Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa pelajaran tertentu itu kayak musuh abadi? Apalagi pas SD, pelajaran kayak Matematika tuh sering banget jadi mimpi buruk buat banyak anak. Tapi, gimana jadinya kalau pelajaran yang dibenci itu malah berubah jadi kesukaan? Bukan karena rumusnya tiba-tiba gampang, tapi karena ada guru super asik dan cara belajar yang nggak biasa—kayak main monster, petualangan, dan pecahan dari kue beneran!
Cerpen ini nyeritain pengalaman seru dan unik banget dari seorang anak SD yang awalnya benci banget sama Matematika, tapi perlahan justru jadi jago gara-gara pendekatan gurunya yang out of the box. Penuh warna, lucu, menyentuh, dan pastinya relate banget buat kamu yang pernah ngerasa “nggak jago” di sekolah.Baca sampai akhir ya, siapa tahu kamu jadi ikutan cinta sama pelajaran yang dulu paling kamu hindari!
Cerpen Seru Tentang Pengalaman SD
Angka-angka yang Tak Pernah Ramah
Langit Senin pagi di atas SD Negeri Nusapati 03 terlihat sendu, seperti ikut memahami rasa malas yang menyelimuti sebagian besar murid. Di ujung barisan kelas lima, seorang bocah laki-laki berdiri dengan seragam yang kusut di bagian bahu dan sepatu yang warnanya sudah tidak bisa dibedakan lagi antara cokelat atau hitam. Namanya Alvano Damar, dan hari itu ia berharap waktu bisa berjalan lebih lambat.
Tepat pukul tujuh lewat sepuluh, bel berdentang tiga kali. Suara langkah kaki anak-anak berlomba menuju kelas, sebagian menyelipkan roti ke mulut, sebagian lagi menenteng buku yang hampir jatuh dari pelukan. Tapi Alvano melangkah pelan, sengaja memperlambat setiap ayunan kakinya. Ia tahu, pelajaran pertama hari itu adalah Matematika.
Kelas 5A terletak di sayap kanan bangunan sekolah, dekat pohon trembesi tua yang daunnya sering jatuh ke ventilasi. Di dalam ruangan, suasana belum terlalu ramai. Fino dan Lira sibuk membahas soal PR yang mereka selesaikan tadi malam, saling mengoreksi angka di buku catatan dengan kecepatan yang bikin pusing.
“Delapan kali enam berapa, Van?” tanya Lira sambil menyodorkan pensil.
Alvano diam. Matanya memandang kosong ke papan tulis.
“Eh, kamu nggak ngerjain PR-nya juga?”
“Ya… aku coba sih,” jawabnya pelan, “tapi… aku ngantuk banget tadi malem.”
Itu alasan klasiknya. Padahal sebenarnya, setiap kali ia melihat soal Matematika, kepalanya langsung terasa penuh. Angka-angka itu seperti punya nyawa—berjalan, meloncat, dan bergulung-gulung dalam pikirannya sampai akhirnya jadi satu kekacauan yang tak bisa diurai.
Ketika Bu Ratna—guru Matematika lama—masuk, suasana langsung berubah. Beliau adalah guru yang tegas, suaranya lantang, dan jarang terlihat tersenyum. Setiap kali menjelaskan pecahan atau kelipatan, nadanya seperti komandan yang sedang memberi aba-aba baris-berbaris. Tidak ada waktu untuk melamun, tidak ada ruang untuk salah hitung.
“Alvano, kamu kerjakan soal nomor empat,” perintah Bu Ratna suatu pagi beberapa minggu lalu.
Deg.
Dengan tangan gemetar, Alvano berjalan ke depan kelas, menatap soal yang tertulis di papan:
“Sebuah kue dibagi menjadi 6 bagian. Jika Dani makan 2 bagian dan Rani makan 1 bagian, berapa sisa kue yang belum dimakan?”
Ia membaca soal itu tiga kali. Otaknya berjalan lambat. Lira yang duduk di bangku depan sudah mengangkat tiga jari, memberi kode jawaban, tapi itu malah membuat Alvano makin panik.
“Berapa jawabannya, Van?” tanya Bu Ratna, suaranya dingin.
“Kue… sisa… dua?”
“Enam dikurang dua tambah satu itu berapa?”
“E… tiga?”
