Daftar Isi
Jadi gini, kadang kita semua sibuk banget sama segala hal di kehidupan sekolah yang rasanya cepat banget berlalu. Kita sering lupa untuk menikmati tiap momennya, padahal ada banyak banget pelajaran penting yang bisa kita ambil kalau kita cuma berhenti sejenak.
Cerpen ini bakal ngebawa kamu ke dunia yang mungkin nggak asing lagi, tentang pertemanan, perasaan yang tumbuh, dan hal-hal kecil yang akhirnya jadi makna besar dalam hidup. Jadi siap-siap, ini bakal jadi perjalanan yang nggak cuma seru, tapi juga penuh arti!
Perjalanan Tanpa Tergesa
Lorong yang Sepi
Pagi itu, sekolah terasa seperti biasa—ramai, sibuk, dan penuh dengan langkah kaki yang tidak pernah berhenti. Suara tawa dari kelompok teman-teman yang berkumpul di depan kelas, riuhnya diskusi tentang tugas, serta deretan suara sepatu yang menyentuh lantai. Namun, di antara semua itu, aku merasa sedikit terasing. Aku berjalan perlahan, menuruni lorong yang sepi, di mana hanya ada aku dan bayanganku yang terpantul di dinding. Semua orang sepertinya sudah punya tempat di dunia ini, dan aku? Aku hanya berada di antara keramaian itu, berjalan sendiri, dengan pikiran yang berlarian entah ke mana.
Aku mencoba mengusir perasaan aneh itu dengan berpura-pura menikmati keheningan. Berjalan di lorong yang kosong, jauh dari keramaian kelas atau kantin, seakan memberi ruang untuk aku berpikir lebih jernih. Tapi saat melangkah melewati ruang kelas yang masih sepi, mataku menangkap sosok yang sudah lama aku amati. Di sudut kelas, ada Faris, duduk di meja belakang, dengan buku di tangannya dan earphone yang sepertinya menyelubungi dirinya dari dunia sekitar.
Pikiranku kembali berlarian. Faris, si anak pintar yang selalu duduk sendirian, tidak terlalu banyak bicara, dan tampaknya terlalu menikmati dunia dalam kepalanya sendiri. Sering kali aku melihatnya di sana, seperti tenggelam dalam pikirannya, seolah ada dunia lain yang hanya bisa dia pahami.
Tanpa banyak berpikir, aku melangkah mendekat. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk berbicara dengannya. Mungkin karena aku merasa… mungkin kami sama-sama merasa terasing?
Aku berdiri di samping mejanya, mencoba membuka percakapan. “Hei, Faris. Lagi baca apa?”
Dia menoleh perlahan, sedikit terkejut melihat aku yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Namun, hanya ada senyum tipis di wajahnya. “Oh, ini… buku tentang teori fisika,” jawabnya dengan suara rendah, seperti biasa.
“Fisika, ya? Hm, kamu selalu baca buku yang berat-berat, ya,” kataku sambil melirik buku yang ada di tangannya. “Pasti sulit banget.”
Dia hanya mengangkat bahu sedikit. “Bagi beberapa orang mungkin iya. Tapi buat aku, ini… cukup menarik.”
Aku terdiam, mencoba memahami jawabannya. Ada sesuatu yang tenang dari cara dia berbicara, seakan dia tidak terganggu oleh banyak hal di sekitar. Aku, yang sering kali merasa ribut dalam pikiranku, merasa sedikit kagum.
“Aku nggak ngerti sih, sejujurnya,” lanjutku dengan sedikit canggung. “Tapi… keren aja, kamu bisa fokus kayak gitu.”
Faris hanya tersenyum samar. “Kadang, lebih baik sendiri. Dunia terlalu ramai. Aku butuh ruang untuk berpikir.”
Pernyataan itu membuat aku terdiam sejenak. Entah kenapa, kata-katanya terasa seperti melukai sesuatu di dalam diri aku, tapi dalam cara yang tidak menyakitkan. Seperti ada kebenaran yang begitu sederhana dalam ungkapannya, yang justru membuat aku merasa… lebih kesepian lagi.
Aku menghela napas pelan dan memutuskan untuk duduk di kursi sebelahnya. Tidak ada yang membicarakan tentang pelajaran atau kegiatan sekolah, hanya keheningan yang terasa nyaman. Terkadang, aku merasa aneh karena bisa duduk begitu dekat dengannya tanpa perlu banyak berbicara. Mungkin itu yang Faris cari. Keheningan. Dan mungkin juga aku.
