Daftar Isi
Kadang, kita nggak sadar seberapa besar seseorang itu berarti sampai mereka nggak ada lagi. Gak ada yang bisa nyiapin kita buat kehilangan, apalagi kalau yang pergi itu orang yang kita cintai. Cerita ini tentang Ilhan, yang harus belajar hidup lagi setelah Ceyla, kekasihnya, pergi.
Perjalanan yang gak cuma penuh dengan penyesalan, tapi juga penuh dengan kenangan yang susah banget dilepaskan. Jadi, siap-siap bawa tisu, karena ini bukan sekedar cerita tentang cinta, tapi tentang bagaimana kita belajar melepaskan.
Perjalanan Ilhan Menghadapi Kenangan
Senja yang Hilang
Langit sore itu tampak berbeda—tidak seperti biasanya yang penuh warna merah muda dan oranye yang menyenangkan. Kali ini, matahari hanya memancarkan cahaya redup, seperti tak mau sepenuhnya bersinar. Ilhan duduk di kursi kayu tua di tepi danau, menatap kosong permukaan air yang kini tampak lebih gelap dari biasanya, seolah menyerap segala kesedihan yang ada di dunia ini.
Angin berhembus pelan, menggoyangkan pepohonan di sekitar danau, namun Ilhan tidak merasakannya. Semua terasa hampa. Satu-satunya suara yang terdengar adalah desiran angin dan detak jam yang entah kenapa semakin lama terdengar begitu asing. Sudah tiga bulan sejak kejadian itu, dan meskipun dunia di luar terus bergerak, baginya waktu seperti terhenti.
Di tangannya, Ilhan menggenggam secarik kertas kuno, sebuah lukisan yang ia dan Ceyla beli bersama. Ceyla. Namanya bergema dalam pikirannya, menyatu dengan setiap hembusan napasnya yang berat. Wajah Ceyla, senyum manisnya, tawa kecil yang selalu mampu menenangkan hatinya—semua itu kini hanya tinggal kenangan.
“Kenapa kamu harus pergi, Ceyla?” bisiknya, matanya yang sudah lelah menatap ke tanah, tak mampu lagi menahan air mata yang perlahan turun.
Hari itu adalah hari yang paling sulit bagi Ilhan. Dia seharusnya ada di sana, di sisi Ceyla. Tapi saat itu, dia hanya terdiam—terlalu terlambat untuk menyelamatkannya. Apakah itu salahnya? Tentu saja. Jika saja dia lebih cepat menarik tangan Ceyla, jika saja dia lebih sigap…
“Kamu tahu kan, aku selalu berpikir kita akan bersama selamanya?” Ilhan berbicara pada diri sendiri, mencoba menghibur dirinya dengan kata-kata yang ia tahu tak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang. “Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.”
Angin kembali bertiup, dan tiba-tiba Ilhan merasa seperti ada sesuatu yang menyentuhnya—sesuatu yang membuat hatinya tercekik, seolah jiwanya dipaksa untuk merasakan setiap detik kepergian Ceyla.
Tanpa disadari, ia berdiri dan berjalan pelan menuju air, menggenggam lukisan senja yang sudah memudar warnanya. Ceyla sangat menyukainya, mengatakan bahwa itu adalah gambaran dari kisah mereka—warna-warni kehidupan mereka yang dulu penuh harapan. Tapi kini, lukisan itu tak lebih dari kenangan pahit yang tertinggal.
“Aku… aku bahkan tidak tahu harus bagaimana,” Ilhan kembali berbicara pada dirinya sendiri. Ia melemparkan pandangan jauh ke danau yang kini tampak seperti cermin hitam, mencerminkan langit yang mulai gelap. “Aku nggak bisa tidur. Aku nggak bisa makan. Semua terasa… kelabu.”
Langit yang semakin gelap itu membuat Ilhan merasa seperti terperangkap dalam dunia yang berbeda—dunia tanpa Ceyla. Di bawah langit yang semakin redup, angin berhembus lebih kencang, membawa suara-suara dari masa lalu. Suara tawa Ceyla, suara langkah kaki mereka berdua berjalan bersama di sepanjang jalan setapak yang berkerikil.
Satu hal yang sangat jelas di benaknya: dia telah kehilangan segalanya.