“Yang betul itu tiga, tapi kamu masih bingung. Kamu harus lebih sering latihan, Alvano. Ini soal gampang.”
Gampang. Kata itu seperti tamparan. Ia kembali ke tempat duduknya dengan wajah menunduk, berusaha menyembunyikan rasa malu yang merayap di pipinya.
Saat istirahat, ia duduk sendirian di dekat keran air. Biasanya ia bermain gundu bersama Fino dan Adhit, tapi hari itu ia merasa lebih baik menjauh. Ia tahu, teman-temannya tak pernah mengejeknya secara langsung, tapi tatapan mereka sudah cukup menyakitkan.
“Aku heran deh, kok kamu bisa nggak ngerti juga sih soal kue-kue itu?”
Suara Fino tiba-tiba muncul dari belakang.
Alvano hanya mendesah.
“Aku nggak ngerti aja, Fin. Otakku rasanya muter terus kalau lihat angka.”
Fino duduk di sampingnya, menyeruput es mambo.
“Mungkin otak kamu emang buat gambar, bukan angka. Tapi tetap aja, Matematika kan wajib, Van.”
“Iya… tapi kenapa harus ada pecahan segala, sih? Kue aja kalau dibagi-bagi bikin tambah lapar.”
Keduanya tertawa pelan, meski tawa Alvano terasa hambar.
Setiap hari Senin, rasa malas Alvano bukan karena bendera yang harus dikibarkan atau panas lapangan upacara. Tapi karena Matematika selalu ada di jadwal pagi. Baginya, pelajaran itu seperti langit abu-abu yang tak kunjung cerah—berisi awan soal cerita, badai perkalian, dan hujan tanda tanya yang tak ada hentinya.
Namun, minggu itu menjadi minggu terakhir Bu Ratna mengajar. Sebuah pengumuman tiba-tiba datang dari kepala sekolah pada hari Rabu pagi: “Mulai minggu depan, kelas 5A akan diajar oleh guru baru untuk mata pelajaran Matematika.”
Anak-anak bersorak. Tidak karena mereka tidak suka Bu Ratna, tapi karena kata “guru baru” selalu terdengar seperti petualangan. Ada kemungkinan gaya mengajar yang lebih asik, atau setidaknya, tidak seseram Bu Ratna.
Tapi di pojok kelas, Alvano hanya menatap papan tulis kosong. Ia tidak tahu harus senang atau cemas. Baginya, guru boleh berganti, tapi Matematika tetap saja Matematika—sesuatu yang tak pernah ramah, dan selalu membuat dadanya sesak.
Ia tidak tahu bahwa sebentar lagi, segalanya akan berubah. Bukan karena angka-angka jadi lebih mudah, tapi karena ada satu guru yang datang tidak hanya membawa buku, tapi juga cara pandang baru tentang apa artinya mencoba.
Dan bagi seorang Alvano Damar, itu adalah awal dari sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.
Guru Baru, Aturan Baru
Hari Senin datang lagi, tapi pagi itu terasa berbeda. Di ruang guru, suasana sedikit lebih ramai dari biasanya. Bisik-bisik guru perempuan dengan senyum menahan tawa, dan suara sandal kulit yang baru seolah memperkenalkan sosok asing di lingkungan yang sudah terlalu biasa.
Di kelas 5A, anak-anak masih sibuk menggambar di bagian belakang buku tulis ketika pintu kelas terbuka perlahan. Bukan Bu Ratna yang muncul seperti biasanya, melainkan seorang perempuan muda dengan rambut dikuncir tinggi, ransel kanvas di punggung, dan senyum lebar yang begitu terang meski langit di luar mendung.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya ceria.
Beberapa murid menoleh cepat, sebagian masih melanjutkan goresan pensil mereka dengan malas.
“Nama aku Bu Ajeng, aku yang bakal ngajar Matematika di kelas ini mulai hari ini. Tapi tenang, aku nggak bakal langsung kasih PR.”
Seketika, beberapa kepala langsung terangkat. Lira dan Fino saling pandang.
“Serius, Bu?” celetuk Fino, setengah curiga.
“Serius banget. Tapi, aku punya satu aturan.”
Ia meletakkan ranselnya di atas meja guru, lalu membuka map berwarna kuning dan mengeluarkan sesuatu yang mengejutkan: segepok kartu bergambar monster warna-warni.
