Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri kamu, kayak ada bagian yang nggak lengkap? Mungkin itu yang dirasain Aska. Hidupnya penuh dengan kebiasaan aneh yang nggak bisa dia hilangin, kayak menggigit jarinya setiap kali dia cemas atau stres.
Tapi, ya, siapa yang nyangka kalau di tengah kekacauan itu, ada seseorang yang diam-diam hadir, buat ngebantu dia keluar dari bayang-bayang dirinya sendiri? Ini cerita tentang dua orang yang saling menemukan, tanpa perlu banyak kata, hanya dengan hadir dan nggak pernah pergi. Jadi, kalau kamu penasaran gimana caranya mereka bisa ngelewatin semuanya, yuk, lanjut baca.
Kisah Alina dan Aska
Suara yang Terabaikan
Alina duduk di bangku belakang, memandangi guru yang sedang menerangkan pelajaran yang tak pernah benar-benar dia pedulikan. Seperti biasa, pikirannya mengembara jauh dari ruang kelas yang penuh dengan tawa dan bisik-bisik teman-temannya. Matanya mengarah ke sudut kelas, tempat Aska duduk sendirian, dengan buku terbuka di depan matanya, tetapi dia lebih sering memandang kosong ke luar jendela. Kuku-kukunya yang sudah tidak berbentuk itu terus bergerak ke mulutnya, menggigitnya pelan.
Alina mengerutkan kening. Sudah cukup lama ia memperhatikan Aska, tetapi baru kali ini dia benar-benar memperhatikan kebiasaan aneh itu. Aska selalu menggigit jarinya—secara berulang, tanpa henti. Seolah itu adalah bagian dari rutinitas hidupnya yang tak bisa dihentikan.
“Aneh banget sih,” gumam Alina dalam hati.
Mungkin hanya dia yang memperhatikan hal kecil seperti itu. Teman-temannya yang lain sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tidak ada yang peduli pada Aska. Lagi pula, siapa yang benar-benar peduli pada orang yang selalu terlihat seperti dia—seseorang yang terisolasi dan dingin, yang lebih suka menghabiskan waktu sendirian daripada bergaul dengan orang lain?
Ketika bel istirahat berbunyi, Alina tidak segera beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Aska yang masih berada di sudut, jarinya kembali menggigit. Alina menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan mendekat.
“Hei, Aska,” sapa Alina, sedikit ragu.
Aska menoleh, matanya yang tajam dan kecokelatan menatapnya dengan kosong. “Hmm?” jawabnya, seolah tak terkejut dengan kedatangan Alina yang memang jarang mengajaknya bicara.
“Apa sih yang kamu lakukan itu?” Alina menunjuk ke tangannya yang terus bergerak, menggigit kuku-kuku yang hampir habis itu.
Aska terdiam sejenak, lalu menarik tangannya dari mulutnya dan memiringkan kepala, seolah menilai Alina. “Apa maksudmu?” jawabnya pelan, suara seraknya terdengar datar.
“Kenapa kamu selalu menggigit jarimu? Itu nggak baik, lho,” Alina bertanya, mencoba terdengar peduli.
Aska memandangnya sekilas, lalu mengangkat bahunya dengan acuh. “Aku suka,” katanya dengan nada yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun.
Alina terkejut dengan jawaban singkat itu. “Kamu suka?” ulangnya, mencoba memahami. “Suka? Itu kan nggak sehat, Aska. Gak takut sakit?”
“Sudah kebiasaan,” jawabnya lagi, kali ini suaranya semakin datar dan dingin. “Sakitnya nggak sebanding sama yang lain.”
Alina bingung. “Maksud kamu?”
Aska tidak langsung menjawab. Ia hanya kembali menatap ke jendela, membiarkan udara pagi yang masuk lewat kaca memberi sedikit ketenangan di tengah kebisingan kelas yang mulai ramai. Beberapa detik berlalu sebelum ia mengeluarkan suara pelan, hampir seperti gumaman. “Ada hal-hal yang lebih menyakitkan daripada ini.”
