Daftar Isi
Lagi cari cerita liburan sekolah yang enggak biasa dan penuh rasa? Cerpen ini bakal bawa kamu ke sebuah desa bernama Selasih, tempat dua orang anak muda nemuin lebih dari sekadar ketenangan—mereka nemuin makna, tawa, dan cinta yang tumbuh pelan-pelan.
Gaya ceritanya santai, romantisnya pas, dan dijamin bikin kamu senyum-senyum sendiri. Yuk, baca kisah lengkapnya dan rasain vibe liburan bareng pasangan yang beda dari biasanya!
Cerpen Romantis
Payung Lusuh dan Janji Liburan
Kereta meluncur perlahan, melewati hamparan sawah yang memantulkan langit pagi. Di dalam gerbong kelas ekonomi yang tak pernah benar-benar senyap, Amanta duduk bersandar pada jendela, matanya sesekali melirik ke arah Devar yang sibuk mencoret-coret buku sketsa di pangkuannya.
“Aku yakin ini bakal jadi liburan paling absurd yang pernah kita jalanin,” ucap Amanta sambil nyengir, matanya tak lepas dari pemandangan luar.
Devar mengangkat kepala, menatap gadis itu dengan alis naik sebelah. “Absurd kenapa dulu?”
“Ya karena kita milih kota yang bahkan Google Maps harus mikir dua kali buat nampilin namanya.”
Devar terkekeh, lalu melipat buku sketsanya. “Justru itu yang bikin menarik. Aku capek ke tempat yang udah dipijak ribuan kaki. Aku pengen jalan di tanah yang belum banyak orang tahu. Kayak—kita lagi nyiptain tempat sendiri.”
Kereta berhenti di stasiun kecil bernama Lojanan, satu-satunya tempat transit sebelum mereka melanjutkan perjalanan naik kapal kayu ke Selasih. Langit mulai gelap, awan menggumpal seperti tumpukan kapas basah yang lupa dijemur. Saat mereka turun dari kereta, hujan langsung jatuh begitu saja, seperti anak kecil yang nggak sabaran main air.
“Ya ampun, seriusan? Hujan sekarang?” Amanta mengeluh sambil menarik jaketnya lebih rapat. “Kamu bawa payung enggak?”
“Enggak. Tapi… tuh, ada yang jual di ujung jalan,” jawab Devar sambil menunjuk ke arah seorang lelaki tua yang berdiri di bawah atap seng, menjajakan beberapa payung dengan warna-warna yang pudar.
Tanpa banyak pikir, mereka berlari ke arah penjual itu, menghindari genangan yang mulai merayap di sepanjang trotoar. Devar memilih payung berwarna hijau tosca, dengan bagian ujungnya yang sedikit robek, lalu menyerahkannya ke Amanta.
“Ini… kayak kamu,” katanya sambil senyum usil.
Amanta menyipitkan mata. “Maksudnya? Lusuh dan sobek?”
“Nggak. Unik dan anti-mainstream,” sahut Devar cepat. “Dan… tetap cantik walaupun enggak sempurna.”
Mereka tertawa, lalu berjalan beriringan di bawah payung setengah robek itu. Jalanan becek, tapi tak satu pun dari mereka keberatan. Justru suasana itu yang bikin segalanya terasa berbeda—nyaman, tenang, dan jujur.
Setelah hampir dua jam perjalanan tambahan menggunakan kapal kayu, akhirnya mereka sampai di dermaga kecil Selasih. Angin laut menyambut dengan aroma asin dan suara burung camar yang terbang rendah. Kota itu tampak seperti lukisan tua yang masih hidup—bangunan-bangunan kayu berjajar di pinggir jalan, papan nama penginapan bergoyang tertiup angin, dan suara musik dari radio lawas terdengar samar dari warung di sudut pelabuhan.
Penginapan tempat mereka menginap bernama “Rama Laut”. Bangunannya dua lantai, cat birunya memudar, tapi balkon kamarnya langsung menghadap laut. Pemiliknya, seorang wanita tua bernama Bu Mirah, menyambut mereka dengan senyum dan teh panas.