Alvano yang duduk di dekat jendela akhirnya menoleh.
“Setiap kalian bisa selesain soal, kalian bakal dapet satu monster. Monster ini bisa kalian koleksi, tuker, atau bahkan kalian pakai buat duel di kelas. Tapi kalau kalian males belajar… yah, monster-nya bisa kabur.”
Kelas langsung ramai.
“Bu, ini kayak main kartu beneran?”
“Aku boleh punya dua monster?”
“Kalau aku menangin semua, dapet hadiah apa, Bu?”
Sambil tertawa, Bu Ajeng meminta semua duduk tenang.
“Tunggu dulu. Sebelum kita main, aku pengen tahu… siapa yang paling nggak suka Matematika di kelas ini?”
Suasana mendadak sepi. Sebagian mulai saling menatap, tapi tak ada yang berani angkat tangan. Hingga akhirnya, perlahan, tangan Alvano terangkat setengah hati, seperti menyembul malu dari balik tumpukan buku tulis.
“Namamu siapa?”
“Alvano, Bu…”
“Terima kasih udah jujur, Van. Karena kamu paling nggak suka Matematika, aku kasih kamu kesempatan pertama pilih monster.”
Seketika suasana meledak dengan sorakan.
“Eh curang!”
“Alvano hoki banget!”
Tapi Bu Ajeng hanya mengangkat alis sambil tersenyum.
“Bukan curang, ini namanya keberanian. Nggak semua orang berani ngakuin apa yang dia nggak suka.”
Alvano maju dengan canggung, matanya masih memindai kartu-kartu yang terhampar di meja guru. Ia memilih satu monster bergambar burung besar bersayap petir—namanya “Zaltron 6x”, di sudut kartu tertulis angka enam dan delapan.
“Zaltron 6x ini cuma bisa aktif kalau kamu bisa jawab perkalian enam kali delapan, ya.”
Alvano hanya mengangguk, walau dalam hati ia ingin kabur ke UKS.
Pelajaran hari itu dimulai bukan dengan soal-soal di papan tulis, tapi dengan “pertempuran monster”. Bu Ajeng membagi kelas menjadi dua tim. Setiap tim mendapat tantangan berhitung, dan monster yang mereka pilih hanya bisa ‘menyerang’ jika hitungan mereka benar.
Fino dan Adhit cepat menguasai permainan. Tapi saat giliran Alvano, suasana jadi hening.
“Van, kamu siap?”
Soalnya sederhana. “Tujuh dikali lima.”
Ia menunduk, mengusap keringat di telapak tangan.
“Empat… puluh…”
Ia ragu.
“Eh, nggak. Tiga puluh lima!”
“Yakin?” tanya Bu Ajeng sambil mengangkat alis.
Alvano mengangguk pelan. Dan saat monster Zaltron menyerang dan menang melawan monster tim lawan, kelas bersorak.
“Yeay Alvano!”
“Akhirnya kamu nyerang juga!”
“Aku pengen tukeran kartu sama kamu!”
Senyum kecil muncul di wajah Alvano. Mungkin ini bukan kemenangan besar, tapi cukup untuk menghilangkan rasa takutnya terhadap angka, meski hanya sejenak.
Di akhir pelajaran, Bu Ajeng membagikan kartu kecil berisi tantangan yang harus diselesaikan di rumah. Tapi alih-alih menulis “PR”, ia menyebutnya “Misi Malam”.
“Kamu boleh kerjain misi ini sambil makan gorengan. Tapi jangan sampe monster kamu tidur terus ya, Van.”
Anak-anak tertawa. Dan di tengah keramaian itu, Alvano menyelipkan kartunya ke dalam buku tulis dengan hati-hati, seolah itu benda langka yang harus disimpan baik-baik.
Hari itu, untuk pertama kalinya, ia pulang dari sekolah tanpa merasa dikalahkan oleh angka.
Dan meski malamnya ia masih sempat bertanya pada kakaknya, “Enam kali tujuh tuh berapa sih?”, ia melakukannya bukan karena takut dimarahi guru… tapi karena ia benar-benar ingin tahu.
Sesuatu yang selama ini tidak pernah terjadi.