Alina terdiam. Tidak tahu harus berkata apa, ia hanya mengangguk perlahan.
“Kalau kamu nggak mau tahu, yaudah,” Aska melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih lembut, tetapi masih terkesan menghindar.
Namun, Alina merasa ada sesuatu di balik semua itu—sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kebiasaan buruk. Dia bisa merasakan rasa sakit itu, meski Aska berusaha menutupinya dengan keheningan dan sikap dinginnya.
“Jangan bilang aku nggak kasih tahu,” kata Aska, tersenyum kecil. “Aku nggak butuh pengertian orang lain.”
“Gak juga sih,” jawab Alina, “Tapi kamu tahu, kalau kamu nggak bisa ngendaliin ini, nanti bisa bahaya.”
Aska mengalihkan pandangannya dan kembali menggigit jarinya. Alina merasa kata-katanya hanya menghilang begitu saja. Sepertinya, dia tidak akan bisa mengubah apa pun.
“Aku nggak peduli,” Aska bergumam. “Lagipula, ini satu-satunya yang bisa aku kendalikan.”
Alina merasa keheningan yang tiba-tiba menguar di antara mereka. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, begitu banyak yang ingin ia ungkapkan. Tapi ada sesuatu dalam diri Aska yang membuatnya ragu. Sesuatu yang terlalu terluka untuk dibicarakan begitu saja.
Alina menatapnya satu kali lagi, berharap bisa melihat sedikit kelegaan di mata Aska, tapi dia hanya melihat bayangan kesepian.
“Aku tetap di sini, kalau kamu butuh teman,” akhirnya Alina berkata, dengan suara lebih lembut. “Aku nggak bakal ninggalin kamu.”
Aska hanya diam, tidak memberi respon. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin dia tidak berkata apa-apa, tapi ada sedikit perubahan di raut wajahnya—sedikit lebih tenang, meski masih tersembunyi di balik dinding yang keras itu.
Alina berpaling dan berjalan pergi, tetapi kali ini, ia merasa ada ikatan yang mulai terjalin di antara mereka—ikatan yang tidak mudah untuk diputuskan. Seperti halnya kebiasaan buruk Aska, ikatan ini pun mungkin akan sulit untuk dilepaskan.
Di Balik Jari yang Terluka
Alina tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Pikirannya terus berputar, terjebak pada wajah Aska yang dingin dan kata-kata singkatnya yang penuh makna. Ada rasa ingin tahu yang begitu dalam, tetapi lebih dari itu, ada keinginan untuk membantu—meskipun dia tahu itu mungkin mustahil. Aska bukan tipe orang yang mudah dibantu, apalagi dimengerti. Ia hanya terdiam, terus menggigit jarinya, seolah-olah itu adalah cara dia mengendalikan dunianya yang kacau.
Keesokan harinya di sekolah, Alina tidak bisa menahan diri. Ia berjalan menuju tempat duduk Aska setelah bel istirahat berbunyi. Aska sedang duduk dengan ekspresi yang sama seperti kemarin—terisolasi, jauh dari dunia sekitar. Tangannya terulur, jarinya bergerak menuju mulut, siap menggigit lagi.
“Hey, Aska,” Alina menyapa, kali ini suaranya lebih berani, lebih tegas.
Aska mengangkat wajahnya, mata kecokelatannya masih terlihat kosong, tetapi kali ini ada sedikit rasa penasaran di sana. “Kamu lagi,” ujarnya, tidak terdengar kesal, hanya datar.
Alina duduk di kursi yang kosong di sampingnya. “Aku cuma mau tanya lagi,” katanya, mencoba mencari cara untuk membuka pembicaraan yang lebih dalam. “Kenapa kamu terus gigit jari, Aska? Apa itu yang kamu maksud kemarin? Bahwa ada hal yang lebih menyakitkan?”
