Cerpen Sedih Mawar Terakhir untuk Bunda: Kisah Perpisahan yang Mengharukan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa ada sesuatu yang hilang banget di hidup kamu, sesuatu yang nggak bisa digantikan sama apapun? Cerpen ini bakal bikin kamu ngerasa, gimana rasanya kehilangan orang yang paling kamu sayang. Jadi siap-siap deh, siapkan tisu, karena cerita tentang Mawar Terakhir untuk Bunda ini nggak akan bikin kamu tetap kering mata.

 

Mawar Terakhir untuk Bunda

Mawar di Tangan Bunda

Ruangan itu berbau obat-obatan. Dindingnya putih pucat, sama seperti wajah perempuan yang terbaring di ranjang. Monitor jantung berdetak pelan, seirama dengan napasnya yang lemah. Selang infus masih menempel di tangan kurusnya, membuat kulitnya yang dulu hangat kini terasa dingin saat disentuh.

Di atas meja kecil di samping tempat tidur, setangkai mawar putih tergeletak dalam vas kaca bening. Kelopaknya masih segar, tapi sebentar lagi akan mulai layu. Bunga itu adalah yang kesekian kali ia bawa—kebiasaan lama yang tak pernah berubah.

“Bawa mawar lagi?” suara perempuan itu terdengar lirih, tapi bibirnya tersenyum kecil.

Lelaki di kursi samping ranjang itu mengangguk pelan. Jemarinya meremas pelan telapak tangan perempuan itu, seolah dengan begitu ia bisa menghangatkannya kembali. “Aku beliin di toko biasa. Katanya stoknya hampir habis.”

Perempuan itu tertawa kecil. Tawanya serak, tapi tetap terdengar lembut di telinga lelaki itu. “Kamu selalu bawa… selalu mawar putih…”

Lelaki itu menatap bunga dalam vas, lalu kembali menatap perempuan di hadapannya. Matanya tajam, tapi sorotnya menyimpan luka yang tak bisa diucapkan. “Karena kamu suka.”

Perempuan itu mengangguk lemah. “Iya… aku suka…” Ia menarik napas perlahan, matanya menerawang ke arah langit-langit ruangan, seolah mengingat sesuatu yang jauh. “Dulu, pertama kali kamu bawain bunga ke aku… kamu inget?”

Lelaki itu mengangguk, meski tenggorokannya terasa berat untuk berbicara. Tentu saja ia ingat.

Dulu, saat masih kecil, ia pulang dengan wajah penuh luka karena jatuh dari sepeda. Tangannya berdarah, lututnya lecet, tapi bukannya menangis, ia malah membawa setangkai mawar putih yang ia petik dari pekarangan rumah sebelah.

“Ini buat kamu, biar nggak marah,” katanya waktu itu dengan suara bergetar menahan sakit.

Perempuan itu—bunda—tertawa sambil mengusap rambutnya yang acak-acakan. Ia tidak marah, justru menarik tubuh kecil anaknya ke dalam pelukan hangat. Sejak saat itu, setiap kali ada momen spesial, lelaki itu selalu membawakan mawar putih.

Dan kini, di ruangan serba putih ini, bunga itu masih ada. Tapi kali ini, tidak ada perayaan atau kebahagiaan. Yang ada hanya kesunyian, hanya ketakutan yang tak terucapkan.

“Kamu tau kenapa aku suka mawar putih?” tanya perempuan itu tiba-tiba.

Lelaki itu diam, lalu menggeleng pelan.

“Putih itu suci… seperti cinta aku ke kamu.”

Dadanya terasa sesak. Ia ingin berbicara, tapi tak tahu harus berkata apa.

Bunda tersenyum kecil, lalu menoleh padanya. “Tapi nanti… kalau aku udah nggak ada, jangan bawain aku mawar putih lagi, ya?”

Kening lelaki itu berkerut. “Kenapa?”

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap mawar di dalam vas, memperhatikan setiap kelopaknya dengan penuh kelembutan. “Karena kalau kamu bawain lagi… itu berarti aku udah nggak bisa lihat bunganya lagi…”

Ruangan tiba-tiba terasa semakin dingin.

