Cerpen Romantis SMA: Perjalanan Belajar dan Cinta yang Tumbuh di Sekolah

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasain pertama kali ketemu sama orang yang bisa bikin hari-harimu beda? Kayak, awalnya cuma belajar bareng, tapi entah kenapa kok bisa bawa perasaan yang aneh banget?

Nah, cerpen ini bakal ngenalin kamu ke Mika dan Evan, dua anak SMA yang awalnya cuma saling kenal, tapi siapa sangka kalau semua itu berujung jadi sesuatu yang lebih? Yuk, ikutin ceritanya dan rasain sendiri gimana perjalanan cinta mereka dimulai di balik buku pelajaran!

 

Cerpen Romantis SMA

Di Bangku Belakang dan Senyuman Pertama

Aula besar itu ramai, penuh dengan siswa baru yang berseragam rapi. Beberapa duduk berkelompok, bercanda, dan sibuk saling mengenalkan diri. Beberapa lagi berdiri canggung, jelas-jelas merasa asing di tengah kerumunan. Di salah satu pojok aula, seorang gadis dengan rambut pendek dan wajah penuh ekspresi sibuk mencoret-coret buku catatannya. Dia tampak tak peduli dengan hiruk pikuk di sekitarnya, seolah dunia luar hanya sekadar latar belakang.

Di sisi lain aula, Evan duduk sendiri, memperhatikan suasana. Sambil memegang kertas panduan kegiatan orientasi, dia mencoba mencari tempat duduk yang nyaman, jauh dari keramaian. Tapi matanya tertumbuk pada gadis itu. Bukan karena dia berbeda, tapi karena cara dia tampak begitu tenggelam dalam dunianya sendiri.

Ketika akhirnya panitia meminta semua siswa duduk di kursi yang tersedia, Evan menemukan dirinya di barisan yang sama dengan gadis itu. Entah karena kebetulan atau takdir, dia duduk tepat di belakangnya. Dari tempatnya, dia bisa melihat halaman buku catatan gadis itu yang penuh dengan coretan warna-warni—doodle bunga kecil di samping daftar tugas orientasi.

Setelah acara sambutan selesai, mereka diarahkan ke ruang kelas masing-masing. Evan dan gadis itu ternyata berada di kelas yang sama. Saat masuk kelas, beberapa siswa sudah sibuk memilih tempat duduk. Gadis itu, seperti sebelumnya, memilih tempat di barisan tengah dekat jendela. Evan, tanpa banyak berpikir, memilih duduk di belakangnya.

Jam pertama orientasi berjalan lambat. Guru yang mengisi waktu hanya memperkenalkan diri dan menjelaskan aturan sekolah. Evan menguap kecil, mencoba menahan bosan. Gadis di depannya terlihat sibuk lagi dengan buku catatannya. Kali ini dia menggambar awan kecil di sudut halaman.

Ketika guru selesai berbicara dan meninggalkan kelas, suasana langsung riuh. Beberapa siswa mulai saling berkenalan, sementara yang lain masih sibuk dengan ponsel mereka. Evan, merasa tak ada yang menarik, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan gadis di depannya.

“Kamu nulis apa sih dari tadi?” tanyanya pelan, sedikit ragu.

Gadis itu menoleh, alisnya naik sedikit. “Kenapa? Kamu kepo?”

Evan terkesiap. Nada bicaranya terdengar tajam, tapi matanya justru menunjukkan rasa ingin tahu. “Ya, cuma penasaran aja. Kayaknya seru banget sampai nggak peduliin guru tadi.”

Dia tersenyum tipis, lalu membalik buku catatannya ke arah Evan. “Cuma coretan. Nggak penting kok.”

Evan mengamati halaman itu. Ada daftar tugas yang diberi tanda warna-warni, gambar awan kecil, dan beberapa catatan tentang jadwal kegiatan orientasi. “Kamu suka bikin catatan warna-warni gini, ya?”

