Daftar Isi
Kadang hidup emang nggak adil, ya? Semua yang kita punya bisa hilang dalam sekejap. Cerita ini tentang dua saudara yang coba bertahan hidup, cari duit di jalanan, tapi apa yang mereka dapetin malah kesedihan yang nggak terbayangkan. Siapa sangka, yang mereka impikan cuma tinggal mimpi. Kalo kamu siap untuk nangis, yuk baca cerita ini.
Cerpen Sedih
Langit Kelabu dan Jalanan yang Sepi
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin yang berhembus kencang seperti ikut merasakan kesepian yang membungkus tubuh kami. Larsen berjalan di depan, tubuhnya sedikit membungkuk karena beratnya beban yang dia bawa, bukan hanya di punggung, tapi juga di hatinya. Aku yang berjalan tepat di belakangnya, berusaha menahan kantuk dan keletihan. Terkadang, rasa lelah itu membuatku ingin berhenti sejenak, tapi aku tahu kami harus terus berjalan. Apa lagi yang bisa kami lakukan selain berjalan?
Kami sudah biasa hidup begini. Tanpa rumah, tanpa orang tua, tanpa siapa-siapa. Semuanya dimulai setelah ibu dan ayah pergi. Meninggalkan kami berdua di dunia yang tak memberi tempat untuk orang-orang seperti kami. Jadi, kami berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengumpulkan sisa-sisa hidup yang tercecer di jalanan, berharap bisa bertahan satu hari lagi.
“Lars, kita mau ke mana lagi?” tanyaku, mencoba untuk memecah keheningan yang terlalu lama menggantung di udara.
Larsen sedikit menoleh ke belakang, wajahnya yang sudah mulai lelah masih berusaha menunjukkan senyuman. “Ke pasar, Oren. Kita coba cari uang lagi,” jawabnya pelan. Kata-katanya terdengar seperti rutinitas yang tak pernah berubah. Pasar adalah tempat yang selalu kami tuju, tempat di mana kami bisa mengemis atau berharap ada orang baik yang memberinya sedikit uang atau makanan. Tetapi hari-hari di pasar sudah terasa seperti bayang-bayang yang terus-menerus mengikutinya.
Langkah kami terhenti di persimpangan jalan, tempat yang selalu ramai dengan orang-orang terburu-buru menuju tujuannya. Ada yang berjalan cepat, ada yang menunggu angkutan, ada yang hanya melewati begitu saja, seolah tidak peduli dengan dunia sekitar. Kami berdiri di situ, mencoba mencari celah untuk menyelipkan diri di antara kerumunan.
Aku memperhatikan Larsen yang dengan sigap melangkah ke beberapa orang yang tampaknya sedang berhenti. Matanya yang tajam bergerak cepat, mencari celah untuk berbicara, menawarkan harapan. Aku tahu dia sudah terbiasa dengan ini, tak pernah ada rasa malu yang menghalanginya. Aku sendiri, meski sering kali ikut mengemis, selalu merasa tidak nyaman. Rasa malu itu terkadang muncul begitu saja, tapi aku tahu kami tak punya pilihan. Kami hanya punya satu sama lain.
Seorang wanita yang tampaknya baru keluar dari toko roti berhenti di depan kami, dan Larsen dengan cepat menghampirinya. “Permisi, Bu… bolehkah kami minta sedikit uang untuk makan?” kata Larsen dengan suara yang rendah, namun penuh harap.
Wanita itu memandang kami sekilas, lalu menggelengkan kepala dan melanjutkan langkahnya tanpa sepatah kata pun. Larsen menatap wanita itu pergi, tidak kecewa, hanya seperti sudah terbiasa. “Ada lagi, Oren?” tanyanya tanpa berbalik, menyadari bahwa aku hanya berdiri di belakang, merasakan hal yang sama.
“Tidak ada, kak,” jawabku pelan, meskipun aku tahu jawabanku itu tidak akan mengubah apa pun. Semua ini sudah terlalu familiar. Kami berdua seperti sudah menjadi bagian dari jalanan ini—orang-orang yang tak terlihat, yang hanya ada di tengah keramaian tanpa pernah benar-benar ada.
