Cerpen SMP: Teman Baru, Awal yang Cerah di Hari Pertama Sekolah

Posted on

Hei, kamu lagi cari cerita seru tentang hari pertama sekolah? Nah, kamu lagi tepat banget! Cerita ini bakal bawa kamu ngerasain gimana serunya awal masuk SMP, ketemu teman baru, dan menemukan warna baru dalam hidup yang sebelumnya gak pernah kepikiran. Penasaran? Yuk, lanjut baca dan rasain sendiri vibe-nya!

 

Cerpen SMP

Gerbang yang Terbuka

Hari pertama di SMP selalu menjadi awal yang penuh ketidakpastian. Di depan gerbang sekolah, gerombolan siswa baru memenuhi halaman, masing-masing dengan ekspresi yang beragam—ada yang bersemangat, ada yang gugup, dan ada juga yang tampak biasa saja seolah hari ini tak berarti apa-apa.

Di antara mereka, seorang anak laki-laki bernama Elvano berdiri dengan ransel hitam yang tampak sedikit kebesaran di punggungnya. Matanya mengamati sekeliling dengan tenang, tetapi dalam hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa canggung yang menggumpal sejak tadi pagi.

Sekolah ini lebih besar dari yang ia bayangkan. Bangunan bertingkat dengan jendela besar yang berjajar rapi, lapangan luas di tengah halaman, serta deretan pohon rindang yang tampak seperti tempat sempurna untuk bersembunyi jika ingin sendirian. Ia menarik napas dalam-dalam. Satu langkah, dua langkah, dan akhirnya ia melewati gerbang besar itu.

Tidak butuh waktu lama sampai ia berdiri di depan papan pengumuman, matanya menelusuri kertas putih besar yang berisi daftar nama siswa dan kelas mereka.

“7C, 7C, di mana namaku?” pikirnya.

Jarinya bergerak turun perlahan, sampai akhirnya berhenti di satu baris. Elvano Arkana – 7C

“Oke, kelas 7C… Sekarang tinggal cari di mana kelasnya,” gumamnya pelan.

Namun, sebelum ia sempat bergerak, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dengan cukup keras.

“Hai! Kamu juga di 7C?”

Elvano sedikit tersentak. Ia menoleh dan mendapati seorang anak perempuan berdiri di sampingnya. Rambutnya sebahu dengan poni berantakan, kacamata bulat besar bertengger di hidungnya, dan senyum lebarnya seolah tak ada habisnya.

“Iya,” jawab Elvano singkat.

“Wow! Kita sekelas dong! Namaku Auristela, tapi kamu bisa panggil aku Auri. Nama kamu siapa?” tanyanya dengan suara penuh semangat.

Elvano ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab, “Elvano.”

“Aku suka namamu, keren!” Auri terkekeh, lalu menambahkan, “By the way, kamu udah tau kelasnya di mana?”

Elvano menggeleng. “Belum.”

“Bagus! Aku juga belum!”

Sebelum Elvano sempat menanggapi, Auri sudah menarik lengan bajunya pelan. “Ayo kita cari bareng! Daripada nyasar sendirian, mending nyasar berdua, kan?”

Elvano tidak tahu harus berkata apa, tapi entah kenapa, ia tidak keberatan mengikuti langkah gadis itu.

Mereka berjalan menyusuri koridor panjang yang penuh dengan siswa baru. Beberapa anak berkumpul bersama teman-teman dari SD mereka, beberapa lainnya tampak sibuk mencari kelas seperti mereka.

“Menurutmu, sekolah ini gede banget, nggak sih?” Auri membuka obrolan lagi.

Elvano mengangkat bahu. “Lumayan.”

“Lumayan? Ini gede banget! Aku tadi hampir kesasar ke kantin pas nyari toilet!”

Elvano meliriknya sekilas. “Kantin sama toilet jauh, kan?”

“Makanya! Aku baru sadar pas udah berdiri di depan warung bakso!”