Lelaki itu menggenggam tangan perempuan itu lebih erat, seakan takut kalau ia melepaskannya, genggaman itu akan menghilang selamanya. “Jangan ngomong gitu. Kamu pasti sembuh.”

Perempuan itu tersenyum, tapi kali ini matanya berkabut.

Mawar putih di dalam vas tetap berdiri tegak, tapi bagi lelaki itu, bunga itu sekarang terasa seperti lambang perpisahan.

Dan ia tidak siap untuk itu.

 

Jangan Bawa Mawar Lagi

Hujan turun tipis di luar jendela rumah sakit, menampar kaca dengan suara halus yang nyaris tenggelam di antara bunyi mesin medis yang terus berdenyut. Di dalam ruangan, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Selimut tebal yang menutupi tubuh perempuan itu tidak cukup untuk menghangatkannya.

Lelaki itu masih duduk di kursinya, tidak bergerak. Ia tidak tahu sudah berapa lama di sana, tapi satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak ingin pergi.

“Jangan bawain aku mawar lagi, ya?” suara perempuan itu pecah dalam keheningan.

Lelaki itu menunduk, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. “Kenapa kamu ngomong gitu terus?”

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lelaki itu dengan sorot mata yang sulit diartikan—ada kehangatan, tapi juga kesedihan yang dalam.

“Aku nggak mau kamu nangis di depanku nanti… sambil bawa bunga itu,” bisiknya.

Dada lelaki itu mengencang. Ia mengalihkan pandangan, menatap langit abu-abu di luar jendela. Tangannya bergetar, tapi ia menggenggamnya erat-erat, menahan semua yang ingin pecah di dalam dadanya.

“Kamu tahu… dulu aku selalu berpikir kalau bunga itu bisa bikin aku bahagia.” Perempuan itu menarik napas pelan. “Setiap kali kamu bawain aku mawar, rasanya seperti ada alasan buat tersenyum… buat tetap kuat.”

Lelaki itu menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu.

“Tapi sekarang… kalau kamu masih bawain aku mawar setelah aku pergi, itu berarti kamu masih sedih. Dan aku nggak mau itu.”

Sebuah hening panjang membentang di antara mereka. Hanya suara hujan di luar yang terus bernyanyi pelan.

“Kamu nggak akan pergi,” gumam lelaki itu akhirnya.

Perempuan itu tersenyum tipis, seolah tidak ingin menyangkal atau mengiyakan. “Dengar, Nak…” Ia mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Aku nggak takut pergi. Aku cuma takut ninggalin kamu sendiri.”

Lelaki itu menutup matanya sesaat, merasakan sisa kehangatan jemari itu di kulitnya. “Kamu nggak akan ninggalin aku.”

Perempuan itu tidak menjawab, hanya tersenyum.

Lelaki itu tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan. Ia bisa berusaha menolak, tapi waktu tetap berjalan maju.

Di atas meja kecil di samping tempat tidur, mawar putih di dalam vas mulai layu.

Dan di dalam dadanya, sesuatu mulai runtuh perlahan.

 

Hujan di Pusara

Langit abu-abu menangis. Hujan turun tanpa henti sejak pagi, membasahi tanah merah yang masih basah. Udara dingin menusuk tulang, membuat tubuh lelaki itu sedikit gemetar—entah karena dingin atau karena dadanya yang masih terasa kosong.

Di sekelilingnya, orang-orang berpakaian hitam berdiri dalam diam. Payung-payung terbuka, tapi lelaki itu tidak membawa satu pun. Ia membiarkan dirinya kehujanan, membiarkan air hujan bercampur dengan sesuatu yang lebih hangat di pipinya.

Di hadapannya, nisan dengan nama yang paling ia cintai kini berdiri kokoh di atas tanah basah.

Bunda sudah pergi.

Tangan lelaki itu masih gemetar saat ia merogoh saku jaketnya. Jemarinya menyentuh kelopak bunga yang sudah mulai layu—bunga yang seharusnya ia tinggalkan di rumah.

Tapi bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin ia datang ke sini tanpa membawa mawar putih untuk bunda?

Teringat suara lembut perempuan itu, memintanya untuk tidak lagi membawa bunga itu setelah kepergiannya. Meminta sesuatu yang mustahil.

Lelaki itu menghela napas berat, menatap tanah yang masih baru dengan mata yang mulai memburam.

