Cerpen Sedih Tentang Ibu Berduka: Menemukan Kedamaian Setelah Kehilangan Anak

Posted on

Kadang, hidup itu kayak jalan yang nggak selalu lurus, kan? Ada momen-momen yang bikin kita terjatuh, ngerasa dunia runtuh, dan nggak tahu harus gimana lagi. Tapi, di tengah semua itu, ada hal-hal yang nggak bisa diambil dari kita.

Kenangan, cinta, dan kasih sayang yang selalu nempel di hati, meskipun orang yang kita cintai udah nggak ada lagi. Cerita ini bakal bikin kamu ngerasa campur aduk, tapi percayalah, di balik setiap air mata ada secercah harapan yang mungkin nggak terlihat, tapi selalu ada.

 

Cerpen Sedih Tentang Ibu Berduka

Langit Tanpa Bintang

Dwi terbaring di ranjang, tubuhnya lemas. Malam itu begitu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Ia tidak bisa memaksa dirinya untuk tidur. Matanya terus menatap langit melalui jendela kecil di samping ranjang. Tidak ada bintang yang terlihat, hanya langit yang gelap dan berawan, seolah ikut merasakan kehilangannya. Keadaan dunia seakan berhenti, tidak bergerak. Ia merasa terperangkap dalam keheningan yang mencekam.

Arka… anaknya yang seharusnya sedang bercakap-cakap dengannya, atau bahkan mengganggunya dengan cerita-cerita dari negeri jauh tempatnya merantau. Arka yang dulu begitu penuh semangat, yang selalu memiliki mimpi-mimpi besar, kini tidak ada lagi. Semua yang ia tinggalkan hanya kenangan yang terus menghantui.

“Kenapa kamu harus pergi, Arka?” Dwi berbisik pada dirinya sendiri, seolah berharap anaknya bisa kembali menjawab.

Teriakan yang terdengar beberapa hari lalu masih terngiang di telinga Dwi. Teriakan itu datang dari rumah sakit, ketika dokter memberitahukan bahwa anaknya sudah tidak ada. Seperti halnya seluruh dunia runtuh dalam sekejap. Seperti seluruh tubuh Dwi dihantam gelombang yang tak terhindarkan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain merasakan dunia ini berbalik ke dalam jurang kegelapan.

Dwi menutup matanya, mencoba mengingat kembali detik-detik terakhir mereka bersama. Arka datang ke rumah beberapa bulan yang lalu, membawa cerita tentang kehidupan barunya di luar negeri. Wajahnya berseri, penuh dengan antusiasme saat menceritakan rencananya untuk masa depan. Dwi mendengar setiap kata dengan bangga, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Namun, siapa yang bisa menghalangi anak muda yang bersemangat?

“Mama, aku bisa kok! Aku ingin kuliah di luar negeri, pergi ke tempat-tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku yakin bisa sukses, Ma,” Arka berkata penuh keyakinan saat mereka duduk di meja makan.

Dwi ingat betul bagaimana Arka tersenyum lebar, dan bagaimana dia merasa bangga sekaligus cemas. Tapi dia hanya mengangguk, melepaskan anaknya dengan doa, meskipun hati ini terasa berat. Dwi tahu, ini adalah bagian dari kehidupan—melepaskan anak yang sudah dewasa untuk mengejar impian mereka. Tapi tak pernah terbayangkan bahwa keputusan itu akan berakhir seperti ini.

Hari-hari berlalu setelah kepergian Arka ke luar negeri. Dwi merasa kesepian, namun tetap berusaha untuk sabar, menunggu kabar darinya. Setiap kali telepon berbunyi, hatinya berdegup kencang. Namun, di balik suara anaknya yang riang, Dwi bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang tidak bisa dijangkau, meskipun mereka berbicara hampir setiap hari.

“Ma, aku rindu rumah,” kata Arka di telepon beberapa minggu lalu. “Tapi aku juga ingin menyelesaikan ini dengan baik, Ma. Aku janji, aku akan kembali.”