“Ilhan, jangan khawatir. Aku akan selalu ada untuk kamu,” suara Ceyla terdengar jelas di telinganya, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Ilhan menutup matanya, merasakan kehadirannya seolah-olah Ceyla masih ada di sampingnya.
Namun saat matanya terbuka, tak ada siapa-siapa. Hanya kesunyian yang mencekam.
Ilhan menatap lukisan senja itu lagi. Tangannya yang gemetar mengusap lembut kanvas itu, berharap bisa merasakan sentuhan Ceyla, berharap bisa melihatnya lagi—hanya untuk satu detik saja. Namun yang ia dapatkan hanya bayangan kosong.
“Aku minta maaf…” Ilhan berbisik, hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah yang tak tertahankan. “Aku tidak bisa melindungimu.”
Tiba-tiba, di tengah kesunyian yang pekat, terdengar suara lembut yang menggelitik telinga Ilhan, seolah datang dari kejauhan. Suara itu sangat familiar, dan meskipun ia ingin mengabaikannya, hatinya tahu siapa itu.
“Ilhan…” suara itu memanggil namanya, begitu jelas dan dekat. Ceyla.
Ia menoleh dengan cepat, berharap melihat sosoknya yang selalu menenangkan. Namun hanya ada angin yang bertiup lebih kencang, menggoyangkan pepohonan dan memecah kesunyian.
“Tolong… jangan pergi…” Ilhan menggenggam lukisan itu lebih erat. “Aku nggak siap untuk ini, Ceyla.”
Semakin lama, semakin banyak suara-suara yang muncul dalam pikirannya, suara Ceyla yang menuntut, yang mengingatkan Ilhan pada setiap langkah yang terlewatkan. Setiap momen yang tak pernah ia hargai, setiap detik yang terbuang sia-sia.
“Tapi kenapa kamu malah meninggalkanku begitu saja?” suara itu bergema di dalam kepalanya, penuh kekecewaan.
Ilhan menutup telinganya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan dirinya. Namun bayangannya semakin nyata, semakin mengganggu.
“Jangan seperti ini, Ilhan. Jangan biarkan semua ini menghancurkanmu,” kata Ceyla dengan nada lembut namun penuh peringatan.
Ilhan menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang semakin tak terkendali. Angin kembali bertiup, membawa serta rasa kesepian yang kian mendalam. Ia merasa seperti tenggelam dalam kenangan yang tak bisa lagi ia capai.
Namun, di tengah semuanya, ada satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus bergerak maju, meski dengan segala penyesalan yang menghimpit.
Dengan langkah yang terhuyung-huyung, Ilhan mulai menjauh dari tepi danau, meninggalkan lukisan senja itu. Tapi sebelum benar-benar berbalik, ia menoleh sekali lagi, berharap bahwa Ceyla akan muncul, memberikan pelukan hangat seperti dulu.
Namun yang ia lihat hanya danau yang luas dan kosong, mencerminkan langit malam yang tak pernah benar-benar bisa menghapus kenangan.
Bayang di Cermin
Malam itu, Ilhan kembali terbangun dengan perasaan cemas yang tidak bisa ia jelaskan. Jam dinding berdetak pelan, namun di telinganya, suara detaknya terdengar seperti deru yang membebani dadanya. Ia merasakan berat yang sama setiap kali ia membuka mata—sebuah beban yang tidak bisa ia lepaskan, meski berusaha keras.
Kamar mereka, yang dulunya penuh tawa dan kebahagiaan, kini terasa seperti ruang kosong yang hanya dipenuhi dengan kenangan. Bau parfum Ceyla masih ada di udara, tapi itu hanya menambah kesedihan. Segala benda yang mengelilinginya—buku-buku yang mereka baca bersama, cangkir kopi yang sering mereka gunakan, bahkan kasur tempat mereka tidur—sekarang terasa seperti benda mati. Tidak ada lagi kehidupan di dalamnya.
Ilhan beranjak dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Pandangannya kabur, dan ia merasakan matanya mulai memanas. Di cermin itu, ia melihat dirinya sendiri—rambutnya yang berantakan, wajahnya yang lebih pucat dari biasanya, seolah kekosongan hidupnya terpancar jelas. Tapi yang paling mencolok adalah sorot matanya yang hilang. Dulu, matanya berbinar penuh semangat. Sekarang, semuanya terasa kosong, seperti tak ada lagi tujuan di dunia ini.