Aska terdiam, menatap tangan yang baru saja ingin ia gigit. Matanya menghindar, seolah tidak ingin menghadapinya. “Ini bukan tentang jari,” jawabnya pelan. “Ini tentang apa yang nggak bisa dilupakan. Sesuatu yang nggak bisa lepas dari pikiran.”
Alina merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, sesuatu yang lebih gelap. “Seperti apa?”
Aska menghela napas panjang, kemudian meremas tangannya. “Kamu nggak akan ngerti,” ujarnya, hampir seperti peringatan.
Tapi Alina tidak bisa mundur. Dia merasa bahwa ada cara untuk membantu Aska, meski tidak tahu bagaimana caranya. “Aku nggak peduli kalau aku nggak ngerti, Aska. Aku cuma pengen kamu tahu kalau kamu nggak sendiri.”
Aska menoleh dan menatap Alina dengan tatapan tajam. Ada kebingungan, tapi juga sedikit rasa aneh yang menyelip. “Nggak sendiri?” Dia tertawa pelan, tapi tidak terdengar lucu. “Aku selalu sendiri.”
Alina terdiam, merasakan kata-katanya menggantung di udara. “Mungkin sekarang iya, tapi kamu nggak harus tetap sendirian, Aska.”
Tiba-tiba, Aska berdiri dengan cepat, hampir membuat Alina terkejut. “Jangan buat aku merasa seperti ini, Alina. Aku nggak butuh pengertian atau simpati dari orang lain!” katanya dengan suara yang lebih keras, meskipun ada kekosongan yang sama di baliknya.
Alina bisa melihat tangannya gemetar. Aska berbalik, hendak pergi, tetapi Alina tidak mau menyerah begitu saja. “Aska, tunggu!”
Aska berhenti, berdiri membelakanginya, dengan tubuh yang tegang. Alina berdiri dan melangkah mendekat. “Aku tahu kamu nggak mau ngungkapin semuanya, tapi kamu harus tahu kalau nggak ada yang salah dengan meminta bantuan, Aska. Aku nggak bakal ninggalin kamu.”
Beberapa detik berlalu, sebelum Aska akhirnya berbalik, wajahnya tampak lebih rapuh daripada sebelumnya. “Kamu nggak tahu apa yang udah terjadi, Alina. Kamu nggak tahu rasanya hidup di tempat yang selalu kayak rumah kosong. Dimana orang-orang cuma ada di luar, tapi nggak pernah bener-bener peduli.”
Alina menatap Aska dengan serius, mencoba memahami apa yang dia rasakan. “Kamu nggak sendirian, Aska. Setidaknya aku ada di sini. Mungkin aku nggak tahu semuanya, tapi aku bisa jadi teman yang kamu butuhkan. Kamu nggak harus terus menggigit jarimu atau merasa seperti itu.”
Aska mematung, matanya kini lebih lembut, tapi ada keraguan yang jelas. Ia tampak bingung, antara ingin membuka diri dan ketakutan untuk melakukannya. “Aku nggak bisa begitu aja percaya, Alina. Terlalu banyak hal yang rusak di dalam diri aku.”
Alina mengangkat bahu, mencoba memberi sedikit senyum. “Kamu nggak harus langsung percaya. Yang aku tahu, kamu nggak harus tanggung semuanya sendirian. Aku nggak bakal ninggalin kamu, Aska.”
Tiba-tiba, suasana menjadi lebih hening. Aska menghela napas panjang, meletakkan tangannya ke sisi tubuhnya, tidak lagi menggigit jari. Wajahnya tampak lebih tenang, meskipun masih menyimpan banyak luka yang belum sembuh.
“Terima kasih,” katanya pelan, hampir tak terdengar.
Alina hanya tersenyum, meski hatinya tahu bahwa ini baru permulaan. Ia tidak tahu bagaimana Aska akan berjuang, dan seberapa besar luka yang ia sembunyikan, tetapi satu hal yang pasti—ia akan tetap ada di sana, menemani setiap langkah yang diambilnya.
