Daftar Isi
Kehilangan orang yang paling kita sayangi adalah salah satu hal paling berat yang bisa terjadi dalam hidup. Cerpen ini mengisahkan perjalanan seorang anak yang harus menerima kenyataan pahit kepergian ibunya, dan bagaimana ia berjuang untuk tetap bertahan meskipun dunia seakan runtuh. Penuh emosi, penuh kenangan, dan penuh cinta yang tidak pernah hilang meski telah berpisah.
Cerpen Sedih Tentang Ibu
Rumah dalam Pelukan Ibu
Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, aroma teh melati menguar dari dapur. Di meja makan, seorang wanita tengah menuangkan teh ke dalam dua cangkir. Matanya berbinar penuh kasih saat melihat seorang pemuda duduk di kursi, menguap lebar sambil mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk.
“Kamu tidurnya kesiangan lagi, Nawa,” ucap wanita itu dengan nada lembut, menyodorkan secangkir teh ke hadapan anaknya.
Nawasena, pemuda dua puluh tahun dengan rambut berantakan dan mata yang masih sedikit sayu, menggumam pelan. “Lagi libur, Bu. Aku mau tidur lama dikit aja nggak boleh?”
Sasmita—sang ibu—tersenyum kecil. “Boleh, tapi jangan sampai kebiasaan. Nanti kalau sudah kerja, nggak bisa seenaknya begini.”
Nawasena mendengus pelan sambil mengaduk tehnya. “Duh, Ibu udah mulai ceramah pagi-pagi.”
“Habisnya, kamu itu nggak pernah dengar omongan Ibu.”
“Aku dengar, kok.”
“Bener?” Sasmita menaikkan sebelah alisnya, menatap anaknya dengan tatapan yang penuh kepercayaan sekaligus keraguan.
Nawasena terkekeh. “Nggak seratus persen.”
Sasmita ikut tertawa. Di rumah kecil mereka, pagi selalu dimulai dengan obrolan ringan seperti ini. Meja makan bukan hanya tempat menyantap sarapan, tapi juga tempat berbagi cerita, candaan, dan terkadang, nasihat-nasihat yang sering kali diabaikan oleh Nawasena—meski sebenarnya ia selalu mendengarnya dalam hati.
Hujan turun perlahan di luar. Rintiknya jatuh ke genting, menciptakan irama yang menenangkan. Hujan selalu membawa kenangan bagi mereka.
“Ingat nggak, waktu kamu kecil, kamu selalu minta dipeluk kalau ada petir?” Sasmita tiba-tiba membuka percakapan, matanya menerawang ke jendela di samping mereka.
Nawasena menyandarkan punggungnya ke kursi, mengangkat bahu. “Aku masih kecil waktu itu, wajar kalau takut petir.”
“Kamu bukan cuma takut, Nawa. Kamu sampai nangis-nangis, nempel terus sama Ibu, nggak mau lepas,” kata Sasmita dengan senyum geli. “Padahal Ibu udah bilang, petir itu cuma suara. Nggak akan bisa nyakitin kamu.”
“Ya, kan aku nggak tahu waktu itu,” ujar Nawasena, pura-pura merajuk.
Sasmita tertawa, lalu mengusap kepala anaknya dengan lembut. “Sekarang udah gede, udah nggak takut petir lagi. Tapi Ibu rindu, lho, masa-masa itu.”
Nawasena diam sejenak, menatap cangkir tehnya yang mulai kehilangan kepulan uapnya. Ia mungkin sudah tumbuh dewasa, tapi satu hal yang tidak berubah—ia masih sangat bergantung pada ibunya.
“Dulu aku takut petir, sekarang aku takut sesuatu yang lain,” ucapnya pelan.
Sasmita menatap anaknya penuh selidik. “Takut apa?”