“Kau tidak bisa terus begini, Ilhan,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak. Tapi kata-kata itu terdengar seperti desahan sia-sia di tengah keheningan malam.
Tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada bayangan yang muncul di balik dirinya. Seolah cermin itu mulai memantulkan sesuatu yang tidak bisa ia lihat sebelumnya. Bayangan itu bergerak, meskipun Ilhan tahu tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
“Ceyla?” Ilhan berbalik dengan cepat, jantungnya berdegup keras. Tapi hanya ada ruangan kosong dan gelap yang menyambutnya.
Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi bayangan itu tetap ada—terpampang jelas di cermin, lebih nyata dari sebelumnya. Wajah Ceyla, dengan mata yang tidak bisa ia lupakan, tampak mengapung di sana. Senyumannya, yang dulu begitu hangat, kini berubah menjadi senyum yang penuh kekecewaan.
“Kau masih seperti ini, Ilhan?” suara itu datang dengan nada yang penuh kesedihan.
Ilhan terdiam, merasa seperti terjebak di antara dunia nyata dan dunia lain. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” jawabnya, suaranya bergetar. “Kamu bilang kita akan selalu bersama, Ceyla. Tapi aku…”
Ceyla menggeleng pelan, meskipun wajahnya tetap tersenyum, senyum yang kini terasa lebih miris. “Kau tahu kenapa aku pergi, kan?”
Ilhan menggigit bibirnya, menunduk. Kata-kata itu seperti pukulan tajam di hatinya. Ia tahu, ia tahu betul mengapa. Ia tahu betul bahwa semuanya salah.
“Tidak… aku…” Ilhan ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. “Aku tidak bisa melindungimu. Aku terlalu lambat.”
Bayangan Ceyla tampak semakin memudar, seolah ingin menghilang begitu saja. “Tapi itu bukan alasan, Ilhan. Kamu tahu itu kan? Kamu hanya terlalu egois untuk melihatku,” suara itu, meskipun lembut, penuh dengan kepedihan yang dalam.
Ilhan menutup matanya, merasakan sakit yang menyesakkan. “Aku minta maaf, Ceyla… Aku seharusnya…”
Tiba-tiba, bayangan Ceyla menghilang. Cermin itu kembali memantulkan wajah Ilhan yang terdistorsi—wajah yang penuh penyesalan, seolah mencari cara untuk memperbaiki semuanya, meskipun ia tahu itu sudah terlambat.
Tapi meskipun bayangannya hilang, Ilhan merasa seperti ada sesuatu yang tetap tinggal. Ia tidak tahu apa itu, tapi ia merasakannya di dalam dada, seperti ada sebuah beban yang semakin berat seiring waktu. Ia merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan kenangan, yang tidak pernah bisa ia lepaskan.
Ia berjalan mundur perlahan, terhuyung-huyung menuju tempat tidur, dan duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia merasa lelah—lelah dengan perasaan yang terus menghantui, lelah dengan bayangan yang tak pernah pergi, lelah dengan dirinya sendiri.
“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu, Ceyla?” gumamnya, suara itu teredam dalam kesunyian.
Malam itu berlalu dengan lambat, seperti waktu yang tak lagi memiliki makna. Dan meskipun ia tidak bisa melihat Ceyla, suara itu tetap terdengar jelas di telinganya, mengingatkan Ilhan pada setiap kesalahan yang telah ia buat.
Dan seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai berubah. Rasa sakit itu, yang semula membuatnya hampir gila, kini mulai mengubah dirinya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Sesuatu yang lebih dari sekadar menyesali apa yang telah hilang.
“Aku harus bisa lebih dari ini,” Ilhan berkata pelan pada dirinya sendiri. “Aku harus bisa melangkah, meskipun sulit…”
Namun entah mengapa, ia tahu—meskipun langkah itu sulit, meskipun ia harus melewati banyak rintangan, ia tidak bisa melupakan Ceyla. Dan itu mungkin akan menjadi beban yang harus ia bawa sepanjang hidupnya.