Dia mengangkat bahu. “Biar lebih gampang ingat. Lagian, aku suka aja gambar-gambar kecil kayak gini.”

Evan tersenyum. “Kayaknya kamu orang yang sibuk, ya?”

“Sibuk? Nggak juga. Tapi aku suka semuanya teratur. Kalau nggak, rasanya pusing.”

Hari itu berlalu dengan kegiatan orientasi yang tak jauh berbeda. Saat istirahat siang, Evan duduk di kantin sendirian, memegang roti dan kotak susu. Dari sudut matanya, dia melihat gadis itu duduk di meja yang lebih kecil, sendirian pula. Dia membawa kotak bekal yang sederhana, tapi terlihat rapi, lengkap dengan buah potong.

Evan berpikir sejenak sebelum akhirnya bangkit dan menghampirinya. “Boleh gabung?” tanyanya.

Gadis itu menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Silakan.”

Mereka makan dalam diam beberapa saat, sampai akhirnya Evan memecah keheningan. “Nama kamu siapa, sih? Dari tadi aku nggak tahu.”

Dia tersenyum kecil. “Mikaela. Tapi biasanya aku dipanggil Mika.”

“Oh, aku Evan.”

Mika mengangguk sambil mengunyah potongan apel. “Evan… Kamu anaknya diem, ya? Tapi kok sekarang banyak ngomong?”

Evan tertawa kecil. “Aku nggak diem. Aku cuma nggak suka basa-basi.”

“Berarti aku spesial dong, kalau kamu mau basa-basi sama aku.”

“Kayaknya sih iya.” Evan tersenyum, kali ini lebih lebar.

Mika hanya mendengus, tapi ada sedikit warna merah di pipinya. Itu momen kecil yang sederhana, tapi bagi Evan, itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar—awal yang tak akan dia biarkan hilang begitu saja.

 

Catatan Bergambar dan Persahabatan Tak Terduga

Keesokan harinya, ruang kelas penuh dengan suara gemerisik buku dan gumaman siswa yang masih saling beradaptasi. Mika duduk di tempat biasanya, dekat jendela. Dia sudah sibuk dengan buku catatannya, seperti biasa. Tapi kali ini, Evan memperhatikan ada sesuatu yang berbeda. Sebuah buku baru dengan sampul biru tua tergeletak di mejanya.

“Apa lagi tuh?” Evan bertanya sambil meletakkan tasnya di meja.

Mika menoleh sekilas, lalu menutup bukunya dengan hati-hati. “Buku rahasia.”

“Rahasia? Jadi kamu juga suka nulis diary?” goda Evan, berusaha membuat Mika bicara lebih banyak.

Dia mendengus pelan. “Bukan diary. Catatan ide-ideku aja. Kalau aku bilang ini untuk jadi ‘master plan hidupku,’ kamu bakal ketawa, ya?”

Evan terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Kenapa aku harus ketawa? Kedengarannya keren.”

Mika melirik Evan, kali ini dengan tatapan lebih serius. “Beneran? Kamu nggak ngerasa itu… gimana ya, terlalu ambisius?”

“Justru bagus. Kamu tahu apa yang kamu mau, kan? Banyak orang nggak punya itu.”

Mika tidak menjawab, tapi bibirnya melengkung dalam senyum samar. Tanpa mereka sadari, percakapan kecil itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda.

Saat istirahat, Mika kembali mengeluarkan buku catatan kecilnya, kali ini di kantin. Evan duduk di depannya, menatap dengan penasaran. “Jadi, apa yang kamu tulis sekarang?”

Mika berhenti sejenak, lalu menyerahkan buku itu padanya. “Lihat aja.”

Evan mengambil buku itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada sketsa sederhana sebuah diagram waktu yang penuh warna. Di bagian atas halaman tertulis: “Roadmap Ke Universitas Impian” dengan gambar kecil sebuah topi toga di sudutnya.

“Kamu udah mikirin ini jauh banget, ya,” gumam Evan.

