Cerpen Romansa Sedih dan Bahagia: Cinta yang Teruji, Janji yang Terpenuhi

Posted on

Cinta itu kadang nyakitin banget, ya. Tapi, siapa sangka kalau rasa sakit itu malah bikin kita lebih kuat buat nerima kebahagiaan yang sejati? Cerita ini tentang Keira dan Arka, yang udah lama saling diam-diam peduli, tapi nggak tahu harus mulai dari mana.

Mereka ngalamin banyak hal—kesalahan, penyesalan, dan akhirnya… cinta yang selama ini udah lama tertunda. Kalau kamu lagi cari cerita yang bisa bikin nangis tapi juga senyum-senyum sendiri, ini dia ceritanya!

 

Cinta yang Teruji, Janji yang Terpenuhi

Langit yang Terlalu Jauh

Arka duduk di bangku taman kota, dengan wajah yang hampir tenggelam di balik layar ponselnya. Sudah berjam-jam ia ada di sana, menikmati angin sore yang cukup sejuk, dengan mata yang lebih banyak melamun daripada memeriksa layar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala, namun itu tidak cukup untuk mengalihkan perhatiannya dari pikiran yang terus berputar-putar.

Dia selalu merasa seperti ini, setiap kali melihat Keira. Semua yang ada di sekelilingnya terasa seperti kabur, dan dunia seakan berhenti berputar. Keira—gadis yang selalu terlihat sempurna, selalu menjadi pusat perhatian, dan selalu memiliki segalanya. Sejak SMA, Arka hanya bisa mengamati dari jauh, tanpa bisa mendekat. Keira adalah bintang, dan dia, hanya seonggok debu yang terlupakan.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Arka menyendiri. Bukan karena dia tidak punya teman, tapi lebih karena dia merasa bahwa dirinya adalah orang yang tak pernah diperhitungkan. Keira selalu ada di mana-mana, dikelilingi teman-temannya yang kaya, cantik, dan pintar. Arka? Dia hanya anak biasa yang harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tapi malam ini—malam yang sepertinya tidak jauh berbeda—sesuatu yang aneh terjadi. Sesosok tubuh muncul dari arah jalan setapak yang sudah lama Arka amati. Keira.

Arka sempat berpikir bahwa dia hanya salah lihat, tapi tidak. Keira benar-benar berjalan menuju arah bangkunya. Rambutnya yang panjang, berkilau, dan pakaian yang selalu modis itu memberi sinyal bahwa dia memang berasal dari dunia yang berbeda. Keira tidak menyadari Arka yang sudah lama memperhatikannya. Namun malam ini, sepertinya semuanya berubah.

Keira berhenti di depannya, dan Arka hampir terperosok dari bangkunya karena kaget. Pandangan Keira terfokus pada ponsel yang ada di tangan Arka, meskipun dia sepertinya tidak benar-benar memperhatikan apa yang sedang dilakukan Arka.

“Arka, kan?” Keira akhirnya bertanya, suara lembutnya terdengar lebih berat dari biasanya.

Arka hanya bisa mengangguk pelan. Tidak bisa berkata apa-apa. Selama ini, Keira selalu begitu—terlihat tak tergoyahkan dan jauh dari jangkauan. Jadi, melihatnya berdiri di depannya, di tengah malam, sangatlah aneh.

Keira tidak duduk. Dia berdiri dengan sedikit ragu, lalu menatap Arka sejenak, seolah mengukur apakah dia layak mendapatkan perhatian. “Aku… butuh bantuan.”

“Bantuan? Kamu butuh bantuan sama aku?” Arka terkejut, suaranya terdengar lebih keras daripada yang ia inginkan.

Keira menunduk sedikit, seolah menyesal sudah berbicara begitu. “Iya,” jawabnya, perlahan. “Aku tahu ini aneh. Tapi aku nggak tahu harus kemana lagi.”