Mereka berdua berdiri dalam diam, bukan lagi karena rasa canggung, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang, meskipun tidak bisa langsung dilihat, mulai tumbuh antara mereka—sebuah ikatan yang tak tampak oleh orang lain, tapi cukup kuat untuk memberi harapan.
Kegelapan yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu begitu saja, seolah waktu itu bergerak cepat di sekitar mereka, tapi bagi Alina, setiap detik yang dia habiskan bersama Aska terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Mereka mulai berbicara lebih banyak, meskipun masih dengan kata-kata yang hati-hati, tidak langsung. Aska masih menjaga jarak, tapi ada sesuatu yang berubah. Ia tidak lagi menggigit jarinya setiap kali gelisah, meskipun Alina tahu, kebiasaan itu belum sepenuhnya hilang.
Minggu itu, Alina berjalan menuju ruang kelas dengan langkah ringan. Bel istirahat berbunyi dan dia melihat Aska duduk di sudut yang sama, sendirian, dengan buku di depannya. Seperti biasa, matanya terfokus pada halaman, tetapi ada perasaan yang berbeda. Hari ini, Alina bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Seperti ada topeng yang sedikit retak, memperlihatkan sisi lain dari Aska yang selama ini tersembunyi.
Alina duduk di sebelahnya tanpa berkata-kata, hanya duduk diam sejenak. Tidak ada kata-kata yang mengisi ruang di antara mereka, hanya suara detak jam di dinding yang terasa begitu jelas.
Aska akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Alina dengan mata yang sedikit lelah. “Kamu datang lagi,” ujarnya, suaranya lebih pelan daripada biasanya.
Alina hanya mengangguk. “Iya. Ada yang bisa aku bantu?”
Aska memiringkan kepala, tampaknya sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Bantu? Kamu nggak bisa bantu aku, Alina,” jawabnya dengan nada datar.
Alina memandang Aska dengan mata yang lembut. “Kamu yakin? Mungkin aku nggak bisa bantu semuanya, tapi aku bisa bantu kamu melalui hari-hari yang berat ini.”
Aska menatap ke depan, berusaha menghindari tatapan Alina. “Kamu nggak tahu apa yang aku rasain. Aku… aku cuma capek,” katanya pelan, dan ada nada yang hampir putus asa di sana.
Alina merasa hatinya tergores mendengar itu. “Capek karena apa, Aska?” tanyanya lembut, suara penuh kekhawatiran.
Aska terdiam lama, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kadang, rasanya dunia ini terlalu berat untuk aku tanggung. Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali aku merasa ada orang yang peduli, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku takut kalau orang itu pergi. Aku takut ditinggalkan lagi.”
Mendengar pengakuan itu, Alina merasa ada sesuatu yang menyesak di dadanya. Ia tahu bahwa Aska tidak hanya berbicara tentang rasa lelah fisik, tapi juga tentang kelelahan emosional yang sudah lama terpendam. Keinginan untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu dalam.
“Apakah itu kenapa kamu selalu menggigit jarimu?” tanya Alina hati-hati, mengingatkan kebiasaan lama Aska yang masih sering ia perhatikan.
Aska menatap tangannya sejenak, lalu menggeleng pelan. “Itu hanya kebiasaan. Kebiasaan yang jadi pengganti rasa sakit yang lain. Sesuatu yang bisa aku kontrol, sementara banyak hal di luar sana yang nggak bisa aku kontrol.”
Alina mengangkat bahu, merasa tidak bisa memaksa Aska untuk menceritakan lebih banyak. “Tapi kamu nggak harus selalu sendirian. Kamu nggak harus merasa terkekang dengan semua itu.”
Aska memandang Alina dengan tatapan kosong, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—sebuah keraguan, sebuah keinginan yang tertahan. “Aku nggak bisa mempercayakan semuanya begitu saja, Alina. Itu nggak semudah yang kamu pikirkan.”
