Cerpen Tentang Menurut pada Orang Tua: Konflik Antara Harapan dan Kebebasan

Posted on

Kadang, kita cuma bisa menurut aja sama orang tua, kan? Mereka bilang A, kita langsung lakuin A, meski hati pengen banget bilang B. Tapi, gimana kalau semuanya udah mulai terasa kayak beban, dan kita mulai nanya, Apa sih yang sebenernya aku mau?

Cerita ini bakal ngulik perasaan itu, tentang anak yang terjebak di antara harapan orang tua dan mimpi pribadinya yang terkubur. Yuk, ikuti perjalanan Raka, yang ngadepin dilema antara menurut dan mengikuti hatinya sendiri.

 

Konflik Antara Harapan dan Kebebasan

Bayang-Bayang yang Mengatur

Pagi itu, aku masih duduk di meja makan, merenung di antara dua dunia yang terasa semakin berbeda. Suara sendok dan garpu beradu dengan piring mengisi ruang yang seharusnya penuh kehangatan. Tapi entah kenapa, setiap suapan terasa makin hambar, seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan, lebih berat daripada sekadar makanan.

Ayahku, Pak Damar, duduk di ujung meja dengan wajah serius. Aku bisa merasakan tatapannya yang menilai setiap gerak-gerikku. Sepertinya, sudah tak ada yang tersisa dari kesabaran yang dulu pernah mereka miliki untukku. Aku bukan lagi anak kecil yang dulu bisa tertawa tanpa beban. Sekarang, setiap langkah yang kuambil selalu ada harapan yang lebih besar yang harus kuturuti, meskipun aku tak pernah tahu apakah itu benar-benar yang aku inginkan.

“Kenapa kamu masih seperti ini?” suara ayah memecah keheningan yang terlalu lama, seperti petir yang menyambar di tengah hujan. “Kamu cuma bisa berdiam diri di rumah, tidak melakukan apa-apa. Lihat teman-temanmu! Mereka sudah berhasil menjalani hidup mereka. Kamu kenapa?”

Aku mengangkat wajah, mencoba menatap matanya, tapi aku tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Dia ingin aku melihat bahwa aku telah mengecewakan harapan besar mereka. Itu bukan lagi sekadar soal nilai atau prestasi. Semua ini sudah berlarut, bahkan sejak aku mulai sekolah, dan terus berlanjut sampai sekarang. Aku sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. “Kamu harus lebih baik.” “Kenapa kamu tidak bisa seperti mereka?”

“Ayah, aku sudah berusaha,” jawabku pelan. Kata-kataku terasa tercekik di tenggorokan, nyaris tak bisa keluar dengan bebas. Rasanya, seakan-akan setiap kali aku mencoba berbicara, ada suara lain yang menyela. Suara yang mengingatkan bahwa apa yang aku katakan tidak cukup, tidak pernah cukup. “Tapi aku hanya… hanya ingin merasa baik dengan diriku sendiri, ayah.”

Tapi sepertinya aku tidak bisa mengatakannya. Aku tahu apa yang akan datang setelah itu. Ayahku akan marah, lagi-lagi. Seperti biasa, suara itu akan meninggi, mengancam, menuntut. Dan aku? Aku hanya bisa menuruti. Tidak ada pilihan lain.

Pak Damar mendengus pelan, lalu menunduk, memandang piringnya. “Kamu tidak paham. Semua ini untuk kebaikanmu. Kalau kamu tidak berusaha lebih keras, kamu akan menyesal seumur hidup.”

Aku menelan ludah, mencoba menahan air mata yang rasanya hampir tumpah. Sekali lagi, aku merasa dipaksa untuk menjalani hidup orang lain. Aku tak pernah diberi kesempatan untuk membuat pilihan sendiri. Aku hanya menurut. Kalau tidak, aku akan dihantui dengan kata-kata seperti itu—kata-kata yang selalu mengingatkanku bahwa aku tidak cukup baik.

Di seberang meja, ibuku, Bu Sari, hanya diam, menunduk, seolah berusaha menghindari perdebatan yang semakin memanas. Wajahnya terkulai lemah, seperti sudah terbiasa mendengarkan amarah ayahku yang tak pernah berakhir. Ia sering kali menenangkan, tapi kali ini, ia tidak banyak bicara. Bahkan ia seperti tidak mendengar percakapan kami.