Dengan langkah yang perlahan, ia berdiri dan menuju ke jendela. Malam itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya, tapi di ujung cakrawala, Ilhan bisa melihat secercah cahaya. Mungkin itu bukan tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi lebih kepada sebuah harapan. Sebuah harapan bahwa, suatu hari nanti, meskipun dengan segala penyesalan, ia akan menemukan jalan untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Jejak di Jalan yang Patah
Pagi itu datang begitu lambat. Ilhan duduk di tepi jendela, melihat cahaya pagi yang mulai merayap masuk ke dalam kamarnya. Beberapa sinar matahari menyentuh kulitnya yang pucat, tapi rasanya seolah tidak ada yang bisa menembus kegelapan dalam dirinya. Langit yang biru tidak lagi memberi ketenangan, malah menambah kesadaran betapa hampa hidupnya. Ia merasa seperti seseorang yang terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
“Aku harus pergi,” kata Ilhan pada dirinya sendiri, walau suara itu terdengar sangat rapuh. Pergi dari rumah ini, dari segala kenangan yang menghantui, dari bayangan Ceyla yang selalu ada di setiap sudut. Tapi, di balik keinginannya untuk pergi, ada ketakutan yang semakin mencekiknya.
Berapa kali ia mencoba mengatur langkahnya, berapa kali ia berusaha melepaskan semuanya, tetapi bayangan Ceyla selalu kembali. Itu seperti sebuah jerat tak terlihat yang semakin mengikatnya. Ia harus pergi, tapi entah ke mana.
Langkahnya terasa berat saat ia berjalan keluar rumah. Pagi itu terasa aneh, seperti tidak ada kehidupan di luar sana. Jalanan kosong, hanya suara langkahnya yang bergema di sepanjang trotoar. Ilhan memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan, seolah ingin membiarkan langkahnya membawa ke mana pun.
Namun, di tengah jalan yang sunyi itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Ilhan. Sebuah buku yang tergeletak di atas trotoar, tampak seolah dibuang begitu saja. Ilhan melangkah ke arah buku itu dengan rasa penasaran. Buku itu tergeletak terbuka, seperti seseorang yang sengaja meninggalkan sebagian cerita di sana.
Ia menunduk dan melihat halaman yang terbuka. Tak ada judul, hanya tulisan tangan yang familiar, tulisan yang pernah ia lihat sebelumnya. Ceyla.
Jantung Ilhan berdegup kencang. Ia mengambil buku itu dengan gemetar, matanya tidak bisa lepas dari tulisan di halaman pertama.
“Aku ingin kita bersama selamanya, Ilhan. Tapi kadang hidup tak berjalan seperti yang kita inginkan. Jangan lupakan aku.”
Tulisan itu begitu sederhana, namun dalam, seolah menggema di telinga Ilhan. Setiap kata mengingatkannya pada suara Ceyla, pada semua harapan yang pernah mereka buat bersama. Sebuah perasaan yang kini terasa begitu jauh, seperti sebuah kenangan yang telah terkubur dalam waktu.
Ilhan menggenggam buku itu erat-erat, merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Sesuatu yang ia coba untuk lupakan, tapi tidak bisa. Ada perasaan kesepian yang mencekam, seperti tidak ada yang bisa mengerti apa yang ia rasakan.
Ia berjalan lebih jauh, tidak tahu ke mana tujuannya. Jalanan itu semakin panjang, semakin sepi. Suara langkahnya terdengar semakin menjerat di dalam kepalanya, seperti suara hati yang berteriak tanpa henti. Ilhan merasa semakin terjebak dalam pikirannya sendiri.
Kemudian, di ujung jalan, ia melihat sebuah tempat yang sangat familiar—sebuah taman kecil yang sering mereka kunjungi bersama. Tempat itu, yang dulu penuh dengan tawa dan canda, kini tampak hening dan kosong. Tidak ada siapa-siapa, hanya rerumputan yang sedikit mengering dan bangku taman yang mulai pudar catnya.
Ilhan duduk di bangku itu, masih memegang buku yang ditemukannya. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya untuk datang ke sana. Mungkin ini adalah tempat yang tepat untuk melepaskan semuanya. Mungkin ini adalah tempat di mana ia bisa berbicara pada dirinya sendiri.
