Daftar Isi
Jadi gini, kadang-kadang kita suka banget sama seseorang, tapi nggak pernah tahu kalau ternyata mereka juga punya perasaan yang sama. Dan cerita ini? Ya, ini tentang aku dan dia—dua orang yang awalnya malu-malu, akhirnya malah jadi cerita cinta yang nggak bakal terlupakan. Semua dimulai dari satu kejutan, dan mungkin… ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.
Cerpen Romantis Indonesia
Buku Misterius di Perpustakaan
Sore itu, seperti biasa, Reyhan duduk di pojok ruang perpustakaan. Suasana di dalamnya tenang, kecuali suara-suara lembut dari halaman buku yang dibalik oleh para pengunjung. Dia memang bukan tipe orang yang suka keramaian. Lebih suka tenggelam dalam kesendirian dan menikmati kesunyian antara rak-rak buku yang tinggi.
Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di meja yang biasa ia tempati, ada sebuah buku bersampul cokelat yang tidak ia kenali. Buku itu terlihat agak usang, seakan sudah cukup lama berada di sana. Di pojok bawah sampulnya, ada sebuah tulisan tangan dengan tinta yang agak memudar. Reyhan merasa aneh. Biasanya, dia cukup teliti dengan buku-buku yang ada di perpustakaan, tapi buku ini tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Dengan rasa penasaran, dia membuka halaman pertama. Tidak ada judul atau pengarang. Hanya ada tulisan tangan yang lebih jelas di halaman kedua:
“Kalau kamu membaca ini, berarti kamu pecinta kopi. Temui aku di Kafe Senja, Jumat sore, pukul lima. Aku yang selalu pesan Caramel Macchiato dengan dua shot espresso.”
Reyhan menatap tulisan itu sejenak, merasa seolah ada yang salah. Buku ini… aneh, bukan? Kenapa ada pesan seperti itu? Dan kenapa untuk seseorang yang tidak dikenal?
Dia tertawa kecil, merasa bodoh karena membuang waktu untuk sesuatu yang mungkin hanya iseng. Tapi rasa penasaran selalu punya cara untuk menguasai pikirannya. “Tapi kenapa aku nggak coba saja?” bisiknya.
Jumat sore pun tiba. Reyhan merasa sedikit canggung. Apa yang sedang ia lakukan? Ia tidak tahu apa yang diharapkannya dari pertemuan ini. Hanya karena sebuah buku yang tidak jelas asal-usulnya. Kafe Senja adalah tempat yang tidak biasa ia kunjungi, lebih sering lewat tanpa berhenti. Tapi sore ini, ia memilih untuk mencoba.
Dia masuk ke dalam kafe yang cukup ramai, dikelilingi aroma kopi yang kuat dan suara percakapan ringan dari pelanggan lainnya. Reyhan duduk di sudut, sambil terus mengamati sekeliling. Beberapa menit berlalu, tetapi tak ada tanda-tanda seseorang yang akan menghampirinya.
Mungkin ini memang bodoh, pikirnya, menyandarkan tubuh ke kursi dan memejamkan mata sejenak.
Lalu, tiba-tiba, suara lonceng pintu berbunyi. Reyhan menoleh, dan matanya tertuju pada seorang gadis yang baru saja masuk. Dia mengenakan sweater putih yang terlihat kebesaran, rambut sebahu yang sedikit bergelombang, dan tote bag dengan gambar bunga. Gadis itu tampak sedikit bingung, seperti sedang mencari sesuatu.
Reyhan menelan ludah. Tidak salah lagi, ini pasti dia.
Dengan langkah ragu, gadis itu berjalan ke kasir dan memesan sesuatu. “Caramel Macchiato, dua shot espresso, to-go,” ucapnya dengan suara yang lembut namun jelas.
Reyhan hanya bisa menatapnya, perasaan canggung bercampur rasa ingin tahu semakin membelitnya. “Apa aku harus mendekatinya sekarang?” gumamnya.
Dia menggerakkan tubuhnya perlahan, dan sebelum dia sadar, kakinya sudah melangkah mendekat. Dia berdehem sedikit, menarik napas panjang, lalu mengetuk bahu gadis itu.
Gadis itu menoleh, terkejut. “Ya?”
“Eh… kamu yang menulis pesan di buku itu, kan?” Reyhan bertanya dengan gugup.