Tak ada jawaban langsung dari Nawasena. Pemuda itu hanya mengangkat bahunya, pura-pura tak peduli. Tapi dalam hatinya, ia tahu jawabannya. Ia takut kehilangan rumahnya. Bukan bangunan kecil tempat mereka tinggal, tapi pelukan ibunya—satu-satunya tempat yang selalu bisa membuatnya merasa aman.
Sore itu, hujan turun lebih deras. Nawasena sedang berbaring di ruang tamu, bermain dengan ponselnya, ketika suara ibunya terdengar dari dapur.
“Nawa, tolong ambilin bumbu di lemari atas!”
Nawasena mengerang malas. “Ibu aja yang ambil. Aku lagi rebahan.”
“Ibu pendek, Nawa. Kamu yang lebih tinggi, masa nggak mau bantu?”
Dengan desahan berat, Nawasena bangkit. “Ibu ini ya, pendek dari dulu tapi masaknya nggak pernah berubah.”
Sasmita tertawa pelan. “Nanti kalau Ibu nggak masakin kamu lagi, kamu bakal nyesel.”
Nawasena membuka lemari dapur dan mengambil bumbu yang diminta. “Bilang aja Ibu mau minta anaknya yang ganteng ini buat nemenin di dapur.”
“Iya deh, iya,” jawab Sasmita dengan nada menggoda. “Tapi beneran, kalau nanti Ibu udah nggak masakin kamu, jangan sampai kamu lupa rasanya masakan Ibu, ya?”
Nawasena menyodorkan bumbu itu, lalu menatap ibunya dengan dahi berkerut. “Ibu ini ngomongnya kayak mau pergi jauh aja.”
Sasmita hanya tersenyum, tetapi tidak menjawab.
Malam itu, saat hujan kembali mengguyur bumi, Nawasena masuk ke kamar ibunya tanpa mengetuk. Ia sudah terbiasa seperti itu sejak kecil.
Sasmita sedang duduk di kursi, membaca buku lama yang sampulnya sudah agak lusuh.
“Ibu nggak tidur?” tanya Nawasena sambil menjatuhkan dirinya ke kasur ibunya tanpa izin.
Sasmita menggeleng pelan. “Belum ngantuk.”
Tanpa berkata apa-apa, Nawasena langsung memeluk ibunya dari samping, kepalanya bersandar di bahu wanita itu.
“Kamu udah gede, tapi masih manja,” goda Sasmita, meski tidak menolak pelukan itu.
“Ya biarin. Aku nggak tahu sampai kapan bisa gini,” gumam Nawasena.
Hening.
Pelukan mereka tetap erat, seakan ada sesuatu yang ingin disampaikan tanpa perlu diucapkan.
Dan di luar sana, hujan terus turun, membasahi bumi dengan rintik-rintiknya yang menenangkan—seakan ingin menyimpan semua kenangan itu agar tetap abadi.
Ranjang Putih dan Janji yang Rapuh
Udara rumah sakit selalu memiliki aroma khas—campuran antiseptik dan kesunyian yang menghimpit. Cahaya putih dari lampu-lampunya terasa terlalu terang, seakan tak memberi ruang bagi kehangatan.
Di dalam salah satu kamar rawat inap, Nawasena duduk dengan tangan mengepal di atas pahanya. Matanya terpaku pada sosok yang terbaring lemah di atas ranjang.
Ibunya.
Sasmita tampak lebih kurus dibanding terakhir kali mereka berbincang di rumah. Kulitnya semakin pucat, matanya sedikit cekung, dan napasnya teratur namun terdengar berat. Ada selang infus di lengannya, ada alat bantu pernapasan di dekat ranjangnya.
“Aku nggak suka lihat Ibu di sini,” suara Nawasena serak.
Sasmita tersenyum kecil, meski bibirnya tampak kering. “Ibu juga nggak suka. Tapi dokter bilang Ibu harus istirahat dulu di sini.”
Nawasena menunduk, menggigit bibirnya. Sudah berulang kali dokter menjelaskan tentang penyakit yang diderita ibunya, tapi ia menolak mendengar lebih jauh.
