Cerpen Tentang Lingkungan Sekolah: Perjalanan Tumbuh di Taman Belakang

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa kalau sekolah tuh lebih dari sekedar tempat buat belajar? Kayak ada hal-hal kecil yang justru bikin kita sadar betapa berharganya setiap langkah di sana.

Di cerpen ini, kita bakal jalan bareng seorang cewek yang coba ngerti arti tumbuh—bukan cuma dalam pelajaran, tapi juga dalam diri sendiri. Taman belakang sekolah jadi saksi bisu perjalanan itu. Penasaran? Langsung aja di baca!!

 

Perjalanan Tumbuh di Taman Belakang

Jejak-jejak di Lorong Tua

Pagi itu terasa berbeda, meski suasana di sekitar sekolah tampak sama seperti biasa. Jalan masuk yang berdebu, bangku-bangku tua di bawah pohon, dan suara langkah kaki yang bergaung di lorong-lorong panjang. Tapi entah kenapa, ada rasa seperti ada yang hilang di dalam diriku. Setiap hari selalu terasa seperti rutinitas yang berulang, dari kelas ke kelas, dari ujian ke ujian, namun entah kenapa, ada sesuatu yang kosong.

Aku berjalan menelusuri lorong utama, menatap dinding-dinding yang sudah mengelupas dan lantai yang sedikit berderit setiap langkah ku. SMK Mandala memang tak sepopuler sekolah-sekolah lain di kota, tapi ada sejarah yang kental mengalir di setiap sudutnya. Banyak yang bilang sekolah ini tua dan usang, dan mungkin memang begitu adanya. Aku mengamati beberapa siswa yang berlari-lari kecil, tergesa-gesa menuju kelas mereka, sebagian besar bahkan tak menyadari betapa inginnya aku berhenti sejenak dan merenung.

Di dekat pintu kelas, Nadya menghampiriku dengan langkah cepat. Dia selalu punya cara untuk membuatku keluar dari lamunanku. Rambutnya yang tergerai panjang, dengan senyum cerianya yang selalu bisa mengusir kegelapan yang terkadang melingkupi pikiranku.

“Kamu kenapa? Kok kayaknya bengong banget sih?” tanyanya dengan suara bersemangat. “Kamu tahu kan, hari ini ada acara besar, kan? Seni tahunan, jangan bilang kamu nggak excited!”

Aku cuma mengangkat bahu sedikit, menyenderkan tubuhku ke dinding. “Nggak tahu, Nad. Rasanya cuma capek aja, gitu. Semua kayaknya terlalu biasa.” Aku tersenyum kecil, meskipun sejujurnya aku merasa agak kosong.

Nadya menatapku dengan tatapan tajam, seolah sedang mencoba membaca pikiranku. Tapi dia tak membalas dengan kata-kata yang menggurui, hanya mengangguk pelan. “Kamu perlu melihat hal-hal lain di sekitar kamu, Dan. Coba lihat apa yang ada di luar sana, selain kelas dan tugas.”

Aku mendengus pelan, tetapi dalam hati aku tahu dia benar. SMK Mandala mungkin tak seindah yang aku bayangkan, tapi banyak hal yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya. Setiap sudut di sekolah ini, walaupun tampak biasa, menyimpan cerita yang tak pernah tersampaikan.

Pagi berlalu cepat, dan akhirnya bel berbunyi tanda waktu istirahat. Siswa-siswa langsung menyerbu kantin, sementara aku berjalan keluar menuju taman belakang sekolah, tempat yang tak banyak orang perhatikan. Taman itu tidak terlalu besar, penuh dengan tanaman yang jarang dirawat. Namun, aku selalu merasa ada kedamaian di sana. Tidak ada yang sibuk berlarian atau berbicara keras. Hanya angin yang berdesir lembut di antara daun-daun yang bergoyang.

Aku duduk di bawah pohon besar di sudut taman. Pemandangan yang sederhana, tapi ada sesuatu yang menenangkan. Dan dari kejauhan, aku melihat seorang perempuan dengan rambut panjang yang sedang membungkuk untuk menyiram tanaman di sudut lain taman. Itu Reva. Teman sekelas yang selalu jarang terlihat, selalu memilih menyendiri di tengah keramaian.

