Daftar Isi
Siap-siap, ini cerpen yang bakal bikin kamu mikir soal persahabatan dan jatuh bangun hidup. Cerita tentang dua sahabat yang jatuh dari motor bareng, tertawa di tengah rasa sakit, dan akhirnya bangkit lagi bareng-bareng.
Bukan cuma soal kecelakaan, tapi tentang bagaimana kita punya orang yang selalu ada di saat-saat terburuk kita. Gak ada yang lebih seru daripada jatuh bareng, nahan sakit bareng, dan akhirnya bangkit bareng, kan? Yuk, simak ceritanya!
Cerpen Sahabat Jatuh Dari Motor
Tikungan Tak Terduga
Pagi itu, aku dan Bima, seperti biasa, berangkat dari rumah dengan motor tua biru yang kami sebut “si rongsokan.” Bima duduk di belakangku, tangan merangkul bahuku erat-erat, mengingatkan aku untuk lebih berhati-hati, meski tahu pasti aku akan mengabaikannya. Dia selalu begitu—nasehatnya seperti angin yang lewat, mudah datang, mudah pergi. Tapi entah kenapa, aku justru menikmati itu. Kita berdua tahu, hidup itu memang lebih seru kalau ada tantangan, kan?
“Raf, pelan-pelan aja, loh. Gue nggak mau dapet masalah lagi di rumah sakit,” kata Bima sambil menggoyangkan kakinya, mengutak-atik gantungan kunci di saku jaket kulitnya.
“Ya, lo nggak usah khawatir. Motor ini masih kuat kok. Jauh lebih kuat daripada kita berdua.” Aku menjawab sambil tersenyum dan menambah kecepatan motor, merasakan angin berhembus kencang di wajah.
Jalanan Kota Kayamara yang biasanya ramai, siang itu sedikit lebih sepi. Hanya beberapa mobil dan motor yang tampak berjalan. Aku tahu kami harus cepat, karena barang yang kami bawa—meski cuma beberapa alat bengkel—masih harus segera dikirimkan ke tempat lain. Pokoknya, hari ini harus selesai.
Bima tetap saja menggenggam erat bahuku. Setiap kali motor melaju kencang, dia sepertinya semakin merasa nggak nyaman. Dia memang tipe orang yang hati-hati, apalagi kalau urusannya soal keselamatan. Sedangkan aku? Ah, siapa peduli. Aku lebih suka kecepatan.
“Tunggu, lo lihat tuh nggak?” Bima tiba-tiba menunjuk ke depan, membuat aku sedikit menoleh. Tapi sayangnya, itu adalah detik-detik terakhir sebelum kejadian buruk terjadi.
Sebuah mobil pick-up tiba-tiba berhenti di tengah jalan tanpa memberi tanda apapun. Kami nggak punya cukup waktu untuk menghindar. Sekejap, aku melihat rem motor terkunci, dan… brak!
Ban depan motor kehilangan cengkeramannya di atas pasir yang bertebaran di jalan, dan semuanya terjadi begitu cepat.
“Raf!!” Bima teriak, tubuhnya terpental dari motor dan terlempar beberapa meter ke pinggir jalan. Aku? Terjatuh bersama motor yang masih terguling. Kepalaku membentur aspal, dan rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuh.
Aku merasakan kesemutan di beberapa bagian tubuh, namun itu bukanlah yang paling terasa. Yang paling jelas adalah suara Bima yang mengerang dari kejauhan. Aku langsung mencoba berdiri meski kaki rasanya nggak kuat. “Bima!” aku berteriak sambil mencari sahabatku itu.
Bima muncul dari balik mobil yang parkir, berjalan dengan terseok-seok, tangannya memegang sisi kepalanya yang berdarah. “Gue… gue nggak apa-apa, Raf. Lo gimana?”
Aku menatapnya, meringis kesakitan. “Gue… bisa dibilang nggak enak banget, Bi. Tapi lo kelihatan lebih parah,” jawabku sambil melihat darah yang mulai mengalir dari luka di tubuhnya.