Dwi merasakan kehangatan dalam kata-kata itu, namun ada rasa kehilangan yang semakin dalam. Dan kini, suara Arka itu tidak ada lagi. Yang ada hanyalah kenangan-kenangan yang terus menghantui setiap langkahnya.

Dwi mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dia tahu itu langkah Bu Nila, tetangganya yang selalu datang untuk menemaninya. Bu Nila sudah mencoba beberapa kali untuk memberi semangat, meskipun Dwi merasa bahwa semua usaha itu sia-sia. Tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit ini. Bahkan kehadiran orang-orang yang peduli tidak bisa menggantikan tempat Arka di dalam hatinya.

“Dwi, bagaimana kabarmu?” suara Bu Nila lembut, namun masih penuh dengan kekhawatiran. “Kami semua di sini untukmu.”

Dwi menatap kosong ke arah pintu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaannya saat ini. Hanya air mata yang mulai menetes lagi.

“Aku merasa dunia ini berhenti, Nila,” suara Dwi terdengar serak. “Arka pergi begitu cepat, dan aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa dia. Aku merasa… aku merasa seperti langit ini tidak ada lagi bintangnya. Gelap sekali.”

Bu Nila mendekat dan duduk di samping Dwi. Tangannya terulur, menyentuh tangan Dwi dengan lembut. “Dwi, aku tahu ini berat. Tetapi, kamu harus tetap kuat. Arka pasti ingin kamu terus hidup, untuk menghormati semua yang telah dia perjuangkan.”

Dwi menggeleng, bibirnya bergetar. “Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan semuanya. Rasanya semuanya tidak berarti lagi. Dunia ini terlalu gelap tanpa Arka.”

Di luar, hujan mulai turun. Suara rintikannya seperti melapisi kesedihan yang mendalam, membungkus Dwi dalam lapisan kesepian yang tak berujung. Ia menatap jendela, melihat tetesan hujan mengalir turun dengan lambat. Hujan itu seperti tangisannya, yang tidak pernah berhenti. Seperti air mata yang terus mengalir tanpa ada tempat untuk berhenti.

Hujan itu juga membawa kenangan, kenangan tentang Arka yang selalu menceritakan bagaimana dia ingin melihat dunia, bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang bisa bangga pada dirinya sendiri. Arka yang penuh dengan harapan dan semangat, kini sudah tiada.

“Ma, aku ingin kuliah di luar negeri, Ma,” suara Arka kembali terdengar dalam ingatan Dwi, mengisi ruang yang kosong di hatinya. “Aku ingin mengejar mimpiku.”

Dwi menutup matanya, mencoba mengingat senyum anaknya, tetapi yang ia rasakan hanya kehampaan. Seolah seluruh dunia runtuh, meninggalkan dirinya yang kini harus belajar berjalan tanpa Arka di sisinya.

Namun, ada satu hal yang masih berputar di pikirannya—apa yang harus dia lakukan selanjutnya?

 

Kenangan yang Menghantui

Dwi duduk di ruang tamu yang sunyi. Hujan masih turun di luar, seakan tidak ingin berhenti. Langit kelabu tak menunjukkan tanda-tanda akan cerah. Rumah ini terasa lebih sepi dari biasanya, lebih kosong. Semua perabotan yang biasanya dipenuhi suara riuh tawa Arka kini hanya diam, seakan turut merasakan kehilangan yang mendalam. Setiap sudut rumah ini mengingatkan Dwi pada anaknya—kehadirannya yang dulu ada, dan kini hanya tinggal bayangannya.

Dwi mengalihkan pandangannya ke meja makan, tempat mereka biasa makan bersama. Setiap kali ada momen istimewa, Arka selalu duduk di kursi itu, dengan ceria membagikan cerita baru tentang kehidupan barunya. Ia ingat betul bagaimana anaknya pernah mengajak makan di luar sebelum berangkat ke luar negeri, seolah itu adalah pertemuan terakhir mereka sebelum kepergian yang tak terduga ini. Senyum Arka, tatapan matanya yang penuh dengan semangat, kini tinggal kenangan. Dwi menunduk, air mata mulai membasahi pipinya tanpa bisa dihentikan.