Auri tertawa sendiri, sementara Elvano hanya menggeleng kecil.

Setelah beberapa kali berbelok dan nyaris masuk ke kelas lain, akhirnya mereka menemukan ruang 7C. Elvano hampir saja memilih duduk di bagian belakang, tapi Auri sudah lebih dulu menarik kursi di sebelahnya.

“Aku duduk di sini, ya!” katanya tanpa menunggu jawaban.

Elvano menatapnya sebentar. Bukan karena keberatan, hanya saja dia belum pernah bertemu seseorang yang secepat itu mengklaim kursi tanpa bertanya dulu.

Tak lama, siswa lain mulai memenuhi kelas. Beberapa anak saling berbicara dengan teman lama mereka, beberapa memilih diam dan fokus menata barang-barang di meja. Guru belum datang, jadi suasana masih cukup bebas.

Auri masih terus berbicara, meskipun sebagian besar obrolannya hanya tentang hal-hal kecil seperti daftar makanan kantin yang ingin ia coba, pengalaman memalukan saat upacara pagi tadi, hingga prediksi guru mana yang bakal paling galak.

Elvano hanya menanggapi seperlunya, tetapi anehnya, ia tidak merasa terganggu. Ada sesuatu dalam cara Auri berbicara yang membuat suasana terasa lebih ringan—seolah kehadirannya membawa warna cerah ke dalam ruangan yang tadinya biasa saja.

Tidak lama kemudian, seorang pria berkacamata dengan kemeja putih dan dasi longgar masuk ke kelas. Semua anak langsung duduk rapi.

“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya. “Nama saya Pak Darma, wali kelas kalian. Selamat datang di SMP ini. Saya harap kalian semua bisa betah dan menikmati masa sekolah di sini.”

Kelas menjadi lebih tenang. Elvano menatap lurus ke depan, tetapi di sudut matanya, ia bisa melihat Auri tersenyum kecil sambil menggoyangkan kakinya di bawah meja.

Hari pertama di sekolah baru ini mungkin masih panjang, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak merasa sesendiri yang ia kira.

 

Gadis dengan Warna Kuning

Bel istirahat berbunyi, menandakan kelas pertama mereka di SMP resmi berakhir. Beberapa anak langsung berhamburan keluar kelas, sebagian masih sibuk memasukkan buku ke dalam tas, sementara yang lain hanya duduk dan mengobrol santai.

Di tengah keramaian itu, Auri sudah berdiri dengan semangat berlebihan di samping meja Elvano.

“Ayo ke kantin!” serunya.

Elvano, yang baru saja memasukkan buku ke dalam tasnya, hanya melirik sebentar. “Kamu nggak bawa bekal?”

“Bawa, tapi bekal itu buat darurat. Hari pertama sekolah harus coba makanan kantinnya, dong!” katanya penuh keyakinan. “Kamu ikut, kan?”

Elvano belum sempat menjawab ketika Auri sudah menarik lengannya lagi, sama seperti tadi pagi. Seolah keputusan untuk menolak tidak pernah ada dalam kamusnya.

Koridor menuju kantin penuh dengan siswa yang berdesakan. Beberapa anak berjalan cepat agar bisa mendapatkan tempat duduk, sementara yang lain bergerombol di depan etalase makanan, kebingungan memilih menu.

“Kita beli apa ya?” gumam Auri sambil melihat daftar menu yang tertempel di dinding. “Aku mau bakso, sih. Katanya di sini enak!”

Elvano mengangkat alis. “Katanya siapa?”

Auri terkekeh. “Nggak tahu. Barusan aku ngarang. Tapi tetep aja, bakso enak buat dimakan pas hari pertama sekolah.”

Elvano hanya menghela napas pelan. Ia akhirnya memesan hal yang sama, lebih karena malas mencari pilihan lain. Setelah mendapatkan semangkuk bakso masing-masing, mereka mencari tempat duduk.