Dia tampak sangat fokus pada pekerjaannya, tak terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Tangannya dengan hati-hati menyiram setiap tanaman dengan penuh perhatian. Aku melihat bagaimana dia merawatnya, seperti tanaman itu adalah bagian dari dirinya.

Tanpa sadar, langkahku membawaku lebih dekat kepadanya. Reva menyadari kehadiranku, tapi dia hanya tersenyum kecil, seolah tidak ada yang aneh.

“Kamu di sini?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.

Reva mengangguk pelan, tetap fokus pada tanaman yang ada di depannya. “Iya, aku suka di sini. Tanaman-tanaman ini perlu perhatian. Mereka tumbuh, tapi kalau nggak dijaga, ya nggak akan pernah maksimal,” jawabnya dengan suara tenang.

Aku tercenung mendengarnya. Tanaman? Siapa yang akan berpikir tentang hal itu di sekolah yang penuh dengan kegiatan dan orang-orang yang sibuk berpacu dengan waktu seperti ini? Tapi entah kenapa, cara Reva berbicara tentang tanaman itu membuatku berpikir. Seolah-olah dia sedang mengingatkan diriku untuk melihat lebih dalam, untuk melihat lebih banyak daripada sekadar dinding-dinding kelas yang lusuh.

“Kenapa kamu suka banget sama tanaman?” tanyaku, merasa heran sekaligus tertarik.

Reva memandangku dengan tatapan yang hangat, matanya menyiratkan ketenangan yang luar biasa. “Karena mereka nggak pernah mengeluh. Mereka cuma butuh sedikit air, sinar matahari, dan perhatian. Dan mereka tumbuh, meskipun tak ada yang memuji mereka.”

Aku terdiam. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari tanaman, bahkan mungkin dari sekolah ini. Selama ini aku hanya melihat sekolah ini sebagai tempat yang penuh tugas dan jadwal yang padat. Tapi, kalau aku benar-benar melihat lebih dalam, mungkin ada banyak hal yang bisa aku pelajari, bahkan dari hal-hal yang terlihat biasa saja.

Reva kemudian menambahkan, “Sekolah ini, meskipun terlihat tua dan sedikit usang, punya potensi untuk tumbuh, Dan. Semua itu tergantung bagaimana kita merawatnya.”

Aku hanya mengangguk pelan, merenung dalam-dalam. Perkataannya menembus hatiku lebih dalam daripada yang aku bayangkan. Selama ini, aku terlalu fokus pada rutinitas, terlalu sibuk mengeluh tentang hal-hal yang tampak buruk. Tapi mungkin, seperti tanaman yang ada di taman ini, sekolah juga bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih baik jika diberi perhatian.

“Kamu benar,” jawabku pelan, tanpa benar-benar sadar apa yang baru saja kukatakan.

Reva tersenyum tipis. “Kadang, hal kecil yang kita lakukan bisa memberi dampak besar. Kamu cuma perlu melihatnya dengan cara yang berbeda.”

Aku menatap tanaman-tanaman di sekitar kami, seolah-olah untuk pertama kalinya aku menyadari betapa banyak kehidupan yang ada di sekitarku. Taman ini mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tapi bagiku sekarang, itu adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih penting untuk dijaga dan dihargai.

Hari itu berakhir dengan cara yang berbeda. Sekolah, yang tadinya terasa seperti tempat yang asing, kini mulai terasa seperti rumah. Dengan setiap langkahku, aku mulai memahami lebih banyak tentang sekolah ini, tentang lingkungan yang ada di sekitarnya, dan tentang aku sendiri.

 

Tanaman yang Tersembunyi

Hari-hari di SMK Mandala mulai terasa berbeda. Aku mulai melihat setiap sudut sekolah dengan cara yang baru, lebih terbuka. Setiap pagi, aku menyempatkan diri berjalan ke taman belakang. Tidak ada yang banyak datang ke sana, kecuali Reva yang sudah lebih dulu di sana, seperti hari sebelumnya. Dan meski dia tidak pernah memaksa aku untuk ikut serta dalam aktivitas taman, aku merasa seperti ada ikatan yang tak terucapkan antara kami. Ada kedamaian di tempat itu yang tidak bisa ditemukan di kelas atau koridor-koridor yang hiruk-pikuk.