Teriakan itu kembali terdengar dalam benaknya, teriakan yang datang setelah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa Arka tak bisa diselamatkan. Bagaimana mungkin seorang ibu menerima kenyataan seperti itu? Bagaimana mungkin ia harus melepaskan anak yang baru saja mulai membangun hidupnya? Setiap kali Dwi berpikir bahwa ia sudah siap untuk menerima kenyataan, kenyataan itu justru semakin mengerikan.

“Kenapa harus seperti ini?” Dwi berbisik pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, tetapi rasa sakit itu terlalu dalam untuk dipendam.

Malam-malam yang panjang terasa semakin berat. Di setiap sudut rumah, ada kenangan tentang Arka. Buku-buku yang belum sempat dia baca, jaket favoritnya yang masih tergantung di depan pintu, sepatu yang selalu berantakan di lantai. Semua itu seakan menjadi saksi bisu perjalanan hidup Arka yang terhenti begitu cepat. Dwi merasakan ketakutan yang luar biasa. Takut jika kenangan-kenangan ini, yang dulunya indah, kini hanya akan menjadi beban yang semakin menyesakkan dadanya.

Di suatu pagi yang sepi, Dwi terbangun dengan rasa bingung. Ia melirik jam dinding yang berdetak pelan, seakan mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, meskipun hatinya ingin berhenti. Hari itu adalah hari yang seharusnya ia habiskan dengan mencari cara untuk melanjutkan hidup tanpa Arka, namun ia tak tahu harus mulai dari mana. Setiap langkah terasa berat. Rasa kosong itu semakin dalam, seperti ada jurang yang menganga di dadanya.

Dwi berdiri, berjalan menuju jendela. Hujan masih turun, tetapi kali ini terasa lebih tenang, seolah alam pun ikut berduka bersama dirinya. Ia mengingat bagaimana Arka dulu selalu senang ketika hujan turun. “Ma, kalau hujan, aku mau main air hujan di luar! Seru banget!” Arka akan berlari keluar rumah, mengenakan jas hujan warna-warni yang ia pilih sendiri, tertawa ceria seperti tidak ada masalah di dunia ini. Itu adalah salah satu kenangan yang akan selamanya Dwi ingat.

Dwi menutup matanya, berusaha mengingat senyum anaknya. Tapi kenangan itu semakin kabur, semakin menghilang. Ia merasa seolah waktu mencuri bagian dari hidupnya yang paling berharga. Kenangan tentang Arka yang dulu riang, yang selalu menyemangati Dwi dalam setiap langkah hidupnya, kini terasa seperti bayang-bayang yang semakin menjauh.

Sekali lagi, Dwi merasa kehadiran Arka begitu nyata di sekitarnya. Ia bisa mendengar suara anaknya tertawa di ujung lorong, bisa merasakan kehangatan pelukan Arka saat anak itu kembali pulang setelah sekian lama merantau. Tetapi, ketika ia membuka matanya, semuanya hilang begitu saja. Hanya ada kesunyian yang semakin dalam, menyesakkan.

Di meja makan, ada sebuah surat yang belum sempat Dwi baca. Itu adalah surat yang Arka tulis sebelum berangkat. Dwi tahu, Arka selalu menulis surat saat hendak pergi jauh, meskipun dia tahu ibunya akan menanggapinya dengan kalimat-kalimat yang penuh dengan kecemasan. Dwi membuka surat itu perlahan, membaca setiap kata yang ditulis oleh Arka dengan penuh kasih sayang. Arka selalu mengingatkan Dwi untuk menjaga dirinya, untuk tidak terlalu khawatir, dan untuk selalu percaya bahwa Arka akan baik-baik saja.

“Aku tahu, Ma, kamu selalu khawatir. Tapi aku akan baik-baik saja di sana. Aku janji, aku akan kembali dan cerita banyak hal seru. Jangan khawatir, Ma. Aku sayang kamu,” kata-kata itu terukir dengan rapi di atas kertas yang sedikit kusam. Setiap kata yang dibaca Dwi membuat hatinya semakin sakit. Arka tidak kembali. Janji itu tidak pernah bisa ditepati. Dwi meremas surat itu, namun rasa sakit itu tidak bisa hilang begitu saja.

