pada diri sendiri, bagaimana orang lain bisa percaya padamu?”

Ryvan tertawa kering, tapi ada kehangatan yang muncul di mata kelabunya. “Kamu bicara seperti seseorang yang pernah belajar dari luka.” Suaranya penuh pengertian, seperti dia tahu apa yang aku rasakan meskipun aku belum menceritakan apapun.

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih yakin. Mungkin kami berdua bisa mulai memperbaiki potongan hidup kami, meskipun harus dilakukan perlahan-lahan.

Kami duduk diam sejenak, menikmati keheningan yang ada. Aku tahu, perjalanan kami masih panjang. Tapi di saat itu, aku merasa ada secercah harapan yang muncul, meskipun samar. Ryvan bukan hanya seorang pria yang rusak. Dia masih memiliki sesuatu yang bisa diperbaiki. Dan aku, aku hanya ingin menjadi bagian dari proses itu.

 

Kembali ke Jalan yang Benar

Seminggu setelah percakapan itu, sesuatu dalam diri Ryvan mulai berubah. Tak banyak yang berbeda di luar, tapi aku bisa merasakannya. Ada sesuatu dalam langkahnya yang lebih mantap, lebih ringan. Seakan beban yang selama ini dia bawa perlahan mulai berkurang, meski tak sepenuhnya hilang. Kami masih bertemu setiap beberapa hari, berbicara tanpa topik yang pasti, hanya berbagi kesepian yang sering kali terasa lebih nyata saat dilalui sendiri.

Aku tahu, dia belum sepenuhnya pulih. Ada banyak yang harus dia perbaiki, banyak luka yang harus disembuhkan. Namun, aku bisa melihat secercah cahaya di mata kelabunya. Cahaya yang mulai kembali tumbuh meski kecil dan rapuh. Setiap kali dia menghadapiku, aku merasa seperti melihat seorang pria yang mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa memperbaiki hidupnya.

Suatu sore, aku datang ke bengkel lagi. Ryvan sedang duduk di sudut, dengan sebuah buku tua di tangannya. Aku tak tahu apa yang dia baca, tetapi sepertinya itu memberi ketenangan baginya. Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku sudah sering melihat Ryvan berada dalam kesendirian, dalam kesunyian yang kadang menghisap kebahagiaan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Seakan, meskipun dia tak mengatakannya, dia sudah mulai berdamai dengan dirinya sendiri.

Aku mendekat, duduk di sampingnya tanpa berkata-kata. Kami berdua hanya duduk dalam diam, membiarkan waktu berlalu tanpa harus mengisi dengan percakapan. Rasanya aneh, tapi nyaman. Mungkin begitulah, kadang keheningan bisa menjadi cara terbaik untuk menyembuhkan luka-luka yang tak tampak.

“Masih merasa seperti barang rongsokan?” aku akhirnya bertanya, memecah keheningan yang sudah cukup lama mengisi ruangan bengkel.

Ryvan menatapku, sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Tidak lagi,” jawabnya pelan. “Mungkin aku masih rusak, tapi aku merasa… sedikit lebih utuh.”

Aku mengangguk, merasa ringan mendengar kata-katanya. Mungkin ini yang dia butuhkan—bukan kata-kata manis atau janji-janji, melainkan waktu untuk dirinya sendiri, untuk benar-benar menemukan kembali siapa dirinya, meski perlahan-lahan. Aku tahu proses ini tak mudah. Tapi aku juga tahu, dia tidak lagi berjalan sendiri. Dan itu sudah cukup.

Hari itu, kami tidak berbicara banyak lagi. Tapi entah kenapa, rasanya jauh lebih nyaman. Seperti ada ikatan yang tak perlu dijelaskan, sebuah pemahaman yang terbentuk secara alami antara kami. Dan aku tahu, meskipun kami tidak pernah menjanjikan apapun, perjalanan kami berdua baru dimulai. Kami masih memiliki banyak hal yang harus dihadapi, banyak hal yang harus dipelajari.

Ketika senja mulai menyapa dan matahari tenggelam, aku berdiri dan menghadapinya. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Ryvan. Kalau kamu merasa jatuh, kamu bisa selalu bangkit lagi,” kataku, sambil tersenyum.

Dia hanya mengangguk pelan, tetapi di balik matanya, ada kebanggaan yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Sebuah kebanggaan yang datang dari dalam dirinya, bukan dari orang lain. “Terima kasih,” katanya dengan suara lembut, hampir tidak terdengar, tapi aku bisa merasakannya. Terima kasih atas pengertian yang tak terucap, atas kesediaan untuk berada di sana saat dunia terasa terlalu berat.

Saat aku berbalik untuk pergi, aku merasakan sesuatu yang jarang kurasakan sebelumnya—ketenangan. Mungkin hidup memang tidak selalu berjalan mulus. Terkadang kita harus melalui jalan yang berliku dan penuh rintangan. Tapi aku yakin, selama ada orang-orang yang saling mendukung, tidak ada luka yang tak bisa sembuh.

Dan aku tahu, Ryvan akan menemukan jalannya kembali. Mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membawanya menuju kebahagiaan yang selama ini dia cari. Seperti aku, yang juga sedang mencari jalanku sendiri. Namun, kali ini, kami tahu, kami tak lagi sendiri.

 

Jadi, kadang kita harus ingat, nggak semua perjalanan itu mulus, dan nggak semua luka bisa sembuh dalam semalam. Tapi yang pasti, setiap langkah kecil menuju pemulihan itu berarti. Mungkin kita nggak tahu apa yang akan datang, tapi selama kita terus berusaha dan nggak menyerah, semuanya akan punya arti.

Karena yang paling penting bukan seberapa cepat kita bangkit, tapi seberapa kuat kita bertahan dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Dan siapa tahu, di ujung perjalanan, kita bisa melihat cahaya yang selama ini kita cari.

Leave a Reply