Reva tidak banyak bicara, tapi kata-katanya yang sederhana selalu membuatku merenung. Kali ini, dia sedang duduk di dekat pohon yang lebih besar dari pohon lain di taman itu. Dahan-dahannya tumbuh tinggi dan rimbun, memberi naungan yang luas, seolah melindungi semua yang ada di bawahnya. Sesekali, Reva menatap ke arah pohon itu dengan penuh perhatian.

“Kenapa kamu lebih suka di sini, daripada di tempat lain?” tanyaku, duduk di sebelahnya. “Aku rasa tempat lain di sekolah lebih ramai.”

Reva menyentuh tanah dengan jari-jarinya yang lembut. “Di sini, kamu bisa merasa hidup. Tanaman-tanaman ini punya kehidupan mereka sendiri, meski sering kali kita lupa memperhatikannya. Aku suka melihat bagaimana mereka tumbuh perlahan, tanpa banyak suara, tapi tetap ada perubahan.”

Aku mendengus pelan. “Jadi kamu lebih suka melihat sesuatu yang tumbuh dalam diam?” tanyaku dengan nada sedikit heran, meskipun dalam hati aku mulai mengerti maksudnya.

“Ya,” jawabnya, sambil tersenyum kecil. “Terkadang, hal terbaik dalam hidup adalah yang tidak terlalu terlihat. Tumbuh diam-diam, berubah tanpa perlu mendapat perhatian. Sama seperti sekolah ini. Tanpa kita sadari, banyak hal yang tumbuh di sini.”

Aku terdiam, mencerna kata-kata itu. Memang, selama ini aku lebih banyak mengabaikan banyak hal di sekolah ini, hanya fokus pada pelajaran dan teman-teman yang ada. Tapi, kata-katanya menyentuh bagian dari diriku yang jarang aku perhatikan. Mungkin selama ini, aku tak cukup memberi perhatian pada proses perubahan, baik yang ada di sekitar, maupun dalam diriku sendiri.

Hari itu, kami duduk lebih lama di taman. Tak ada yang mengganggu, kecuali suara angin yang sesekali berdesir. Saat matahari mulai meredup, aku melihat Reva membawa sebuah alat kecil dari tasnya dan mulai memotong beberapa batang tanaman yang sudah tumbuh terlalu panjang. Dia tampak sangat cekatan, seolah itu adalah bagian dari rutinitas sehari-harinya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku.

“Menyunat,” jawab Reva tanpa berhenti bekerja. “Tanaman yang tumbuh terlalu banyak, perlu dipangkas supaya bisa tumbuh lebih baik lagi. Sama seperti hal lain dalam hidup. Terkadang, kita perlu memotong bagian-bagian yang sudah tidak lagi membantu kita untuk tumbuh.”

Aku mengerutkan kening, agak bingung dengan pernyataannya. “Maksudmu?”

Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang begitu tenang. “Terkadang kita menumbuhkan kebiasaan atau pola pikir yang justru membatasi kita. Kita merasa nyaman dengan rutinitas, tapi kadang kita perlu mengubah sesuatu supaya bisa berkembang lebih baik. Sama seperti tanaman. Kalau tidak dipangkas, dia akan tumbuh liar dan tidak terarah.”

Aku tersenyum, seolah merasa seperti mendapat pencerahan kecil. “Jadi kamu bilang, kita juga harus belajar untuk ‘memangkas’ hal-hal dalam hidup kita, ya?” kataku sambil melirik ke arah tanaman yang sedang dipotong.

Reva mengangguk pelan, kembali fokus pada pekerjaannya. “Iya, kadang kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang tampak baik, padahal yang terbaik mungkin justru ada di luar zona nyaman kita.”

Kami duduk lebih lama lagi, berbicara sedikit demi sedikit tentang segala hal. Tentang sekolah, tentang kehidupan, dan tentang perubahan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Hari sudah semakin gelap, dan kami berdua terpaksa mengakhiri obrolan kami di taman. Namun, perasaan itu—perasaan bahwa aku mulai melihat sekolah ini dengan cara yang berbeda—tetap membekas di hatiku.