Orang-orang mulai berkerumun. Beberapa langsung mengangkat motor yang teronggok di pinggir jalan, sementara yang lain membawa kami ke sisi jalan untuk duduk. Kami seperti dua orang bodoh yang baru saja jatuh dari langit. Padahal, sebelum kejadian ini, kami cuma dua sahabat yang baru selesai kerja dan ingin pulang.
“Lo beneran nggak apa-apa, Bi?” Aku masih nggak percaya kalau dia bisa berdiri dengan kakinya yang pasti terasa sakit.
Bima nyengir, meski wajahnya kelihatan kesakitan. “Nggak apa-apa, Raf. Gue cuma… sedikit pusing, aja. Tapi kalau lo bilang kita jatuh, gue sih nggak bisa menyangkal.”
Aku menggelengkan kepala, menahan tawa meskipun badanku rasanya hampir roboh. “Lo itu, Bi. Sakit, tapi malah ketawa.”
Beberapa orang mulai menelepon ambulan, dan aku merasa mulai kehilangan keseimbangan. Rasa pusing datang begitu saja, ditambah luka-luka yang mulai terasa. “Gue… nggak tahu sih, Bi. Tapi, motor kita kayaknya udah nggak bisa dipake lagi.” Aku tertawa pelan, seakan-akan tidak peduli.
Bima melirikku, matanya berbinar. “Yaudah, lo yang bener. Tapi, jangan sampe lo ngerasa malu ya. Ini karena gue yang duduk di belakang, kan?”
“Lo mau apa, Bi? Gue yang bawa, lo duduk enak-enak di belakang, tiba-tiba diikutin. Namanya juga hidup. Kadang kita harus jatuh dulu buat bangkit,” jawabku dengan nada santai, walaupun di dalam hati aku tahu kalau ini bukan hal yang mudah.
Sebuah mobil ambulan akhirnya datang, dan kami berdua dimasukkan ke dalam. Dalam perjalanan ke rumah sakit, hanya ada suara mesin ambulan yang terdengar. Tapi anehnya, meskipun seluruh tubuh terasa sakit, aku dan Bima malah tertawa lagi.
“Lo ngerti nggak sih, Bi?” aku mulai membuka percakapan, meskipun tak ada yang benar-benar bisa kami percakapkan. “Jatuh begini, ternyata seru juga.”
Bima menatapku dengan tatapan bingung. “Seru? Lo yakin, Raf? Gue lagi sakit banget, loh.”
“Seru, Bi. Karena gue jatuh, lo jatuh. Gue nggak tahu kenapa, tapi pas kita jatuh, gue ngerasa malah lebih dekat sama lo. Gue nggak sendirian,” jawabku sambil menatap langit-langit ambulan.
Bima hanya mengangguk pelan, dan sejenak kami kembali terdiam, hanya mendengar suara nafas kami yang terengah-engah.
Motor Biru dan Aspal Hitam
Kedua tubuh kami akhirnya terbaring di ranjang rumah sakit. Satu ruang gawat darurat yang sepi, hanya diisi dengan suara detak jam dinding yang berirama pelan dan gelegar napas kami yang mulai stabil. Aku menatap langit-langit putih yang bersih, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang perlahan mulai mereda.
Bima masih terdiam di ranjang sebelah. Wajahnya terlihat lebih pucat, meskipun ia berusaha tersenyum, matanya tetap menunjukkan tanda kelelahan yang mendalam. Kami berdua tidak berbicara, hanya berbagi ruang dan rasa sakit yang sama.
“Tadi lo beneran bilang seru, ya?” Bima akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar lemah, tapi ada nada geli di sana. “Gue kira lo udah hilang akal.”
Aku menoleh ke arahnya, sedikit menahan tawa yang hampir keluar. “Lo juga ikut ketawa, kan?” jawabku sambil menyipitkan mata, mencoba menunjukkan kalau aku tahu dia sebenarnya menikmati kegilaan ini.
Bima tertawa pelan, kemudian menutup matanya. “Gue nggak tahu kenapa, tapi mungkin ada sesuatu yang aneh di diri gue, Raf. Gue nggak pernah ngerasa kita bakal jatuh begini. Maksud gue, kita udah sering banget main-main, tapi kali ini beda.”