“Maaf, Bunda…” suaranya hampir tidak terdengar di antara rintik hujan. “Aku tetap bawain bunga ini…”

Tangannya terangkat, siap meletakkan mawar itu di atas pusara. Tapi sebelum kelopaknya menyentuh tanah, jemarinya berhenti.

Bunda tidak bisa melihatnya lagi.

Kata-kata itu kembali menghantam dadanya, lebih tajam dari belati mana pun.

Perlahan, ia menurunkan tangannya. Kelopak mawar putih itu gemetar dalam genggamannya, seolah ikut merasakan guncangan di dadanya. Ia menutup matanya erat-erat, merasakan air hujan mengalir dari rambutnya, meresap ke dalam bajunya.

Tidak ada lagi suara bunda. Tidak ada lagi tawa lembutnya.

Hanya ada hujan.

Dan dalam diam, lelaki itu akhirnya mengerti.

Ia tidak akan pernah lagi membawa mawar putih ke tempat ini.

 

Mawar Terakhir

Pagi itu, matahari tampak malu-malu, menembus celah-celah awan abu-abu yang masih tersisa. Hujan yang semalam turun tanpa henti kini mulai mereda, meninggalkan tanah yang basah dan udara yang segar. Tetapi bagi lelaki itu, dunia masih terasa berat, seperti ada batu besar yang terpendam di dadanya.

Ia kembali berdiri di depan pusara, kali ini tanpa mawar putih di tangannya.

Tangan kanannya masih memegang sebuah benda kecil yang baru saja ia ambil dari saku jaketnya. Sebuah kalung kecil dengan liontin mawar—perhiasan sederhana yang dulu sering dikenakan oleh perempuan yang kini terbaring di bawah tanah.

Lelaki itu menatap liontin itu dalam diam. Ia merasakan getaran lembut di tangannya, seolah benda itu ingin berbicara.

“Aku nggak bisa lepas, Bunda…” bisiknya, suara tertahan, penuh sesak.

Kalung itu adalah mawar terakhir yang pernah bunda kenakan—sebuah hadiah dari lelaki itu saat ulang tahunnya yang ke-50. Bunda selalu bilang kalau itu adalah simbol cinta yang tak akan pernah pudar, meski waktu terus berlalu.

“Ini mawar terakhir buat kamu,” lelaki itu berkata pada diri sendiri, sambil menatap langit yang perlahan menghangat. “Aku janji, ini adalah perpisahan terakhir yang aku ikhlaskan.”

Ia membuka liontin itu, melepaskan rantai yang mengikatnya. Dengan gerakan perlahan, ia meletakkan liontin itu di atas pusara bunda, tepat di sisi nisan yang tertulis namanya.

Tangan lelaki itu terulur, menyentuh nisan itu dengan lembut. Seperti ingin merasakan kehadiran bunda, yang meskipun telah tiada, tetap meninggalkan jejak di setiap sudut hatinya.

“Selamat jalan, Bunda. Terima kasih atas segala cintamu.”

Lelaki itu berdiri cukup lama di sana, menyerap setiap kesunyian yang mengisi ruang. Dalam hatinya, ada kekosongan yang tidak bisa ia penuhi dengan apapun. Tetapi entah mengapa, ia merasa sedikit lebih tenang.

Ia tahu, ini adalah langkah terakhir yang harus diambil—menerima kepergian bunda dan merelakan bunga putih itu sebagai simbol yang telah selesai.

Saat ia berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya terasa lebih ringan, meski tidak sepenuhnya bebas dari beban.

Di belakangnya, hujan berhenti.

Dan di atas tanah yang basah, sebuah mawar putih mulai layu, tanpa ada yang mengingatnya lagi.

Tapi ia tidak lagi perlu membawa bunga itu.

Karena dalam hatinya, cinta bunda akan selalu hidup.

 

Jadi, gitu deh cerita mawar terakhir buat bunda. Mungkin kita nggak bisa selalu minta untuk orang yang kita sayang nggak pergi, tapi kita selalu bisa kasih cinta yang nggak pernah pudar. Semoga cerpen ini bisa nyentuh kamu, kaya rasa yang nggak bisa hilang, kayak kenangan yang selalu ada.

Leave a Reply