Aku tidak tahu berapa lama kami duduk begitu saja, sampai akhirnya bel berbunyi. Suara kerasnya mengingatkan kami bahwa dunia di luar sana sedang berputar, dan kami harus kembali ke dalamnya.
“Kayaknya aku harus ke kelas dulu,” kataku sambil bangkit dari kursi.
Faris mengangguk, lalu menoleh ke arahku. “Iya, aku juga harus lanjut baca ini.”
Aku tersenyum tipis, melangkah menjauh dari mejanya. Tapi saat langkahku sudah hampir mencapai pintu, aku berhenti sejenak. Aku menoleh ke belakang. “Faris,” aku memanggil namanya.
Dia menatapku dengan tatapan yang tenang, seolah sudah terbiasa dengan aku yang tiba-tiba muncul dan pergi begitu saja. “Ya?”
“Kenapa selalu sendiri? Aku nggak pernah lihat kamu ngobrol sama orang lain,” tanyaku tanpa berpikir panjang. Aku hanya penasaran.
Dia mengangkat bahu lagi. “Aku lebih suka seperti ini. Menjadi diri sendiri.”
Ada keheningan yang berat setelah kalimat itu. Aku tahu, jawabannya bukan sekadar tentang ingin sendiri, ada lebih dari itu. Tapi aku tidak memaksakan diri untuk mengerti. Mungkin suatu hari nanti aku akan paham.
Aku melangkah keluar dari kelas dan kembali bergabung dengan teman-teman di luar sana. Tapi sesaat setelah aku berbaur dengan keramaian itu, pikiranku kembali melayang. Faris dengan buku-bukunya, dengan dunia yang dia ciptakan sendiri—itu dunia yang ingin aku coba pahami. Aku merasa, meskipun aku dan Faris dari dua dunia yang berbeda, ada sesuatu yang bisa menghubungkan kami. Sesuatu yang aku rasakan, meski tak bisa kutuangkan dalam kata-kata.
Jejak di Sudut Kelas
Hari-hari berlalu begitu saja, dan meskipun aku tak terlalu memperhatikan, sesuatu mulai berubah. Aku mulai merasa sedikit lebih dekat dengan Faris, meski hanya dalam keheningan. Kami tidak berbicara banyak, tetapi ada kenyamanan dalam kehadirannya—seperti dua orang yang tahu bahwa kadang-kadang tidak ada yang perlu diucapkan untuk membuat hubungan itu berjalan. Setiap kali aku melihatnya di sudut kelas, aku merasa ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara kami, meski kami tak pernah membicarakannya.
Suatu pagi, saat aku berjalan menuju kelas, aku melihat Faris lagi. Kali ini, dia duduk sendirian di taman sekolah, seperti biasa dengan buku di tangan, mengenakan earphone yang sudah familiar itu. Tapi ada sesuatu yang berbeda di sana—ada seberkas cahaya yang sepertinya mengalir begitu terang, meskipun langit masih mendung.
Aku berhenti sejenak, memandangi sosoknya yang terlihat tenang, seperti selalu. Tanpa sadar, langkahku membawa aku lebih dekat kepadanya. Aku duduk di bangku kosong yang ada di sebelahnya. Tanpa berkata apa-apa, aku hanya mengamati buku yang dia pegang.
“Masih fisika?” tanyaku, mencoba membuka percakapan lagi.
Dia mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. “Iya. Ada beberapa konsep yang aku ingin pastikan paham.”
Aku tertawa pelan. “Kamu pasti tipe yang kalau mau sesuatu, pasti dibaca berulang-ulang, ya?”
Faris menoleh ke arahku, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bisa dibilang begitu. Lebih mudah belajar sendiri, menurutku.”
Aku tersenyum, merasakan sedikit rasa kagum. “Aku nggak ngerti sih. Belajar sendiri pasti enak ya, bisa atur waktu sendiri, nggak ada gangguan.”
“Kadang, belajar itu bukan soal waktu. Tapi soal keinginan untuk benar-benar memahami,” jawabnya pelan.
Aku terdiam, merenung sejenak. Ada kedalaman dalam kata-katanya yang tidak bisa aku sembunyikan. Faris bukan hanya pandai dalam fisika, tapi dalam cara dia melihat dunia.