Aku menatap ke jendela, melihat dunia luar yang tenang, sementara di dalam sini, semuanya terasa sedikit kacau. Semua yang ada di luar sana, yang tampaknya sepi dan damai, terasa begitu jauh. Aku ingat, waktu itu, setelah jatuh, Bima langsung terdiam. Aku nggak tahu dia bener-bener baik-baik aja atau enggak. Dan saat kami digotong ke dalam mobil ambulan, dia hanya menggenggam tanganku dengan erat, seperti memberi tahu kalau semua ini bukan hanya tentang tubuh yang terluka, tapi tentang seberapa jauh kita bisa menjaga satu sama lain.
“Nggak ada yang bisa lebih aneh dari ini, Raf,” lanjut Bima, suara lirih, tapi jelas terdengar. “Gue merasa… kita udah melampaui batas-batas biasa, kan?”
Aku diam. Bagaimana menjelaskan sesuatu yang rasanya terlalu absurd untuk dimengerti? Jatuh dari motor dan tiba-tiba terdampar di rumah sakit—ini seperti adegan film komedi yang terlalu berlebihan, namun kenyataannya justru begitu nyata. Sakitnya bukan hanya pada tubuh, tapi pada kenyataan bahwa hidup kadang benar-benar memberi kejutan yang nggak bisa kita duga.
“Kita kayak dua orang bodoh yang baru aja keluar dari petualangan, Bi. Tapi, entah kenapa, gue merasa lo dan gue nggak akan pernah bisa terpisah. Kita malah semakin deket, nggak sih?” jawabku dengan pelan, mencoba menyelami perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja.
Bima diam. Entah kenapa, kalimatku kali ini berbeda, seakan mengungkapkan hal yang sudah lama tertahan. Setelah beberapa detik yang terasa lama, Bima akhirnya membuka mata, memandangku dengan tatapan yang sulit kubaca.
“Lo bener, Raf. Kadang, hal-hal bodoh kayak gini justru yang bikin kita tahu seberapa jauh kita bisa bertahan bareng. Gue nggak tahu harus bilang apa lagi, karena jujur aja, gue nggak pernah mikirin kita bakal ngalamin ini. Tapi sekarang gue tahu, kalo lo ada di sini, gue bisa ngelewatin apa aja,” katanya sambil sedikit tersenyum, meski ada bekas darah yang masih tersisa di bibirnya.
Aku tertawa pelan, lalu mengusap wajah dengan tangan yang mulai kotor oleh noda luka. “Tapi lo harus siap, Bi. Kalo jatuh lagi, gue janji nggak akan lari. Lo tahu kan, gue nggak akan ninggalin lo?”
Bima mengangguk, dan kali ini kami berdua tertawa lagi, meskipun tubuh masih terasa pegal. Rasanya, meskipun di antara kami ada luka, ada juga semacam pengertian yang lebih dalam, sesuatu yang lebih kuat dari sekadar perasaan sakit.
Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang ke ruangan dengan wajah yang ramah. “Bagaimana kabarnya, kedua pasien kita? Sudah bisa berbicara lagi?”
Kami saling pandang dan tertawa. “Sakit sih, tapi kayaknya lebih sakit karena harus diam di sini,” jawabku, mencoba membuat suasana sedikit lebih ringan.
“Tidak ada yang lebih buruk daripada berbaring di rumah sakit dan nggak bisa bergerak, kan?” ujar Bima dengan nada bercanda.
Perawat itu hanya tersenyum, lalu memeriksa luka-luka kami satu per satu. Setelah selesai, dia memberi tahu bahwa kami akan tetap dirawat selama beberapa hari ke depan, agar benar-benar pulih.
Saat dia keluar dari ruangan, aku dan Bima kembali terdiam, namun kali ini lebih tenang.
“Gue nggak tahu kenapa, Bi, tapi… gue merasa kayak gue udah nggak lagi takut sama apapun. Kalau lo bisa ada di sini, berarti gue bisa ngelewatin hal apapun,” aku mengungkapkan isi hati, meskipun rasanya kata-kata itu masih terasa berat.