“Bu, kamu tahu kan, kenapa dia seperti itu,” kata Pak Damar, suaranya masih penuh kekesalan. “Coba lihat, semua yang kita lakukan untuknya, masih saja tidak ada hasilnya.”

Bu Sari hanya mengangguk perlahan, membisu. Dia tidak menyahut, hanya memandangku dengan tatapan kosong. Aku tahu, dia ingin menenangkan ayah, tapi kadang-kadang diam itu lebih menyakitkan daripada perkataan apa pun.

Aku berusaha menggenggam sudut serbet di pangkuanku, menghindari tatapan mereka. Sejak kecil, aku selalu merasa seperti tidak ada ruang untuk diriku sendiri. Semua yang aku lakukan harus sesuai dengan yang mereka inginkan. Kalau tidak, semua harapan akan runtuh, seperti bangunan rapuh yang hancur hanya karena satu goresan.

Aku ingin sekali bertanya, Kenapa tidak ada ruang untukku? Kenapa aku harus terus-menerus berusaha memenuhi harapan orang lain?

Tapi aku tahu, tidak ada jawabannya. Atau kalau ada, jawabannya sudah jelas. “Karena kamu anak kami, dan kamu harus melakukan ini untuk kami.”

Aku menggigit bibir. Itu benar. Aku tidak punya pilihan. Aku harus melakukan semua ini, meskipun aku merasa terjebak. Setiap kali aku mencoba berbicara, setiap kali aku ingin mengutarakan apa yang kurasa, ayahku selalu mengatakan bahwa itu adalah alasan. Tidak ada ruang untuk alasan. Yang ada hanya kewajiban. Yang ada hanya perintah.

Setelah sarapan, aku beranjak dengan langkah pelan, berusaha menghindari tatapan mereka yang terus menerus membebani. Aku tahu, aku akan melanjutkan hari ini dengan cara yang sama seperti biasa—menuruti, menuruti, dan menuruti. Tidak ada ruang untuk perasaan atau keinginan sendiri.

Di luar, hujan mulai turun perlahan, membasahi tanah yang gersang. Tapi entah kenapa, aku merasa hujan itu seolah ikut merasakan apa yang ada di dalam diriku. Rasanya, hidupku seperti itu—mencari sedikit kedamaian di tengah kebisingan, mencoba bertahan dengan cara yang tidak bisa kuterima.

Tapi, aku tahu, mungkin, inilah satu-satunya cara untuk bertahan. Kalau tidak menurut, semuanya akan hancur. Dan aku takut, aku takut sekali, jika itu benar-benar terjadi.

 

Di Balik Pintu Kamar

Langkahku terasa berat begitu aku melewati pintu ruang makan. Suara pintu yang tertutup mengakhiri percakapan yang menggema dalam benakku. Hujan di luar semakin deras, suara rintiknya masuk melalui jendela yang terbuka sedikit. Aku berjalan menuju kamar, menekan dada yang terasa sesak, seakan ada beban yang menekan, semakin dalam, semakin sulit untuk bernapas.

Di kamar, aku menutup pintu dengan perlahan, mencoba menciptakan dinding antara dunia luar yang penuh tuntutan dan aku yang ingin menyepi sejenak. Kamar ini, seolah menjadi satu-satunya tempat yang masih memberiku sedikit ruang untuk bernafas. Namun, bahkan di sini, bayang-bayang ayah dan harapan-harapan yang tak kunjung terwujud tetap menghantui.

Aku duduk di tepi tempat tidur, membiarkan tubuhku merosot lemas. Wajahku tenggelam di antara telapak tangan. Setiap kata yang keluar dari ayah masih bergema, membekas di otakku. Kenapa semuanya terasa begitu berat? Kenapa tidak ada satu pun pilihan yang bisa kutentukan sendiri?

Sesekali, aku mengangkat wajahku, menatap gambar-gambar di dinding—gambar-gambar masa kecilku yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Tapi sekarang, semua itu terasa begitu jauh, seperti kenangan yang aku tinggalkan dalam perjalanan yang penuh dengan keputusan orang lain. Aku ingin mengingat betapa bahagianya masa itu, namun bayang-bayang harapan mereka menutupi semuanya.