Sekolah yang dulunya terasa hanya sebagai tempat untuk bertemu teman dan belajar, sekarang terasa lebih berarti. Setiap sudutnya mulai bercerita, setiap langkah yang kuambil mulai memberi arti. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku yakin satu hal: aku tidak akan pernah melihat sekolah ini dengan cara yang sama lagi.

Sesampainya di ruang kelas, aku kembali ke tempat dudukku dengan perasaan yang ringan. Nadya yang duduk di sebelahku menatapku heran. “Kamu kenapa, Dan? Kayaknya kelihatan lebih santai dari biasanya.”

Aku tersenyum tipis. “Cuma merasa ada hal baru yang aku pelajari hari ini.”

Nadya mengangkat alis, sepertinya tertarik. “Apa itu?”

“Bahwa terkadang kita hanya perlu melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, dan dunia ini mulai terlihat lebih luas,” jawabku sambil menatap ke luar jendela kelas.

Nadya hanya tertawa kecil, mungkin tak terlalu mengerti apa yang baru saja aku katakan. Tapi, aku tak peduli. Karena aku tahu, dalam hati ini, perubahan itu telah mulai tumbuh, meskipun masih dalam diam, seperti tanaman di taman belakang sekolah.

Dan aku berharap, perubahan itu akan terus tumbuh, tanpa perlu diumbar ke mana-mana.

 

Melodi yang Terlupakan

Hari itu, suasana sekolah terasa berbeda. Entah mengapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang berubah, meski hal itu belum tampak jelas di permukaan. Di antara suara guru yang sedang menjelaskan materi di depan kelas, pikiranku terus melayang ke taman belakang, tempat aku dan Reva pernah menghabiskan waktu bersama. Suasana yang tenang dan penuh kedamaian itu terus menghantui pikiranku, seolah ada bagian dari diriku yang terhubung erat dengan tempat itu.

Pelajaran berlangsung seperti biasa, tapi ada satu hal yang mulai mengganggu pikiranku: suara melodi. Suara lembut yang terdengar samar-samar setiap kali angin berhembus. Aku tidak tahu pasti apa itu, tetapi sering kali aku mendengarnya ketika aku melangkah keluar kelas. Mungkin, hanya mungkin, itu suara dari taman belakang.

Penasaran, aku memutuskan untuk menyelidikinya. Setelah pelajaran berakhir, aku berjalan perlahan menuju tempat yang sudah sering aku kunjungi belakangan ini. Taman belakang sekolah itu tampaknya masih seperti dulu, dengan pohon besar yang menyembunyikan sebagian langit dari pandangan mata. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada suara yang jelas, suara alat musik yang terdengar merdu dan begitu familiar.

Aku berhenti di bawah pohon besar itu, mencari sumber suara itu. Dan di sana, duduk di sudut yang biasanya tak terjamah, Reva dengan gitar kecil di tangannya, sedang memetik senar dengan lembut. Melodi yang keluar dari gitarnya terasa begitu mendalam, seperti cerita yang sedang diceritakan tanpa kata-kata. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya musik yang berbicara.

Aku tidak tahu sejak kapan dia mulai memainkan gitar di sana, tetapi ada sesuatu yang menenangkan mendengarkan nada-nada yang terjaga dalam kesunyian taman. Reva, yang selama ini terlihat serius dan sedikit tertutup, kini tampak begitu hidup dengan gitarnya. Matanya tertutup, seolah dia sedang tenggelam dalam dunia musiknya sendiri.

Aku melangkah perlahan mendekatinya, mencoba tidak mengganggu. Tapi saat aku hampir sampai di dekatnya, dia menghentikan petikan gitarnya dan menatapku.

“Ada apa, Dan?” tanyanya dengan suara yang masih dipenuhi nada lembut.

Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. “Aku… aku cuma penasaran. Kenapa kamu selalu datang ke sini? Apa yang membuatmu betah di sini, di bawah pohon ini, sambil main gitar?”

Reva tersenyum tipis, lalu meletakkan gitarnya di sampingnya. “Aku suka tempat ini. Di sini, aku bisa merasa lebih bebas. Tanpa ada yang menilai atau mengganggu. Cuma suara gitar dan angin yang berhembus, itu sudah cukup.”

Aku duduk di sampingnya, mencoba meresapi kata-katanya. “Aku tidak pernah tahu kalau kamu bisa main gitar. Kenapa selama ini tidak pernah kasih tahu?”