Mika tersenyum kecil. “Aku nggak punya pilihan. Orangtuaku selalu bilang aku harus masuk universitas terbaik. Kalau nggak, aku bakal dianggap gagal.”

Evan menatapnya, sedikit terkejut dengan nada bicaranya yang tiba-tiba berubah. “Kamu ngerasa tertekan, ya?”

Dia mengangkat bahu. “Nggak terlalu, sih. Aku memang suka belajar. Tapi kadang… aku cuma pengen belajar untuk diriku sendiri, bukan untuk memenuhi ekspektasi mereka.”

Suasana di antara mereka berubah sedikit lebih serius. Evan, yang biasanya hanya mendengarkan, akhirnya berkata, “Kalau gitu, kenapa kamu nggak bikin jalanmu sendiri? Tetap belajar yang kamu suka, tapi nggak perlu terlalu keras sama diri sendiri.”

Mika menatap Evan dalam-dalam. “Kamu bilangnya gampang banget. Tapi, emang ada cara kayak gitu?”

“Aku nggak tahu pasti. Tapi kalau kamu perlu bantuan, aku bisa bantu. Maksudku… belajar bareng atau apalah.”

Mika tersenyum tipis. “Kamu? Ngebantu aku belajar? Kamu bahkan masih struggling sama aljabar kemarin.”

Evan tertawa kecil. “Iya sih, tapi aku bisa belajar sambil bantu kamu. Hitung-hitung aku dapat pelajaran bonus.”

Mika akhirnya tertawa, tawa yang tulus kali ini. “Oke, deal. Tapi kalau nanti nilaimu tetap jelek, aku nggak tanggung jawab, ya.”

Sore itu, setelah jam pelajaran selesai, mereka memutuskan untuk tinggal di perpustakaan. Mika membawa sekumpulan buku latihan, sementara Evan membawa satu buku catatan kosong.

“Kita mulai dari mana?” tanya Evan sambil membuka buku.

Mika mengambil pena warna-warni dari tempat pensilnya. “Kita mulai dari hal yang paling dasar. Kamu ngerti tentang persamaan linier, kan?”

“Sejujurnya… nggak.”

Mika mendesah panjang. “Oke, dengar. Aku bakal bikin ini sesimpel mungkin. Anggap aja persamaan itu kayak jalan setapak. Kalau kamu tahu dari mana kamu mulai, dan tahu di mana kamu harus berhenti, kamu tinggal nyari cara tercepat buat sampai sana.”

Dia mulai menggambar jalan kecil dengan tanda panah di buku Evan, sambil menjelaskan langkah-langkahnya. Untuk pertama kalinya, Evan merasa matematika jadi masuk akal.

“Aku ngerti!” katanya dengan antusias setelah Mika selesai.

Mika tertawa kecil. “Tuh kan, nggak sesulit itu kalau kamu mau belajar.”

Mereka terus belajar hingga sore, membicarakan hal-hal kecil di sela-sela latihan soal. Perlahan, hubungan mereka bukan lagi sekadar teman sekelas yang saling mengenal, tapi mulai membangun ikatan yang lebih dalam.

Saat mereka berpisah di gerbang sekolah, Mika sempat berbalik dan melambaikan tangan. “Besok kita belajar lagi, ya?”

Evan mengangguk. “Oke, tapi aku yang pilih topiknya. Gantian.”

Mika tersenyum. “Deal. Jangan lupa bawa buku, Evan. Kalau nggak, kamu bakal ketinggalan lagi.”

Ketika Mika pergi, Evan berdiri di sana, merasakan sesuatu yang baru di dadanya. Hari-hari bersama Mika mulai menjadi momen yang dia tunggu-tunggu. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuat segalanya terasa berbeda—lebih cerah, lebih penuh warna.

Tapi, di balik semua itu, Evan tahu ada banyak cerita yang belum Mika katakan. Dan dia ingin menjadi orang yang mendengarkannya.