“Kalian pasangan yang dari Jakarta itu, ya?” tanyanya sambil menyodorkan kunci kamar.
Amanta dan Devar mengangguk bersamaan. “Iya, Bu. Maaf ya kalau kami ganggu… suasana tenang di sini.”
“Tenang aja. Kalian justru bawa suasana muda ke kota ini,” sahut Bu Mirah, matanya berkilat jenaka.
Setelah meletakkan barang di kamar, mereka duduk di balkon, menikmati sore pertama di Selasih. Laut tampak tenang, memantulkan cahaya jingga yang perlahan menari di permukaannya. Angin berhembus pelan, membawa aroma ikan asin dari warung sebelah.
“Aku suka tempat ini,” gumam Amanta, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin.
Devar menoleh. “Padahal baru sehari.”
“Iya, tapi rasanya kayak… udah lama kita nyari tempat kayak gini. Aku pengen hari-hari kita selama di sini… pelan aja. Nggak usah buru-buru.”
Devar hanya mengangguk, lalu menyenderkan punggungnya ke kursi kayu. Di dadanya, ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Seperti ketika menemukan sesuatu yang sudah lama dicari, tanpa sadar ternyata selalu dekat.
Sore menjelang malam, listrik sempat padam. Tapi mereka tetap duduk di balkon, ditemani cahaya lilin yang dibawa Bu Mirah dan suara debur ombak yang terdengar seperti lagu pengantar tidur. Tak banyak kata yang diucap, hanya kehadiran yang terasa penuh.
Dan malam itu, saat hujan rintik kembali turun dan payung lusuh mereka tergantung di gagang pintu kamar, Amanta tersenyum pelan sambil bersandar ke bahu Devar.
“Janji ya, liburan ini enggak akan kita lupain,” bisiknya.
Devar menoleh dan menatapnya lama. “Janji. Tapi aku yakin… liburan ini nggak bakal ngasih kita kesempatan buat lupa.”
Dan Selasih, dengan segala kesederhanaannya, mulai menciptakan kisah yang akan terus tumbuh dalam langkah mereka berikutnya.
Warung Kopi Kelapa dan Kisah yang Tertinggal
Pagi pertama di Selasih datang tanpa alarm. Udara terasa lebih bersih, matahari muncul pelan dari balik gugusan awan tipis, dan suara ayam kampung di kejauhan terdengar seperti alarm alami yang nggak bisa ditunda. Devar bangun duluan. Ia duduk di balkon, masih mengenakan kaos tipis dan celana tidur, sambil memperhatikan kapal nelayan kecil yang satu per satu mulai berlayar.
Amanta keluar tak lama setelahnya, rambutnya masih berantakan, tapi wajahnya sudah penuh senyum.
“Kopi?” tanyanya singkat, setengah menguap.
“Kalau bisa sekalian roti dan dunia yang lebih tenang,” jawab Devar sambil tertawa pelan.
Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri jalan utama Selasih, yang sebenarnya lebih mirip gang besar ketimbang jalan kota. Warung-warung kayu berjejer, beberapa masih tutup, tapi di ujung jalan, ada satu yang sudah buka lebih dulu. Warung tua itu sederhana, papan namanya bertuliskan “Waroeng Pak Siro”, hurufnya setengah mengelupas, tapi aroma dari dalam langsung menarik langkah mereka masuk.
Warung itu hanya berisi empat meja kayu dan kursi yang masing-masing punya suara khas saat digeser. Di dinding tergantung foto-foto lama; nelayan dengan jaring penuh ikan, anak-anak kecil bermain layang-layang di pantai, dan satu foto hitam-putih sepasang muda-mudi yang tersenyum canggung.
Seorang lelaki tua dengan rambut perak dan kulit legam muncul dari balik pintu dapur.
“Pagi, Nak. Mau pesan apa?” suaranya berat tapi hangat.
Amanta menoleh ke Devar. “Kopi… yang khas di sini ada?”
Pak Siro mengangguk. “Kopi kelapa. Paling cocok diminum pas pagi begini.”