Bima mengangguk pelan, kali ini dengan tatapan lebih serius. “Gue juga merasa sama, Raf. Kadang, kita nggak sadar seberapa besar arti kehadiran seseorang sampai kita terjatuh dan butuh mereka untuk bangkit lagi.”
Dan seperti itulah kami—dua sahabat yang tak pernah takut untuk jatuh, asalkan kami bisa bangkit bersama.
Dua Jari di Atas Kertas
Hari ketiga di rumah sakit. Kami sudah mulai terbiasa dengan suasana. Tubuh kami masih terasa pegal, terutama bagian kaki dan punggung yang rasanya seperti dihantam palu. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah ketenangan yang datang setelah badai. Meskipun tak ada yang bisa membenarkan kejadian itu, aku merasa seolah-olah dunia menjadi sedikit lebih sederhana. Bima dan aku kembali berbicara tentang hal-hal kecil, bercanda tentang keadaan kami, bahkan berbagi tawa yang entah kenapa terdengar lebih ceria setelah semua yang terjadi.
Pagi itu, kami berdua duduk di tempat tidur rumah sakit, berhadapan dengan jendela yang sedikit terbuka. Cahaya matahari menembus masuk, menciptakan garis-garis keemasan di atas lantai. Aku masih menatap jendela itu, memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang di luar sana, seolah-olah mereka bisa melaju begitu cepat tanpa memikirkan apa yang terjadi di balik dinding rumah sakit ini. Aku bisa merasakan Bima duduk di sampingku, tubuhnya bergerak-gerak seperti tidak nyaman, tapi dia hanya diam, menunggu aku memulai percakapan.
“Lo tahu, Bi, gue ngerasa… kayak ada yang aneh sekarang. Kayak hidup jadi lebih penuh arti setelah jatuh gini,” aku membuka pembicaraan.
Bima hanya menatapku, lalu tersenyum lebar, seolah dia tahu aku akan berkata seperti itu. “Iya, gue juga ngerasa hal yang sama. Terkadang kita cuma perlu jatuh untuk ngeh bahwa kita masih punya banyak hal yang bisa dihargai, kan?”
Aku tertawa pelan. “Benar juga. Bahkan dari sini, gue bisa melihat dunia berbeda. Kayak… kita hidup dengan dua jari yang terhubung, mencoba menjaga keseimbangan di atas kertas tipis, tapi ternyata, saat kita jatuh, kita baru tahu seberapa kuat kertas itu menahan kita.”
Bima mendengus, mencibir. “Lo aneh banget, Raf. Tapi gue ngerti maksud lo. Mungkin hidup kita memang kayak itu. Kita cuma berjalan di atas garis tipis, kadang berbelok tanpa tahu bakal jatuh atau nggak. Tapi kalau kita tahu kita nggak sendirian, mungkin itu yang bikin kita bisa terus berjalan.”
Aku meliriknya dengan raut wajah serius. Bima menyadari itu, lalu mengangkat alisnya dengan penuh tantangan. “Lo kenapa sih? Gue kan cuma ngomong apa yang lo pikirin. Gue kan nggak perlu kayak lo yang selalu mikirin hal-hal mendalam gitu.”
Kami berdua tertawa, dan untuk beberapa saat, semua rasa sakit dan kelelahan hilang begitu saja.
“Gue cuma mikir, Bi, kita sering banget terjebak dalam rutinitas, kayak kita nggak pernah punya waktu buat berhenti dan mikirin diri kita sendiri. Tapi jatuh kayak gini, semuanya langsung terbuka. Mungkin ini waktu yang pas buat… menyadari banyak hal,” aku melanjutkan dengan lebih serius.
Bima mengangguk pelan. “Gue ngerti, Raf. Kita sering banget nggak sadar apa yang udah ada di depan kita. Mungkin sekarang kita butuh waktu buat ngerasain semua ini. Jadi nggak cuma tentang jatuh, tapi juga tentang belajar untuk bangkit.”