Beberapa detik hening berlalu. Aku hanya duduk, menikmati suasana sekitar yang sejuk. Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. “Kamu sering kesini?”
Aku menoleh dan melihat Faris yang kini menatapku dengan tatapan yang serius.
“Biasanya, sih,” jawabku, merasa sedikit canggung. “Kadang aku suka mencari ketenangan di sini, jauh dari semua orang.”
Faris mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku melihat bahwa ada sedikit kecanggungan di dirinya. Seolah dia sedang berusaha membuka ruang untuk seseorang yang tidak pernah dia izinkan sebelumnya. Ada sesuatu yang terpendam di dalam dirinya, sesuatu yang bisa jadi aku tak akan pernah tahu.
Kami duduk berlama-lama di sana, hanya menikmati kebersamaan yang entah kenapa terasa begitu tenang. Ada sebuah rasa yang berbeda, seperti ada sesuatu yang menyatukan kami meski kami tidak mengatakannya secara langsung. Aku merasa nyaman, seperti ada ruang untuk berbicara atau diam, dan itu sudah cukup.
Hingga akhirnya, kami kembali ke kelas. Saat bel berbunyi, menandakan waktu pelajaran dimulai, aku beranjak berdiri. “Aku… pergi dulu ya,” kataku, sedikit gugup meski aku tak tahu kenapa.
Faris mengangguk perlahan, lalu menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Sampai nanti.”
Aku hanya mengangguk dan berjalan meninggalkannya, tetapi perasaan itu tetap ada. Seperti ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang masih tergantung di antara kami, meski tak terucapkan. Aku merasa semakin bingung, tetapi juga semakin penasaran. Apa yang sebenarnya ada di dalam hati Faris? Kenapa, meski jarak kami begitu dekat, selalu ada hal-hal yang terasa jauh dan sulit dipahami?
Tapi aku tidak ingin memaksakan semuanya. Seperti yang Faris katakan, kadang kita perlu ruang untuk berpikir. Aku hanya ingin menikmati momen ini—momen di mana ada dia di sana, di sudut kelas yang sama, tanpa perlu banyak kata. Momen di mana kehadirannya sudah cukup untuk membuat dunia sedikit lebih tenang.
Festival yang Mengubah Segalanya
Hari festival sekolah datang dengan cepat, seolah-olah waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Semua orang sibuk mempersiapkan acara, mengecat spanduk, mendekorasi ruang kelas, dan berdiskusi tentang pementasan yang akan mereka lakukan. Tapi kali ini, aku merasa sedikit berbeda. Biasanya, festival adalah waktu yang penuh kebersamaan dengan teman-teman, tetapi entah kenapa, tahun ini aku merasa seperti berada di luar keramaian, seolah-olah aku bukan bagian dari hiruk-pikuk itu.
Aku berdiri di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang berlarian dengan kostum aneh mereka, tertawa terbahak-bahak, dan berteriak kegirangan. Rasanya, aku seperti seorang pengamat, bukan seorang peserta. Semua tampak begitu hidup, sementara aku merasa seperti bayangan di tengah keramaian itu.
Saat itulah aku melihat Faris lagi. Dia berdiri sedikit lebih jauh dari kerumunan, mengenakan kacamata hitam dan jaket hitam yang biasa dia pakai. Tidak ada yang spesial, tapi entah kenapa, dia terlihat berbeda. Ada sesuatu yang menarik tentang cara dia berada di tengah keramaian itu, meski tak terlibat langsung.
Aku melangkah mendekatinya, agak ragu, tapi tetap saja kaki ini melangkah tanpa aku perintahkan. Faris menyadari kehadiranku dan menoleh, namun senyumannya kali ini berbeda—lebih hangat, lebih terbuka.
“Hey,” sapaku dengan ringan. “Lagi ngapain di sini? Bukannya harusnya kamu ikut acara?”
Dia tersenyum samar, mengangkat bahu sedikit. “Aku… suka melihat semuanya dari jauh. Terkadang lebih menarik kalau kita nggak terlibat langsung. Bisa lihat hal-hal yang orang lain nggak perhatikan.”
Aku tertawa pelan, merasa sedikit lebih nyaman dengan obrolan ringan ini. “Iya, sih. Aku juga gitu. Kadang merasa lebih enak kalau jadi pengamat daripada terlibat langsung.”