Kami terus berjalan, mencoba ke beberapa tempat lain. Setiap kali Larsen berbicara, suaranya terdengar semakin lemah, seolah semakin lama dia berbicara, semakin sedikit tenaga yang dia miliki. Oren, adikku, memang sudah kelelahan. Aku bisa merasakannya. Aku tahu dia butuh lebih banyak dari sekadar makanan dan air. Dia butuh kehangatan yang hilang setelah kehilangan orang tua kami. Aku tahu, karena aku juga merasakannya.
Di sepanjang jalan, banyak hal yang terlewatkan begitu saja. Orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, dunia mereka yang terlalu besar bagi kami. Di sinilah kami, hanya berdua, berjuang untuk satu sama lain. Larsen selalu menjaga aku dengan cara yang dia bisa. Dia lebih banyak bicara tentang bagaimana kami harus bertahan, tapi aku tahu dia juga lelah. Aku bisa melihatnya di matanya yang semakin pudar.
Kami terus berjalan, sampai akhirnya kami sampai di sebuah sudut yang lebih sepi. Kami duduk di trotoar, menunggu. Tidak ada yang melihat kami, tidak ada yang menawarkan bantuan. Hanya ada angin yang berhembus, dan suara kendaraan yang melintas jauh di depan.
“Aku capek, kak,” kataku, suara itu keluar begitu saja tanpa bisa kutahan. Kedengarannya lemah, tapi saat itu, aku tidak peduli.
Larsen menatapku, lalu mengangguk. “Aku tahu, Oren. Aku tahu,” jawabnya dengan nada pelan, penuh kehangatan yang lebih dari sekadar kata-kata. “Tapi kita harus terus bertahan, adikku. Kita nggak punya pilihan.”
Aku memandangnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Kekuatan yang dia miliki untuk tetap melangkah, untuk tetap menjaga kami tetap hidup. Aku ingin sekali bisa memberinya lebih dari ini. Tapi aku hanya bisa diam.
Langit semakin mendung, dan waktu terasa semakin berat. Rasanya seperti tidak ada lagi yang bisa kami harapkan dari dunia ini. Hanya ada kami, dan jalanan ini yang menghadap ke segala kemungkinan.
Kami duduk di sana, menunggu, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rasanya seperti dunia ini sudah terlalu lama memalingkan wajahnya dari kami.
Mengais Harapan di Tengah Keramaian
Hari semakin memudar, dan Larsen tidak berhenti bergerak. Meski lelah, meski setiap langkah terasa semakin berat, dia tetap melangkah. Aku tahu dia berusaha untuk menunjukkan pada diriku bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja, bahkan jika itu hanya ilusi yang dia ciptakan. Kami kembali mengarah ke pusat kota, tempat di mana keramaian seakan menawarkan peluang meskipun kami tahu peluang itu sangat sedikit.
“Lars, kita coba cari tempat lain, ya?” aku bertanya, suara rasanya semakin serak. Pagi tadi, aku sempat melihat lelaki tua yang biasa duduk di sudut dekat toko buku, memberikan sedikit uang pada seseorang. Mungkin kami bisa mendekatinya, berharap ada sedikit kebaikan yang bisa membawa kami makan malam hari ini.
Larsen mengangguk, tidak banyak bicara. Aku tahu dia juga berpikir tentang hal yang sama. Setiap sudut kota ini kami jelajahi, setiap wajah yang lewat adalah peluang yang kami raih. Kadang datang sedikit harapan, namun lebih sering datang kekecewaan. Tapi kami tak bisa berhenti.
Kami sampai di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan. Beberapa orang duduk di sana, menikmati kopi sambil sibuk dengan ponsel mereka. Kehidupan mereka tampak begitu jauh dari dunia kami. Larsen berhenti sejenak dan menatap kerumunan, seolah mencari peluang di antara mereka.
“Ayo, kita coba,” katanya, meraih tanganku dan membimbingku ke arah pintu kedai. Aku tahu ini bukan tempat yang nyaman bagi orang-orang sepertinya kami, tapi kami sudah tidak punya pilihan lain.