Satu hal yang aku sadari adalah bahwa meskipun kami berbicara tentang hal-hal filosofis yang biasanya terdengar klise, kali ini kata-kata itu terasa lebih berat dan dalam. Aku tahu, setiap patah kata yang keluar dari mulut kami adalah cerminan dari perasaan yang selama ini terpendam, yang mungkin nggak pernah kami ungkapkan satu sama lain.
Namun, meskipun berbicara tentang perasaan itu penting, kami berdua juga nggak bisa berhenti tertawa. Ini adalah cara kami menghadapinya. Meski kami terbaring di tempat tidur rumah sakit, kami tetap bisa mencari celah untuk tawa.
Sebuah suara mengetuk pintu kamar rumah sakit, dan perawat yang sama datang dengan senyum cerah. “Wah, sepertinya kalian sudah mulai lebih baik, ya?”
Kami berdua tersenyum ke arahnya, meskipun tubuh masih terasa seperti hancur. “Iya, kami cuma butuh waktu sedikit lebih lama untuk pulih,” jawabku sambil menatap Bima, yang kini terlihat sedikit lebih cerah dari sebelumnya.
Perawat itu kemudian memberitahu kami bahwa kami bisa pulang besok. Perasaan lega langsung meresap ke dalam tubuh kami. Aku tahu, meskipun jalan untuk pulih masih panjang, kami bisa melewati ini bersama.
Bima menatapku dengan serius, seolah ingin mengucapkan sesuatu yang penting. “Raf,” katanya perlahan, “Setelah semua ini, lo tahu nggak, gue berasa… lebih menghargai lo sebagai sahabat, lebih dari sebelumnya.”
Aku terdiam, merasa sesuatu menghangat di dalam dada. “Gue juga, Bi. Kadang kita terlalu sibuk dengan hidup kita sendiri, nggak sadar seberapa berartinya kita satu sama lain. Tapi lo harus tahu, kita ini nggak cuma sahabat. Kita kayak saudara.”
Bima tersenyum lebar. “Setuju, Raf. Kita lebih dari itu. Kita bukan cuma sahabat yang jatuh bareng, tapi kita yang bangkit bareng.”
Saat dia berkata begitu, aku merasa ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Ada ikatan yang tak terucapkan, sebuah pengertian yang hanya bisa kami rasakan berdua.
Kami berdua terdiam, dan hanya ada suara tawa yang memecah keheningan, meskipun dengan segala luka yang masih terasa, kami tahu kami akan terus berjalan bersama, apa pun yang terjadi.
Jatuh dan Bangkit Bersama
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan akhirnya kami pulang dari rumah sakit. Walaupun masih ada rasa sakit yang menempel di tubuh kami, ada hal baru yang kami bawa pulang—kesadaran. Kesadaran bahwa apapun yang terjadi, kami berdua sudah lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih siap menghadapi apapun bersama.
Kamar tidurku kini terasa lebih sepi, lebih tenang, bahkan sedikit membosankan tanpa Bima yang biasanya ada di sana, tertawa, berbicara tanpa henti. Kami berdua akhirnya memutuskan untuk benar-benar memulihkan diri. Bima lebih sering menghabiskan waktu di rumah, hanya sesekali keluar untuk jalan-jalan ringan atau sekadar membeli makan. Kami tidak buru-buru. Kami sadar bahwa pemulihan fisik dan mental tidak bisa dipaksakan.
Satu minggu setelah kejadian itu, aku merasa ada yang berubah dalam diri kami. Ada percakapan yang lebih dalam, ada tawa yang lebih lepas, dan ada rasa saling memahami yang makin kuat. Kami akhirnya duduk berdua di bangku taman dekat rumah, menikmati sore yang tidak terlalu panas, hanya sedikit angin yang berhembus pelan.
Bima menyenderkan tubuhnya ke belakang, lalu mengangkat kaki ke atas meja kayu. “Gue cuma pengen bilang, Raf,” katanya dengan nada yang lebih serius, tapi tetap ringan, “Lo pernah tahu nggak sih, gimana rasanya tiba-tiba merasa kehilangan arah?”