Di luar, hujan semakin deras. Namun, kali ini Dwi tidak merasa kesepian. Hujan itu seperti teman yang bisa merasakan apa yang ia rasakan. Ia mengingat lagi pesan Arka yang terakhir. Pesan yang selalu membuat Dwi berharap, walaupun dalam hatinya tahu bahwa itu adalah harapan kosong. Arka tidak akan kembali.

Hatinya terasa rapuh. Namun, entah kenapa, Dwi merasa sedikit tenang. Mungkin ini adalah bagian dari proses. Bagian dari menerima kenyataan yang pahit. Kenangan memang tak akan pernah hilang, tetapi ia harus belajar untuk hidup dengannya. Jika hidup harus terus berjalan, ia harus menemukan cara untuk melanjutkan meskipun tanpa Arka.

“Ma, aku akan kembali…” suara Arka terdengar seperti gema di telinganya.

Dwi menatap keluar jendela. Seolah langit yang kelabu itu menunggu dirinya untuk berdamai dengan kenyataan.

 

Menghitung Hari yang Terlewat

Hari-hari berlalu dengan begitu lambat, seperti aliran sungai yang terhenti di tengah jalan, tidak tahu harus ke mana. Dwi mulai menyadari bahwa hidupnya yang dulu penuh warna kini berbalut kelabu. Setiap sudut rumah ini seperti menjadi ruang hampa yang tak pernah bisa diisi. Pagi yang datang tak lagi membawa semangat baru, dan malam yang datang terasa semakin panjang tanpa ada kehangatan yang menemaninya.

Namun, ada satu hal yang Dwi tidak bisa lupakan—satu hal yang selalu ia ingat setiap kali merasa hatinya hampir kehilangan arah. Itu adalah kalimat Arka yang selalu terngiang di telinganya: “Aku akan kembali.”

Setiap kali ia merasa lelah, setiap kali langkahnya terasa semakin berat, Dwi akan mencari kalimat itu. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa anaknya tidak akan pergi selamanya, meskipun kenyataan berkata lain. Terkadang, di tengah kesedihan yang mencekam, itu adalah satu-satunya pegangan yang masih bisa ia genggam. Bahkan ketika kenangan yang indah terasa semakin kabur, kata-kata itu memberikan sedikit harapan, walaupun ia tahu itu hanya harapan kosong.

Pada suatu sore, Dwi berjalan ke taman kecil di belakang rumah. Tempat itu dulu sering menjadi tempat Arka bermain, berlari mengejar kupu-kupu atau menggali tanah untuk menanam bunga. Dwi pernah berkata padanya, “Jangan main di tanah terus, nanti kotor!” Arka hanya tertawa dan menjawab, “Bunga-bunga itu butuh tanah, Ma. Tanah yang baik bisa membuat bunga tumbuh lebih indah.”

Kini, tanah itu tampak sepi. Tidak ada suara langkah kaki kecil yang berlari di atasnya, tidak ada suara canda tawa yang mengisi udara. Dwi duduk di bangku taman yang biasa mereka gunakan, menatap ke arah bunga-bunga yang perlahan mulai mekar. Sebuah bunga mawar merah muda tumbuh di sana, persis di tempat yang dulu Arka tanam. Dwi meraba bunga itu dengan lembut. Ia teringat bagaimana Arka dengan penuh semangat menanamnya, berharap bunga itu bisa tumbuh dengan indah dan memberi warna di taman mereka.

“Semoga kamu tumbuh dengan baik,” bisik Dwi pelan, seperti berbicara kepada Arka.

Tetapi kemudian, ingatannya kembali membawa Dwi pada kenangan yang lain—kenangan saat mereka terakhir kali berbicara. Hari itu adalah hari yang penuh tawa, Arka meneleponnya dari luar negeri, membicarakan hal-hal kecil tentang kehidupan barunya di sana. Meski Dwi sering merasa khawatir, ia mencoba menyembunyikan rasa itu di balik senyum. “Aku baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir, aku ada di tempat yang aman,” kata Arka dengan suara ceria.