Pintu kamar yang terbuka sedikit, menarik perhatianku. Ibu masuk tanpa mengetuk, wajahnya tetap tampak lelah. Ada kesan khawatir di matanya, seolah dia tahu betul apa yang baru saja terjadi.

“Raka, kamu baik-baik saja?” suara ibu lembut, hampir seperti bisikan. Aku tidak menjawab langsung, hanya mengangkat bahu pelan, merasa tidak ada yang bisa dijelaskan. Dia duduk di sampingku, memandangku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan. Ada kasih sayang di sana, namun ada juga keputusasaan, seakan dia sudah lelah melihatku selalu berada di persimpangan jalan.

“Ibu tahu kamu tidak nyaman,” katanya pelan. “Tapi ayahmu… dia hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Aku mengangkat wajahku dan menatap ibu, mencoba mencari penjelasan di balik tatapannya yang penuh keraguan. “Ibu tahu kan, aku sudah berusaha? Aku hanya ingin merasa hidup dengan caraku sendiri, tapi kenapa harus selalu seperti ini?” suaraku serak, hampir hilang tertelan angin.

Ibu menghela napas, wajahnya terlihat semakin berat. “Aku mengerti, Raka. Aku mengerti lebih dari yang kamu kira.” Dia berhenti sejenak, matanya seperti mencari-cari kata-kata yang tepat, namun tak kunjung ditemukan. “Tapi kita hidup dalam dunia yang penuh dengan harapan dan tuntutan. Kita tak bisa lari dari itu. Setiap keputusan yang kita buat, selalu ada orang yang terpengaruh.”

Aku menatap ibu dengan rasa bingung yang semakin membesar. “Tapi aku tidak ingin terus hidup seperti ini! Aku ingin jadi diriku sendiri! Aku ingin memilih apa yang aku suka, melakukan apa yang aku impikan tanpa takut dihukum atau dicemooh.” Suaraku mulai meninggi, meskipun aku tahu itu tidak akan membawa perubahan apapun.

Ibu terdiam sejenak, seolah terhanyut dalam pikirannya sendiri. Dia tahu, aku bukan anak kecil lagi yang bisa dibujuk dengan kata-kata manis. Tapi apa yang bisa dia katakan? Apa yang bisa dia lakukan jika keadaan sudah berjalan seperti ini?

“Raka, hidup tidak selalu bisa sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tidak selalu bisa mengikuti kata hati. Terkadang, kita harus mendengarkan suara-suara di luar diri kita, karena itu yang akan membawa kita ke tempat yang lebih baik.”

Aku menatap ibu dengan mata yang penuh keputusasaan. Kata-kata itu kembali menjadi beban yang terasa berat. “Tapi ibu, apa ibu tidak merasa bahwa aku tidak hidup untuk diriku sendiri? Apa ibu tidak merasa bahwa semua ini bukan hidup yang aku inginkan?”

Ibu mengusap rambutku dengan lembut, mencoba menenangkan. “Aku tahu ini sulit, Nak. Tapi ini yang terbaik yang bisa aku berikan. Cobalah sedikit lebih bersabar. Ayahmu… dia hanya ingin kamu sukses, Raka. Jangan benci dia karena itu.”

Aku menggigit bibir, menahan perasaan yang hampir meledak. Kenapa hidupku selalu harus dipenuhi dengan kata-kata ini? Kata-kata yang seolah meyakinkanku bahwa aku harus hidup untuk orang lain, bukan untuk diriku sendiri.

Ibu mencium keningku, lalu bangkit perlahan. “Cobalah untuk tidur sebentar. Kita bicarakan lagi nanti.”

Aku hanya mengangguk pelan. Tapi setelah ibu keluar, aku tahu percakapan ini tak akan pernah berhenti. Itu hanya sebuah penundaan. Setiap hari, aku akan terjebak dalam ruang yang sama—ruang yang penuh dengan harapan orang lain, bukan milikku. Setiap hari aku akan terjebak di antara kata-kata yang mengikatku, yang membuatku merasa seperti tidak pernah punya pilihan.

