Daftar Isi
Kadang, hubungan itu nggak perlu didefinisiin dengan label yang ribet. Kadang, yang penting cuma bagaimana perasaan itu tumbuh tanpa kita sadari.
Jadi, gimana rasanya kalau ternyata kamu dan teman terbaikmu ternyata sudah lama saling suka? Yuk, ikuti cerita dua sahabat yang nggak sengaja terjebak dalam cinta, tanpa harus ada kata-kata pacaran yang ribet. Lucu, canggung, dan pastinya bikin baper!
Ketika Teman Saling Mencintai
Dua Cangkir dan Sebuah Senyuman
Pagi itu, kedai kopi kecil yang selalu kami datangi mulai terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Meja-meja di sudut ruangan penuh, beberapa orang berbisik-bisik, sementara yang lainnya sibuk dengan laptop dan buku-buku. Aku datang lebih cepat dari biasanya, duduk di tempat yang sudah menjadi rutinitas kami—di dekat jendela besar dengan pandangan langsung ke jalan yang masih sepi.
Pagi-pagi begini, jarang ada yang duduk lama. Namun, aku tahu Lara akan datang tepat waktu. Itulah kebiasaan dia. Nggak pernah telat, nggak pernah juga melewatkan pesanan kopi yang selalu sama—latte dengan ekstra shot espresso.
Aku melirik jam di ponsel. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang biasanya dia datang, tapi aku nggak merasa aneh. Biasanya dia memang agak terlambat kalau sedang sibuk dengan urusan lain. Aku hanya mengangguk pelan dan menyesap kopiku, membiarkan suara mesin espresso yang berdesir memenuhi ruang.
Pintu kedai terbuka, dan Lara masuk. Tampilannya seperti biasa, dengan rambut yang sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat sempurna. Sebuah tas besar terkulai di bahunya, dan aku bisa melihat dia sibuk memeriksa layar ponselnya saat berjalan menuju meja.
“Lama banget, kan? Kamu dari tadi ngapain?” Lara duduk di depanku, menatapku sekilas dengan ekspresi setengah marah, setengah malas.
Aku mengangkat bahu. “Nggak ada apa-apa. Cuma minum kopi. Kayak biasa.”
Dia mendengus kecil, mengeluarkan laptop dari tas, dan menaruhnya di atas meja. “Pasti kamu cuma duduk bengong, kan? Nggak ada kerjaan,” ujarnya sambil membuka layar laptopnya.
Aku hanya tersenyum. Memang begitulah dia—selalu menganggap aku terlalu santai dan nggak produktif. Padahal, aku hanya lebih menikmati waktu kosong ini untuk menulis beberapa hal yang terlintas di pikiran.
“Kamu minum apa? Mau kopi juga?” tanyaku sambil melihat ke arah barista yang sedang menyeduh kopi di belakang meja.
“Pesen aja kayak biasa. Kamu tahu,” jawab Lara, membuka beberapa jendela di laptopnya dengan cepat. Matanya menyapu layar, seolah-olah sibuk dengan hal-hal penting yang aku rasa nggak terlalu penting.
Aku memanggil barista dan memesan dua cangkir latte—satu untuk Lara, satu untukku. Kemudian, aku duduk lebih santai, menatap ke luar jendela. Kadang, aku merasa kedai ini seperti ruang kecil di dunia yang tidak pernah berubah. Di sini, aku bisa duduk diam, ngobrol dengan Lara, dan melupakan semua hal yang bisa membuat hidup ini lebih rumit.
Lara memecah keheningan. “Eh, kamu ada rencana besok?” tanyanya tanpa menoleh.
“Ada. Cuma nulis beberapa ide doang. Kenapa?”
“Enggak, cuma… aku lagi mikir mungkin kita bisa nonton film. Ada film bagus yang baru rilis.”
Aku mengerutkan dahi. Sepertinya aku mendengar hal itu sebelumnya. “Kamu ngajak aku nonton film? Kayak kencan gitu?” Aku sedikit menggoda, meski dalam hati aku tahu pertanyaan itu keluar karena aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba dia mengajakku melakukan sesuatu yang jarang kami lakukan.