 

Robot Aljabar dan Rahasia di Perpustakaan

Suasana di perpustakaan sore itu berbeda dari biasanya. Sunyi yang nyaman menyelimuti ruangan, hanya sesekali dipecahkan oleh suara lembaran buku yang dibalik atau langkah kaki pelan para siswa. Di meja pojok dekat rak buku sains, Evan dan Mika kembali berkumpul dengan tumpukan buku pelajaran dan alat tulis berwarna-warni.

“Aku serius, Mika. Matematika kayak robot yang ngikutin perintah, tapi aku nggak ngerti gimana caranya ngerancang programnya,” kata Evan sambil menatap soal di depannya dengan ekspresi putus asa.

Mika terkekeh pelan. “Robot? Wah, itu perumpamaan baru. Tapi oke, kita pakai logika itu.”

Dia meraih pensil dan menggambar kotak-kotak kecil di buku latihan Evan. “Anggap aja setiap kotak ini perintah buat robot kamu. Kalau robot ini jalan ke kiri, berarti kamu harus ngurangin angka. Kalau dia jalan ke kanan, kamu tambah. Nah, tujuan akhirnya adalah sampai di hasil yang diminta.”

Evan menatap gambar itu dengan mata berbinar. “Oke, aku ngerti sekarang. Jadi kayak nuntun robot buat sampai tujuan.”

“Exactly,” Mika menjawab sambil tersenyum bangga.

Evan mencoba menyelesaikan soal berikutnya dengan metode itu, dan untuk pertama kalinya, dia berhasil tanpa bantuan. “Mika, kamu jenius banget,” katanya penuh semangat.

Mika menahan tawa. “Baru tahu? Aku kan emang selalu jenius.”

“Aku serius, lho. Kalau kamu mau jadi guru matematika, aku rasa murid-murid bakal nempel terus ke kamu.”

Mika pura-pura berpikir. “Hmm… Guru? Kayaknya nggak deh. Aku lebih suka jadi arsitek. Aku pengen bangun rumah buat orang-orang yang nggak mampu.”

Evan terdiam. Dia tak menyangka Mika yang terlihat begitu perfeksionis punya cita-cita yang terdengar sederhana, tapi sangat berarti. “Keren, Mika. Kamu nggak cuma pintar, tapi juga punya hati.”

Mika terdiam sebentar sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke jendela. “Kamu terlalu sering muji. Jangan bikin aku GR.”

Evan hanya tersenyum kecil, lalu kembali menulis. Tapi di dalam hatinya, dia tahu Mika berbeda. Di balik sifatnya yang kadang dingin atau bercanda sarkastik, ada jiwa yang lembut dan tulus.

Setelah mereka menyelesaikan sesi belajar sore itu, Mika tiba-tiba menatap Evan serius. “Evan, kamu tahu nggak kalau perpustakaan ini punya ruang rahasia?”

Evan mengernyit. “Ruang rahasia? Apaan tuh? Kamu bercanda?”

Mika menggeleng. “Beneran. Aku nemu waktu lagi iseng nyari buku minggu lalu.”

Tanpa banyak berkata, Mika bangkit dan melangkah ke rak buku tua di sudut ruangan. Evan mengikutinya, setengah ragu. Mika berhenti di depan rak yang berisi buku-buku dengan sampul tebal, lalu menarik salah satu buku yang terlihat tak terpakai.

Rak itu bergeser perlahan, memperlihatkan pintu kecil di belakangnya. Evan membelalak. “Kamu serius? Ini kayak di film-film.”

Mika tersenyum penuh kemenangan. “Tunggu sampai kamu lihat isinya.”

Mereka masuk ke dalam ruangan kecil itu. Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk membuat siapa pun terkesima. Dinding-dindingnya penuh dengan papan tulis yang sudah ditulisi rumus-rumus dan catatan-catatan kecil, seperti laboratorium mini.

“Aku nggak tahu siapa yang punya ini, tapi tempat ini keren banget,” kata Mika sambil menyentuh salah satu papan.

