Cerpen SMP yang Bikin Kangen Masa Sekolah: Serunya Study Tour ke Jogja yang Bikin Nangis Diam-Diam

Posted on

Pernah gak sih kamu tiba-tiba kangen banget sama temen SMP, apalagi waktu study tour bareng ke Jogja? Nah, cerpen satu ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri sekaligus nyesek pelan karena keinget momen-momen kecil yang dulu kerasa biasa aja, tapi ternyata sekarang jadi hal paling berharga.

Mulai dari duduk bareng di bus, melanggar jam malam demi tahu goreng pinggir jalan, sampai momen perpisahan yang gak pernah sempat diucapin dengan benar—semuanya dibungkus dalam cerita yang hangat, jujur, dan relate banget sama siapa aja yang pernah jadi anak SMP. Siapin teh anget ya, karena cerita ini bakal nyentuh hatimu pelan-pelan.

Cerpen SMP yang Bikin Kangen Masa Sekolah

Gerbang yang Tak Terlihat

Langit masih gelap saat bus pariwisata itu terparkir di depan gerbang sekolah. Lampu jalan belum sepenuhnya padam, dan udara pagi menyelinap lewat sela-sela jaket yang terbuka setengah. Satu per satu siswa berdatangan, menyeret koper kecil, menenteng bantal leher warna-warni, dan sebagian besar masih belum sepenuhnya sadar kalau pagi itu bukan pagi biasa.

Pagi itu, adalah awal dari perjalanan terakhir mereka sebagai anak SMP.

Suara klakson bus terdengar dari kejauhan, memanggil mereka yang belum juga masuk barisan. Seorang guru berdiri sambil mencatat nama di clipboard, menyesuaikan daftar dengan wajah-wajah yang tampak setengah mengantuk dan setengah antusias. Di tengah kerumunan itu, lima anak berdiri agak terpisah, membentuk lingkaran kecil seperti biasa.

“Aku masih belum percaya kita beneran jadi ke Jogja,” gumam Kirana sambil memeluk sketchbook-nya. Tas selempangnya miring, dan rambutnya diikat asal dengan scrunchie ungu. Matanya masih sembab karena begadang semalam.

“Gue malah belum percaya kita udah kelas sembilan aja,” sela Arjuna sambil menguap lebar. Ia mengenakan hoodie hitam belel, dengan tas gendong penuh stiker band indie lokal yang ditempel asal-asalan. “Tiga tahun tuh ternyata cepet banget ya.”

“Padahal dulu kita mikir SMP bakal lama banget,” timpal Adara sambil duduk di atas kopernya. “Aku masih inget hari pertama masuk, Bhanu gak mau ngomong sepatah kata pun ke siapa-siapa.”

Semua langsung menoleh ke Bhanu, yang hanya nyengir kecil.

“Aku emang gak suka basa-basi aja waktu itu,” jawab Bhanu pelan. “Lagian kalian juga norak banget dulu, jadi males nimbrung.”

“Heh!” seru Rifqy sambil menepuk lengan Bhanu. “Ngaku aja, kamu tuh dulu malu-malu tapi pengen gabung.”

Mereka tertawa pelan. Bukan tawa yang riuh, tapi cukup untuk menghangatkan udara pagi yang dingin. Di sekeliling mereka, siswa lain sudah mulai diarahkan untuk masuk ke dalam bus sesuai nomor. Guru pendamping membagi-bagikan roti dan air mineral dengan senyum yang setengah memaksa. Pagi terlalu cepat, bahkan untuk seorang guru.

“Ayo, anak-anak, bus 2 udah siap berangkat! Tas jangan lupa dicek lagi, jangan sampai ketinggalan!”

Kelima anak itu pun ikut bergabung ke dalam barisan, masuk ke bus dengan suara sandal gesek dan koper kecil yang bergesekan di tangga. Mereka duduk di baris tengah, dua-dua, dan satu di bangku sendiri. Arjuna duduk di samping Rifqy, sedangkan Kirana dan Adara duduk di belakang mereka. Bhanu memilih duduk sendiri, dekat jendela.

Bus mulai melaju pelan, meninggalkan halaman sekolah yang selama ini mereka pikir biasa saja. Tapi pagi itu, entah mengapa, halaman itu tampak berbeda. Ada rasa yang tertinggal, sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti ketika seseorang tahu dia sedang melewati gerbang, tapi belum sadar bahwa itu gerbang terakhir sebelum dunia berganti warna.