Aku melangkah ke jendela dan menatap hujan yang semakin deras. Rasanya dunia ini begitu berat. Tapi, di sisi lain, aku juga merasakan kebingungan yang semakin besar. Adakah aku benar-benar ingin keluar dari bayang-bayang mereka? Atau apakah aku akan terus hidup dalam ruang yang sempit ini, tak pernah bisa melangkah keluar dari aturan yang telah mereka buatkan untukku?

Aku meremas tangan, menatap langit yang mendung. Terkadang, aku merasa ingin berteriak, agar semua perasaan ini keluar. Tapi aku tahu, teriakan itu tak akan pernah terdengar.

 

Cermin yang Retak

Pagi ini terasa seperti semua hari sebelumnya—dingin, tertekan, dan penuh dengan ketidakpastian. Hujan yang semalam tidak berhenti, membuat pagi ini terasa lebih kelabu. Aku bangun lebih awal dari biasanya, seolah ada sesuatu yang mendesak, meski tidak tahu apa itu. Cermin di sudut kamar, tempat aku sering menatap diriku, kini terasa seperti benda asing yang mengintip kembali padaku. Seperti cermin yang retak, memantulkan gambaran diriku yang samar, seakan aku tidak mengenali siapa diriku lagi.

Aku menghela napas, berjalan ke meja rias, dan memandang diriku dengan tatapan kosong. Apa yang sudah terjadi pada hidupku? Dulu, aku merasa segalanya mungkin, namun kini… kini aku hanya melihat bayang-bayang diriku yang mengambang tanpa arah. Aku tak tahu lagi siapa yang harus aku dengarkan. Kata-kata ayah, kata-kata ibu, semua terasa seperti suara yang tumpang tindih dan tidak jelas.

Aku membuka lemari, mengambil pakaian yang sudah disiapkan ibu untukku. Setiap kali aku mengenakan pakaian-pakaian itu, rasanya seperti mengenakan topeng. Semua itu bukan milikku, bukan yang kuinginkan. Itu hanya apa yang orang lain pilihkan untukku, dan aku hanya menurut, seolah tak punya suara.

Pagi ini, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Aku ingin merasa bebas untuk sekali saja—melepaskan beban itu, meskipun aku tahu konsekuensinya akan jauh lebih buruk. Tapi tubuhku seperti dipaksa untuk melangkah ke depan. Aku menghela napas panjang, mengenakan seragam dengan perasaan hampa, dan melangkah keluar kamar.

Di ruang makan, seperti biasa, ayah sudah duduk dengan tegap, menanti sarapan. Tatapannya penuh dengan ekspektasi yang belum berubah. Aku bisa merasakan bahwa percakapan semalam masih menggantung di udara, belum selesai, belum ada titik temu. Sedangkan ibu, seperti biasa, tidak banyak berbicara. Hanya senyum kecil yang diberikan, seolah itu cukup untuk mengatasi ketegangan yang terasa begitu nyata di antara kami.

“Sarapan sudah siap,” ujar ibu dengan suara lembut.

Aku hanya mengangguk, duduk di meja makan, mencoba menghindari tatapan ayah. Aku tahu dia pasti sudah mempersiapkan beberapa kata-kata keras untukku, untuk mengingatkan bahwa aku belum memenuhi harapan-harapannya. Sekali lagi, hidupku terasa seperti berjalan di jalur yang tidak aku pilih. Aku tidak ingin ini, tapi aku tidak punya pilihan selain menuruti.

Mereka berbicara, ibu dan ayah, tentang pekerjaan dan urusan lainnya. Aku hanya mendengar suara mereka tanpa banyak fokus. Pikiranku melayang, menyelam lebih dalam ke dalam kegelapan yang semakin menyesakkan. Apa yang aku perjuangkan? Apa yang bisa aku dapatkan dari semua ini selain rasa kosong dan kecewa?

“Semuanya baik-baik saja, kan?” suara ayah menghentikan lamunanku. Aku menoleh pelan, dan bisa melihat kilatan ketegasan di matanya.

Aku terdiam sejenak, ragu menjawab. Bagaimana bisa aku bilang bahwa tidak ada yang baik-baik saja, ketika aku hanya tahu satu hal—aku selalu merasa seperti bukan diri sendiri?

“Ya, ayah,” jawabku pelan. Rasanya, kata-kata itu begitu berat, seperti batu yang aku harus telan.