“Ayo duduk di sana!” Auri menunjuk sebuah meja kosong di dekat jendela.

Saat mereka duduk, Auri langsung menyeruput kuah baksonya dengan penuh semangat. “Wah, ini enak banget!”

Elvano baru saja akan mencoba makanannya ketika Auri tiba-tiba menatapnya dengan serius.

“Kamu pendiam banget, ya?” tanyanya tanpa basa-basi.

Elvano berhenti mengunyah sejenak. “Emang kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa. Aku cuma penasaran,” jawab Auri, lalu menyandarkan dagunya di tangan. “Dari tadi aku yang ngobrol terus. Kamu sama sekali nggak keberatan?”

Elvano mengangkat bahu. “Nggak.”

Auri tersenyum. “Berarti aku bisa terus ngomong, dong?”

“Kayaknya dari tadi juga udah gitu.”

Auri tertawa kecil. “Benar juga!”

Hening sejenak. Tidak hening yang canggung, tetapi lebih seperti jeda yang membiarkan keduanya menikmati makan masing-masing.

Saat Elvano hendak mengambil baksonya lagi, Auri tiba-tiba berkata, “Aku suka warna kuning.”

Elvano menoleh. “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”

Auri tersenyum, matanya berbinar. “Karena warna kuning itu cerah. Ceria. Nggak bisa diabaikan. Waktu kecil, aku pernah baca buku yang bilang kalau warna kuning itu warna yang bikin orang bahagia.”

Elvano berpikir sejenak. “Mungkin itu cocok buat kamu.”

“Karena aku selalu ceria?”

“Karena kamu susah diabaikan.”

Auri tertawa lagi, lebih keras kali ini. “Aku nggak tahu itu pujian atau sindiran, tapi aku terima aja!”

Elvano hanya tersenyum tipis.

Setelah mereka selesai makan, Auri menepuk mejanya dengan semangat. “Oke! Kita udah makan, sekarang waktunya eksplor sekolah!”

Elvano menatapnya dengan ragu. “Eksplor?”

“Iya! Kita harus lihat-lihat tempat penting. Perpustakaan, lapangan, mungkin juga ruang guru.”

“Kamu yakin boleh jalan-jalan ke ruang guru gitu aja?”

Auri mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi kita bisa coba!”

Elvano menatap gadis itu cukup lama. Dia masih belum terbiasa dengan seseorang yang punya energi sebanyak ini. Tapi, entah kenapa, ia tidak merasa keberatan untuk mengikutinya.

Auri bukan hanya gadis yang banyak bicara. Dia seperti warna kuning yang dia suka—terang, cerah, dan sulit diabaikan. Dan perlahan-lahan, kehadirannya mulai membuat hari pertama sekolah terasa berbeda.

 

Percakapan di Kantin

Siang semakin terik, tetapi kantin sekolah tetap dipenuhi suara riuh siswa yang baru saja selesai pelajaran. Beberapa meja sudah penuh, dan antrean di depan warung makan semakin panjang.

Elvano dan Auri kembali ke kantin, kali ini tanpa terburu-buru seperti saat istirahat pertama. Mereka sudah lebih mengenal letak kelas, toilet, dan bahkan perpustakaan yang tadi sempat mereka kunjungi.

“Untung kita cepat, masih ada tempat duduk kosong,” kata Auri sambil meletakkan nampannya di atas meja kayu dekat jendela.

Elvano hanya mengangguk, lalu duduk di seberangnya. Hari pertama sekolah memang melelahkan, tapi ia harus mengakui bahwa sejauh ini, ia tidak merasa sendirian.

Auri mengaduk jus jeruknya dengan sedotan. “Tadi di kelas, kamu nyimak nggak pas Pak Darma cerita soal kegiatan ekstrakurikuler?”

Elvano mengangguk. “Dikit.”

Auri menyipitkan mata. “Dikit itu berarti kamu denger, tapi nggak peduli, ya?”