Ia tidak ingin tahu.
Karena tahu berarti menerima.
Dan menerima berarti… ia harus bersiap kehilangan.
“Tapi nanti kita pulang, kan?” tanyanya pelan, hampir seperti anak kecil yang meminta kepastian.
Sasmita terdiam sejenak sebelum mengangkat tangannya yang lemah untuk mengusap kepala anaknya. “Iya. Nanti kita pulang.”
Beberapa hari di rumah sakit terasa seperti seumur hidup bagi Nawasena. Setiap kali ia melihat perawat masuk untuk memeriksa ibunya, jantungnya berdetak lebih cepat.
Suatu siang, ia menemani Sasmita makan siang. Bubur di mangkuknya hampir tak tersentuh.
“Ibu nggak lapar?” tanyanya, menyembunyikan nada khawatir di balik suaranya.
Sasmita menatap bubur itu sebentar, lalu tersenyum lemah. “Kayaknya Ibu nggak bisa makan banyak sekarang.”
Nawasena menghela napas panjang. “Tapi Ibu harus makan. Kalau nggak makan, gimana bisa cepat pulang?”
Sasmita hanya tersenyum, tidak menjawab.
Kesunyian menggantung di antara mereka.
“Kamu ingat nggak?” Sasmita tiba-tiba berbicara. “Waktu kecil, kamu selalu minta disuapin. Kamu bilang, makanan Ibu lebih enak kalau Ibu yang suapin langsung.”
Nawasena tertawa kecil, tapi tidak ada keceriaan di matanya. “Iya, terus Ibu selalu ngeledek aku karena makannya belepotan.”
Sasmita terkekeh pelan. “Sekarang, gantian kamu yang suapin Ibu, ya?”
Ada sesuatu yang menghantam dada Nawasena. Ia tidak ingin mendengar itu. Tidak ingin mendengar kalimat yang terasa seperti perpisahan.
Tapi ia tetap mengangkat sendok, meniup bubur itu pelan, lalu menyodorkannya ke bibir ibunya.
Sasmita membuka mulutnya sedikit, menelan dengan susah payah.
Saat itu, sesuatu yang dulu terasa sederhana kini terasa begitu berat.
Malam itu, hujan turun di luar jendela kamar rumah sakit.
Nawasena duduk di kursi di samping ranjang, tangannya menggenggam tangan ibunya.
“Ibu janji, ya?” katanya tiba-tiba.
Sasmita mengerjapkan matanya lemah. “Janji apa?”
“Janji kita bakal pulang bareng. Aku bakal benerin atap rumah yang bocor, kita bakal minum teh lagi di depan jendela. Ibu bakal masak makanan kesukaan aku. Kita bakal balik ke rumah kita lagi. Semua bakal sama seperti dulu.”
Sasmita diam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya, Nawa. Kita bakal pulang.”
Tapi meskipun ibunya mengucapkannya, suara itu terdengar seperti kebohongan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nawasena berharap ibunya berbohong.
Karena ia tidak ingin membayangkan dunia di mana ibunya tidak ada lagi.
Fajar Tanpa Ibu
Malam itu, langit menangis. Hujan turun deras, membasahi atap rumah sakit dan kaca jendela kamar tempat Sasmita terbaring. Angin berembus kencang, menciptakan suara yang menggema di koridor yang sepi.
Nawasena masih menggenggam tangan ibunya, meski kehangatan yang biasa ia rasakan perlahan mulai pudar.
Jari-jari ibunya terasa lebih dingin dari biasanya.
Dan napasnya… semakin lemah.
“Dokter! Tolong dokter!”
Suara itu menggema di dalam ruangan. Nawasena tidak ingat kapan ia berdiri, kapan ia berlari keluar mencari pertolongan. Yang ia tahu, dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang, dan tangannya gemetar.
Suster dan dokter datang dengan cepat, menarik tirai putih yang memisahkan dirinya dari ranjang ibunya. Seseorang mendorongnya pelan ke belakang.