Ayah mengangguk, puas dengan jawabanku. “Jangan lupa, kamu harus segera menyiapkan diri untuk ujian bulan depan. Jangan seperti minggu lalu, yang hanya menghabiskan waktu di luar.” Tatapannya menembusku, dan aku merasa seperti ada pengawasan yang tak pernah lepas.

Aku mengangguk lagi, tak bisa berkata apa-apa. Semuanya sudah jelas. Setiap harapan, setiap tuntutan, sudah tertulis dalam aturan yang aku tak bisa ubah. Aku bisa saja menentang, bisa saja mengungkapkan rasa kecewaku, tapi aku tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Sekali lagi, aku harus menuruti, harus mendengarkan.

Setelah sarapan, aku beranjak untuk pergi ke sekolah. Langkahku terasa begitu berat, seakan aku harus menyeret seluruh dunia di belakangku. Di luar, hujan masih turun, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Hujan itu tidak hanya membasahi tubuhku, tetapi juga hatiku. Setiap tetesnya menambahkan beban di pundakku. Tidak ada lagi pelarian, tidak ada lagi ruang untuk bernafas.

Di sekolah, semuanya tampak berjalan seperti biasa. Teman-teman di sekitar tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing, namun aku merasa seperti seorang asing di tengah keramaian itu. Aku berjalan dengan langkah pasti, mencoba menutupi kegelisahan yang terus menggerogoti. Aku sudah terbiasa menjadi bagian dari keramaian, tapi aku tidak pernah merasa terhubung. Setiap langkahku terasa lebih jauh dari kenyataan yang ada.

Di ruang kelas, seperti biasa, aku duduk di bangku belakang, memandang sekeliling. Guru memasuki kelas, dan kelas pun menjadi penuh dengan suara-suara diskusi, tanya jawab, dan aktivitas lainnya. Namun pikiranku tetap terbang jauh, mengingat apa yang terjadi di rumah, perasaan terperangkap di antara tuntutan orang tua dan keinginan untuk mencari kebebasan.

Tiba-tiba, ponselku bergetar di dalam tas, mengalihkan perhatianku. Aku melihat layar ponsel yang menunjukkan nama ibu. Dengan sedikit rasa cemas, aku mengangkat telepon itu, mencoba menyembunyikan suara dari keramaian.

“Raka, ingat apa yang kita bicarakan, ya,” suara ibu terdengar lembut di ujung telepon. “Ayah ingin kamu lebih fokus. Jangan biarkan apa yang terjadi di rumah mempengaruhi sekolahmu.”

Aku menutup mata, merasakan ketegangan yang kembali menghimpit dada. “Iya, Bu,” jawabku pelan, meski dalam hati aku ingin berkata sebaliknya—bahwa aku ingin lebih dari sekadar menjadi murid yang selalu memenuhi harapan. Tapi aku tahu, itu tidak akan pernah cukup.

Aku menggantungkan telepon, berusaha menenangkan diri. Setiap detik terasa seperti beban yang semakin menekan. Dan aku tahu, setiap langkah ke depan, setiap pilihan yang aku buat, tidak akan pernah menjadi milikku. Itu hanya milik orang lain.

 

Pelajaran yang Tak Pernah Terucap

Hujan masih turun deras, mengaburkan segala yang ada di luar jendela. Aku duduk di depan meja belajarku, melihat buku-buku yang terbuka tanpa benar-benar membaca. Seperti biasa, pikiranku melayang jauh, menjauhkan diri dari semua yang ada di sekitarku. Di luar sana, dunia terus berjalan—teman-temanku, guruku, bahkan orang tuaku—semua tampak melangkah dengan pasti. Sementara aku, aku terjebak di dalam pikiranku sendiri, terperangkap dalam ketidakpastian yang tak tahu ujungnya.

Aku menghela napas panjang, melirik jam dinding. Waktu berlalu begitu cepat, tapi kenapa semuanya terasa begitu lambat? Setiap menit yang lewat seperti sekumpulan detik yang menindih, mengingatkanku pada segala yang belum aku capai, segala yang tidak bisa aku tentukan untuk diriku sendiri. Semua harapan orang tua—itu yang selalu datang mendahului keinginanku. Ayah, ibu, mereka semua punya rencana untuk masa depanku, tetapi aku merasa seakan aku tidak punya suara di dalamnya.