Lara mendongak, terkejut dengan pertanyaanku. “Aduh, nggak gitu juga. Bukan kencan. Ya cuma nonton aja, nggak ada yang aneh.” Dia mengalihkan pandangannya, berusaha membuat suasana lebih santai.
Aku tertawa pelan. “Ya, ya, nggak ada yang aneh. Kalau begitu, aku ikut deh.”
Lara membalas dengan senyum tipis. “Oke, kalau begitu. Kita lihat aja nanti.”
Kami melanjutkan obrolan ringan. Ada tawa yang terdengar sesekali, namun ada juga keheningan di antara kata-kata yang kami lemparkan. Setiap kali aku melihat Lara, aku merasa dia bukan hanya teman. Ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang membuat aku nggak bisa melepaskan pandangan darinya.
Ketika dua cangkir kopi datang, aku dan Lara berdua mengangkatnya dalam diam, lalu menyesap perlahan. Aku mengamati ekspresinya, mencoba membaca apa yang ada di dalam pikirannya. Dia memandangku seolah menunggu sesuatu, tapi aku nggak tahu apa yang harus kukatakan.
Akhirnya, dia meletakkan cangkir kopinya dan menatapku, kali ini dengan serius. “Kamu tahu, orang-orang selalu mikir kita ini pacaran,” katanya, matanya tak lepas dari wajahku.
Aku terdiam sejenak. Kalimat itu tiba-tiba terasa berbeda dari yang biasa dia ucapkan. “Kenapa, sih?” Aku bertanya, berusaha menunjukkan sikap santai, meskipun di dalam aku mulai merasa gugup.
Dia menyandarkan tubuh ke kursinya, menatap langit-langit sejenak, dan berkata pelan, “Ya, aku juga nggak tahu. Cuma, kadang rasanya kayak kita lebih dari teman.”
Jantungku berdebar keras. Aku tahu aku harus berkata sesuatu, tapi kata-kata itu terasa berat. Lara dan aku… lebih dari teman?
Aku menatapnya dengan kebingungan. “Maksud kamu gimana?”
Lara menunduk, melilitkan jari di cangkir kopinya, seolah mencari-cari kata yang tepat. “Maksudnya, ya… kita selalu bareng. Kita selalu tahu apa yang satu sama lain butuhkan. Aku selalu merasa nyaman sama kamu, tapi kadang aku nggak tahu apakah aku… terlalu berharap lebih.”
Aku terdiam. Membiarkan kata-kata Lara meresap. Terkadang, perasaan itu muncul tanpa disadari. Kami selalu bersama, tapi apa artinya? Teman saja? Atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Lara memecah keheningan. “Nggak usah jawab sekarang, ya. Aku cuma… mikir aja.”
Aku menatapnya, dan entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dada. “Kita nggak perlu buru-buru jawab apa-apa. Tapi, aku paham maksud kamu.”
Kami saling bertukar pandang dalam keheningan. Di luar, angin berhembus lembut, sementara di dalam kedai, dua cangkir kopi itu menjadi saksi dari kata-kata yang tak terucap sepenuhnya. Kami duduk berdua, hanya ditemani hening dan tawa kecil yang mulai mengisi ruang di antara kami.
Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan di antara dua cangkir kopi itu, dan aku tahu, sesuatu di antara kami sudah berubah. Tapi apakah itu perasaan yang bisa dijelaskan, atau hanya kebingungan yang menunggu waktu untuk ditemukan? Itu adalah sesuatu yang masih harus kami cari.
Dan untuk saat itu, kami hanya duduk di sana, membiarkan waktu berjalan.
Ragu di Antara Tawa
Hari-hari setelah percakapan di kedai kopi itu terasa sedikit aneh. Bukan karena ada sesuatu yang berubah secara drastis, tapi lebih karena ada ketegangan halus yang tidak bisa aku ungkapkan. Lara pun terlihat tidak seperti biasanya—tidak seaktif dulu dalam menggoda atau membicarakan rencana-rencana konyolnya. Kami tetap bertemu, tetap menghabiskan waktu bersama, tapi seolah-olah ada jarak tipis yang tidak terucapkan di antara kami.