Elvano hanya tersenyum kecil, tidak membantah. Ia memang tidak terlalu tertarik dengan ekstrakurikuler.

Auri menyeruput jusnya pelan. “Aku pengen ikut teater. Kayaknya seru bisa jadi orang lain di atas panggung.”

Elvano mengangkat alis. “Kamu udah cukup banyak ngomong tanpa perlu jadi orang lain.”

Auri tertawa. “Maksudmu aku cocok jadi pemeran utama?”

“Maksudku kamu nggak butuh alasan buat ngomong lebih banyak lagi.”

Tawa Auri semakin keras. Beberapa anak di meja sebelah melirik ke arah mereka, tapi gadis itu tampaknya tidak peduli.

“Terus, kamu mau ikut apa?” tanyanya begitu tawanya mereda.

Elvano berpikir sebentar. “Belum tahu.”

Auri mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Hmm… Kamu kayaknya cocok ikut basket.”

“Kenapa?”

“Soalnya kamu tinggi. Terus, kamu kelihatan tipe yang tenang tapi fokus. Kayak pemain basket di film-film.”

Elvano menggeleng pelan. “Aku nggak jago main basket.”

“Siapa bilang harus jago? Kan bisa belajar!”

Elvano diam. Ia bukan tipe yang suka menonjol atau jadi pusat perhatian, dan basket jelas bukan sesuatu yang pernah terpikirkan olehnya.

“Atau… mungkin klub jurnalistik?” Auri kembali mengusulkan.

Elvano menatapnya bingung. “Kenapa jurnalistik?”

“Soalnya kamu pendiam. Biasanya orang pendiam suka mengamati, dan orang yang suka mengamati cocok jadi penulis.”

Elvano tidak menyangka Auri bisa berpikir sejauh itu.

“Kamu suka nulis?” tanya Auri lagi.

Elvano mengangkat bahu. “Dulu suka. Waktu SD, aku sering nulis cerita pendek, tapi nggak pernah aku tunjukin ke siapa-siapa.”

Mata Auri berbinar. “Serius? Itu keren, loh! Kenapa nggak pernah tunjukin ke orang lain?”

“Nggak tahu. Mungkin aku cuma nulis buat diri sendiri.”

Auri menyesap jusnya lagi, lalu bersandar di kursinya. “Aku pengen baca salah satu ceritamu.”

Elvano menatapnya, agak terkejut. “Kenapa?”

“Karena aku penasaran. Aku suka lihat gimana orang menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Setiap kata yang mereka pilih tuh kayak jendela buat lihat dunia mereka.”

Elvano tidak tahu harus berkata apa.

Baru hari pertama sekolah, tapi Auri sudah membuatnya bicara lebih banyak dari biasanya. Gadis itu bukan hanya sekadar cerewet—dia tahu bagaimana cara masuk ke dalam pembicaraan tanpa terasa memaksa.

“Aku bakal pikirin soal klub yang mau aku ikuti,” kata Elvano akhirnya.

Auri tersenyum lebar. “Bagus! Aku tunggu keputusanmu. Siapa tahu kita bisa masuk klub yang sama.”

Elvano tidak menjawab, tapi dalam hatinya, ia merasa sesuatu berubah.

Hari pertama sekolah ini tidak hanya tentang adaptasi atau menemukan kelas.

Ini juga tentang menemukan seseorang yang, tanpa sadar, mulai membawa warna dalam hidupnya.

 

Awal dari Sesuatu yang Indah

Minggu pertama sekolah berlalu dengan cepat. Setiap hari terasa penuh dengan kejutan, mulai dari pelajaran yang lebih sulit daripada yang ia bayangkan hingga pertemuan tak terduga dengan teman-teman baru. Tetapi, satu hal yang selalu membuat hari-harinya lebih ringan adalah Auri.