Kami berdua berdiri di sana, terdiam dalam kesunyian di tengah keramaian. Saat itulah aku merasa ada yang berbeda. Aku sudah lama tidak merasa seperti ini—terhubung dalam diam, berbicara dengan seseorang yang rasanya mengerti lebih dari yang aku katakan. Dalam sekejap, semuanya terasa lebih ringan.
Namun, festival kali ini juga membawa perubahan. Aku tak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang berubah di antara kami—sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan santai dan kebersamaan tanpa kata. Perasaan itu mengambang, tidak bisa dijelaskan dengan jelas. Mungkin itu adalah perasaan yang biasa dirasakan ketika kamu merasa dekat dengan seseorang tanpa benar-benar tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
Seiring berjalannya acara, kami tidak berbicara banyak lagi, tetapi tidak ada keheningan yang canggung. Kami berjalan bersama ke beberapa tempat, menonton pertunjukan dari kejauhan, dan kadang tersenyum melihat anak-anak yang berlarian dengan kegembiraan. Semua tampak begitu biasa, namun begitu berarti.
Tiba-tiba, Faris berkata, “Aku rasa… kadang kita butuh momen seperti ini. Saat semuanya hanya terasa sederhana dan tidak ada yang harus dibuktikan.”
Aku menatapnya dengan bingung. “Apa maksud kamu?”
Dia menatap mataku sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terkadang kita terlalu sibuk mencari arti dalam hidup. Padahal, mungkin kita hanya perlu berhenti sejenak, dan merasakan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Ada begitu banyak kebenaran dalam apa yang dia katakan. Aku sering merasa terbebani dengan harapan-harapan yang datang dari diri sendiri maupun orang lain. Terkadang, aku merasa harus melakukan banyak hal, mencapai banyak hal. Tapi mendengarkan kata-kata Faris membuat aku sadar bahwa mungkin aku sudah lupa untuk menikmati hal-hal sederhana dalam hidup.
Festival berlanjut, tapi aku merasa momen itu sudah cukup untuk mengubah banyak hal dalam diriku. Ada sesuatu yang mulai tumbuh—sesuatu yang belum aku pahami sepenuhnya. Mungkin itu adalah perasaan yang tumbuh perlahan, tidak tergesa-gesa, seperti bunga yang mekar di tengah musim semi.
Saat acara hampir berakhir, Faris menatapku dan berkata, “Terima kasih sudah menemani. Mungkin aku nggak banyak bicara, tapi… aku senang bisa ada di sini.”
Aku tersenyum, merasa ada kehangatan dalam kata-katanya. “Aku juga senang. Ternyata festival sekolah bisa jadi lebih menarik kalau kita nggak terburu-buru ikut acara.”
Kami berpisah di lapangan, dan aku kembali ke keramaian bersama teman-teman lain. Tapi ada perasaan yang tertinggal—perasaan yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Sesuatu yang belum selesai, tetapi juga terasa tepat.
Dalam langkahku yang kembali menuju keramaian, aku tahu bahwa festival ini akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan—bukan karena semua yang terjadi di luar sana, tetapi karena sesuatu yang baru tumbuh di dalam diri aku. Sesuatu yang akan terus mempengaruhi langkahku, meskipun aku belum tahu ke mana arah perasaan itu akan membawa kami.
Menemukan Arti di Tengah Semua Keheningan
Waktu terus berlalu, dan festival sekolah itu menjadi kenangan manis yang tak akan terlupakan. Namun, seperti halnya festival yang berakhir, hubungan kami pun akhirnya sampai pada titik di mana kata-kata tak lagi dibutuhkan. Perasaan itu tumbuh begitu perlahan, dan meskipun tak ada banyak perubahan besar, aku merasakannya. Kami kembali ke rutinitas sekolah seperti biasa, namun kali ini ada semacam kedekatan yang tak terucapkan, sebuah kedalaman yang terbangun dari kebersamaan tanpa paksaan.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin mengerti apa yang Faris maksud dengan menikmati hal-hal kecil dalam hidup. Setiap kali aku berjalan ke sekolah, aku tak lagi terburu-buru. Aku berhenti sejenak menikmati suara burung, atau memandangi langit yang mulai memerah di sore hari. Rasanya, hidup ini tak selalu harus penuh dengan target dan ambisi. Ada kalanya kita hanya perlu berhenti sejenak, menikmati setiap detiknya, dan membiarkan perasaan itu mengalir begitu saja.