“Ceyla,” bisiknya, suara itu hampir tidak terdengar. “Aku… aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku sangat menyesal.”
Namun, seperti biasanya, tidak ada jawaban. Tidak ada yang muncul di hadapannya, hanya angin yang berbisik pelan di antara dedaunan. Semua yang tersisa hanyalah kenangan, dan kenangan itu terasa semakin berat.
Ilhan membuka buku itu lagi, matanya terfokus pada tulisan yang ada di sana. Ia merasa seperti Ceyla sedang berbicara kepadanya, meskipun hanya melalui kata-kata yang tertulis.
“Aku ingin kamu menemukan kebahagiaan, Ilhan. Walaupun aku sudah pergi, aku ingin kamu tetap hidup.”
Suara itu kembali terdengar di telinganya, lebih lembut dari sebelumnya, seolah berusaha menenangkan Ilhan yang kini semakin tenggelam dalam rasa bersalah.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, Ceyla,” Ilhan menjawab, suaranya tercekat. “Aku tidak tahu bagaimana bisa hidup tanpa kamu.”
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, membawa bau tanah basah yang mengingatkannya pada saat-saat mereka duduk di taman ini bersama. Seolah Ceyla ada di sana, seolah dia masih bisa mendengar semua kata-kata itu.
Ilhan menunduk, memejamkan matanya, dan merasakan air mata mulai menggenang di kelopak matanya. Semua rasa sakit itu kembali datang, lebih tajam dari sebelumnya. Ia tahu, ia harus melepas Ceyla. Ia tahu, ia harus berhenti terjebak dalam penyesalannya.
Tapi bagaimana caranya, jika setiap detik yang berlalu membuatnya semakin tenggelam dalam kenangan itu?
Di bawah langit yang perlahan berubah warna, Ilhan merasakan ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Mungkin, setelah semua penyesalan ini, ia bisa belajar untuk memaafkan dirinya sendiri. Mungkin, ia bisa memulai perjalanan baru, meskipun berat. Mungkin… hanya mungkin, kebahagiaan itu masih ada, walaupun harus melalui jalan yang penuh kerikil.
Dengan buku itu di tangannya, Ilhan berdiri, menatap ke arah langit yang mulai memudar. Ia tahu, langkah berikutnya adalah miliknya. Langkah yang harus ia ambil, meskipun tidak pasti. Namun, ia merasa lebih siap, sedikit lebih kuat.
Karena meskipun Ceyla sudah pergi, ada sesuatu yang tetap tinggal. Sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan. Sesuatu yang akan membawanya untuk terus berjalan, meskipun jalan itu penuh dengan bayangan dan penyesalan.
Titik Terang di Ujung Jalan
Hari itu, matahari mulai meredup dengan cepat. Langit yang tadinya biru cerah kini dihiasi dengan warna jingga yang memudar, memberikan kesan bahwa semua hal akan berakhir. Ilhan berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang berdebu, langkahnya lebih ringan dari sebelumnya, meskipun hati masih terbelenggu oleh kenangan yang tak kunjung usai.
Buku yang ia bawa terasa lebih ringan di tangannya, seolah kenangan itu, yang dahulu begitu berat, kini mulai menguap perlahan, membiarkannya bernapas sedikit lebih bebas. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa berbeda, seolah ada beban yang mulai terangkat, meskipun tidak sepenuhnya hilang.
Ia masih mengingat wajah Ceyla—wajah yang dulu selalu ada dalam setiap mimpinya, yang kini hanya bisa ia kenang dalam diam. Namun, di balik kenangan itu, ada sebuah kesadaran yang mulai tumbuh. Ceyla tidak menginginkan Ilhan terperangkap dalam rasa bersalah, tidak ingin Ilhan tenggelam dalam kesedihan yang tak ada habisnya. Ceyla, meskipun telah pergi, ingin Ilhan melanjutkan hidupnya, melangkah maju, mencari kebahagiaan yang sempat mereka tinggalkan di belakang.
Ilhan tahu, itu bukanlah hal yang mudah. Hidupnya telah terbelah, dan banyak hal yang harus ia perbaiki. Tapi ia juga tahu, hidup tidak bisa hanya dihuni oleh penyesalan. Waktu tidak akan berhenti hanya karena ia menyesali masa lalu.