Devar tertarik. “Kopi kelapa? Serius?”
“Serius. Campurannya kelapa parut sangrai, kopi hitam, dan sedikit gula aren. Warisan dari ayah saya dulu.”
Tak sampai lima menit, dua gelas kopi kelapa mendarat di meja mereka. Aromanya menguar—manis, hangat, dan asing, tapi entah kenapa terasa akrab. Amanta mencicip lebih dulu, lalu langsung menoleh sambil menunjuk gelasnya.
“Ini enak banget, sumpah.”
Devar mencicip juga. “Rasanya… kayak kopi yang tumbuh di pantai.”
Pak Siro yang duduk di meja sebelah hanya tersenyum. Tatapannya menatap jauh ke luar jendela, ke arah laut yang masih berselimut kabut pagi.
“Dulu saya minum kopi ini sama seseorang,” ucapnya pelan. “Namanya Leni.”
Amanta dan Devar spontan saling melirik.
“Dia orang luar kota juga?” tanya Amanta, pelan.
Pak Siro mengangguk, bibirnya tertarik ke arah senyum samar. “Datang ke Selasih waktu liburan sekolah, sama keluarganya. Kami kenalan di pasar. Waktu itu dia bantuin saya kumpulin kerang buat dijual. Dari situlah semuanya mulai.”
Devar bersandar, mendengarkan dengan antusias.
“Kami sering duduk di sini, minum kopi kelapa. Kadang dia nulis di buku kecilnya, kadang cuma diem sambil dengerin ombak. Dia bilang, kota ini kayak jeda. Tempat di mana waktu bisa berhenti sejenak.”
Amanta meremas gelasnya pelan. “Lalu… apa kalian masih kontak?”
Pak Siro diam. Senyumnya mengendur.
“Kapal yang dia tumpangi pulang, karam di laut. Waktu itu cuaca buruk, dan komunikasi nggak sebaik sekarang. Sampai sekarang, nggak ada kabar. Nggak ada jenazah, nggak ada kepastian. Hanya… hilang.”
Hening menggantung di antara mereka. Suara detik jam tua terdengar lebih keras dari sebelumnya.
“Tapi kenapa Bapak masih buka warung ini?” tanya Devar, pelan.
Pak Siro menatap mereka berdua. “Karena saya janji. Saya janji bakal tetap di sini, nungguin. Kalau suatu hari dia balik, saya pengen jadi orang pertama yang nyambut dia.”
Amanta menunduk. Ada sesuatu di matanya yang bergetar.
“Dia orang terakhir yang bikin saya ngerasa muda. Dan saya rasa, tiap orang butuh satu cinta yang bikin dia terus hidup, walaupun rasanya udah mati,” lanjut Pak Siro, suaranya rendah.
Mereka menghabiskan kopi dalam diam. Bukan karena canggung, tapi karena terlalu banyak hal yang tidak perlu diucapkan.
Saat akhirnya mereka pamit, Amanta menyentuh bahu Pak Siro dan berkata, “Kalau Leni bisa dengar, aku yakin dia juga masih nyimpan kenangan yang sama.”
Pak Siro tersenyum. “Terima kasih, Nak. Nikmatin liburan kalian, ya. Kota ini punya banyak cerita. Tapi jangan buru-buru pulang. Soalnya, kadang yang paling berharga justru bukan tujuannya, tapi perjalanannya.”
Amanta dan Devar keluar dari warung itu tanpa banyak bicara. Langkah mereka menyusuri jalan setapak kembali ke penginapan terasa lebih berat, bukan karena lelah, tapi karena hati mereka masih tertinggal di meja kayu tua, bersama kopi kelapa dan kisah cinta yang terhenti di tengah laut.
Di pertigaan jalan, Amanta akhirnya bicara.
“Kamu percaya nggak, seseorang bisa terus nungguin orang lain selama itu?”
Devar menoleh. “Kalau cinta itu tulus, bisa.”
“Dan kamu?” tanya Amanta pelan.