Di dalam bus, musik pop remaja diputar pelan dari speaker kecil di langit-langit. Sebagian besar siswa sudah tertidur, kepala bersandar di jendela atau menempel di bahu teman. Tapi di tengah barisan, percakapan kecil masih mengalir.

“Kamu nyadar gak sih, semua ini tuh kayak… bab terakhir dari buku,” bisik Kirana sambil membuka sketchbook-nya, mulai menggambar siluet jendela bus dan rambut Adara yang tergerai. “Habis ini, kita bakal pindah ke buku lain, ke cerita yang beda.”

“Dan tokohnya belum tentu sama,” jawab Adara pelan. Tangannya memegang ponsel tapi tak benar-benar menatap layar.

Arjuna menyandarkan kepala ke kursi, matanya menatap langit-langit bus. “Aku tuh takut. Bukan takut lulus sih, tapi takut kita gak kayak dulu lagi. Kamu tahu kan, orang tuh gampang banget berubah.”

“Kamu juga bisa berubah,” sahut Rifqy dengan mulut setengah menguap. “Tapi ya wajar. Semua orang bakal berubah. Yang penting, inget aja rasanya kayak gimana pas masih kayak gini.”

“Kalau kita semua berubah… apa masih bisa balik ke titik ini lagi?” tanya Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari sketchbook-nya.

“Enggak,” jawab Bhanu tiba-tiba. Suaranya datar, tapi cukup jelas terdengar. “Tapi mungkin kita gak perlu balik. Mungkin cukup dengan gak lupa. Itu aja udah cukup.”

Bus terus melaju, melewati jalan tol yang panjang dan sunyi. Sesekali, salah satu dari mereka tertidur lalu terbangun, menoleh ke luar jendela, lalu kembali diam. Waktu seperti berhenti di dalam kendaraan itu, sementara dunia di luar terus berlari.

Beberapa jam kemudian, mereka sampai di tempat istirahat pertama. Siswa berhamburan turun, berebut ke toilet dan warung kecil. Tapi kelima anak itu tetap bersama, berjalan sambil bercanda, mencoba mengabadikan setiap detik dengan kamera ponsel dan candaan konyol.

“Eh, eh, foto dulu dong. Tapi yang candid ya, jangan yang pose alay,” pinta Kirana sambil mengarahkan kameranya. Rifqy langsung pura-pura ngupil, Adara menutup wajahnya, Arjuna berdiri sok cool, Bhanu malah menjauh sedikit.

Klik.

Satu foto lagi tersimpan di memori ponsel. Tapi tidak satu pun dari mereka tahu bahwa foto itu kelak akan jadi satu-satunya gambar lengkap mereka berlima.

Sore mulai turun saat bus kembali berjalan. Matahari mulai berubah warna, bergeser dari kuning ke oranye, mewarnai langit dengan guratan halus seperti lukisan yang belum selesai. Jalan menuju Jogja terasa panjang, tapi entah kenapa, mereka tak berharap cepat sampai.

Karena mereka tahu, kota itu bukan hanya tujuan study tour. Jogja, dalam cerita mereka, akan menjadi titik temu terakhir. Gerbang yang mereka lewati bersama, sebelum dunia meminta mereka berjalan sendiri-sendiri.

Dan gerbang itu… sudah mulai terlihat di kejauhan.

Di Bawah Bayangan Prambanan

Jogja menyambut mereka dengan angin hangat dan aroma basah dari tanah yang baru saja diguyur hujan tipis. Langit senja menggantung rendah saat rombongan sampai di pelataran Candi Prambanan. Suara guru-guru berusaha mengatur barisan terdengar seperti dengungan jauh, tertutup gemuruh hati anak-anak yang lebih sibuk memilih spot foto daripada mendengarkan instruksi.

Kelompok lima orang itu—Arjuna, Kirana, Rifqy, Adara, dan Bhanu—tak langsung bergabung dengan keramaian. Mereka memilih berjalan lebih lambat, mengambil jalan setapak di pinggiran rumput yang mengarah ke sisi samping candi. Tempat itu lebih sepi, hanya ada satu-dua siswa lain yang lewat, dan beberapa turis asing yang sibuk memotret struktur batu purba.

Kirana melangkah paling depan, sandal kainnya menyentuh rerumputan yang basah. Ia berhenti di bawah pohon trembesi besar, menengadah, lalu duduk bersila.

“Ayo sini,” katanya sambil membuka halaman kosong di sketchbook-nya. “Aku pengen gambar kalian lagi. Tapi kali ini… dari belakang.”