Pertarungan Monster dan Pecahan Kue
Pagi itu kelas 5A lebih ribut dari biasanya. Kursi geser ke kanan-kiri, kertas warna-warni berhamburan di atas meja, dan suara tawa Fino bersaing dengan musik pelan yang diputar dari speaker kecil milik Bu Ajeng.
Di papan tulis, bukan angka-angka atau soal pecahan yang biasanya bikin mata berkunang-kunang, tapi gambar peta besar bertema “Kerajaan Angka Pecahan”, lengkap dengan kastil dari kue tart, sungai susu, dan monster penjaga gerbang yang berdiri gagah dengan perisai berbentuk pizza.
“Kita nggak belajar Matematika, Bu?” celetuk Lira sambil duduk setengah berdiri.
“Justru ini pelajaran Matematika, Lir,” jawab Bu Ajeng santai. “Tapi hari ini kita belajar sambil bertualang.”
Ia membagi kelas menjadi empat kelompok. Setiap kelompok akan menjadi tim penjelajah yang harus menaklukkan kerajaan angka dengan memecahkan soal pecahan dan menjalankan misi permainan.
“Aku pengen jadi kelompok kastil kue!” teriak Fino.
“Kita duluan yang pilih kemarin, kamu ke susu aja!” protes Lira sambil melirik Alvano.
“Aku ikut yang mana aja deh,” gumam Alvano.
“Van, kamu masuk tim Kue Baris ya,” kata Bu Ajeng, menunjuk papan. “Soalnya kamu punya kartu Zaltron, dan kerajaan kue cuma bisa dimasuki kalau kamu bisa bantu pecahkan misi soal pecahan.”
Alvano menelan ludah. Dari semua bagian Matematika, pecahan adalah yang paling ia hindari. Baginya, membagi sesuatu jadi bagian kecil itu membingungkan. Apalagi kalau satu benda bisa dibagi jadi dua, terus tiga, lalu dicampur jadi lima per delapan. Itu rasanya kayak disuruh main puzzle dengan potongan-potongan yang gak pernah pas.
Tapi ia ingat bagaimana rasanya minggu lalu saat monster miliknya menang duel. Dan kali ini, ia tidak ingin hanya berdiri di sudut dan melihat teman-temannya menyelesaikan semuanya sendiri.
Misi pertama dimulai.
Bu Ajeng membagikan satu dus plastik berisi kue bolu mini yang sudah dipotong kecil-kecil.
“Setiap kelompok punya 6 potong. Kalau satu anggota makan 2 bagian, lalu satu lagi makan 1 bagian, berapa yang tersisa?”
Lira langsung menjawab, “Tiga, Bu!”
Tapi Bu Ajeng mengangkat tangan.
“Nggak boleh sembarang jawab. Kalian harus tunjukkan pakai kue kalian. Pecahkan secara nyata.”
Alvano mulai mengatur potongan kue di atas meja. Tangannya sempat gemetar, tapi kemudian ia menyusun satu per satu bagian.
“Nih, kalau aku makan dua, dan kamu makan satu… sisanya tinggal tiga kan? Jadi jawabannya bener.”
Bu Ajeng menghampiri kelompok mereka.
“Alvano, kamu yang hitung ya.”
“Enam dikurang tiga…”
Ia mengangkat kepala pelan.
“Tiga potong tersisa, Bu.”
Suasana kelas ramai oleh sorakan kelompoknya. Alvano sedikit tersenyum—senyum canggung tapi tulus.
Tantangan berikutnya lebih rumit. Satu kelompok harus menyusun sendiri soal cerita menggunakan pecahan yang mereka buat dari makanan. Tim Alvano menulis:
“Nana membeli sebuah pizza dan memotongnya jadi 8 bagian. Ia makan 2 bagian di pagi hari, 2 bagian saat istirahat, dan sisanya ia berikan ke adiknya. Berapa bagian yang dimakan Nana?”
“Aku tau jawabannya, Bu!” seru Fino dari tim lain.
“Tunggu, yang bikin soal tim Alvano. Jadi yang jawab… harus Alvano juga!”
“Ha?! Aku?”
“Kamu yang bikin cerita tadi, kan? Coba kamu hitung.”
Alvano menghitung pelan di tangannya.
“Dua bagian pagi… dua waktu istirahat… jadi empat bagian dimakan. Sisanya dikasih ke adik. Jadi jawaban yang dimakan ya empat bagian dari delapan.”