Gadis itu terdiam sejenak, kemudian memandang Reyhan dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu yang menemukan buku itu?”
Reyhan mengangguk pelan, sedikit bingung dengan reaksinya. “Iya… Maaf kalau aku mengganggu.”
Gadis itu tersenyum, namun ada sedikit kecanggungan di wajahnya. “Tidak masalah,” jawabnya. “Aku… nggak nyangka kamu benar-benar datang.”
Reyhan merasakan ketegangan yang aneh di udara. Ada keheningan yang tidak biasa di antara mereka. Mungkin ini akan jadi momen yang canggung, pikirnya. Namun, gadis itu akhirnya berbicara lagi.
“Aku Nayra,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah datang.”
Reyhan sedikit terkejut, lalu menyambut tangannya dengan canggung. “Reyhan.”
Setelah saling berjabat tangan, mereka berdua duduk di meja dekat jendela. Reyhan merasa tidak nyaman dengan keheningan yang ada, tapi setelah beberapa detik, dia berusaha membuka percakapan.
“Jadi, kamu suka kopi, ya?” tanya Reyhan, berusaha terdengar santai.
Nayra mengangguk pelan, sambil memainkan cangkir kopinya. “Iya, aku suka banget. Kopi itu seperti teman terbaik, nggak pernah mengecewakan.”
Reyhan tertawa kecil, merasakan ketegangan mulai mencair. “Aku juga suka kopi. Tapi lebih suka yang lebih simple. Cuma black coffee.”
Nayra memiringkan kepala, sedikit heran. “Serius? Nggak ada rasa manisnya?”
Reyhan mengangkat bahu. “Kadang-kadang, rasa pahit itu lebih jujur.”
Nayra tertawa pelan. “Kamu tahu, aku lebih suka yang manis. Mungkin itu alasan kenapa aku pesan Caramel Macchiato. Ada sedikit rasa manis, tapi tetap ada sedikit pahitnya.”
Reyhan memandangnya dengan perhatian. “Kamu suka sesuatu yang ada keseimbangannya, ya?”
Nayra tersenyum. “Iya. Kalau semuanya manis, rasanya nggak seru.”
Reyhan merasa percakapan mereka mulai mengalir dengan lancar. Setiap kata yang keluar dari mulut Nayra terasa begitu menyenangkan, meskipun mereka baru saja bertemu. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—momen yang terasa nyaman, meskipun sedikit aneh.
Saat mereka berbicara lebih banyak tentang kopi, buku, dan hal-hal sederhana lainnya, Reyhan merasa dunia di luar kafe itu hilang. Dia hanya fokus pada gadis di depannya yang, meskipun baru dikenalnya, tampaknya sudah membuat ruang di hatinya.
Namun, di balik percakapan yang ringan, Reyhan tahu satu hal: ini bukan hanya soal kopi atau buku misterius. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang tumbuh di antara mereka. Dan ia tidak tahu apakah siap atau tidak, tetapi ia tahu satu hal—pertemuan ini akan berubah menjadi sesuatu yang sangat berarti.
Tapi itu, tentu saja, bukan akhir dari ceritanya. Baru saja dimulai.
Kopi, Pesan, dan Pertemuan Tak Terduga
Sore itu terasa lebih lama dari biasanya, seolah-olah setiap detik yang berlalu penuh dengan kehangatan yang sulit diungkapkan. Reyhan dan Nayra duduk bersebelahan di meja yang sama, berbicara tentang hal-hal ringan. Mereka bertukar cerita tentang kesukaan masing-masing, tentang buku yang pernah mereka baca, atau tentang hal-hal kecil yang tak pernah mereka ceritakan sebelumnya. Waktu yang mengalir begitu saja terasa begitu menyenangkan.
“Jadi, kamu benar-benar nggak punya akun media sosial?” tanya Nayra sambil menyedot sisa kopinya, tatapannya sedikit heran.
Reyhan menggelengkan kepala. “Nggak. Aku lebih suka hidup tanpa gangguan itu.”
“Wow, itu keren sih,” jawab Nayra sambil tersenyum. “Aku justru merasa media sosial itu kayak… hmmm, nggak bisa hidup tanpa itu.”