Di dalam, aroma kopi dan roti panggang menyambut kami. Begitu memasuki ruangan, kami merasa asing. Mata-mata yang memandang sekejap ke arah kami, hanya sekilas, lalu kembali sibuk dengan dunia mereka sendiri. Larsen melangkah ke salah satu meja kosong di sudut, dan aku mengikuti di belakangnya. Tidak ada yang berkata apa-apa. Kami duduk di sana, berdua, seolah dunia tidak peduli dengan keberadaan kami.
“Apa yang kita lakukan di sini, kak?” tanyaku pelan, takut suaraku mengganggu ketenangan yang ada di sekitar kami.
Larsen menatapku dengan mata lelahnya, dan kemudian tersenyum samar. “Kita cuma menunggu kesempatan, Oren. Selalu ada peluang, entah kapan.”
Kehidupan kami memang seperti itu—menunggu kesempatan yang entah datang kapan. Larsen percaya bahwa peluang akan datang jika kita terus bertahan. Tapi aku sudah lelah menunggu. Apakah kami memang benar-benar punya kesempatan? Apakah ada jalan keluar dari kehidupan yang penuh ketidakpastian ini?
Di meja sebelah, seorang pria tua yang tampak seperti pekerja kantoran sedang menikmati kopi dengan tenang. Larsen memperhatikan pria itu sejenak, seolah berpikir untuk berbicara dengannya. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Setiap orang yang kami lihat adalah kemungkinan, peluang yang harus dijangkau.
Larsen berdiri dan menghampiri pria itu, langkahnya penuh harapan. Aku duduk diam, tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa detik kemudian, Larsen kembali ke meja kami, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi. “Nggak ada,” katanya singkat.
Aku mengangguk, sedikit kecewa tapi tak terlalu terkejut. Kami tahu sudah pasti banyak yang mengabaikan kami. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan kehidupan yang tampaknya lebih berarti daripada kami yang hanya terbuang di sudut-sudut kota ini.
Namun, saat kami hendak bangkit untuk pergi, sesuatu terjadi. Seorang wanita muda yang duduk di meja yang lebih jauh menghampiri kami. Wajahnya tampak khawatir, seolah ragu. Ketika dia mendekat, Larsen menatapnya dengan waspada. Kami sudah terbiasa dengan tatapan skeptis, bahkan sinis dari orang-orang yang merasa takut atau jijik melihat kami.
“Tunggu,” kata wanita itu, suaranya pelan namun tegas. “Kalian mau makan?”
Kami terdiam, saling bertukar pandang. Apa yang dia maksud? “Makan?” Larsen bertanya dengan suara rendah, tidak percaya.
Wanita itu mengangguk. “Ya, aku akan bayar makanan kalian. Ada yang ingin kalian makan?”
Aku hampir tidak bisa percaya. Selama bertahun-tahun, kami tak pernah menerima kebaikan seperti ini dari orang yang tidak mengenal kami. Kami berdua hanya bisa diam, terkejut.
Larsen akhirnya berkata, “Kami nggak butuh banyak. Hanya… mungkin sedikit roti atau sesuatu yang bisa membuat perut kami kenyang.”
Wanita itu tersenyum, lalu mengangguk dan berbalik ke meja kasir. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan dua piring roti dan segelas air. Tanpa berkata apa-apa, dia meletakkan semuanya di meja kami dan pergi begitu saja.
Kami hanya bisa menatap makanan itu. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami mulai makan perlahan, merasakan kenikmatan dari sesuatu yang selama ini terasa begitu jauh. Ini bukan hanya soal makanan. Ini soal pengakuan, soal harapan yang mulai timbul lagi dalam hati kami.
“Kita nggak akan selamanya begini, Oren,” kata Larsen, dengan suara yang lebih ringan daripada sebelumnya. “Suatu hari kita akan menemukan tempat yang lebih baik. Kita cuma perlu bertahan sedikit lebih lama.”
Aku mengangguk, meski aku tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tetapi, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai berharap—bahwa, mungkin, mungkin saja kami bisa menemukan jalan keluar dari kehidupan yang keras ini.