“Aku?” Devar menarik napas. “Aku nggak mau nunggu sampai kehilangan dulu buat sadar pentingnya seseorang.”
Jawaban itu menggantung di udara. Tak ada yang perlu ditambahkan. Mereka tahu, pagi itu bukan cuma tentang kopi kelapa, tapi tentang seberapa besar satu kenangan bisa mengubah cara mereka melihat cinta dan waktu.
Dan Selasih, sekali lagi, memperkenalkan sebuah cerita baru—tentang kehilangan, penantian, dan janji diam-diam yang disimpan dalam segelas kopi hangat.
Sepeda Tandem dan Lagu Tanpa Judul
Hari ketiga di Selasih dimulai dengan suara ketukan pelan di pintu kamar. Saat Devar membuka, Bu Mirah berdiri dengan tangan menggenggam sesuatu.
“Nak, kalian mau keliling Selasih bagian dalam? Kalau iya, ini bisa dipakai,” katanya sambil menyodorkan kunci sepeda tua berwarna krem, lengkap dengan keranjang di depan dan sadel ganda di belakang.
“Sepeda tandem?” tanya Devar sambil tertawa kecil. “Udah lama banget aku nggak naik beginian.”
“Cocok buat berdua, kan?” sahut Bu Mirah sambil berkedip usil ke arah Amanta yang baru muncul dari balik pintu, rambut masih setengah kering habis keramas.
Sepeda itu bunyi berderit tiap kali dikayuh, tapi justru suara itu yang bikin perjalanan pagi mereka jadi lucu. Jalanan kecil di bagian dalam Selasih tidak beraspal, hanya berupa tanah padat yang sesekali berbatu. Pepohonan kelapa menjulang di sisi kiri-kanan, dan sesekali anak-anak desa melambai sambil tertawa melihat dua orang kota mencoba menaklukkan sepeda tua.
“Kalau kita jatuh, kamu duluan yang kena luka,” kata Amanta dari belakang, memeluk pinggang Devar untuk menjaga keseimbangan.
“Tenang. Kalau jatuh, kita jatuh bareng. Tapi aku pastiin kamu enggak kenapa-kenapa.”
“Gombal,” gumam Amanta, tapi pelukannya makin erat.
Mereka berhenti di sebuah jalan kecil yang mengarah ke hutan bakau. Di ujung jalan itu, tersembunyi sebuah pondok kayu yang tampak seperti bekas pos pemantau. Jendelanya terbuka, dan suara ombak terdengar lebih jelas dari sana. Mereka memarkir sepeda dan duduk di tangga pondok, menikmati semilir angin asin.
Devar mengeluarkan buku sketsanya. Tangannya mulai menggambar lekukan pohon bakau yang berdiri di genangan air. Amanta duduk di samping, kakinya menjuntai ke bawah, sesekali memainkan ujung celana pendeknya.
“Kamu tahu, tadi malam aku mikir sesuatu,” katanya pelan.
“Apa?”
“Aku sadar, selama ini aku cuma ngerasa ‘hidup’ pas lagi sibuk. Tapi di sini… aku bisa diem, bisa tenang, dan ternyata itu juga bikin aku ngerasa hidup.”
Devar berhenti menggambar. Ia menoleh.
“Kamu tahu kenapa?” tanyanya.
“Kenapa?”
“Soalnya kamu nggak sendiri. Kamu bisa tenang karena kamu percaya. Dan kamu bisa percaya karena… ada aku.”
Amanta menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Iya. Mungkin kamu bener.”
Beberapa menit kemudian, Devar mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi perekam suara.
“Apa lagi itu?” tanya Amanta, penasaran.
“Aku pengen coba bikin lagu. Nggak tahu kenapa, tempat ini bikin kepala aku penuh nada.”
Ia mulai bersenandung pelan, suaranya lembut, tidak sempurna, tapi jujur. Liriknya muncul spontan—tentang laut, tentang sepeda tua, dan tentang seorang perempuan yang ketawa kecil tiap kali angin meniup rambutnya.
Amanta tersenyum, menyandarkan kepala ke pundak Devar.