“Kenapa dari belakang?” tanya Adara, ikut duduk di sebelahnya.

“Karena kita semua bakal ninggalin tempat ini dengan punggung menghadap,” jawabnya, pelan. “Kayak pamit yang gak pernah bener-bener kita ucapin.”

Arjuna berdiri di dekat batu besar, tangannya masuk ke dalam kantong hoodie-nya. Matanya mengamati relief candi yang menjulang angkuh di kejauhan.

“Bayangin ya, bangunan ini udah ada dari abad ke-9. Kita cuma mampir sejam-dua jam di sini, terus pergi. Tapi tempat ini… tetap.”

“Kayak memori,” sahut Bhanu sambil duduk bersandar ke batu yang sama. “Kita tinggalin, tapi dia tetap berdiri di kepala kita. Pelan-pelan ditumbuhi lumut, tapi gak runtuh.”

“Gila, Bhanu bisa puitis juga,” celetuk Rifqy sambil membuka bungkus wafer. “Biasanya kamu cuma ngomong pas ditunjuk guru.”

“Aku cuma ngomong kalau rasanya perlu,” jawab Bhanu tanpa senyum, tapi ada cahaya kecil di matanya.

Mereka berlima duduk membentuk setengah lingkaran, memunggungi keramaian. Dari kejauhan, suara siswa lain terdengar riuh—teriakan minta difotoin, tawa lepas, suara notifikasi kamera ponsel. Tapi di tempat itu, suasana terasa seperti dunia yang berbeda. Tenang, lapang, dan sedikit melankolis.

“Kalau kita semua nanti beneran pisah,” kata Adara tiba-tiba, “kira-kira siapa yang bakal paling cepat lupa?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti debu halus yang melayang di antara cahaya matahari sore.

“Aku rasa bukan soal siapa yang lupa duluan,” jawab Arjuna, pelan. “Tapi siapa yang paling berusaha untuk inget.”

Kirana berhenti menggambar. Matanya menatap kosong ke depan. “Kita harus jujur sih… nanti pasti bakal susah. Ada kehidupan baru. Teman baru. Kesibukan baru. Gak ada yang bisa jamin kita tetap kayak sekarang.”

“Tapi selama kita masih inget rasa yang ada di sini, kayak sore ini…” Rifqy menggigit wafernya. “Ya udah cukup sih, menurutku.”

“Aku pernah nulis puisi tentang ini,” gumam Adara, matanya menatap langit. “Tentang gimana kenangan itu kayak bintang. Kita gak selalu lihat, tapi mereka tetap ada di sana.”

“Puitis semua nih sekarang,” kata Kirana sambil tertawa kecil. “Tinggal nunggu Rifqy nge-rap aja nih.”

“Eh, jangan tantang aku,” jawab Rifqy sambil berdiri, menyilangkan tangan sok gaya rapper. “Yo, yo, kita duduk di batu, hati rindu, tapi pura-pura nggak tahu—”

“Udah, stop,” potong Arjuna sambil melempar daun kecil ke arah Rifqy. “Kamu merusak suasana sakral.”

Tawa mereka meledak. Tidak lama, tapi cukup keras untuk membuat seorang guru yang lewat menoleh curiga. Mereka segera menunduk, pura-pura melihat layar kamera dan tertawa pada foto yang tidak ada.

Langit semakin menggelap. Matahari sudah hampir tenggelam di balik puncak candi, menyisakan warna oranye lembut yang menyelimuti wajah-wajah mereka.

Kirana akhirnya menutup sketchbook-nya. “Aku selesai,” katanya. “Cuma siluet, sih. Tapi… cukup buat ngingetin aku tentang sore ini.”

Arjuna mengambil selembar daun dari tanah, menuliskan sesuatu dengan ujung pulpen. Ia menaruh daun itu di tengah lingkaran mereka.

“Ini apa?” tanya Bhanu.

“Cuma… janji kecil,” jawab Arjuna. “Kita semua bakal lihat langit yang sama, suatu hari nanti. Gak peduli kita di mana.”

Tak ada yang membalas, tapi semua paham. Karena saat itu, tidak butuh kalimat panjang untuk menyimpan satu perasaan yang diam-diam ingin dipertahankan.

Langit Jogja akhirnya benar-benar tenggelam. Guru-guru mulai memanggil siswa kembali ke bus. Pelataran candi mulai sepi, digantikan cahaya lampu taman yang menguning lembut. Kelima anak itu bangkit perlahan, meninggalkan bayangan mereka di bawah pohon dan batu tempat tadi mereka duduk.