Langkah Terakhir yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu, dan meski angin masih membawa dingin yang tak kunjung pergi, ada sesuatu yang mulai berubah dalam diri kami. Setelah wanita muda itu memberi kami makanan, perasaan di dalam hatiku seperti menghangat. Bukan hanya karena perut yang kenyang, tapi karena ada sedikit harapan yang kembali muncul, perlahan-lahan merasuk dalam diri kami. Larsen terlihat sedikit lebih ceria, meskipun aku tahu, di dalam dirinya, masih ada kegelisahan yang tak pernah hilang.
Kami kembali ke jalanan, kali ini sedikit lebih ringan. Larsen kembali dengan semangat yang tampaknya sudah lama kami lupakan. “Oren, ayo kita coba ke arah sana,” katanya, menunjuk ke jalan yang lebih ramai. “Pasti ada sesuatu yang bisa kita dapatkan.”
Aku hanya mengangguk, mengikuti langkah kakakku. Kadang aku merasa hidup ini seperti berjalan tanpa arah. Terkadang, saat jalanan ini semakin panjang, aku merasa semakin lelah dan semakin hilang. Tapi Larsen selalu ada di sana, memimpin langkahku. Meskipun dia juga sama lelahnya, dia masih berusaha memberi semangat. Ada kalanya aku merasa seperti kami hanya berputar-putar di tempat yang sama, tanpa kemajuan. Tapi Larsen, meski lelah, tak pernah menunjukkan itu. Dia terus mengajak aku berjalan, seperti ada harapan baru setiap kali langkah kami menginjak tanah.
“Kamu nggak boleh lelah, Oren,” kata Larsen suatu hari, saat aku mulai berjalan lebih pelan dari biasanya. “Kita nggak bisa berhenti. Kita harus terus bertahan.”
“Aku nggak bisa terus begini, Lars,” jawabku pelan, hampir tak terdengar. “Kadang rasanya, nggak ada yang peduli sama kita.”
Larsen berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang penuh makna. “Mungkin nggak ada yang peduli sekarang, Oren. Tapi kalau kita terus berjuang, ada saatnya kita akan mendapatkan tempat yang layak. Aku janji.”
Kami terus melangkah, dan ketika malam mulai jatuh, aku merasa langit di atas kami terasa lebih gelap dari biasanya. Bahkan suara kendaraan yang melintas terasa semakin jauh. Namun, ada perasaan aneh yang mengisi hati ini—sebuah harapan yang tak pernah benar-benar padam, meskipun perasaan itu sering kali terselimuti keraguan.
Kami tiba di sebuah persimpangan jalan, tempat yang sering kami lewati. Namun kali ini, sesuatu terasa berbeda. Di sana, ada sebuah mobil yang terparkir, dan beberapa orang berdiri di sekelilingnya, tampak sibuk berbicara. Larsen menatap mereka sejenak, lalu memutuskan untuk mendekat. Aku mengikuti, tidak tahu apa yang akan kami temui kali ini.
Saat kami sudah dekat, seorang pria yang tampaknya masih muda, dengan jaket hitam dan wajah serius, melihat ke arah kami. “Kamu berdua mau ke mana?” tanyanya, nada suaranya terdengar tegas, meskipun tidak kasar.
Larsen menatap pria itu, lalu menjawab dengan suara pelan, “Kami cuma berjalan, cari tempat yang bisa memberi kami sedikit kesempatan. Apa ada pekerjaan di sini?”
Pria itu memandang kami lebih lama, seperti sedang menilai kami. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Lalu pria itu beranjak sedikit, memberi ruang untuk kami lebih dekat. “Kalian nggak kelihatan seperti orang yang punya tempat tinggal,” katanya, lebih kepada diri sendiri daripada kami. “Tapi… ada pekerjaan kecil. Tidak banyak, tapi cukup untuk makan.”
Larsen menatap pria itu dengan penuh harap. “Apa saja pekerjaan itu, Pak?”
“Jalan ini kadang jadi tempat orang-orang berjualan, atau ada yang datang lewat. Ada yang ingin berhenti dan memberi sedikit uang. Tugasmu cuma… menunggu dan menawarkan mereka sesuatu,” jawab pria itu sambil menunjuk ke beberapa pedagang yang tengah sibuk di jalanan.