Evan melihat-lihat, mencoba membaca beberapa catatan. “Ini kayak tempat persembunyian siswa yang jenius. Mungkin ada seseorang yang nggak mau diganggu waktu belajar.”

Mika mengangguk. “Mungkin. Tapi aku suka tempat ini. Kayak surga buat orang yang suka belajar.”

Mereka duduk di lantai, menikmati suasana ruangan itu. Mika mulai mencoret-coret di salah satu papan tulis kecil, sementara Evan membaca salah satu buku yang tergeletak di meja.

“Mika, kamu pernah ngerasa tempat kayak gini bikin kamu tenang, nggak?” Evan bertanya tiba-tiba.

Mika berhenti menulis dan menatapnya. “Tenang? Ya, mungkin. Aku suka tempat yang sepi. Kadang rasanya dunia luar terlalu berisik.”

Evan mengangguk pelan. “Aku ngerti. Mungkin itu kenapa aku suka belajar bareng kamu. Rasanya lebih… nyaman.”

Mika tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Di dalam ruang kecil itu, mereka menemukan kenyamanan dalam keheningan—sebuah ikatan yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Saat mereka keluar dari ruang rahasia itu, perpustakaan sudah hampir kosong. Matahari sore mulai memudar, dan suara jangkrik terdengar di kejauhan.

“Besok kita ke sini lagi?” tanya Evan sambil mengunci pintu kecil itu dengan hati-hati.

Mika mengangguk. “Tentu. Tapi kali ini, kita bawa misi baru. Aku mau kita coba bikin robot aljabar beneran.”

Evan tertawa. “Robot beneran? Serius?”

“Kenapa nggak? Kita bisa bikin dari konsep yang aku jelasin tadi. Anggap aja eksperimen.”

Evan menatap Mika dengan takjub. “Kamu selalu punya ide gila, ya. Tapi oke, aku ikut. Selama kamu nggak bikin robot itu lebih pintar dari aku.”

Mika tertawa kecil sambil melangkah keluar. “Evan, nggak perlu robot buat lebih pintar dari kamu.”

Mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah, dengan perasaan yang entah kenapa begitu ringan. Di hati Evan, ada rasa kagum yang tumbuh, bercampur dengan rasa penasaran tentang Mika. Sedangkan di hati Mika, ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini dia sembunyikan.

Hari-hari mereka di SMA baru saja dimulai, tapi setiap langkah terasa seperti lembaran baru yang penuh warna.

 

Menyusun Langkah Baru

Hari demi hari berlalu, dan Mika serta Evan semakin dekat, meski jarang ada yang benar-benar mengungkapkan perasaan mereka. Setiap pertemuan di ruang rahasia perpustakaan, setiap sesi belajar bareng, dan setiap obrolan santai di bawah pohon rindang di halaman sekolah semakin mengikat mereka dalam sebuah ikatan yang tak terucapkan. Mika, yang biasanya tampak dingin dan sulit dijangkau, mulai memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Dan Evan, yang awalnya terlalu fokus pada angka-angka dan rumus, kini merasakan sesuatu yang lebih daripada sekadar pelajaran.

Pagi itu, saat bel tanda pelajaran dimulai, Evan menunggu di depan kelas seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mika datang lebih awal dari biasanya, berjalan dengan langkah pasti dan senyum ringan di wajahnya.

“Kamu kelihatan lebih cerah hari ini,” kata Evan dengan sedikit terkejut saat melihat Mika mendekat.

Mika tersenyum, bukan senyum canggung seperti biasanya, melainkan senyum penuh percaya diri. “Iya, sepertinya aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru ini.”

“Apa maksudnya?” Evan bertanya, masih bingung.

“Belajar bersama kamu, ngerjain soal-soal rumit, sampai ngobrol tentang hal-hal aneh… Ternyata seru juga. Aku nggak pernah tahu sekolah bisa terasa seperti ini,” jawab Mika sambil duduk di bangkunya.