Hari itu, seperti biasa, kami bertemu di kedai kopi yang sama. Lara datang lebih dulu, duduk dengan laptop terbuka di depan, memeriksa beberapa file yang sepertinya penting. Aku duduk di seberangnya, memesan secangkir kopi hitam dan duduk diam sejenak, merenung.
“Kenapa diem aja?” tanya Lara tanpa menoleh, masih sibuk dengan laptopnya. “Kamu lagi mikirin sesuatu?”
Aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya ada banyak hal yang berputar di pikiranku. “Nggak, cuma ngeliat kamu sibuk aja. Kayaknya kamu lagi pusing deh.”
Lara melirikku, sedikit terkejut. “Pusing? Nggak juga, kok. Cuma lagi ngecek beberapa tugas. Kamu yang pusing ya?”
Aku tersenyum tipis. “Mungkin, tapi nggak sampai pusing. Lebih ke bingung aja.”
Lara menutup laptopnya perlahan dan menatapku. “Bingung tentang apa?”
Aku mengusap wajahku, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Aku ingin bilang kalau aku bingung dengan perasaan sendiri—tentang kata-kata yang Lara ucapkan beberapa hari lalu—tapi aku takut kalau itu justru membuat suasana jadi aneh. “Ya, tentang beberapa hal… yang nggak perlu dibahas sekarang.”
Tapi, Lara tidak bisa diam begitu saja. Ia menatapku, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. “Aku tahu kok kamu lagi mikir sesuatu. Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”
Aku menarik napas panjang. “Mungkin aku cuma… bingung sama kita. Kita ini apa, sih? Teman atau lebih dari itu?”
Lara terdiam. Tangannya yang tadinya sedang memainkan sendok kopi, kini terhenti. Aku bisa melihat wajahnya mulai memerah sedikit. Aku tahu dia tidak akan mudah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Kenapa kamu jadi nanya gitu?” tanya Lara, suaranya agak rendah.
“Karena kadang aku mikir, kita itu lebih dari teman, Lara,” jawabku tanpa ragu. “Maksudku, kamu tahu kan gimana kita selalu bareng? Kadang aku mikir, ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar teman.”
Lara menundukkan kepalanya, melirik secangkir kopi yang sudah mulai dingin. “Mungkin… itu hanya perasaan sementara.”
Aku menatapnya, menunggu dia melanjutkan, tapi Lara hanya mengerutkan kening dan tidak berkata apa-apa lagi. Kami terdiam dalam kebingungan masing-masing, saling menghindari untuk membuka percakapan lebih jauh.
Aku mulai merasakan kegelisahan yang semakin mencekam. Kenapa semua jadi terasa begitu rumit? Semua yang kami jalani sebelumnya terasa begitu sederhana. Kami hanya teman, dan itu sudah cukup. Tapi sekarang, ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada perasaan yang lebih dari itu, namun tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkannya.
Lara tiba-tiba mendongak, dan senyumnya muncul kembali. “Jangan dipikirin terlalu berat, ya. Kita tetap teman kok, cuma, kadang emang kita bingung juga, kan?”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega meski masih ada rasa tidak pasti yang menggelayuti. “Iya, aku tahu. Tapi, kadang aku merasa kayak… kita lebih dari sekadar teman. Kadang, rasanya kita udah saling ngerti tanpa perlu banyak ngomong.”
Lara tertawa pelan, lalu mengambil ponselnya dan mulai mengetik sesuatu. “Tapi kadang kita juga suka saling nggak ngerti, kan?” katanya sambil tersenyum genit.
Aku tertawa kecil, mengalihkan perhatian sejenak untuk melanjutkan obrolan ringan agar suasana kembali normal. Lara selalu bisa membuat suasana lebih santai dengan sedikit humor, meski aku tahu di balik tawa itu, ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya.
Aku tahu, kami tidak akan bisa terus berputar dalam kebingungan ini. Suatu saat nanti, kami pasti harus menghadapinya. Perasaan ini, apakah itu benar-benar hanya rasa nyaman satu sama lain atau ada sesuatu yang lebih?