Mereka berjalan berdampingan, tak satu pun bicara, tapi masing-masing menyimpan percakapan tadi dalam diam.

Malam belum selesai, dan perjalanan masih panjang. Tapi semua tahu… hari itu, di bawah bayangan Prambanan, ada sesuatu dalam diri mereka yang pelan-pelan mulai berubah.

Es Teh dan Tahu Goreng Tengah Malam

Hotel tempat mereka menginap tidak terlalu mewah, tapi cukup nyaman untuk rombongan siswa SMP. Kamarnya berjejer dua lantai, tiap kamar berisi empat sampai lima orang, dan semuanya memiliki balkon kecil yang menghadap halaman tengah.

Malam sudah larut. Lampu lorong menyala redup, dan sebagian besar kamar sudah sunyi. Hanya sesekali terdengar suara air keran atau tawa pelan yang ditahan-tahan dari kamar sebelah. Guru-guru sudah mengingatkan sejak pukul sepuluh, tak boleh keluar kamar, tak boleh bising, dan tidak ada jalan-jalan malam.

Tapi tentu saja, peraturan itu hanya hidup di atas kertas.

Kirana berdiri di balkon, menatap ke bawah. Matanya menyipit, mencoba mengenali sosok yang duduk di dekat warung kaki lima seberang jalan. Lampunya temaram, tapi cukup terang untuk melihat bahwa itu bukan orang asing.

Dia mengangkat ponselnya, membuka grup kecil mereka:
“Lima Kepala Kacau”

Kirana: bhanu di bawah?
Adara: serius?
Rifqy: yaudah, ayo kita nyusul.
Arjuna: warung itu jual teh manis anget, kan?
Adara: dan tahu goreng, katanya enak.
Kirana: 15 menit, kita ketemu di tangga belakang.

Dan seperti sudah direncanakan sejak lama, dalam lima belas menit mereka semua sudah keluar dari kamar masing-masing, melipir lewat lorong sunyi, menuruni tangga belakang hotel seperti mata-mata amatir. Mereka mengenakan jaket seadanya, sandal hotel, dan ekspresi bersalah yang ditutupi dengan senyum geli.

Bhanu duduk di bangku plastik warna biru, satu-satunya meja kosong di sebelah warung sederhana. Di depannya, gelas es teh sudah setengah habis, dan tahu goreng di piring kertas masih utuh.

“Pinter juga kamu milih tempat,” sapa Arjuna sambil menarik bangku. “Bau minyak gorengnya aja udah bikin aku pengen nulis puisi.”

“Tumben kamu dateng duluan,” kata Rifqy ke Bhanu. “Biasanya kamu yang paling susah diajak keluar.”

Bhanu hanya mengangkat bahu. “Aku gak bisa tidur.”

Kirana duduk di samping Adara, membuka jaketnya yang kebesaran dan menyender pada meja.

“Aku rasa gak ada dari kita yang benar-benar bisa tidur malam ini,” ujarnya pelan.

Warung itu sederhana: atap seng, dinding separuh kayu, dan satu kipas angin berdengung pelan di langit-langit. Tapi aroma tahu goreng dan sambal kacang yang khas seolah membuat tempat itu jauh lebih hidup. Pedagangnya, seorang bapak tua dengan celemek biru, menyambut mereka dengan senyum hangat.

“Mau pesan apa, Nak?”
“Tahu goreng semua, Pak. Sama es teh dua, teh anget tiga,” jawab Adara cepat.
“Lima tahu, lima teh. Baik. Duduk aja, nanti saya antar.”

Sambil menunggu, mereka tertawa pelan, membicarakan hal-hal kecil. Tentang teman sekelas yang ketahuan tidur pakai guling dari rumah, tentang guru sejarah yang tadi siang jatuh waktu turun dari bus, dan tentang betapa hotel ini mengingatkan mereka pada acara TV zaman dulu.

Tapi seperti biasa, obrolan ringan itu perlahan-lahan mengarah pada sesuatu yang lebih dalam.

“Setelah ini kita bakal ke Malioboro, terus ke Pantai Parangtritis, terus pulang,” kata Arjuna. “Dan kayaknya… itu bakal jadi terakhir kalinya kita bareng kayak gini.”

“Serem ya,” ucap Adara, menatap meja. “Kita semua sadar ini bakal berakhir, tapi tetap aja gak siap.”