Langkahnya semakin mantap, meskipun sepi masih menyelimuti. Ia kini berada di depan rumah yang dulu mereka tempati bersama—tempat di mana mereka pertama kali bertemu, tempat di mana mereka membangun mimpi bersama, dan akhirnya, tempat di mana ia harus merelakan semuanya. Rumah itu kini tampak kosong dan sunyi. Tidak ada lagi suara tawa, tidak ada lagi langkah-langkah yang berseri. Semua telah berubah.
Namun, bagi Ilhan, itu bukanlah akhir dari segalanya. Rumah itu bukan hanya simbol dari kenangan, tapi juga simbol dari keberanian untuk melanjutkan hidup. Kenangan itu akan selalu ada, seperti sebuah bayangan yang tak akan pernah hilang, tapi sekarang, ia tahu bagaimana cara untuk hidup bersamanya.
Ilhan melangkah ke dalam rumah itu, tanpa rasa takut atau cemas. Ia tahu, ia harus menyelesaikan apa yang belum selesai. Meja makan yang pernah mereka duduki berdua kini tampak sepi, kursi yang biasa mereka tempati kosong. Namun, ia tahu, tidak ada yang hilang. Semuanya tetap ada dalam dirinya—dalam setiap helaan napas, dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap langkah yang ia ambil. Ceyla telah memberi Ilhan sesuatu yang tak ternilai: cinta yang tulus, yang meskipun sudah berlalu, tetap akan hidup dalam dirinya.
Ilhan meletakkan buku itu di meja, membuka halaman-halaman terakhir yang belum pernah ia baca. Halaman-halaman itu tidak berisi kata-kata atau tulisan, hanya gambar yang sangat familiar—gambar mereka berdua, tersenyum di bawah pohon yang dulu sering mereka duduki bersama. Gambar itu, meskipun sederhana, begitu penuh makna. Itu adalah simbol dari apa yang mereka miliki, apa yang mereka bagi, dan apa yang akan terus hidup di dalam dirinya.
Ilhan merasakan kedamaian yang aneh, kedamaian yang datang setelah melalui segala kecamuk perasaan. Ia tahu, tidak ada yang bisa menggantikan Ceyla. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu. Tetapi ia juga tahu, ia tidak sendirian. Ceyla telah memberinya kekuatan untuk terus berjalan, dan meskipun ia tidak bisa melihatnya lagi, ia bisa merasakan kehadirannya dalam setiap detik hidupnya.
Di luar, langit semakin gelap, tapi Ilhan tidak merasa takut. Ia tahu, setiap malam yang gelap akan berganti dengan pagi yang baru. Hidup terus berjalan, dan ia akan melangkah ke depan, membawa kenangan itu sebagai bagian dari dirinya.
Ilhan berdiri dan menatap ke luar jendela, menghadap langit yang kini dipenuhi bintang. Bintang-bintang itu bersinar terang, seperti janji yang tak terucapkan. Janji untuk terus melanjutkan hidup, untuk tidak menyerah, untuk tetap mencari cahaya di tengah kegelapan.
Dan meskipun Ceyla tidak lagi ada di sini, ia tahu, di suatu tempat yang jauh, Ceyla sedang tersenyum. Karena ia telah menemukan kedamaian yang ia cari, dan Ilhan, perlahan, juga mulai menemukannya.
Di akhir cerita, mungkin Ilhan nggak punya semua jawaban yang dia cari, tapi dia akhirnya paham satu hal: kehilangan nggak pernah mudah, dan nggak ada cara untuk benar-benar melupakan seseorang yang kita cintai. Tapi itu nggak berarti hidup berhenti.
Ceyla mungkin nggak ada lagi di sini, tapi cinta mereka tetap hidup dalam kenangan, dan itu cukup untuk membuat Ilhan terus melangkah, meskipun dunia kadang terasa kosong. Kehilangan memang menyesakkan, tapi hidup, meskipun penuh dengan luka, selalu memberi kita kesempatan untuk mulai lagi. Jadi, meskipun sudah terpisah jauh, Ceyla tetap ada—di setiap langkah yang diambil Ilhan.