Aku dan Larsen saling berpandangan. Seperti sebuah peluang. Mungkin tidak banyak, tapi itu lebih baik daripada berjalan tanpa arah, menunggu yang tak pasti.
Larsen memutuskan untuk menerima tawaran itu. Kami berdua mulai bekerja, meski hati kami penuh dengan kebingungan. Kami duduk di sudut jalan, menawarkan barang dagangan yang tak kami miliki—sebuah cara bertahan hidup yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Hari berlalu, dan ada beberapa orang yang berhenti, membeli barang dagangan imajiner kami. Kami mendapatkan beberapa uang, cukup untuk makan malam.
Namun, malam itu bukanlah sekadar tentang makanan. Saat kami berjalan pulang, Larsen terlihat lebih ceria. Dia berkata, “Oren, kita mulai melihat cahaya. Ini baru permulaan. Aku yakin, hari-hari kita akan lebih baik ke depan.”
Aku ingin sekali percaya pada kata-katanya, tetapi di dalam hatiku, aku merasakan ada sesuatu yang salah. Ada perasaan aneh yang terus menghantui. Seakan malam ini, sesuatu yang buruk sedang mendekat tanpa kami sadari.
Kami kembali ke tempat yang kami sebut rumah—sebuah sudut kosong di pinggir jalan. Larsen duduk di sana, masih berbicara tentang semua hal yang akan datang. “Kita akan punya tempat yang lebih baik, Oren. Kita akan punya rumah. Aku janji.”
Aku mengangguk, meskipun perasaan di dalamku semakin berat. Namun, Larsen terlalu sibuk dengan harapan-harapannya, hingga tak menyadari bahwa dunia di sekitar kami mulai berubah. Ketika kami berbaring di sudut itu, aku menatap langit yang mulai gelap. Begitu banyak bintang yang bersinar, tapi hatiku terasa kosong. Rasanya, kami sudah lama berjalan, tapi jalan ini belum juga selesai.
Namun, ada sesuatu yang akan segera datang. Suatu kejadian yang mengubah segala sesuatu yang kami percayai. Sebuah momen yang akan mengguncang semuanya—dan aku tidak tahu apakah kami siap menghadapi itu.
Kepergian yang Menghancurkan
Esoknya, pagi itu datang dengan hujan gerimis. Udara yang basah dan dingin langsung menyelimuti tubuhku. Aku mengingat setiap detik dengan jelas—detik yang tak akan pernah bisa terhapus dari ingatanku. Larsen tetap terlihat ceria, seperti biasa. Dia memeluk erat jaket lamanya, yang sudah lusuh dan penuh bekas. Ada senyum tipis di wajahnya, meski aku bisa melihat kelelahan yang tak pernah dia ungkapkan. Kami memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan yang kami mulai kemarin—menunggu di sudut jalan dan menawarkan barang yang tak pernah benar-benar ada.
Namun, hari itu terasa berbeda. Jalanan yang biasanya ramai dengan suara kendaraan, pasar, dan orang-orang lewat, kali ini tampak sepi. Hanya beberapa pejalan kaki yang tampak terburu-buru, seolah ingin cepat sampai tujuan mereka. Kami tetap berada di tempat yang sama, berharap bisa mendapatkan sedikit uang lagi. Tetapi suasana terasa semakin tegang, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran. Larsen, yang biasanya begitu penuh harapan, terlihat agak cemas.
“Kita harus lebih banyak bergerak, Oren. Mungkin kita bisa cari tempat lain untuk berdiri,” ujar Larsen, sedikit terengah-engah. Aku mengangguk, mengikuti langkahnya.
Kami berjalan beberapa langkah, tapi saat melintas di sebuah jalan besar, aku mendengar suara langkah mobil yang semakin mendekat. Tidak ada yang aneh, tapi ada sesuatu dalam diriku yang mulai merasa cemas. Larsen tetap berjalan di depanku, seperti biasa, tanpa menyadari bahaya yang semakin mendekat.