Reyhan tertawa, merasa ada sedikit kecanggungan. “Tapi kadang-kadang, aku merasa lebih bebas tanpa harus tahu apa yang orang lain lakukan. Gimana kalau kita lebih fokus sama hal-hal yang ada di depan mata?”
Nayra menatapnya, mata cokelatnya memancarkan rasa penasaran. “Hmm, menarik juga, ya.”
Beberapa detik hening. Reyhan bisa merasakan getaran aneh di udara. Mungkin itu hanya perasaan yang ia buat-buat, atau mungkin memang ada sesuatu yang lebih.
Nayra akhirnya berbicara lagi, kali ini suara lembutnya agak serius. “Reyhan…”
Reyhan menoleh, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang berbeda. “Ada apa?”
Nayra tersenyum tipis. “Aku nggak nyangka bisa ngobrol lama-lama kayak gini. Awalnya aku pikir kamu bakal langsung pergi setelah ngasih buku itu ke aku.”
Reyhan tertawa kecil, mengusap tengkuknya. “Sebenarnya, aku juga nggak yakin harus ngapain.”
“Tapi kamu tetap datang, kan?” Nayra menggoda, matanya berbinar.
“Yah, karena aku rasa ada sesuatu yang… menarik,” jawab Reyhan dengan sedikit ragu, tapi suaranya terdengar lebih mantap.
Nayra menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya berkilau seperti bintang yang baru saja ditemukan. “Hmm, kamu punya alasan yang menarik.”
Reyhan merasakan dadanya sedikit berdegup. Ada perasaan aneh yang terus merayap ke dalam dirinya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang membuatnya terus ingin mendekat, terus ingin tahu lebih banyak tentang Nayra.
Lalu, tiba-tiba, Nayra menyadarkan dirinya sendiri, tersenyum lebar. “Kamu mau coba sesuatu?”
Reyhan mengerutkan dahi. “Apa?”
“Ke kebun bunga kecil di dekat sini. Aku selalu ke sana kalau lagi butuh inspirasi buat tulis puisi atau sekadar menikmati sore. Kamu bisa datang juga, kalau mau.”
Reyhan terdiam sejenak, ragu-ragu. Kebun bunga? Itu bukan hal yang biasa ia lakukan. Tapi entah kenapa, ada rasa penasaran yang begitu besar untuk ikut Nayra. Untuk lebih dekat dengannya.
“Ayo,” jawabnya, akhirnya memutuskan. “Tapi, kamu jangan salahkan aku kalau aku nggak ngerti banyak soal puisi.”
Nayra tertawa riang. “Nggak masalah. Kamu cuma perlu datang dan melihat keindahan bunga-bunga itu.”
Mereka berdua berjalan keluar dari kafe, langkah mereka serasi meski belum ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Udara sore yang hangat dan segar membuat suasana semakin nyaman. Begitu keluar dari kafe, mereka melangkah menyusuri jalan yang tak terlalu ramai. Kebun bunga kecil itu memang tersembunyi di antara rumah-rumah yang lebih tua, namun begitu sampai di sana, Reyhan langsung terkagum melihat betapa asrinya tempat itu.
Bunga-bunga berwarna cerah mekar dengan indahnya, menyebarkan wangi yang menenangkan. Nayra membiarkan Reyhan menikmati pemandangan sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. “Aku sering datang ke sini untuk mendapatkan ketenangan. Semua ini membuatku merasa… hidup.”
Reyhan memandangnya, mencoba mencerna kata-katanya. “Ketenangan, ya? Bunga-bunga ini bisa bikin orang merasa begitu?”
Nayra mengangguk, matanya mengamati bunga mawar berwarna ungu yang sedang mekar di sampingnya. “Mungkin bukan bunga yang membuatku merasa hidup, tapi saat aku di sini, aku merasa bisa jadi diri sendiri. Nggak ada yang menghakimi.”
Reyhan bisa melihat kejujuran di balik kata-katanya. Ada sisi lain dari Nayra yang belum pernah ia temui sebelumnya. Gadis yang baru saja ia kenal ini ternyata lebih dari sekadar seseorang yang suka mengirim pesan misterius di buku. Nayra adalah gadis yang penuh dengan pemikiran mendalam dan cara pandang yang berbeda terhadap dunia.