Keira melangkah sedikit lebih dekat, duduk di bangku sebelah Arka. Suasana sekitar mereka terasa semakin sunyi. Tidak ada suara angin yang berhembus, tidak ada orang yang lewat. Hanya ada dua orang yang duduk, tanpa tahu apa yang harus dibicarakan.

Arka memandang Keira. Wajahnya masih tampak cantik, seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Keira tidak tampak seperti dirinya yang biasa—selalu penuh percaya diri dan terlihat sempurna. Kini ada keletihan di matanya. Sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.

“Apa yang terjadi?” Arka akhirnya memberanikan diri bertanya.

Keira menatap ke depan, menghindari tatapan Arka. “Aku nggak tahu harus gimana lagi. Selama ini aku harus jadi orang yang sempurna. Semua orang mengharapkan itu dariku. Tapi… aku capek.”

Suara Keira terdengar lebih rendah, lebih rapuh dari biasanya. Arka merasa hatinya sedikit tersentuh, meski ia tahu bahwa ia tidak punya banyak kesempatan untuk berbicara lebih banyak tentang hal ini. Keira adalah sosok yang selalu tampak kuat, yang selalu dapat menghadapinya sendiri. Tapi malam ini, ia tampak berbeda.

“Kenapa ke aku?” Arka akhirnya bertanya, berusaha mengerti.

Keira memalingkan wajahnya dan menatap Arka dengan tatapan yang lebih lembut. “Karena kamu satu-satunya yang nggak pernah melihat aku seperti itu. Kamu nggak pernah menganggap aku sebagai gadis cantik yang harus selalu sempurna. Kamu… hanya melihat aku sebagai orang biasa, bukan?”

Arka terdiam. Itu benar. Sejak dulu, ia tidak pernah terlalu mengagumi Keira seperti yang dilakukan teman-teman sekelasnya. Bagi Arka, Keira hanyalah seorang gadis yang tak bisa dijangkau, yang hidup dalam dunia yang sangat berbeda. Tapi, kini, ada sisi lain dari Keira yang baru ia kenal. Keira yang tampaknya tidak sekuat yang selama ini ia tunjukkan.

“Gak apa-apa,” Arka menjawab, berusaha meyakinkan. “Aku… aku selalu di sini kalau kamu butuh seseorang. Aku gak pernah pergi.”

Keira diam beberapa saat, seolah mencerna kata-kata Arka. Kemudian, dia mengangkat wajahnya dan tersenyum sedikit. “Makasih, Arka. Aku nggak tahu harus ngomong apa.”

Arka hanya bisa membalas senyum itu, meskipun hatinya terasa sedikit berat. Ia tahu bahwa perasaan ini, yang selalu ada di dalam dirinya, mungkin tidak akan pernah terungkap. Tetapi, malam ini, setidaknya dia bisa membantu Keira. Itu sudah cukup.

Malam itu, mereka duduk dalam keheningan, berbicara sesekali, namun ada perasaan yang sulit diungkapkan antara keduanya. Arka hanya bisa berharap bahwa suatu hari, Keira akan melihatnya lebih dari sekadar seseorang yang tak pernah dianggap.

Namun, untuk saat ini, Arka cukup puas menjadi orang yang ada untuk Keira.

Dan entah mengapa, meski tidak ada kata cinta yang terucap, ada perasaan yang lebih dalam yang tumbuh antara mereka.

 

Saat Dunia Berhenti Berputar

Hari-hari setelah pertemuan malam itu seperti sebuah angin sepoi yang membawa keheningan. Keira tidak sering datang ke Arka lagi, meskipun sesekali mereka berbicara di kelas atau saling menyapa saat bertemu di jalan. Tapi entah mengapa, perasaan itu—perasaan yang tiba-tiba tumbuh di dalam hati Arka—tak kunjung padam. Keira, yang selama ini hanya ia amati dari jauh, kini seolah memberi sedikit celah untuk masuk ke dalam dunianya. Namun, celah itu terasa rapuh dan tak pernah cukup lebar.