Kapan aku bisa memilih jalanku sendiri?

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan aku melihat ibu berdiri di ambang pintu, menatapku dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Di belakangnya, ayah muncul, dengan langkah tegas dan wajah yang serius. Kedua orang tuaku selalu tampak seperti pasukan yang siap untuk menjalankan misi. Dan kali ini, mereka datang dengan pesan yang tidak bisa aku hindari.

“Raka,” kata ayah dengan nada yang tak terbantahkan. “Kami sudah memutuskan. Kami ingin kamu lebih fokus pada ujian akhir ini. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada.”

Aku hanya mengangguk, meski dalam hatiku ada perasaan yang berat. Lagi-lagi, aku harus menuruti mereka. Harus mendengarkan suara yang bukan suaraku, mengikuti jalan yang bukan jalanku. Aku bisa melihat harapan di mata mereka, tetapi aku juga bisa merasakan betapa kosongnya aku setiap kali mereka berbicara seolah-olah aku hanya bagian dari rencana besar mereka.

Ibu berjalan mendekat, mengelus rambutku dengan lembut. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Raka,” katanya, suara lembut yang selalu mencoba menenangkan, tetapi aku tahu itu tidak cukup lagi. Semua kalimat itu hanya terasa seperti kebohongan yang mereka ulang-ulang setiap hari.

Aku menatap ibu, merasa cemas. “Aku tahu, Bu,” jawabku pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang sebenarnya ingin meledak. “Aku akan mencoba.”

Ayah mengangguk puas. “Itulah yang kami harapkan. Kamu harus menunjukkan apa yang kamu bisa.”

Mereka berdua berdiri di sana, menatapku seolah-olah harapan mereka ada di bahuku. Tidak ada kata-kata lebih lanjut. Tidak ada ruang untuk pembicaraan lain. Mereka berbalik dan pergi, meninggalkan aku dengan ketegangan yang semakin membesar.

Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana setelah mereka pergi. Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin yang tak ada pintu keluarnya. Setiap jalan yang kutempuh kembali berujung pada orang tua, pada harapan-harapan yang mereka tanamkan. Semua itu seperti tembok yang membatasi gerakanku, membuatku merasa semakin kecil, semakin tidak berarti.

Apa yang harus aku lakukan? Aku bertanya-tanya dalam hati, meskipun aku tahu jawabannya sudah jelas. Aku hanya bisa menurut. Aku harus terus berjalan di jalan yang sudah ditentukan oleh mereka. Apakah itu kebahagiaan? Ataukah ini hanya sebuah pelarian dari rasa takut untuk mengecewakan mereka?

Ketika malam tiba, aku duduk di depan jendela kamar, menatap langit yang tampak gelap. Aku tahu hujan akan berhenti, dan esok pagi akan datang dengan cara yang sama seperti hari ini. Tetapi dalam hati, aku bertanya-tanya, kapan aku bisa menemukan diri aku sendiri? Kapan aku bisa berbicara dengan suara hatiku tanpa takut akan reaksi orang lain?

Mungkin aku akan selalu seperti ini—terjebak di antara dua dunia, antara harapan orang tua dan keinginan hatiku yang semakin terpendam. Dan mungkin, aku tidak akan pernah bisa melarikan diri dari kenyataan itu. Tapi setidaknya, untuk malam ini, aku hanya ingin menikmati kesunyian ini. Tanpa ada suara yang memaksaku untuk menjadi sesuatu yang bukan aku. Tanpa ada harapan yang mengekangku.

Esok akan datang, dan aku akan kembali menuruti. Tapi setidaknya, malam ini, aku adalah milikku sendiri.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Apakah menurut pada orang tua itu selalu berarti kebahagiaan, atau justru malah membuat kita kehilangan diri sendiri?

Raka mungkin belum nemuin jawabannya, tapi perjalanan dia ngajarin kita satu hal: kadang, yang paling penting bukan cuma mendengarkan harapan orang lain, tapi juga menemukan keberanian buat ngikutin jalan yang kita pilih sendiri. Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir lebih dalam tentang keputusan yang diambil dan apa yang sebenernya kamu inginkan dalam hidup.

Leave a Reply