Setelah beberapa lama menikmati kebun bunga, mereka duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon rindang. Reyhan menatapnya dengan rasa kagum, lalu berkata, “Nayra… aku nggak nyangka kalau pertemuan kita bakal jadi seperti ini.”
Nayra tersenyum malu-malu. “Aku juga nggak nyangka. Tapi… aku senang bisa ngobrol dengan kamu.”
Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Reyhan merasa sedikit canggung, tapi pada saat yang sama, dia merasa seperti ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.
Sore itu semakin larut, dan ketika matahari mulai tenggelam, Reyhan merasa sudah cukup lama di sana. Mereka berdua bangkit dari bangku, dan Nayra melihat ke arah Reyhan dengan senyum yang tulus.
“Reyhan, aku senang kamu datang. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku akan merindukan sore yang indah ini.”
Reyhan merasa hatinya berdebar. “Aku juga senang bisa datang ke sini. Dan aku rasa, kita bakal sering ketemu lagi, kan?”
Nayra mengangguk, matanya berbinar. “Tentu. Aku suka sekali kalau kamu ikut aku ke tempat-tempat seperti ini.”
Reyhan tersenyum, merasakan sesuatu yang hangat menyebar di dadanya. “Aku pasti akan datang lagi.”
Dan saat itu, di bawah langit yang mulai gelap dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan, Reyhan tahu—ini baru awal dari perjalanan mereka yang tak terduga.
Senja yang Terlupakan
Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan cepat, dan setiap detiknya terasa semakin berharga. Reyhan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Setiap kali ia bertemu Nayra, ada rasa hangat yang muncul begitu saja—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada kedekatan yang tak terucapkan, tapi selalu bisa dirasakan, terutama ketika mereka duduk bersama di tempat yang sama, berbicara tentang apa saja.
Setelah kebun bunga, mereka mulai menjalin rutinitas kecil: bertemu di kafe, berjalan-jalan di taman, bahkan mengunjungi beberapa galeri seni di kota. Namun, setiap pertemuan terasa istimewa, lebih dari sekadar kebersamaan. Reyhan merasa, perlahan, dia mulai mengerti siapa Nayra—gadis yang dulunya hanya terlihat seperti seorang yang penuh teka-teki, kini menjadi seseorang yang dekat di hatinya.
Pagi itu, Reyhan memutuskan untuk datang lebih awal ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia memilih meja dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan. Suasana pagi yang tenang membuatnya merasa lebih santai dari biasanya. Ia memesan secangkir kopi hitam, menunggu dengan sabar.
Tak lama kemudian, Nayra muncul, wajahnya cerah seperti biasa, dengan rambut tergerai dan gaun musim panas yang simpel namun elegan. “Hey,” sapa Nayra sambil melambai ringan.
Reyhan tersenyum dan mengangguk. “Hey, kamu datang tepat waktu.”
Nayra duduk di hadapannya, mengamati meja. “Hmm, baru kali ini kamu datang lebih cepat.”
Reyhan mengangkat bahu. “Kali ini aku memang sengaja datang lebih awal. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Nayra mengangkat alisnya, rasa penasaran mulai terlihat di wajahnya. “Oh? Ada apa?”
Reyhan terdiam sejenak. Ia merasa sedikit gugup, tapi tekadnya lebih kuat. “Aku nggak tahu mulai dari mana, tapi…” ia menarik napas dalam-dalam, “Aku pikir kita berdua udah semakin dekat, kan?”
Nayra menatapnya, sepertinya terkejut, namun senyumnya tak hilang. “Iya, aku juga merasakannya.”
“Jadi… aku cuma ingin bilang,” Reyhan melanjutkan, mencoba untuk lebih yakin, “Aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Aku merasa nyaman, senang bisa punya waktu sama kamu. Dan aku… merasa, kalau aku nggak bilang ini sekarang, aku bakal nyesel.”
Nayra terdiam, matanya menatap Reyhan dalam keheningan yang memadatkan ruang. Ada sesuatu yang terpendam dalam tatapannya—sesuatu yang Reyhan tak bisa mengartikan. Tapi setelah beberapa detik, Nayra menghela napas dan berbicara dengan lembut, “Reyhan, aku juga merasa hal yang sama.”
Reyhan merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Kata-kata itu—kata-kata yang tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulut Nayra—membuat hatinya berdegup kencang. Ia merasa senang sekaligus cemas. Apakah ini berarti mereka memang memiliki perasaan yang sama?