Minggu-minggu berlalu, dan Arka mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa Keira mungkin hanya melihatnya sebagai teman biasa. Tidak lebih, tidak kurang. Ia tetap menjalani hari-harinya, meskipun perasaan itu seringkali mengganggu pikirannya. Ada sebuah harapan yang terus tumbuh meskipun ia tahu bahwa harapan itu sangat kecil. Ia tahu Keira lebih memilih untuk dikelilingi teman-teman yang lebih sejalan dengan dunianya—teman-teman yang cantik, kaya, dan penuh dengan kepercayaan diri.

Suatu hari, Arka tengah duduk di bangku taman kampus, seperti biasanya. Udara sore itu terasa hangat, dan langit biru dengan awan putih yang bergerak pelan memberi kesan damai. Namun, hatinya kembali bergejolak ketika dia melihat Keira berjalan ke arahnya. Kali ini, dia tidak sendirian. Ada seorang laki-laki yang berjalan di sampingnya, tampak lebih tinggi dan berpenampilan rapi. Mereka tertawa bersama, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Arka merasa hatinya sedikit sesak melihat pemandangan itu.

Namun, yang lebih membuatnya merasa aneh adalah saat Keira melihat ke arah Arka, dan kemudian tersenyum kecil. Sebuah senyum yang tidak sepenuhnya tulus, namun cukup untuk membuat jantung Arka berdegup kencang. Arka merasa bodoh, tapi ia tidak bisa menahan perasaan itu. Ia tahu, pada akhirnya, Keira akan selalu memilih dunia yang lebih besar, dunia yang lebih menarik daripada dunia kecilnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Keira muncul di hadapannya, kali ini sendirian.

“Arka, ada waktu sebentar?” Keira bertanya, nada suaranya sedikit cemas, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi tak bisa langsung keluar.

Arka menatap Keira dengan cermat, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. “Tentu, ada apa?” jawabnya, berusaha terdengar santai meski dalam hatinya ada beribu pertanyaan.

Keira duduk di bangku yang sama, agak jauh dari Arka, seolah menjaga jarak meski tak ada yang harus dijaga. Ia menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke depan.

“Aku… Aku harus pergi,” Keira akhirnya berbicara setelah beberapa detik hening yang terasa panjang. “Aku mau kuliah di luar negeri. Mungkin untuk beberapa tahun. Orangtuaku sudah mengatur semuanya.”

Arka terdiam. Dada terasa sesak, dan tubuhnya seolah membeku. Keira akan pergi? Ke luar negeri? Selama ini, Arka selalu tahu bahwa Keira memiliki ambisi besar, tetapi mendengarnya langsung dari mulutnya membuat kenyataan itu semakin nyata.

“Keira… kamu serius?” tanya Arka, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba muncul.

Keira mengangguk perlahan, matanya yang biasanya penuh keceriaan kini terlihat agak kosong. “Iya, Arka. Aku harus melakukan ini. Semua orang mengharapkannya dariku. Dan aku… nggak tahu harus gimana kalau nggak mengikuti apa yang mereka inginkan.”

Keira mengalihkan pandangannya ke tanah, seolah tidak bisa lagi bertemu mata dengan Arka. Ada kesedihan yang jelas terlihat, meskipun dia berusaha untuk terlihat tegar.

Arka merasa kata-kata itu menusuk. Keira—gadis yang selalu terlihat begitu kuat—ternyata juga merasa terhimpit oleh ekspektasi orang lain. Arka tahu, meskipun ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, ia tidak bisa melakukan itu. Ini bukan waktunya. Ini bukan tempatnya.

“Kamu nggak perlu merasa seperti itu, Keira,” kata Arka pelan, berusaha memberikan kenyamanan yang tidak pernah bisa dia ungkapkan sebelumnya. “Kadang, kita harus melakukan apa yang benar untuk diri kita sendiri, bukan hanya mengikuti apa yang diinginkan orang lain. Aku… aku tahu kamu akan baik-baik saja.”

Keira menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku tahu, tapi… ini sulit, Arka. Aku nggak bisa lari dari apa yang sudah ditentukan untukku. Kamu… kamu lebih beruntung karena bisa memilih jalanmu sendiri.”