“Empat per delapan itu bisa disederhanakan jadi berapa?” tanya Bu Ajeng, mengarahkan lebih jauh.
Alvano berpikir keras. Ia menatap gambar pizza di kartu monsternya, lalu memecah angka dalam benaknya.
“Dua per empat… eh, salah. Empat dibagi empat itu satu… delapan dibagi empat itu dua… jadi satu per dua?”
Bu Ajeng tersenyum bangga.
“Betul! Kamu baru aja menyederhanakan pecahan sendiri. Tanpa contekan.”
Satu per satu, kepercayaan dirinya bertambah. Setiap misi yang berhasil mereka selesaikan memberi rasa puas yang belum pernah ia rasakan saat belajar Matematika sebelumnya. Angka-angka itu kini bukan sekadar beban, tapi bagian dari permainan yang bisa disentuh dan dirasakan.
Ketika bel istirahat berbunyi, sebagian anak langsung menyerbu kantin. Tapi Alvano tetap di kelas, duduk di kursinya sambil menatap kartunya.
Lira menghampirinya sambil membawa dua potong risoles.
“Van, kamu keren banget hari ini.”
“Ah… biasa aja. Cuma lagi nggak bego-bego amat,” jawabnya setengah malu.
“Kamu bukan bego, Van. Mungkin kamu cuma butuh waktu lebih lama buat ngerti. Tapi kamu ngerti, dan itu keren.”
Alvano menatap risoles di tangan Lira.
“Kalau ini dibagi dua, terus satu bagian kamu makan, sisanya tinggal setengah, ya kan?”
Lira tertawa.
“Baru juga pulang sekolah, kamu masih mikirin pecahan?”
Tapi Alvano tidak menjawab. Dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh. Mungkin belum sebesar keberanian, tapi lebih dari cukup untuk membangun rasa penasaran yang selama ini hilang.
Dan siapa sangka, dari pecahan kue dan monster kertas, ia menemukan bahwa pelajaran yang dulu membuatnya ingin kabur… bisa juga terasa seperti petualangan.
Langkah Pertama yang Mengubah Segalanya
Pagi itu mendung menggantung di atas langit SD Sinar Mentari. Tapi tidak ada yang terlihat muram di dalam kelas 5A. Justru sebaliknya, meja-meja disusun melingkar, hiasan dari kertas origami bergelantungan di jendela, dan di papan tulis tertulis besar-besar:
“Hari Monster Showdown & Matematika Hebat!”
Hari ini bukan hari biasa. Ini adalah hari ketika semua kelompok akan menunjukkan hasil dari misi mereka selama tiga minggu terakhir bersama Bu Ajeng. Bukan sekadar presentasi, tapi pertandingan besar antarmonster—di mana semua soal Matematika jadi senjata utama.
Alvano berdiri di antara Lira dan Fino, tangan gemetar tapi matanya berbinar. Ia mengenakan selempang kertas bertuliskan “Kapten Tim Kue Baris”, hasil buatan Lira semalam yang dihiasi glitter ungu dan stiker buah ceri.
“Deg-degan nggak, Van?” tanya Lira sambil melirik kartu monster yang digenggamnya.
“Banget. Tapi… nggak pengen kabur sih,” jawab Alvano dengan senyum kecil.
“Kamu keren kok. Ingat aja… Zaltron bakal kecewa kalau kamu mundur.”
Bu Ajeng berjalan di depan kelas, mengenakan jubah kain cokelat yang menjuntai lucu sampai ke ujung lututnya. Di tangan kirinya, ia memegang kartu khusus: Kartu Tantangan Final.
“Baik, para penjelajah! Hari ini kita akan lihat siapa tim terbaik, siapa monster terkuat, dan siapa yang bisa menaklukkan Matematika tanpa harus pakai rasa takut!”
Semua anak bersorak. Bahkan Pak Jaya, kepala sekolah, terlihat berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
Satu per satu kelompok maju. Tim Lira tampil gesit, menyusun soal cerita dan menjelaskan konsep pecahan campuran dengan bantuan gambar donat. Tim Adhit membawa karton besar bergambar monster naga dan menyebutkan rumus luas segitiga secepat mengucap nama makanan kesukaan mereka.