Lara menatapku, kali ini dengan tatapan yang berbeda. “Jadi, kalau nanti kita nggak jadi lebih dari teman, kamu bakal keberatan nggak?”
Pertanyaan itu mengagetkanku, tapi aku hanya menggelengkan kepala. “Nggak sih. Tapi aku nggak bisa janji kalau aku nggak mikirin kamu lebih dari teman.”
Kami kembali terdiam, namun kali ini lebih ringan. Aku tahu dia merasakannya juga. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih takut untuk menyadari kalau apa yang kami miliki itu mungkin lebih dari sekadar persahabatan.
Kami tetap duduk di kedai itu lebih lama dari yang biasanya, sambil ngobrol tentang hal-hal kecil. Seolah-olah, segala kebingungan dan ketegangan yang ada bisa hilang begitu saja dengan tawa dan obrolan ringan.
Namun, di dalam hatiku, ada sesuatu yang berbeda. Aku tahu, tidak akan ada lagi yang sama setelah ini. Kami hanya butuh waktu untuk menyadari, mungkin kami sudah melangkah terlalu jauh dari sekadar teman.
Dan mungkin, saat itu juga, Lara merasakannya.
Ketika Teman Terasa Lebih
Hari-hari setelah percakapan itu semakin aneh, dan aku mulai merasa bahwa setiap langkah yang kami ambil seakan membawa kami semakin dekat ke jurang kebingungan yang dalam. Tapi, kami berdua enggan membicarakan perasaan itu secara langsung. Kami tetap bertemu, tetap tertawa bersama, tetap merasa nyaman, tapi ada semacam ketegangan halus yang selalu menggantung di udara.
Kali ini, Lara yang mengundang aku untuk pergi makan siang bersama. Sebuah restoran kecil di pinggir kota yang selalu menjadi favorit kami—tempat yang cukup tenang untuk berbicara tanpa gangguan. Saat aku tiba, dia sudah duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan ponselnya.
Aku melangkah mendekat, dan seperti biasa, dia tersenyum begitu aku duduk. “Makan di sini? Gak bosen?” tanyanya, lalu langsung memanggil pelayan untuk memesan.
Aku hanya tertawa kecil. “Jangan-jangan kamu bosen sama aku?”
Lara mengangkat alis, tak terbiasa dengan guyonan seperti itu. “Bosen? Nggak lah, cuma kamu kan selalu ngikutin seleraku. Pasti kalau aku pilih tempat ini, kamu setuju aja.”
Aku mengangkat bahu. “Memang kenapa kalau aku setuju? Toh, tempat ini enak, kan?”
Dia mendelik, pura-pura kesal, tapi aku tahu itu cuma caranya untuk mengalihkan perhatian dari pembicaraan yang makin canggung. Kami berdua tahu, ada lebih dari sekadar candaan ringan dalam obrolan ini, dan semua itu terasa semakin berat.
Setelah beberapa menit, kami mulai makan dengan hening. Lara menatap makanannya, sementara aku sesekali meliriknya. “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini suka diam-diam aja?” tanya Lara, tiba-tiba.
Aku menurunkan garpu, terkejut dengan pertanyaan itu. “Diam-diam gimana?”
“Ya, kamu nggak kayak biasanya. Kamu jadi lebih tenang, lebih… nggak banyak ngomong.”
Aku menelan ludah. Ada benarnya juga. Aku jadi lebih banyak berpikir belakangan ini, terutama tentang kami. Tentang bagaimana perasaan aku yang makin sulit diabaikan. Aku mengatur napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma mikirin beberapa hal aja. Tentang kita, mungkin.”
Lara berhenti mengunyah dan menatapku, matanya agak terkejut. “Kita?”
Aku mengangguk pelan. “Iya, tentang kita. Tentang perasaan yang nggak bisa dijelaskan. Tentang… apa yang kita rasakan, yang lebih dari sekadar teman.”