Auri, dengan segala keceriaannya, seolah mampu menyulap suasana kelas yang tadinya hening menjadi lebih hidup. Setiap kali Elvano merasa dunia sekolah ini terlalu besar dan asing, Auri selalu ada, seperti cahaya kuning yang membimbingnya.

Di kantin, mereka sering berbicara tentang hal-hal kecil yang terdengar sangat biasa, namun bagi Elvano, itu adalah bentuk kebersamaan yang baru. Ia merasa nyaman. Auri tidak pernah menghakimi setiap kata yang keluar darinya, tidak pernah memaksanya untuk berbicara lebih banyak, tetapi cukup dengan berada di sana, Auri membuatnya merasa diterima.

Suatu sore, setelah bel pulang berbunyi, mereka berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Auri menggandeng tasnya dengan satu tangan, sementara Elvano membawa ranselnya dengan santai.

“Jadi, kamu udah pilih ekstrakurikuler?” tanya Auri, sambil menghadap Elvano dengan mata yang penuh harap.

Elvano mengangkat bahu. “Mungkin jurnalistik.”

“Akhirnya! Aku pikir kamu bakal pilih itu!”

Elvano melirik Auri dengan senyum tipis. “Kenapa kamu yakin?”

“Aku bisa lihat dari cara kamu berpikir. Nggak banyak ngomong, tapi setiap kali kamu bicara, kayaknya ada makna yang lebih dalam.” Auri tersenyum, mengangkat tangan dan menggerakkan jarinya seolah sedang menggambarkan sesuatu di udara. “Bukan orang yang cuma ngomong asal keluar aja.”

Elvano terdiam, agak terkejut dengan cara Auri melihat dirinya. Selama ini, ia lebih banyak menyimpan kata-kata dalam kepala, dan hanya berbicara ketika merasa perlu. Namun, di hadapan Auri, seolah ada ruang yang membuatnya merasa aman untuk terbuka.

“Terima kasih,” kata Elvano pelan.

Auri menoleh dengan ekspresi bingung. “Kenapa?”

“Karena kamu udah bikin hari-hari aku jadi lebih ringan.”

Auri terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Sama-sama, Elvano. Aku juga merasa begitu. Tanpa kamu, aku mungkin bakal jadi anak yang cuma sibuk sendiri.”

Mereka berjalan keluar dari sekolah, diiringi oleh angin sore yang membawa aroma bunga yang mulai mekar di sekitar lapangan. Suasana sepi, hanya ada suara langkah kaki mereka yang menghiasi kebisuan.

Auri berhenti sebentar dan menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Elvano, kamu pernah mikir nggak, kalau kita mungkin nggak bakal ketemu kalau kita nggak duduk bareng hari pertama itu?”

Elvano mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi kalau aku nggak ketemu kamu, hari-hari di sekolah ini bakal lebih sepi.”

Auri tersenyum sambil berjalan ke arah sepeda yang diparkir di dekat gerbang. “Kadang, hal-hal yang kita anggap kecil bisa jadi sesuatu yang besar, ya? Kayak kita berdua.”

Elvano hanya mengangguk.

Auri memutari sepedanya dan memberi Elvano pandangan yang penuh semangat. “Nggak tahu kenapa, tapi aku yakin ini baru awal dari sesuatu yang seru.”

Elvano tersenyum, kali ini lebih lebar. “Aku juga.”

Dan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Elvano merasa seperti sebuah babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai. Satu hal yang pasti, pertemuan dengan Auri adalah awal dari sesuatu yang lebih indah, lebih cerah, dan lebih berarti dari yang bisa ia bayangkan.

 

Nah, gimana? Udah kebayang kan, gimana serunya awal masuk SMP dan ketemu teman yang bisa ngubah hari-hari kamu jadi lebih cerah? Kalau kamu suka cerita ini, jangan lupa share ke teman-teman kamu, biar mereka juga ikut merasakan serunya pertemanan baru! Sampai ketemu lagi di cerita seru selanjutnya!

Leave a Reply