Evan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Ada kedamaian yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Seolah-olah, semua hal yang mereka lakukan bersama telah membuka sisi lain dari Mika yang selama ini tersembunyi. Mika yang selalu tampak sibuk, sempurna, dan jauh dari siapapun, kini seolah sudah menemukan tempat di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri.

Di tengah kelas, pelajaran mulai berjalan, tapi pikiran Evan tak bisa lepas dari obrolan mereka pagi itu. Begitu banyak hal yang belum dia ungkapkan. Begitu banyak perasaan yang tak terucapkan. Tapi satu hal yang pasti: dia ingin lebih banyak waktu bersama Mika, lebih banyak kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam.

Jam pelajaran berlalu tanpa terasa. Begitu bel berbunyi tanda waktu istirahat, Mika mengajak Evan untuk pergi ke taman sekolah.

“Kenapa ke taman?” tanya Evan, yang masih belum mengerti dengan arah pembicaraan mereka.

Mika hanya tersenyum. “Karena aku ingin kita berbicara tentang sesuatu. Sesuatu yang sudah lama aku pendam.”

Evan merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Apa itu?”

Mika berhenti sejenak di bawah pohon besar di taman, melihat langit biru yang cerah. “Aku… aku nggak pernah bilang ini ke siapa pun, Evan. Tapi aku merasa nyaman dengan kamu. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa… kamu nggak seperti yang lain. Kamu membuatku merasa lebih… manusiawi.”

Evan terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Mika. Tidak ada gurauan, tidak ada sindiran. Hanya kejujuran yang datang dari dalam hati. Sesuatu yang sangat berbeda dengan Mika yang biasanya.

“Aku juga merasa sama,” jawab Evan, suaranya hampir berbisik. “Mika, aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi sejak kita mulai belajar bareng, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang… yang nggak bisa aku jelaskan. Kamu… membuat dunia ini jadi lebih hidup.”

Mika menatapnya dengan mata yang penuh makna. “Jadi, kita ini apa sekarang, Evan? Apa yang harus kita lakukan dengan semua perasaan ini?”

Evan menarik napas dalam-dalam, merasa seperti beban yang selama ini ada di dadanya mulai terangkat. “Aku nggak tahu, Mika. Tapi aku ingin kita terus seperti ini. Aku ingin kita terus belajar bersama, berbicara bersama, dan menikmati setiap momen yang ada. Aku nggak perlu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya tahu, aku ingin melanjutkan ini bersamamu.”

Mika tersenyum lagi, kali ini lebih tulus daripada sebelumnya. “Kalau begitu, ayo kita mulai langkah baru ini. Langkah yang lebih baik, lebih jelas, dan lebih berani.”

Mika menggenggam tangan Evan dengan lembut, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Evan merasa bahwa dunia ini tidak lagi sekadar tentang angka-angka dan rumus yang membingungkan. Dunia ini lebih dari itu. Dunia ini tentang ikatan, tentang perjalanan bersama seseorang yang bisa membuatmu merasa lebih baik, lebih hidup, dan lebih berarti.

Di bawah pohon besar itu, di tengah hiruk-pikuk sekolah yang terus berjalan, mereka berdua menemukan sebuah jalan baru—jalan yang penuh kemungkinan, penuh harapan, dan yang terpenting, penuh dengan perasaan yang selama ini tersembunyi.

Hari pertama di SMA ini telah membawa mereka pada sebuah awal yang tak terduga. Mereka berdua tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: mereka akan melangkah bersama, dan itu sudah cukup.

 

Dan begitulah, cerita Mika dan Evan berlanjut, dengan langkah yang lebih pasti dan hati yang semakin dekat. Kadang, cinta itu nggak perlu dipaksakan, cukup dengan waktu, perasaan yang tumbuh perlahan, dan sedikit keberanian untuk saling mengerti.

Siapa tahu, mungkin kisah mereka ini mirip banget sama kisah kamu juga, kan? Jadi, semoga kamu bisa nemuin cinta yang sama manisnya di jalan hidupmu. Sampai jumpa di cerita lainnya!

Leave a Reply