Dan Dwi, seperti biasa, hanya bisa mengangguk dan berkata, “Iya, tapi kalau ada apa-apa, kamu harus telpon Mama, ya?” Arka hanya tertawa dan berjanji akan selalu menjaga dirinya. Tapi janji itu hanya tinggal janji. Tak ada yang bisa kembali, tak ada yang bisa mengubah kenyataan.

Dwi menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Setiap napas yang ia tarik rasanya semakin berat, seperti ada sesuatu yang terjebak di dalam dadanya. Tapi ia tidak bisa berhenti berusaha. Harus ada jalan keluar dari kegelapan ini, meskipun ia merasa bahwa setiap langkah yang diambil hanya semakin menjauh dari cahaya.

Suatu malam, Dwi duduk di ruang tamu yang redup, memandangi foto Arka di meja samping sofa. Foto itu adalah foto yang diambil beberapa tahun lalu, saat mereka sedang berlibur bersama di pantai. Arka tersenyum lebar, dengan pasir yang menempel di wajahnya, memeluk Dwi dengan penuh cinta. Di belakangnya, laut berwarna biru cerah, dan langit biru tanpa awan. Dwi memandang foto itu, dan untuk sekejap, ia merasa Arka masih ada. Namun, sekejap itu segera berlalu begitu saja.

Tiba-tiba, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Dwi meraih ponsel itu dengan tangan yang gemetar, melihat nama yang tertera di layar. Itu adalah nama Arka, atau lebih tepatnya, nama yang seharusnya sudah tidak ada di sana lagi. Detak jantung Dwi semakin cepat. “Apa ini?” pikirnya. Apakah ia hanya berhalusinasi? Apakah ini adalah panggilan dari dunia lain?

Dengan hati yang berdetak kencang, Dwi menekan tombol terima panggilan. Namun, tidak ada suara yang terdengar selain desiran angin. Hanya ada keheningan yang dalam, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh. Ia mencoba bertanya, “Arka? Arka, itu kamu?” tetapi hanya ada keheningan yang menjawab.

Perasaan Dwi seolah terperangkap di antara dunia nyata dan dunia yang tidak dapat dijangkau. Tangannya menggigil, dan matanya mulai berkabut. Ia tahu itu tidak mungkin. Arka sudah tidak ada lagi. Panggilan itu adalah sebuah kenangan yang entah bagaimana bisa datang kembali, namun itu hanya meninggalkan kesedihan yang semakin mendalam.

Dwi menutup mata dan menekan ponselnya ke dadanya, merasakan panas air mata yang mulai mengalir lagi. Ia ingin sekali Arka kembali. Ia ingin sekali memeluk anaknya itu seperti dulu, tanpa rasa takut, tanpa rasa kehilangan yang menggigit. Namun, kenyataan berkata lain.

Di luar sana, hujan masih turun, dan langit semakin gelap. Dunia terasa begitu besar, begitu luas, dan Dwi merasa sangat kecil. Namun, meskipun kesedihan ini begitu dalam, ia tahu ia harus menemukan kekuatan untuk melangkah, meskipun tanpa Arka di sisinya. Dunia memang telah runtuh, namun ia harus menemukan cara untuk membangun kembali, meskipun itu hanya dengan kenangan.

 

Jejak yang Tersisa

Hari-hari berlalu, dan Dwi mulai menyadari bahwa meskipun dunia terus berputar, ada hal-hal yang tak bisa dikembalikan. Kenangan tentang Arka tidak akan pernah bisa dihapus, dan mungkin, itulah yang kini harus ia terima: bahwa hidup tidak selalu adil. Terkadang, kehidupan menawarkan luka yang tak dapat disembuhkan, tetapi juga memberi kekuatan untuk bertahan.