“Aku jarang bermain di depan orang,” jawabnya sambil memandang jauh ke arah langit yang mulai berubah oranye. “Musik itu sesuatu yang pribadi. Seperti tanaman di taman ini. Tumbuh dalam diam.”

Aku terkesan dengan jawabannya, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari apa yang terlihat. Reva bukan hanya gadis yang terkesan pendiam dan misterius, dia juga memiliki dunia sendiri yang mungkin hanya sedikit orang yang bisa melihatnya.

“Kalau gitu, kenapa tidak pernah bermain di kelas? Kita bisa bikin acara kecil-kecilan, biar semua orang tahu kalau kamu bisa main gitar.”

Reva tertawa pelan, suaranya ringan dan penuh kehangatan. “Aku lebih suka kalau semuanya tetap seperti ini. Tanpa keramaian, tanpa ekspektasi. Ini lebih nyata.”

Aku mengangguk, mengerti apa yang dimaksudnya. Kadang, ada kebahagiaan yang lebih tulus ketika kita melakukan sesuatu tanpa beban atau keinginan untuk dilihat oleh orang lain. Mungkin itulah yang membuat taman ini terasa begitu istimewa. Begitu juga dengan Reva.

Kami duduk berlama-lama di bawah pohon itu, mendengarkan suara angin dan mendalami setiap senar gitar yang dipetiknya. Tanpa sadar, waktu sudah berjalan sangat cepat. Sebelum aku tahu, matahari sudah terbenam dan langit gelap mulai menutupi sekolah.

“Ayo, kita balik ke kelas,” kataku, meskipun aku tidak ingin beranjak dari tempat itu.

Reva mengangguk pelan, tapi sebelum kami berdiri, dia menatapku lagi dengan senyum yang sama. “Terima kasih sudah datang ke sini. Kadang, kita butuh seseorang untuk melihat hal-hal yang kita sembunyikan.”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. “Aku cuma penasaran aja, Reva.”

“Tapi itu sudah cukup,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Kadang, hanya dengan hadir dan memperhatikan, kita sudah memberi makna.”

Kami berdua akhirnya berdiri dan berjalan kembali ke kelas, tapi kali ini, aku merasa seperti ada ikatan yang lebih kuat, tidak hanya dengan Reva, tetapi juga dengan sekolah ini. Tempat yang selama ini aku anggap biasa, kini terasa penuh dengan cerita-cerita tersembunyi. Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat untuk menemukan hal-hal baru tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang dunia yang kadang terlalu cepat untuk dipahami.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tetapi satu hal yang pasti, aku tidak akan lagi melihat SMK Mandala dengan cara yang sama. Ada banyak cerita di sini, hanya saja aku harus siap untuk menemukannya.

 

Di Balik Setiap Langkah

Hari-hari di SMK Mandala semakin terasa berbeda. Jika dulu aku hanya melihatnya sebagai tempat untuk menyelesaikan kewajiban belajar, kini setiap sudutnya terasa penuh dengan makna. Seperti taman yang dulu kurasa hanya sebagai tempat sepi, kini aku melihatnya sebagai tempat tumbuhnya banyak hal—baik di luar maupun dalam diriku. Tentu saja, aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Reva, meskipun masih dengan cara yang sangat berbeda, telah mengubah cara aku melihat dunia.

Beberapa hari setelah pertemuan kami yang terakhir di taman belakang, aku mulai memperhatikan lebih banyak hal. Tentang bagaimana setiap langkah di sekolah ini, setiap percakapan, bahkan setiap tawa teman-teman, menyimpan cerita tersendiri. Semua orang punya cara untuk tumbuh, sama seperti tanaman yang ada di taman itu. Terkadang, kita perlu dipangkas, dipisahkan dari hal-hal yang tak lagi bermanfaat, agar bisa tumbuh dengan lebih baik.

Dan itu adalah pelajaran besar yang aku dapatkan. Bukan hanya dari tanaman yang Reva rawat, tapi juga dari dirinya sendiri. Dari cara dia hidup di dunia ini—tanpa perlu banyak berkata-kata, tapi dengan tindakan yang menunjukkan siapa dirinya.