“Jadi…” Reyhan melanjutkan, matanya tak lepas dari wajah Nayra yang tampak serius, “Apa yang kita lakukan sekarang?”
Nayra tertawa pelan, dan Reyhan merasa seolah beban di dadanya sedikit berkurang. “Kita bisa menikmati waktu ini. Aku ingin kita bisa terus berbicara, bertemu, dan melihat apa yang akan terjadi.”
“Aku setuju.” Reyhan mengangguk, senyum kecil terukir di bibirnya. “Tapi, kalau begitu… bagaimana kalau kita mulai dengan merencanakan sesuatu yang lebih seru?”
Nayra menatapnya, ragu-ragu sejenak, lalu tersenyum lebar. “Seperti apa?”
“Bagaimana kalau kita liburan sebentar? Gimana kalau ke tempat yang jauh dari kota? Tempat yang nggak ada gangguan?” Reyhan menawarkan ide itu dengan semangat. “Mungkin kita bisa menyewa rumah di pinggir pantai atau di pegunungan. Aku ingin menghabiskan waktu bersama kamu tanpa batasan apapun.”
Nayra tampak berpikir sejenak. “Itu terdengar… menarik.”
“Jadi?” Reyhan mendekatkan diri sedikit, senyum lebar tergambar di wajahnya. “Kamu mau?”
Nayra tertawa, lalu mengangguk pelan. “Aku akan berpikir lebih lanjut tentang itu, Reyhan. Tapi untuk sekarang, aku senang kita bisa bicara seperti ini.”
Reyhan merasa ada kedamaian yang mengalir dalam dirinya. Setiap kata yang terucap terasa semakin nyata. Mungkin memang benar apa yang mereka rasakan—sebuah hubungan yang tumbuh tanpa tekanan, dengan rasa yang datang begitu saja.
Selesai mereka menikmati kopi, mereka pun melangkah keluar dari kafe. Hari itu terasa berbeda, lebih ringan dan penuh harapan. Mereka berjalan berdampingan, tidak terburu-buru, menikmati setiap langkah kecil yang mereka ambil bersama.
Sore itu, ketika matahari mulai tenggelam, mereka duduk di bangku taman yang biasa mereka lewati. Reyhan melihat ke langit, menyaksikan langit yang memerah dengan cahaya senja yang menghangatkan hati. “Kamu tahu, kadang aku merasa… kita berdua seperti senja ini. Semuanya terasa sempurna, meskipun kita tahu bahwa nanti malam akan datang.”
Nayra menatapnya, senyum kecil di wajahnya. “Aku suka cara kamu berpikir, Reyhan. Kita nggak perlu terburu-buru. Semua akan datang pada waktunya.”
Reyhan merasakan hatinya semakin kuat dengan kata-kata itu. Senja yang mereka nikmati bersama ini bukan hanya sekadar waktu yang berlalu, tapi juga bagian dari kisah yang sedang mereka bangun bersama—kisah yang penuh dengan momen kecil yang manis.
“Ini baru permulaan,” Reyhan berpikir dalam hati. Dan dalam keheningan senja itu, ia tahu bahwa keduanya akan menemukan banyak hal lebih indah di masa depan.
Kisah yang Terukir di Waktu yang Tepat
Beberapa minggu setelah perjalanan kecil mereka yang tak terlupakan, kehidupan mulai berjalan dengan ritme yang semakin natural bagi Reyhan dan Nayra. Setiap kali mereka bertemu, ada rasa yang semakin dalam, tanpa perlu banyak kata. Mereka tak lagi merasa canggung, bahkan di antara gelak tawa atau saat berbicara tentang hal-hal sepele. Apa yang mereka miliki kini terasa sangat nyata, seperti sebuah kisah yang mulai terukir di setiap langkah mereka.
Hari itu, Reyhan kembali mengajak Nayra ke tempat yang mereka kunjungi pertama kali—kafe kecil yang menjadi saksi pertama dari kedekatan mereka. Ini bukan sekadar kafe, melainkan tempat di mana mereka saling menemukan kenyamanan, di mana setiap kata, tawa, dan pandangan membentuk fondasi dari hubungan yang mereka jalani.