Lara mengalihkan pandangannya ke luar jendela, matanya sedikit sayu. Aku tahu, dia juga berpikir tentang hal yang sama. Tapi, kami berdua tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan ini. Semua terasa begitu rumit, dan meskipun kami saling merasa nyaman, ada ketakutan yang mengendap di dalam hati. Takut kalau semua ini berubah jadi sesuatu yang tidak bisa kembali ke tempat semula.
Lara menarik napas panjang. “Kenapa kamu baru ngomong ini sekarang?”
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. “Karena aku juga nggak tahu jawabannya, Lara. Aku nggak tahu harus bagaimana. Tapi, aku nggak bisa pura-pura nggak peduli sama kamu.”
Dia menunduk, menggigit bibirnya. Aku bisa melihat pipinya sedikit memerah. Dia memang selalu kelihatan lucu ketika gugup. Dan aku juga tahu, Lara bukan tipe orang yang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaannya.
“Aku nggak tahu apa yang harus aku jawab. Aku takut kalau ini bikin semuanya jadi aneh,” kata Lara pelan. “Tapi kadang, aku ngerasa kita lebih dari sekadar teman.”
Kata-kata itu seperti menyentuh bagian dalam hatiku yang paling dalam. Lara akhirnya mengatakannya juga. Kami benar-benar merasa hal yang sama. Tapi, itu belum cukup untuk menyelesaikan kebingungannya. Aku bisa merasakannya.
“Kalau kita lebih dari teman,” aku mulai, suara aku terdengar lebih berat dari biasanya, “apa yang harus kita lakukan? Apakah kita bisa tetap seperti ini, atau… ini akan mengubah semuanya?”
Lara menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak. “Aku nggak tahu, Evran. Aku nggak tahu kalau kita harus mengubah apapun. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Bahkan kalau ini semua berubah, aku tetap ingin ada kamu di hidup aku.”
Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sangat jelas apa yang aku rasakan. Aku ingin dia, lebih dari sekadar teman. Aku ingin berada di sampingnya, tidak hanya dalam pertemanan ini, tapi dalam sesuatu yang lebih.
Namun, ketakutan itu masih ada. Takut kalau apa yang kami mulai bisa merusak segalanya. Takut kalau kami tidak bisa kembali lagi ke titik awal. Tapi satu hal yang aku tahu: aku tidak bisa terus menjalani ini seolah-olah kami hanya teman. Ada perasaan yang jauh lebih dalam dari itu.
“Aku juga nggak mau kehilangan kamu,” aku berkata pelan, mengulurkan tangan ke arah Lara. Dia menatap tanganku sejenak, lalu perlahan meraih tangan itu.
Kami terdiam dalam hening, tidak ada kata-kata lebih lanjut. Kami tahu, di antara kami sudah ada sesuatu yang lebih. Dan meskipun kami masih ragu, ada perasaan yang tidak bisa lagi dipendam.
Dengan perlahan, Lara tersenyum. Senyum yang ringan, namun penuh arti. “Kita nggak perlu buru-buru, kan?”
Aku tersenyum balik, merasa lebih tenang. “Nggak, kita nggak perlu buru-buru.”
Kami kembali melanjutkan makan siang itu dalam keheningan, tapi kali ini, keheningan itu terasa lebih nyaman, lebih hangat. Ada rasa baru yang tumbuh di antara kami—sebuah perasaan yang masih butuh waktu untuk benar-benar terbentuk, namun tidak bisa lagi disembunyikan. Kami berdua tahu, apa yang ada di antara kami bukan hanya sekadar teman. Kami sudah lebih dari itu, dan mungkin, tak ada jalan kembali.
Tapi, kami tidak keberatan.
Melangkah Tanpa Ragu
Hari-hari setelah makan siang itu berjalan dengan lebih ringan, meskipun masih ada perasaan yang menggelayuti kami. Kami berdua memutuskan untuk tidak terburu-buru menyebutkan label pada hubungan kami, karena kami tahu, segala sesuatunya memerlukan waktu untuk berkembang. Namun, ada ketenangan yang datang setelah kami mengungkapkan apa yang sudah lama kami pendam. Kami tidak perlu kata-kata yang rumit untuk menjelaskan semuanya, karena kami sudah saling tahu.