“Kami akan melakukan yang terbaik,” kata salah seorang dokter.
Tapi Nawasena tidak ingin mendengar itu.
Ia ingin berada di sana. Ia ingin memegang tangan ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa mereka masih punya banyak waktu.
Tapi detik-detik berlalu dengan keheningan yang mencekik.
Bunyi mesin yang awalnya berdetak teratur kini terdengar tersendat-sendat. Nafas para tenaga medis terasa berat. Suasana di dalam ruangan berubah menjadi sesuatu yang lebih sunyi dari sebelumnya.
Kemudian… terdengar suara panjang.
Bip—
Bip—
Bip—
Lalu… garis lurus.
Nawasena tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia hanya berdiri di sana, matanya terpaku pada layar yang menunjukkan angka nol. Dunia di sekelilingnya tiba-tiba terasa buram. Suara-suara seakan tenggelam, tubuhnya terasa ringan dan kosong.
Dokter menoleh padanya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Tapi Nawasena tidak butuh penjelasan apa pun.
Ia tahu.
Ibunya sudah pergi.
Pemakaman berlangsung di bawah langit mendung. Awan kelabu menggantung di atas tanah yang kini menjadi rumah terakhir bagi Sasmita.
Nawasena berdiri diam di antara orang-orang yang datang melayat. Tetangganya, keluarga jauh, teman-teman ibunya. Mereka semua berbicara dalam bisikan, beberapa menangis, beberapa berusaha menguatkan.
Tapi ia tidak mendengar apa pun.
Tangannya terkepal, tubuhnya terasa dingin.
Di hadapannya, tanah merah telah menutupi peti ibunya. Nisan bertuliskan nama Sasmita kini berdiri di sana, menjadi satu-satunya tanda bahwa seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya pernah ada.
“Kamu harus ikhlas, Nawa,” suara seseorang menepuk pundaknya pelan.
Ikhlas?
Bagaimana caranya?
Bagaimana caranya merelakan seseorang yang selama ini menjadi rumahnya?
Bagaimana caranya menerima kenyataan bahwa ketika ia pulang nanti, rumah itu akan kosong?
Bahwa tidak akan ada lagi suara lembut yang memanggil namanya di pagi hari.
Tidak akan ada lagi teh hangat yang diseduh dengan penuh kasih.
Tidak akan ada lagi tangan yang mengusap kepalanya dengan lembut.
Tidak akan ada lagi… Ibu.
Hatinya terasa hancur, tapi air matanya tidak jatuh.
Bukan karena ia tidak ingin menangis. Tapi karena rasanya… terlalu sakit untuk menangis.
Karena jika ia menangis, itu berarti semuanya benar-benar nyata.
Dan ia belum siap menerima kenyataan itu.
Malam pertama tanpa ibunya terasa seperti siksaan.
Ia duduk di meja makan yang kosong, menatap cangkir teh yang tidak lagi mengepulkan uap. Rumah ini terasa lebih dingin, lebih sepi, lebih asing.
Dulu, tempat ini penuh dengan suara.
Sekarang, hanya ada keheningan yang menyayat.
Tangannya gemetar saat meraih cangkir itu. Ia mencoba meneguk teh yang sudah mulai dingin, tapi rasanya pahit.
Ia teringat obrolan terakhir mereka di rumah ini. Tentang atap bocor yang harus diperbaiki. Tentang teh yang akan mereka minum bersama lagi. Tentang janji untuk pulang.
Janji itu kini terasa rapuh.
Karena kini, tidak ada lagi yang menunggunya di rumah ini.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.
Surat dari Langit
Pagi itu, matahari muncul lebih lambat dari biasanya, seakan enggan menyinari dunia yang terasa terlalu kosong. Nawasena duduk di teras rumah, di tempat yang dulu selalu menjadi tempat mereka berbincang sambil menyeruput teh hangat.
Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda.