Suatu siang, setelah pelajaran terakhir selesai, aku berjalan menuju taman, seperti biasa. Kali ini, aku lebih banyak berjalan sendirian, tetapi entah mengapa aku merasa tidak kesepian. Seperti ada sesuatu yang menyertai langkahku, sesuatu yang tidak bisa aku lihat, tapi bisa aku rasakan. Aku sudah mulai memahami bahwa perubahan tidak selalu datang dalam bentuk besar yang menggetarkan. Kadang, perubahan itu datang dengan cara yang lebih halus—seperti langkah-langkah kecil yang tak terlihat, tapi tetap mengarah ke tujuan yang jelas.

Reva sudah ada di sana, duduk di bawah pohon besar yang selalu dia sukai. Gitar kecil di sampingnya, matanya yang penuh kedamaian, dan senyum tipis yang kembali menghiasi wajahnya ketika melihatku datang. Kali ini, aku tidak ragu lagi untuk duduk di sebelahnya.

“Kamu datang lagi,” katanya sambil mengangguk pelan.

“Iya,” jawabku, merasa nyaman di dekatnya. “Aku pikir, ada yang ingin aku bicarakan.”

Reva menoleh sedikit, seolah memberi izin untuk melanjutkan. “Apa itu?”

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan setiap detik yang berlalu seolah lebih berarti. “Aku pikir, aku mulai mengerti apa yang kamu maksud tentang tumbuh dalam diam. Tentang melihat dunia tanpa harus berteriak tentang itu.”

Reva tersenyum lebih lebar, sedikit terkejut, tapi kemudian mengangguk, seolah memahami. “Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar hal-hal besar, hingga kita lupa melihat hal-hal kecil yang sebenarnya lebih berharga. Kamu sudah mulai melihatnya?”

Aku mengangguk. “Ya. Setiap hari aku mulai merasakannya. Bahwa setiap langkah yang kuambil, setiap kata yang kuucapkan, itu semua adalah bagian dari perubahan. Terkadang kita tidak perlu menunggu sesuatu yang besar untuk berubah. Perubahan itu sudah ada di sini, di sekitar kita.”

Reva menatapku dengan tatapan lembut, seolah ada kebanggaan kecil yang terlihat di matanya. “Aku senang kamu akhirnya mengerti, Dan.”

Kami berdua duduk dalam keheningan, mendengarkan suara angin yang berdesir di antara daun-daun pohon besar itu. Kali ini, aku tidak merasa canggung. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kami hanya ada di sana, merasakan ketenangan yang datang dengan penerimaan terhadap dunia yang terus berubah di sekitar kami.

Saat sore mulai merayap dan matahari mulai menghilang di balik cakrawala, aku tahu bahwa hari ini adalah akhir dari babak baru yang telah terbuka dalam hidupku. Aku tidak tahu bagaimana perjalanan ini akan berlanjut, tapi aku tahu satu hal—aku telah menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar tujuan besar. Aku telah menemukan makna dalam setiap langkah yang kuambil, dalam setiap percakapan yang ada, dan dalam setiap senyuman yang tulus.

SMK Mandala bukan hanya tempat aku belajar matematika atau bahasa, tapi tempat aku belajar melihat dunia dengan cara yang baru. Tempat aku belajar untuk tumbuh, seperti tanaman di taman belakang itu—tanpa terburu-buru, tanpa merasa perlu dipamerkan. Aku hanya perlu hadir, dan itu sudah cukup.

Kami berdua bangkit, bersiap untuk kembali ke kelas. Namun, aku tahu bahwa kami akan kembali lagi ke taman itu suatu saat nanti, untuk terus merasakan ketenangan yang hanya bisa ditemukan dalam diam, di balik setiap langkah yang telah kami ambil.

 

Jadi, gitu deh cerita tentang perjalanan tumbuh di sekolah, yang nggak cuma soal pelajaran di kelas, tapi juga tentang belajar dari hal-hal kecil di sekitar kita.

Kadang, kita nggak sadar kalau perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil yang kita ambil tiap hari. Semoga cerpen ini bikin kamu mikir, kalau sekolah itu nggak cuma tempat buat dapetin nilai, tapi juga tempat buat nemuin diri sendiri. Sampai ketemu di cerita berikutnya, ya!

Leave a Reply