Aku menoleh padanya, merasa percakapan ini akan menuju ke sesuatu yang lebih dalam. “Gue ngerti, Bi. Kadang hidup memang kayak gitu. Tiba-tiba ada sesuatu yang ngebuat kita jatuh, dan kita nggak tahu harus gimana. Tapi yang gue tahu, gue nggak akan pernah ninggalin lo, loh. Kita sama-sama jalan, kan?”
Bima menatapku dengan pandangan yang penuh makna. “Iya, kita jalan bareng. Mungkin kalau lo nggak ada waktu itu, gue nggak tahu gimana gue bisa bangkit. Tapi setelah semuanya, gue jadi lebih ngerti, Raf. Kalau kita berdua ini bukan cuma teman, lebih dari itu. Kita saudara.”
Aku terdiam sejenak, merenung. Entah kenapa, kata-kata Bima kali ini terasa sangat dalam. Mereka bukan sekadar kata-kata manis yang biasa diucapkan sahabat. Ini lebih dari itu. Mungkin aku juga merasakannya, tapi tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.
“Lo nggak tahu, Bi,” aku mulai berbicara pelan, mencoba merangkai kata, “Terkadang gue merasa kita ini lebih dari sekedar sahabat. Gue nggak pernah merasa takut jatuh kalau lo ada di sini. Gue tahu kita bisa ngelewatin apapun, karena kita saling punya.”
Bima tersenyum, lalu mengangguk. “Itulah yang gue cari, Raf. Seseorang yang nggak cuma ada buat ketawa bareng, tapi juga ada di saat kita jatuh dan nggak tahu harus kemana.”
Saat itu, dunia terasa lebih kecil. Terkadang, kita hanya butuh seseorang yang ada di samping kita, yang siap berbagi rasa sakit, tawa, dan bahkan air mata. Sahabat sejati tidak selalu bisa mengubah keadaan, tapi mereka bisa mengubah cara kita melihat dunia.
Kami duduk diam beberapa saat, menikmati suara alam dan ketenangan yang mulai melingkupi kami. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada yang harus dipaksakan. Kami hanya berdua, bersama semua kenangan yang membentuk hubungan kami.
Akhirnya, aku mengambil napas dalam-dalam dan menatap langit yang mulai berubah warna. “Bi, gue sadar sesuatu. Semua yang terjadi—jatuh dari motor, masuk rumah sakit—itu nggak hanya buat ngebuat kita sadar seberapa rapuh kita. Tapi juga buat ngebuktiin bahwa kita punya pilihan. Kita bisa memilih untuk jatuh, atau memilih untuk bangkit.”
Bima menatapku dengan senyum yang tulus. “Dan gue pilih bangkit, Raf. Kita bangkit bersama. Kita nggak akan jatuh lagi.”
Aku tersenyum lebar. “Kita nggak akan jatuh lagi, Bi. Kita berdua.”
Dengan itu, kami berdua berjalan pulang, tanpa kata-kata, hanya dengan perasaan yang penuh makna. Kami tahu perjalanan hidup kami masih panjang. Akan ada rintangan yang lebih besar, akan ada kegagalan, akan ada hal-hal yang tak terduga. Tapi dengan satu hal yang pasti—kami akan selalu bangkit, selalu bersama.
Dan di situlah, kami berdua sadar bahwa mungkin, tidak ada yang lebih penting daripada memiliki seseorang yang akan tetap ada, tak peduli berapa kali kita jatuh.
Dan akhirnya, mereka berdua sadar—bahwa dalam hidup, jatuh itu biasa, tapi yang penting adalah siapa yang ada di samping kita untuk bangkit kembali. Persahabatan mereka bukan cuma soal tawa, tapi juga soal saling mendukung di setiap jatuh dan bangkit.
Karena sejatinya, hidup ini nggak tentang seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa sering kita bisa bangkit, dan siapa yang tetap ada untuk kita. Begitulah kisah dua sahabat yang nggak pernah benar-benar terpisah, meski pernah jatuh bareng.