“Enggak ada judulnya?” bisiknya.
“Belum. Tapi aku rasa, ini lagu yang cuma bisa dipahami kalau kamu dengerinnya di sini. Di antara pohon bakau dan bunyi ranting patah.”
Mereka merekam lagu itu, lalu memutarnya kembali, dan untuk pertama kalinya selama perjalanan ini, suasana benar-benar hening. Bahkan angin pun seperti memperlambat lajunya agar bisa mendengarkan.
Sebelum pulang, mereka sempat menuliskan sesuatu di dinding pondok—cukilan lagu yang baru mereka ciptakan:
“jika hari pulang membawa gelap, biarlah kamu jadi cahaya yang tertinggal…”
Sore itu, mereka kembali mengayuh sepeda, jalanan yang tadinya berat terasa lebih ringan. Mungkin karena hati mereka tak lagi kosong. Ada lagu. Ada tawa. Ada perasaan yang tumbuh diam-diam di antara pedal yang berderit dan tangan yang saling menggenggam di sadel belakang.
Di depan penginapan, saat matahari sudah hampir tenggelam, Devar menghentikan sepeda, menoleh ke belakang.
“Kamu tahu nggak, lagu tadi tuh… kayak perasaan aku ke kamu.”
Amanta menaikkan alis. “Maksudnya?”
“Enggak jelas… enggak direncanain. Tapi nyata. Dan meskipun enggak punya judul, aku tahu, itu cuma buat satu orang.”
Amanta menunduk. “Kalau gitu, jangan pernah kasih judulnya ke siapa-siapa.”
“Kenapa?”
“Biar tetap jadi milik kita berdua.”
Dan langit sore Selasih pun berubah jingga keemasan, seolah ikut menyimpan rahasia satu lagu yang takkan pernah diputar di tempat lain, kecuali di hati mereka sendiri.
Ketika Laut Mengantar Pulang
Hari terakhir di Selasih datang lebih cepat dari yang mereka harapkan.
Langit pagi itu mendung tipis, tapi tidak menghapus warna biru pucat laut yang tetap setia menyapa dari kejauhan. Devar duduk di tangga penginapan dengan segelas teh melati di tangan, sementara Amanta sibuk mengepak barang di kamar, sesekali keluar hanya untuk memastikan sepatu atau charger tidak tertinggal.
Waktu terasa melambat di tempat seperti ini. Tapi justru karena lambat itulah, setiap momen terasa penuh.
Mereka tidak punya rencana besar hari itu. Hanya ingin berjalan santai menyusuri pantai untuk terakhir kalinya sebelum mobil jemputan datang sore nanti. Jalan setapak menuju pantai sudah terasa seperti bagian dari diri mereka—bebatuan kecil yang mulai dikenali, aroma laut yang kini tak asing, dan suara pasir di bawah sandal yang sudah mereka hapal.
“Kayaknya… aku bakal kangen tempat ini,” ujar Amanta pelan, matanya menerawang ke horizon.
Devar menoleh. “Kangen tempatnya… atau kangen aku di tempat ini?”
Amanta mencibir kecil. “Ya dua-duanya, lah.”
Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada sunyi yang tak terucap. Sunyi yang tahu bahwa setiap perpisahan menyimpan semacam kehilangan kecil, bahkan jika hanya untuk sementara.
Mereka tiba di batu besar yang kemarin dijadikan tempat mereka makan sore. Kali ini Devar duduk lebih dulu. Ia membuka ranselnya, mengeluarkan buku sketsa yang kini hampir penuh.
“Ini buat kamu,” katanya sambil menyodorkan buku itu ke Amanta.
Amanta menatapnya heran. “Loh, ini kan semua gambar kamu selama di sini.”
“Justru itu. Kamu ada di hampir semua hal yang aku gambar. Jadi ya… buku ini lebih cocok di kamu.”
Amanta membuka satu halaman, lalu halaman lain. Ada gambar dirinya sedang tertawa, ada pemandangan pondok bakau, ada kopi kelapa, ada sepeda tua… semuanya terekam di sana, bukan dengan kamera, tapi dengan mata seseorang yang jatuh cinta lewat garis dan bayangan.