Namun, ada juga momen-momen yang membuat hati ini berat. Suatu pagi, saat aku sedang duduk di bangku taman sendirian, aku melihat Faris di kejauhan, berjalan dengan langkah cepat, seperti biasa. Ada yang berbeda dengan cara dia berjalan hari itu. Seolah ada sesuatu yang membuatnya terburu-buru, meskipun tidak ada yang perlu dia kejar. Aku merasa ada sesuatu yang tertahan di dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan.
Faris berhenti beberapa langkah di depanku, dan tanpa berkata apa-apa, dia duduk di sebelahku. Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya, tapi hanya ada keheningan yang menyelimuti kami.
“Ada apa?” tanyaku akhirnya, sedikit khawatir.
Dia menoleh ke arahku, lalu menarik napas panjang. “Kadang, hidup ini nggak seperti yang kita harapkan, ya?” ucapnya pelan. “Aku rasa aku sudah terlalu lama menyembunyikan banyak hal. Bahkan, aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskannya.”
Aku merasa sedikit cemas mendengarnya. “Apa maksud kamu?”
Faris memandang ke depan, jauh ke horizon, seolah mencari jawabannya di sana. “Aku… nggak tahu. Aku merasa terkadang, aku terlalu fokus pada hal-hal yang nggak penting. Aku jadi melupakan hal-hal yang seharusnya penting.”
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Rasanya, aku sudah mulai mengerti apa yang dia rasakan. Seperti yang dia katakan dulu, kita sering terlalu sibuk mengejar sesuatu yang besar dan terlupakan tentang hal-hal kecil yang membuat hidup ini berarti.
“Kamu nggak perlu selalu menjelaskan semuanya, Faris,” kataku lembut, “Kadang, kita cuma perlu waktu untuk merenung dan merasakannya. Tidak ada yang salah dengan itu.”
Faris menatapku dengan tatapan yang lebih dalam, seolah-olah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. “Terima kasih,” jawabnya akhirnya, “Terima kasih sudah selalu ada di sini, meskipun aku nggak selalu tahu bagaimana cara menunjukkan bahwa aku juga peduli.”
Aku tersenyum, merasa lebih tenang. Ada kehangatan yang datang dari kata-katanya, meski sederhana. “Tidak ada yang perlu dipaksakan, Faris. Kita cuma butuh waktu, nggak perlu terburu-buru.”
Hari itu, kami berdua duduk diam, menikmati keheningan di taman. Semua terasa begitu mudah, meskipun tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Mungkin, ini adalah bagian dari perjalanan yang belum selesai—sebuah perjalanan yang tidak memerlukan penjelasan, tapi hanya membutuhkan keberadaan satu sama lain.
Ketika bel berbunyi, menandakan waktu untuk masuk ke kelas, kami berdua berdiri, tanpa kata-kata lagi. Aku melangkah pergi, tapi entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam kedamaian yang menyeliputi hati ini, sebuah perasaan bahwa tidak ada yang perlu diselesaikan dengan terburu-buru. Semua akan datang pada waktunya.
Sejak saat itu, aku dan Faris tidak lagi merasa tertekan oleh waktu atau perasaan yang belum terungkap. Kami berjalan bersama di antara keramaian, dengan cara kami sendiri, menikmati setiap momen yang ada. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Tidak ada yang harus dicapai. Hanya ada kami, dua orang yang saling memahami tanpa perlu berbicara.
Dan begitu, perjalanan kami—perjalanan yang sederhana, tetapi bermakna—terus berlanjut, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti, meskipun tak selalu terlihat jelas tujuannya. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana kami menikmati perjalanan itu, bersama-sama.
Dan akhirnya, kita sadar bahwa terkadang, hidup nggak selalu harus dikejar-kejar dengan tujuan yang jelas. Kadang, hal-hal kecil yang kita alami dengan orang-orang di sekitar kita itu yang paling berarti.
Tanpa harus ada tekanan atau ekspektasi, kita bisa menikmati setiap momen, sama seperti perjalanan hidup yang nggak selalu perlu dipahami, tapi cukup dirasakan. Jadi, semoga cerita ini bisa ngasih kamu sedikit refleksi tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup—dengan lebih rileks, tanpa terburu-buru, dan lebih menghargai setiap detiknya.