Alina menatapnya dengan penuh perhatian, tak ingin meninggalkan celah untuk rasa ragu-ragu. “Aku tahu. Tapi itu bukan berarti kamu harus menanggung semuanya sendiri, Aska. Setiap orang punya batasnya, termasuk kamu.”
Ada keheningan lagi di antara mereka, sebuah kekosongan yang penuh dengan kata-kata yang belum sempat terucap. Alina bisa merasakan emosi yang sedang bergemuruh di dalam diri Aska. Rasa takut, keraguan, rasa kehilangan yang begitu dalam.
“Tapi kenapa kamu terus datang ke sini?” tanya Aska akhirnya, suaranya semakin lembut.
Alina terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia tak ragu untuk menjawab. “Karena aku peduli. Aku nggak mau kamu merasa sendirian, Aska.”
Aska menatapnya lebih lama, seolah menimbang-nimbang setiap kata yang diucapkan Alina. “Kenapa? Kenapa kamu peduli sama aku?”
Alina tersenyum pelan, meskipun ada sedikit keraguan di dalam dirinya. “Karena kamu bukan orang yang harus dilupakan begitu saja. Kamu penting, Aska. Bahkan kalau kamu nggak bisa melihatnya sekarang, aku yakin ada bagian dari diri kamu yang layak untuk dilihat, untuk dimengerti.”
Senyuman Aska kali ini lebih tipis dari biasanya, tetapi ada sesuatu yang lembut di sana. Seperti ada secercah harapan yang muncul, meskipun sangat kecil. “Aku nggak pernah merasa seperti itu,” katanya, hampir berbisik.
“Sekarang kamu merasa seperti itu, kan?” jawab Alina dengan suara yang penuh keyakinan.
Aska mengangguk pelan, lalu melirik ke luar jendela. “Aku nggak bisa janji kalau aku bakal berubah secepat itu. Tapi… mungkin aku bisa coba. Untuk kita berdua.”
Alina merasakan sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Sebuah kedekatan yang tumbuh pelan, tidak bisa dipaksakan. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah semuanya dalam sekejap, tapi setidaknya ada langkah kecil yang bisa mereka ambil bersama.
“Bukan harus cepat, Aska,” kata Alina, “Yang penting kita berjalan bareng. Pelan-pelan.”
Aska hanya mengangguk, matanya kembali menatap ke luar jendela, tetapi kali ini ada sedikit lebih banyak cahaya di dalamnya. Mungkin ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang harus mereka tempuh, bersama-sama.
Menemukan Diri dalam Diam
Beberapa minggu telah berlalu sejak percakapan terakhir mereka, dan meskipun Aska tidak langsung berubah, Alina merasakan bahwa ada perubahan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Tidak lagi ada kebiasaan menggigit jari yang mengganggu, meskipun terkadang Aska masih terlihat gelisah. Namun, kini Alina bisa melihatnya lebih jelas—Aska bukan lagi sekadar sosok yang terkungkung dalam dirinya sendiri. Ada bagian dari dirinya yang mulai membuka sedikit demi sedikit.
Mereka tetap bertemu di tempat yang sama, duduk bersebelahan dalam diam. Tidak selalu ada kata-kata, tetapi mereka tidak lagi membutuhkan banyak percakapan. Kadang, hanya dengan hadir di samping satu sama lain sudah cukup untuk mengisi ruang yang kosong di antara mereka. Mungkin tidak ada yang mengubah dunia mereka dalam sekejap, tapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan, lebih utuh.
Pada suatu sore yang cerah, Alina mendapati Aska sedang menatap langit di luar jendela kelas dengan tatapan kosong, namun ada sesuatu yang lebih dalam di sana, seolah dia sedang memikirkan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Alina duduk di sebelahnya, diam, memberi ruang tanpa mengganggu.
“Kadang aku merasa seperti aku nggak tahu siapa diri aku sebenarnya,” kata Aska, suara halus dan penuh keraguan. Dia memutar bola matanya, seolah mencari jawaban dalam kekosongan langit.