Suatu pagi, Dwi memutuskan untuk mengunjungi rumah lama Arka. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kehidupan, kini sepi. Tapi di sana, Dwi menemukan sebuah surat yang ditinggalkan Arka—surat yang selama ini tidak pernah ia temukan, meskipun ia sudah berulang kali mengecek isi rumah. Surat itu tergeletak di atas meja yang dulu sering digunakan Arka untuk menulis. Dwi membuka surat itu perlahan, jantungnya berdegup kencang.

Mama,

Jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah tidak ada lagi di sisi mama. Aku ingin kamu tahu, bahwa hidupku jauh lebih indah karena kamu. Terima kasih untuk setiap doa yang kamu panjatkan untukku, meski aku selalu terlihat kuat, aku tahu kamu selalu mendoakanku. Aku tidak akan pernah melupakan masa-masa kita, saat ibu mengajarkan aku tentang hidup, tentang cinta, tentang keberanian.

Mama, aku tahu ini akan sangat sulit untukmu, tetapi aku berharap kamu bisa menemukan kedamaian dalam hatimu. Jangan biarkan kesedihan ini merenggut kebahagiaan yang kamu layak dapatkan. Aku mungkin tidak ada lagi, tapi hatiku selalu bersama ibu, dan aku percaya kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.

Dwi meneteskan air mata. Setiap kata dalam surat itu seperti pisau yang mengiris hati. Arka, anak yang sangat ia cintai, kini tak akan pernah bisa kembali. Tetapi, di saat yang sama, Dwi merasa ada sebuah kedamaian yang perlahan meresap ke dalam dirinya. Surat itu seakan memberi jawaban yang selama ini ia cari—bahwa Arka ingin ia terus hidup, meski tanpa dirinya.

Hari-hari berikutnya, Dwi memulai proses yang tidak pernah ia bayangkan akan dilalui—proses untuk belajar melepaskan. Melepaskan bukan berarti melupakan. Sebaliknya, itu adalah cara untuk menghormati kenangan yang pernah ada, dan memberi ruang bagi hidup untuk terus berjalan, meskipun beban berat masih menempel di dada.

Suatu hari, saat Dwi berjalan di taman yang dulu sering mereka kunjungi, ia melihat bunga mawar merah muda yang dulu ditanam Arka. Bunga itu kini telah mekar sempurna, menari diterpa angin. Dwi menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kamu benar, Arka,” katanya pelan, “Kamu selalu tahu cara membuat dunia ini lebih indah, meskipun aku tak bisa melihatmu lagi.”

Di situlah Dwi merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, meski Arka sudah tidak ada, jejak-jejak kebaikan dan kasih sayangnya akan selalu ada di setiap langkah yang ia ambil. Kenangan akan hidup dalam setiap helaan napas, dalam setiap tetes hujan yang turun, dalam setiap cahaya matahari yang menerpa wajahnya.

Dwi menatap langit yang mulai memerah, tanda senja akan segera tiba. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang ia yakini: Arka akan selalu ada, dalam setiap kenangan, dalam setiap langkah yang ia ambil. Dan suatu hari, di dunia yang tak terbayangkan ini, mereka akan bertemu lagi. Hanya waktu yang bisa menjawab kapan.

Dengan langkah yang lebih pasti, Dwi meninggalkan taman itu. Mungkin hari ini langit cerah, mungkin tidak. Tapi yang pasti, ia kini tahu bagaimana cara untuk berjalan meski dunia tak lagi sama. Jejak-jejak Arka tetap ada, mengarahkannya ke tempat yang lebih baik, ke masa depan yang meskipun penuh ketidakpastian, tidak lagi terasa begitu menakutkan.

Karena cinta tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk.

 

Jadi, meski hidup kadang terasa nggak adil, kita belajar satu hal penting: cinta itu nggak pernah pergi. Ia tinggal dalam kenangan, dalam setiap langkah yang kita ambil setelah kehilangan.

Mungkin kita nggak bisa kembali ke masa itu, tapi kita bisa membawa semua kenangan indah itu untuk terus melangkah. Kadang, yang perlu kita lakukan hanyalah membuka hati untuk menerima kenyataan, dan percaya bahwa, entah bagaimana, kita akan baik-baik saja.

Leave a Reply