Kini giliran Alvano dan timnya. Mereka membawa papan kecil berbentuk kastil, lengkap dengan gambar monster, dan mulai menjelaskan soal yang mereka susun sendiri:
“Jika sebuah kastil kue memiliki 24 potong tart dan dibagi rata untuk 6 monster, berapa banyak kue yang didapat setiap monster? Dan jika satu monster hanya bisa makan 3 potong, berapa sisa kue yang tidak termakan?”
Alvano menarik napas panjang. Ia berdiri paling depan, kartu Zaltron tergenggam erat di tangannya.
“Jadi, 24 dibagi 6 itu sama dengan 4. Setiap monster dapat 4 kue. Tapi karena satu monster cuma bisa makan 3, maka ada satu kue yang tersisa dari setiap monster.”
Ia menunjuk karton perhitungan di belakangnya.
“Kalau ada 6 monster, dan masing-masing nyisain satu kue, berarti total sisa kue adalah… 6 potong.”
Murid-murid tepuk tangan. Bahkan Adhit, saingan alaminya dalam duel monster, berbisik pelan, “Gilaaa, kamu jago banget sekarang, Van.”
Bu Ajeng mendekat sambil tersenyum hangat.
“Aku bangga banget sama kamu, Van. Bukan cuma karena kamu bisa jawab soal… tapi karena kamu mau belajar, walau awalnya kamu ngerasa itu susah.”
Alvano hanya mengangguk. Ada rasa hangat yang mengalir dari ujung kaki sampai ke tengkuk lehernya. Rasa yang tak bisa dijelaskan… tapi yang membuat dunia angka tidak lagi terasa dingin dan membingungkan.
Di akhir acara, semua anak mendapatkan kartu “Pahlawan Matematika”—kartu khusus dengan gambar monster hasil buatan mereka sendiri. Tapi yang paling mengejutkan adalah saat Bu Ajeng menyerahkan sebuah amplop kecil pada Alvano.
“Apa ini, Bu?”
“Buka aja di rumah. Tapi janji ya, jangan buang isinya.”
Sore harinya, Alvano membuka amplop itu di kamar, sambil duduk bersila di lantai. Isinya bukan uang, bukan hadiah, tapi selembar kertas bergambar monster Zaltron… dengan tulisan tangan Bu Ajeng di bawahnya:
“Alvano, kamu membuktikan kalau keberanian bukan soal bisa langsung hebat, tapi soal berani mencoba, meski takut. Dunia ini butuh anak-anak seperti kamu.”
Tangannya memegang erat kertas itu. Di luar kamar, suara ibunya memanggil untuk makan malam. Tapi ia masih terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap.
Hari-hari berikutnya, Alvano tidak berubah menjadi anak jenius Matematika dalam semalam. Tapi kini ia tidak lagi menghindar dari soal. Ia tidak lagi menutup buku setiap kali melihat angka. Ia bahkan mulai membantu teman-temannya mengerjakan PR.
Karena baginya, belajar bukan lagi momok. Tapi perjalanan. Dan kadang, perjalanan itu dimulai hanya dari satu langkah kecil… seperti memilih kartu monster di hari yang ia pikir akan jadi hari biasa.
Dan di SD Sinar Mentari, cerita Alvano jadi bukti bahwa pelajaran paling dibenci… bisa berubah jadi kesukaan, saat diajarkan dengan cara yang benar… oleh orang yang percaya padamu, bahkan sebelum kamu percaya pada dirimu sendiri.
Nah, itu dia kisah seru yang nggak cuma bikin senyum-senyum sendiri, tapi juga ngasih pelajaran penting: kadang, hal yang paling kita benci bisa jadi hal yang paling kita sayangin, asal kita ketemu cara belajarnya yang pas dan orang yang percaya sama kita. Cerpen ini ngingetin kita kalau setiap anak punya waktunya sendiri buat bersinar—dan kadang, semua itu dimulai dari satu langkah kecil.
Semoga cerita ini bisa jadi penyemangat buat kamu, adikmu, muridmu, atau siapapun yang lagi berjuang memahami pelajaran yang rasanya bikin pusing tujuh keliling. Jangan menyerah ya, karena belajar itu bukan soal siapa yang paling cepat… tapi siapa yang nggak berhenti mencoba.Kalau kamu suka cerita kayak gini, jangan lupa baca juga cerpen inspiratif lainnya di blog ini ya! Sampai ketemu di cerita selanjutnya!