Alina menatapnya dengan lembut. “Aku tahu rasanya,” jawabnya dengan tenang. “Kadang, kita nggak harus tahu semua hal tentang diri kita sendiri. Kadang yang kita butuhkan cuma waktu dan seseorang yang nggak akan pergi.”
Aska melirik ke arah Alina, matanya sedikit lebih jernih dari sebelumnya. “Kamu benar-benar nggak takut ditinggalin, ya?”
Alina tersenyum pelan, mengangkat bahu. “Aku takut, kok. Tapi aku lebih takut kalau kita nggak berani mencoba untuk tetap ada untuk orang lain. Apa jadinya kalau kita nggak berani? Kita bisa kehilangan lebih banyak dari yang kita bayangkan.”
Aska memandangnya dengan mata yang lebih tajam, dan untuk pertama kalinya, ada senyuman kecil di sudut bibirnya. Senyuman itu tak sempurna, tapi cukup untuk membuat Alina merasa bahwa, mungkin, ada jalan keluar dari kegelapan yang sudah lama menghantui Aska.
“Makanya, aku masih di sini,” lanjut Alina. “Aku nggak akan pergi. Kalau kamu ingin tetap berada di sini, bersama aku, tidak ada yang perlu ditakutkan.”
Ada keheningan panjang yang mengikuti kata-kata itu. Bukan keheningan yang menegangkan, tetapi lebih seperti kedamaian yang memeluk mereka tanpa perlu kata-kata lagi. Di sana, mereka hanya duduk, menghadap dunia yang ada di luar sana, tanpa perlu berlari dari masa lalu yang kelam.
Aska menoleh sedikit, menatap Alina dengan mata yang kini tampak lebih hidup. “Terima kasih, Alina. Kamu nggak tahu betapa berarti kata-kata itu buat aku,” katanya dengan suara yang sedikit lebih berat, lebih tulus.
Alina hanya tersenyum. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Aska masih memiliki banyak luka yang perlu disembuhkan, dan mungkin, dia tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari masa lalunya. Tapi yang penting, dia tidak lagi merasa sendirian.
Hari-hari mereka selanjutnya lebih tenang. Aska mulai berbicara lebih banyak, tidak lagi memendam perasaan di dalam diri. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja, tapi Alina tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebiasaan buruk atau rasa takut yang selama ini menguasai hidup Aska. Mereka saling menguatkan, saling memberi ruang untuk tumbuh.
Dan meskipun masih ada hari-hari yang penuh keraguan, ada juga banyak saat-saat sederhana di mana Aska hanya duduk di sebelah Alina, berbicara tentang hal-hal kecil yang tidak penting. Begitulah mereka belajar untuk menjalani hidup mereka, perlahan dan penuh makna.
Tangan Aska, yang dulu gemetar dengan kebiasaan buruknya, kini lebih tenang. Tidak ada lagi jejak gigitan di jarinya, hanya bekas kenangan yang memudar, digantikan dengan sedikit kedamaian yang telah mereka bangun bersama.
Hari itu, mereka berdua duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, mata mereka memandang ke langit senja yang mulai gelap. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, karena mereka tahu, dalam diam, mereka telah menemukan apa yang selama ini mereka cari—saling percaya, tanpa perlu alasan lagi.
Dan di saat itu, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang, Alina tahu, tak perlu ada kata-kata lebih lanjut. Mereka berdua akan baik-baik saja.
Jadi, kadang kita nggak perlu langsung nyelesaiin semua masalah untuk bisa merasa lebih baik. Kadang, yang kita butuhin cuma seseorang yang siap bertahan di samping kita, meskipun nggak ada kata-kata yang keluar.
Sama kayak Aska dan Alina, mereka nggak langsung sempurna, tapi mereka belajar untuk bertahan, untuk saling ada. Karena, siapa tahu, mungkin yang kita butuhin buat nyembuhin diri kita adalah kehadiran orang yang nggak bakal pergi. Kalau mereka bisa, kamu juga pasti bisa.