“Tapi mungkin emang gitu cara hidup jalan,” sahut Kirana. “Kita gak pernah dikasih waktu cukup buat pamit, cuma dikasih kesempatan buat ngerasa… ini saatnya.”

Rifqy mengambil tahu goreng yang baru datang. “Aku bakal kangen kalian sih, meski kalian nyebelin.”

“Makasih, kamu juga gak kalah ngeselin,” timpal Bhanu, sedikit senyum di sudut bibirnya.

Suara motor lalu lalang terdengar samar. Udara malam Jogja mulai turun dingin, tapi di bawah tenda plastik warung itu, rasanya justru hangat. Bukan karena teh atau tahu goreng, tapi karena yang duduk di sekeliling meja.

“Mau nulis di daun lagi gak, Jun?” tanya Kirana tiba-tiba. “Kayak sore tadi.”

Arjuna menggeleng pelan. “Enggak. Sekarang aku pengen nulis di kepala kalian masing-masing.”

“Hah?” Adara tertawa kecil. “Maksudnya?”

“Maksudku, aku pengen kita semua inget malam ini, bukan karena kita janji atau semacamnya… tapi karena kita beneran ngerasa ini penting.”

Kirana diam sejenak, lalu mengeluarkan spidol hitam kecil dari tasnya. “Kalau gitu, aku tulis di tangan kalian aja.”

Satu per satu, ia menuliskan huruf kecil di bagian dalam pergelangan tangan mereka:

Satu.
Lima.
Malam.
Terakhir.
Kita.

Mereka saling menatap, lalu tertawa pelan. Ini konyol, mungkin. Tapi malam itu tidak butuh logika. Malam itu hanya butuh perasaan.

“Eh,” kata Rifqy sambil menunjuk jam di ponsel. “Sebentar lagi jam dua. Kita bisa ketahuan kalau gak balik sekarang.”

“Aku rasa gak apa-apa,” kata Bhanu, bangkit dari kursi. “Sekali-kali melanggar buat hal yang bener itu… gak dosa.”

Mereka membayar makanan, berpamitan pada si bapak warung yang hanya tersenyum, lalu menyusup kembali ke hotel lewat jalan yang sama. Tak ada suara langkah, hanya bisik-bisik pendek dan detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

Sebelum kembali ke kamar masing-masing, mereka berhenti sebentar di tangga. Lima orang berdiri dalam lingkaran tanpa kata.

Tak ada pelukan. Tak ada selamat tinggal. Hanya tatapan yang saling menyampaikan: “Ini akan kita ingat selamanya.”

Dan malam itu, di antara es teh dan tahu goreng, mereka akhirnya benar-benar menyadari: bahwa perpisahan paling menyakitkan, adalah perpisahan yang terjadi pelan-pelan. Yang tidak diberi tanda. Yang hanya menyisakan ruang kosong di bangku plastik, suatu hari nanti.

Langit yang Tak Pernah Pergi

Tiga tahun berlalu seperti serpih hujan yang diam-diam mengikis sisi jendela—pelan, nyaris tak terasa, tapi meninggalkan bekas permanen. Kota, kampus, dan kesibukan membawa masing-masing dari mereka ke tempat yang berbeda. Arjuna kini duduk di kelas sastra di Bandung, Kirana mengambil desain komunikasi visual di Malang, Adara sibuk di fakultas psikologi Yogyakarta, Rifqy betah di kota kecil bernama Salatiga, dan Bhanu—dengan tenangnya—kuliah teknik di Semarang.

Tak ada perpisahan resmi sejak hari terakhir mereka duduk di bangku SMP. Hanya pelukan seadanya di gerbang sekolah, janji akan bertukar kabar yang kemudian tenggelam dalam realitas.

Grup “Lima Kepala Kacau” masih ada di ponsel mereka masing-masing. Tapi obrolan terakhirnya sudah ratusan hari yang lalu. Emoji tawa dan stiker absurd berhenti muncul begitu mereka tenggelam dalam hidup baru yang tak sempat memberi waktu untuk nostalgia.

Sampai suatu sore, notifikasi muncul.

Arjuna:
12 Juni. Jogja. Prambanan. 4 sore.
Aku bakal di sana.
Gak maksa, cuma ngasih tau.

Tak ada yang langsung membalas. Tapi pesan itu menggantung, seperti kalimat tanpa titik. Dan bagi mereka berlima—yang pernah duduk di bawah bayangan candi, yang pernah melanggar jam malam demi teh manis dan tahu goreng—pesan itu bukan sekadar ajakan. Tapi panggilan diam yang tak bisa diabaikan.