Setiap sudut rumah menyimpan kenangan tentang ibunya—suaranya yang lembut, tawanya yang menenangkan, cara ia merawat setiap benda kecil dengan penuh perhatian. Namun, kini hanya ada ruang kosong yang terus membenamkan Nawasena dalam kesepian yang tak tertahankan.
Saat ia memandang ke depan, matanya tertumbuk pada sebuah surat yang tergeletak di meja kecil di samping kursi teras. Surat itu tidak pernah ada sebelumnya, dan ia tidak ingat pernah melihatnya.
Dengan ragu, Nawasena berdiri dan mengambil surat tersebut. Nama tertulis dengan huruf tangan yang begitu familiar—Untuk Nawa, tulisannya sederhana namun terasa begitu akrab.
Ia duduk kembali, membuka surat itu dengan hati berdebar.
Anakku, Nawa,
Jika kamu membaca surat ini, artinya Ibu sudah tidak ada lagi di sampingmu. Aku tahu, ini pasti terasa sangat berat. Rasanya Ibu tidak pernah ingin meninggalkanmu, tapi kehidupan memang tak selalu bisa berjalan seperti yang kita inginkan, bukan?
Nawa, anakku, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kesedihan ini. Ibu tahu betapa berharganya kamu untukku. Kamu adalah bagian terbesar dari hidupku, dan Ibu akan selalu ada dalam setiap kenangan yang kita punya bersama.
Aku berharap kamu bisa kuat. Aku berharap kamu bisa menjalani hidupmu dengan penuh semangat, seperti yang selalu kamu lakukan. Jangan biarkan kesedihan ini merenggut kebahagiaanmu, karena hidupmu belum berakhir.
Aku ingin kamu tahu satu hal, Nawa. Ibu mencintaimu lebih dari apapun. Bahkan saat kamu merasa sendirian, ingatlah bahwa cintaku tidak akan pernah pergi. Cinta Ibu akan selalu mengelilingimu, memberi kekuatan pada setiap langkahmu, meskipun aku tak lagi ada di dunia ini.
Percayalah pada dirimu. Ibu percaya padamu.
Selalu,
Ibu
Nawasena menutup surat itu perlahan. Air matanya tak terbendung lagi. Surat itu adalah segalanya yang ia butuhkan—sebuah pesan yang memberi kekuatan untuk menerima kenyataan yang telah ia hindari.
Ia menatap langit yang cerah, mencoba merasakan kehadiran ibunya meskipun tak terlihat.
Dan di sana, di dalam hatinya, ia menemukan sebuah janji yang lebih kuat dari apapun—janji untuk tetap hidup dengan cinta yang telah ibunya tanamkan, meskipun tanpa fisiknya di dunia ini.
Setelah menatap langit sejenak, Nawasena berdiri dan melangkah ke dalam rumah. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Mungkin ia tak akan pernah sama, tapi ia akan belajar untuk terus bertumbuh. Untuk menghargai kenangan, dan untuk menghidupi pesan ibunya dalam setiap langkahnya.
Di meja makan, ada secangkir teh yang telah menunggu sejak tadi. Uapnya mengalir lembut ke udara, membawa kehangatan yang perlahan membuatnya merasa tenang.
Sambil duduk di kursi yang biasa ia duduki, Nawasena meminum teh itu, merasakan kehadiran ibunya dalam setiap tegukan.
Dan meski ibunya telah pergi, cintanya tetap tinggal.
Setiap orang pasti punya cerita tentang ibu yang mengharukan. Kadang, ketika kita merasa sendirian, kenangan tentang ibu bisa jadi pelipur lara.
Cerpen ini mengingatkan kita, bahwa meskipun orang yang kita cintai sudah pergi, cinta mereka tetap hidup di hati kita. Semoga kamu bisa merasakan kehangatan itu, seperti halnya Nawasena yang akhirnya menemukan kedamaian dalam cinta ibunya yang tak pernah hilang.