Saat mobil itu melaju, tiba-tiba pengemudinya kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, mobil itu menghantam Larsen dengan kecepatan tinggi. Suara benturan keras yang terdengar sangat mengejutkan—bagaikan dunia yang tiba-tiba runtuh di hadapanku. Aku terdiam sejenak, tidak bisa bergerak, hanya terperangah melihat tubuh Larsen yang terpelanting ke aspal.
Segala sesuatu seakan berhenti. Di antara suara bising yang mulai terdengar kembali—jeritan orang-orang yang panik dan langkah kaki yang terburu-buru—aku merangkak mendekati tubuh kakakku yang tergeletak tak bergerak. Semua yang kulakukan hanyalah berusaha menyentuh wajahnya, berharap dia akan membuka mata dan mengingatkan aku bahwa semua ini hanya mimpi buruk.
“Larsen…” suaraku serak, hampir tak terdengar.
Namun, tak ada jawaban. Tak ada pergerakan. Hanya wajah kakakku yang sudah pucat, darah yang mengalir perlahan di tubuhnya. Aku merasakan seluruh tubuhku kaku. Aku ingin berteriak, ingin menangis, tapi bibirku terlalu kaku untuk mengeluarkan suara.
Orang-orang di sekitar mulai berkerumun. Beberapa mencoba menelepon ambulans, tapi aku tahu, itu sudah terlambat. Aku hanya bisa duduk di samping tubuh kakakku, memegangi tangannya yang kini terasa dingin.
“Aku nggak bisa… Lars, kamu nggak bisa pergi…,” bisikku dengan suara tercekat, menahan isak yang ingin keluar.
Waktu seolah berjalan sangat lambat, namun dalam sekejap, mobil ambulans datang dan mencoba memberikan pertolongan. Namun aku tahu, di dalam hatiku, Larsen sudah pergi. Semua harapan yang dia bicarakan, semua janji yang dia buat, kini hanya tinggal kenangan yang hampa.
“Apa yang akan aku lakukan sekarang, Lars?” aku bertanya pada angin yang membawa hujan, tak ada jawaban. Hanya ada kebisuan yang mencekam.
Aku tetap di sana, menatap tubuh kakakku yang kini dibawa pergi. Setiap detik terasa seperti menyayat hatiku. Aku merasa kosong, hampa, seperti kehilangan semua yang berarti dalam hidupku. Semua yang kami perjuangkan—semua harapan yang kami pelihara—seolah ambruk begitu saja, hancur oleh takdir yang begitu kejam.
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di pinggir jalan, memandangi dunia yang seakan terus berjalan tanpa peduli padaku. Orang-orang lalu lalang, seolah tak terpengaruh oleh kesedihanku, oleh kehancuranku. Sementara itu, aku hanya bisa merasakan rasa sakit yang mendalam, seolah dunia ini terlalu besar dan aku terlalu kecil untuk bertahan.
Hari itu berakhir tanpa adanya perubahan. Larsen sudah tak ada lagi. Hanya ada diriku yang terperangkap dalam kenyataan pahit yang tak bisa diterima. Kami pernah bermimpi untuk menjalani hidup yang lebih baik—untuk menemukan tempat di dunia ini. Tapi kini, mimpi itu hanya tinggal kenangan, dan aku harus belajar hidup tanpa Larsen.
Aku tahu, di suatu tempat dalam hati ini, Larsen masih hidup—dalam ingatan, dalam setiap langkah yang kami tempuh bersama. Tetapi kenyataan ini terlalu kejam untuk dipahami. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan tentang saudara yang tak akan pernah kembali. Dan aku hanya bisa terus berjalan, tanpa arah, tanpa tujuan, hanya untuk mencoba mengingatkan diriku bahwa meskipun dia telah pergi, Larsen tetap hidup dalam setiap detik yang kujalani.
Kadang, hidup memang nggak kasih kita kesempatan buat bilang selamat tinggal. Yang kita bisa cuma mencoba bertahan dengan kenangan, meski itu sakit.
Kehilangan itu memang nggak mudah, tapi apa yang kita punya—kenangan, cinta, dan waktu yang pernah kita jalani bersama—itu yang akhirnya jadi bagian dari diri kita selamanya. Dan meskipun dunia terus berputar, rasa itu nggak akan pernah hilang.”