Suatu sore, saat matahari sudah mulai tenggelam dan langit berubah warna menjadi jingga keemasan, Lara mengajakku jalan-jalan di taman kota—tempat favorit kami sejak dulu. Kami berjalan berdampingan, tanpa berkata-kata, menikmati keheningan yang terasa sangat nyaman. Terkadang, tangan kami saling menyentuh, dan aku merasa itu lebih dari cukup.
“Kamu tahu kan, aku nggak suka ngomong terlalu banyak tentang perasaan,” kata Lara tiba-tiba, memecah keheningan di antara kami. “Tapi ada sesuatu yang aku rasa harus kamu tahu.”
Aku menoleh ke arahnya, tertarik dengan nada suaranya yang serius. “Apa?”
Lara berhenti sejenak, menatap ke depan. “Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi ke depan, Evran. Kita nggak bisa mengontrol semuanya. Tapi aku cuma mau bilang, meskipun semuanya jadi nggak pasti, aku ingin kamu tahu kalau aku nggak bakal menyesal soal ini. Tentang kita.”
Aku berhenti berjalan, memandanginya dengan sedikit terkejut. Dia tampak serius, tapi ada senyum kecil yang sulit disembunyikan di sudut bibirnya. “Jadi, kamu nggak takut?”
Lara tertawa pelan. “Takut? Mungkin. Tapi bukan berarti aku nggak mau mencoba.”
Aku meraih tangannya, meremasnya dengan lembut. “Aku juga nggak mau menyesal. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Lara menatap tanganku yang menggenggamnya, kemudian kembali menatapku. Senyumnya semakin lebar. “Jadi, kita sepakat, ya? Kita coba, tanpa paksaan, tanpa label, tapi cuma kamu dan aku, dengan perasaan yang jujur.”
Aku mengangguk, merasa ada kebebasan yang luar biasa dalam kata-katanya. Tanpa harus memberi nama atau kategori, kami tahu apa yang kami rasakan. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Kami hanya ingin satu sama lain—dengan cara yang sederhana, tapi penuh makna.
Kami melanjutkan berjalan di taman itu, dan kali ini, langkah kami terasa lebih ringan. Tanpa perlu kata-kata, kami sudah saling memahami. Terkadang, tidak perlu banyak bicara untuk tahu bahwa sesuatu itu benar-benar ada. Aku tahu, meskipun masa depan kami tidak pasti, kami sudah memulai sesuatu yang penting, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Setibanya di bangku taman, kami duduk bersama, melihat matahari yang hampir terbenam.
“Lara,” aku mulai, memecah keheningan. “Aku senang kita bisa sampai di titik ini.”
Lara menoleh, matanya berbinar. “Aku juga, Evran. Aku juga.”
Kami duduk dalam keheningan lagi, kali ini bukan karena kebingungan, tapi karena kenyamanan yang kami temukan di antara kami. Ada perasaan tenang yang datang setelah keraguan itu lenyap. Aku tidak perlu lagi bertanya-tanya tentang apa yang kami miliki. Aku tahu jawabannya. Kami memiliki sesuatu yang lebih dari teman. Kami hanya butuh waktu untuk menyadarinya, dan sekarang, akhirnya kami melangkah tanpa ragu.
Dan di saat itu, di bawah langit yang mulai gelap, aku tahu satu hal: Aku tidak ingin berhenti berjalan di sampingnya. Entah ke mana langkah kami akan membawa, aku siap menjalaninya bersamanya. Tanpa label, tanpa beban, hanya dua hati yang saling mendukung, saling merasakan, dan saling mencintai dalam keheningan yang sederhana namun penuh arti.
Kami berdua tahu, ini baru permulaan.
Jadi, mungkin kadang kita nggak perlu buru-buru cari jawaban atas perasaan kita. Mungkin, yang kita butuhkan cuma sedikit waktu, keberanian, dan seseorang yang nggak takut kalau semuanya nggak sempurna. Kalau udah saling ngerti, apa yang terjadi selanjutnya nggak akan pernah salah. Kadang, cuma ada satu pilihan: melangkah bersama, meskipun kita nggak tahu kemana