Nayra sudah tiba lebih dulu, duduk di meja dekat jendela, dan Reyhan bisa melihatnya dari luar. Senyumannya menyambut kedatangannya, seperti biasa, dan hatinya terasa hangat. Ia menghampiri Nayra, duduk di hadapannya, dan mereka saling bertatapan sejenak, seperti ingin mengingatkan diri bahwa mereka sudah berada pada titik yang lebih dalam daripada sebelumnya.
“Aku bawa kejutan,” kata Reyhan sambil mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya.
Nayra mengangkat alis. “Kejutan? Apa itu?”
Reyhan tersenyum penuh misteri, lalu meletakkan amplop itu di atas meja. “Kamu akan tahu sebentar lagi.”
Nayra melihat amplop itu dengan penasaran, lalu meraihnya perlahan. “Kamu yakin, ini nggak apa-apa?”
“Percaya aja,” jawab Reyhan sambil mengedipkan mata.
Nayra membuka amplop itu dan mengeluarkan sebuah tiket. “Ini… tiket pesawat?” Ia menatap Reyhan dengan kebingungan.
“Iya,” Reyhan mengangguk. “Kita pergi ke Bali, Nayra. Aku udah siapin semuanya. Aku tahu kita sudah banyak berbicara tentang tempat itu, jadi… kenapa nggak sekarang? Satu minggu, hanya kamu dan aku. No distractions.”
Nayra menatap tiket itu dalam diam, merasakan sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. “Reyhan, kamu serius?”
Reyhan mengangguk mantap. “Aku serius. Kita berdua sudah melalui banyak hal bersama, dan aku rasa ini waktu yang tepat untuk kita mengeksplorasi lebih jauh, menikmati kebersamaan ini lebih dalam lagi.”
Wajah Nayra berubah, matanya yang biasanya tajam kini terlihat lebih lembut. “Kamu… benar-benar tahu bagaimana membuat semuanya terasa istimewa.”
Reyhan tersenyum, melihat senyuman Nayra yang perlahan muncul. “Aku cuma ingin kita berdua bisa terus membuat kenangan, Nayra. Tanpa ada yang menghalangi.”
Nayra mengangguk pelan, matanya berbinar. “Aku… aku nggak tahu harus bilang apa, Reyhan. Ini sangat berarti buat aku.”
Reyhan merasa hati ini meluap dengan kebahagiaan yang tak terbendung. “Kita memang nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Nayra. Tapi aku yakin satu hal—aku ingin menjalani semuanya dengan kamu.”
Bersama senja yang perlahan memudar, mereka merasakan kehangatan yang lebih dari sekadar kata-kata. Mereka tahu bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar ke Bali—ini adalah perjalanan yang akan mengukir kenangan sepanjang hidup mereka. Perjalanan yang penuh dengan tawa, cinta, dan kisah manis yang akan mereka ingat untuk selamanya.
Di antara gelas kopi dan tatapan yang penuh makna, mereka tahu, tak ada yang lebih indah dari saat-saat seperti ini—saat mereka berjalan bersama, berdua, menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
“Reyhan,” Nayra berbisik pelan, matanya menatap mata Reyhan dengan penuh kepercayaan, “Aku merasa ini benar. Aku merasa kita akan baik-baik saja.”
Reyhan meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku juga merasa begitu, Nayra. Aku percaya, ini baru awal dari kisah kita yang lebih indah.”
Dan di bawah langit senja yang perlahan berganti menjadi malam, mereka tahu bahwa ini adalah titik awal dari sesuatu yang luar biasa—sebuah kisah cinta yang bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang memahami satu sama lain, tentang menciptakan kenangan, dan yang terpenting, tentang saling percaya.
Kisah mereka, yang dimulai dengan senyum malu-malu, kini terukir dengan jelas di hati mereka—sebuah kisah yang akan terus hidup, meski waktu terus berjalan.
Kadang, hidup itu nggak pernah kita duga. Bisa jadi, seseorang yang kita anggap biasa, ternyata punya perasaan yang sama. Cerita ini tentang dua orang yang awalnya canggung, akhirnya menemukan sesuatu yang lebih. Semua berawal dari sebuah kejutan kecil yang ternyata membawa mereka ke perjalanan cinta yang nggak bakal terlupakan. Mungkin, ini hanya permulaan.