“Kamu tahu, aku enggak pernah ngasih sketsa-sketsa aku ke siapa pun sebelumnya,” ucap Devar lirih.
Amanta menggenggam buku itu erat, lalu menatap laut.
“Kamu juga tahu… aku jarang banget bisa ngerasa kayak gini ke seseorang. Aku sering ragu, banyak mikir, takut kecewa. Tapi… di sini, sama kamu, aku nggak ngerasa harus takut.”
Devar tidak langsung menjawab. Ia memandangi laut sebentar, lalu berkata, “Kamu tahu nggak, waktu kecil aku selalu ngira laut itu punya ujung. Dan kalau kita cukup berani berenang jauh, kita bisa sampai ke batasnya.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang aku sadar, beberapa hal memang nggak perlu punya ujung. Kayak laut. Kayak… rasa suka aku ke kamu.”
Amanta menunduk. Senyumnya kecil, tapi matanya mulai berkaca.
Angin laut bertiup pelan, membawa aroma asin dan pasir basah. Di kejauhan, suara kapal nelayan terdengar samar.
Jam menunjukkan hampir pukul tiga saat mobil jemputan mulai muncul dari ujung jalan berdebu. Mereka kembali ke penginapan, mengambil koper, dan berpamitan pada Bu Mirah yang memeluk Amanta seperti anak sendiri.
Di dalam mobil, mereka duduk diam untuk beberapa saat. Jalanan menurun membawa mereka menjauh dari Selasih, dari segala yang telah mereka jalani selama beberapa hari terakhir.
Di tikungan terakhir sebelum benar-benar keluar dari kota, Amanta memanggil sopir.
“Pak, boleh berhenti sebentar?”
Mobil berhenti di tepi jalan dengan pandangan terakhir mengarah ke laut.
Amanta keluar, berdiri menghadap ombak yang bergulung pelan. Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan sesuatu dari dalam—selembar kertas kecil dari buku sketsa.
Tanpa berkata-kata, ia melipat kertas itu, lalu meletakkannya di atas batu datar. Angin menerbangkan ujungnya sedikit, tapi ia menahannya dengan batu kecil.
Devar berdiri di sampingnya. “Itu apa?”
“Lagu yang kita tulis. Versi yang aku lengkapi semalam.”
Devar mengangguk. “Jadi kamu ninggalin lagu itu di sini?”
“Biar dia tetap di tempat cerita ini dimulai. Kalau suatu hari kita balik, kita bisa nyanyiin lagi. Dan kalau enggak… biar lagu itu jadi penanda bahwa kita pernah saling temukan.”
Mereka berdiri sebentar dalam diam. Lalu kembali masuk ke mobil.
Perjalanan meninggalkan Selasih tidak terasa seperti meninggalkan tempat, tapi lebih seperti membawa pulang bagian dari diri yang baru. Di dalam hati mereka, tersimpan cerita tentang warung kopi kelapa, sepeda tua yang berderit, dan lagu tanpa judul yang kini punya makna terlalu dalam untuk dijelaskan.
Sebelum tertidur di pundak Devar, Amanta sempat berbisik, “Kalau nanti aku kangen tempat itu… aku cukup dengerin kamu nyanyi, ya.”
Dan Devar menjawab, “Lagu itu enggak akan pernah hilang. Sama kayak rasa ini.”
Mobil terus melaju. Tapi kenangan mereka tetap tinggal di Selasih—di antara debur ombak dan angin sore yang perlahan membawa cinta itu pulang ke tempat di mana semuanya bermula.
Itu dia kisah liburan sekolah yang nggak cuma seru, tapi juga manis dan penuh makna. Lewat cerita ini, kita diajak ngerasain gimana rasanya jatuh cinta di tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk, tapi dekat banget sama hati.
Kalau kamu suka cerita kayak gini, jangan lupa cek cerpen lainnya di sini—siapa tahu, kamu juga nemuin “Selasih” versi kamu sendiri.