Dan sore itu pun datang.

Langit Jogja nyaris sama seperti yang mereka ingat. Angin hangat. Awan tipis menggantung, seolah enggan benar-benar beranjak. Di pelataran Prambanan yang tenang, sosok Arjuna berdiri mengenakan hoodie lusuh yang entah kenapa masih sama seperti dulu.

Kirana datang lebih dulu. Wajahnya sekarang lebih dewasa, tapi sorot matanya masih sama—tajam, tapi penuh rasa. Ia melangkah mendekat tanpa banyak kata.

“Masih inget tempat kita duduk dulu?” tanyanya.
“Masih,” jawab Arjuna, lirih. “Kayaknya batu itu masih ada.”

Beberapa menit kemudian, Adara muncul, diikuti Rifqy, lalu Bhanu yang datang paling akhir, dengan helm masih di tangan dan senyum kaku yang penuh rindu tertahan.

Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Hanya senyum yang terlalu banyak menahan memori, dan keheningan yang justru terasa penuh.

Mereka duduk kembali di bawah pohon yang sama. Batu yang sama. Formasi yang hampir sama. Tapi diri mereka sudah berbeda.

“Lucu ya,” ucap Adara sambil menatap langit. “Kita balik ke sini, tapi bukan sebagai anak SMP lagi.”

“Aku bahkan ngerasa… kita gak pernah benar-benar pergi,” sahut Bhanu.

Kirana membuka tas kecilnya, mengeluarkan sketchbook tua yang warnanya sudah mulai pudar. Ia membolak-balik halaman, lalu menunjukkan satu halaman pada mereka. Siluet lima orang yang duduk memunggungi matahari, dengan coretan kecil di bawahnya:
“Kita pamit dengan punggung menghadap.”

“Gambarnya masih sama,” kata Rifqy. “Tapi rasanya beda.”

“Karena kita sekarang udah ngerti,” jawab Arjuna. “Ngerti bahwa gak semua hal bisa disimpan selamanya. Tapi ada beberapa yang cukup untuk dikenang.”

Mereka duduk lama. Tak saling buka ponsel, tak sibuk cari angle foto. Hanya berbagi diam yang nyaman. Diam yang dulu mereka ciptakan bersama.

Matahari mulai turun perlahan, menorehkan warna oranye ke permukaan batu candi.

“Setelah ini… gak apa-apa kalau kita gak sering ketemu,” ucap Kirana, suaranya nyaris berbisik. “Tapi aku harap kita semua tetap baik-baik aja di mana pun.”

“Dan kalau suatu hari nanti… ada dari kita yang hilang kabar,” sambung Bhanu, “aku harap yang lain tetap nyimpan tempat buat dia.”

Arjuna tersenyum kecil. “Langit ini… gak pernah pergi. Kita boleh jalan masing-masing, tapi kita tetap bisa lihat langit yang sama. Itu cukup.”

Saat akhirnya mereka berdiri, tak ada yang menangis. Tak ada pelukan perpisahan seperti drama. Hanya lambaian ringan, dan satu kalimat dari Adara yang mewakili segalanya:

“Kita pernah ada. Dan itu gak akan ke mana-mana.”

Langkah kaki mereka menjauh dari pelataran, dari pohon tua, dari batu tempat mereka dulu duduk. Tapi di dalam kepala dan hati masing-masing, sore itu akan tinggal diam—tak berubah, tak usang, dan tak pernah benar-benar pergi.

Langit Jogja menggelap perlahan.

Dan kenangan itu, akhirnya menemukan tempatnya:
bukan untuk ditahan, tapi untuk disimpan. Selamanya.

Jadi, setelah baca cerpen ini, masih berani bilang masa SMP itu biasa aja? Nyatanya, kenangan kecil kayak ngebagi es teh di warung pinggir jalan atau duduk bareng liatin langit Jogja bisa jadi momen yang gak bakal tergantikan seumur hidup.

Cerita ini bukan cuma tentang perpisahan, tapi tentang betapa berharganya hal-hal sederhana yang kita lalui bareng orang-orang yang pernah jadi rumah. Kalau kamu punya cerita serupa, jangan cuma disimpan sendiri—karena bisa jadi, yang kamu anggap kenangan biasa, ternyata punya makna luar biasa buat orang lain juga.

Leave a Reply