“Tidak, Keira,” Arka menjawab, menggelengkan kepalanya. “Aku nggak lebih beruntung. Aku hanya belajar untuk menerima apa yang ada di depan aku. Kadang, kita nggak bisa memilih, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi semuanya.”

Keira tersenyum tipis, senyum yang penuh makna, meski sedikit terhenti. “Makasih, Arka. Aku… Aku nggak tahu harus bilang apa.”

Tiba-tiba, ada perasaan aneh yang menyelimuti Arka. Seperti ada sesuatu yang hilang, tapi ia tidak bisa menggapainya. Keira, yang begitu dekat dengannya malam itu, kini berjarak begitu jauh. Semua perasaan yang telah lama ia pendam, tiba-tiba terasa begitu nyata, begitu menyakitkan.

Namun, meskipun hati Arka berat, ia tidak ingin Keira tahu betapa besar perasaan itu. Ia tahu, Keira membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Dan Arka hanya bisa menjadi seseorang yang ada saat Keira membutuhkan, tanpa berharap lebih.

Saat Keira berdiri dan bersiap untuk pergi, Arka menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan, meski ia tahu bahwa harapan itu sangat tipis. “Keira,” Arka memanggilnya sekali lagi.

Keira menoleh, wajahnya yang cantik tetap terlihat penuh keraguan.

“Jaga dirimu di sana,” kata Arka, suara yang terdengar lebih rendah dari biasanya. “Aku… aku akan selalu di sini, kalau kamu membutuhkan.”

Keira tersenyum, kali ini senyumnya lebih tulus, meskipun masih ada sedikit kesedihan di matanya. “Makasih, Arka. Aku nggak akan lupa.”

Keira kemudian berbalik dan berjalan menjauh. Arka hanya bisa menatapnya hingga sosoknya menghilang dari pandangannya, meninggalkan keheningan yang kini terasa begitu menyesakkan.

 

Titik Balik dalam Kesunyian

Beberapa minggu setelah Keira pergi, hidup Arka tidak pernah lagi sama. Keira yang dulu hadir seperti angin segar dalam kesehariannya, kini hanya menjadi kenangan yang tersisa dalam ruang-ruang hampa di pikirannya. Setiap sudut kampus yang mereka lewati bersama, setiap tempat yang dulu mereka singgahi, semuanya terasa sepi. Seperti ada yang hilang, namun ia tak tahu apa yang harus dicari untuk mengisinya.

Arka terus berusaha menjalani hidupnya dengan rutinitas yang hampir monoton—kuliah, mengerjakan tugas, kembali ke rumah, dan tidur. Tak ada yang terlalu berarti. Tidak ada lagi tawa Keira yang dulu sering mengiringi langkahnya, tidak ada lagi pembicaraan ringan di antara mereka, bahkan sekadar bertegur sapa di jalan pun kini terasa asing.

Suatu sore yang mendung, ketika hujan turun dengan gerimis pelan, Arka berjalan menyusuri trotoar menuju kafe yang biasa ia kunjungi. Begitu banyak kenangan tentang Keira yang menyatu dalam setiap tempat yang ia datangi. Meskipun sudah terbiasa dengan kepergian Keira, masih ada sedikit bagian dalam dirinya yang berharap bisa bertemu kembali dengan gadis itu—entah bagaimana, entah kapan.

Namun hari itu, saat ia sedang menunggu pesanan kopi di meja dekat jendela, ponselnya bergetar. Arka mengalihkan perhatian dan melihat sebuah pesan masuk.

“Arka, kita bisa bicara?”

Tiga kata itu cukup untuk menghentikan detak jantung Arka sejenak. Dari siapa lagi kalau bukan Keira? Meskipun sudah tahu bahwa Keira kini jauh di luar negeri, ia tidak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja. Tidak ada alasan untuk tidak merespons, apalagi setelah semua waktu yang telah berlalu.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arka segera membalas pesan itu.

“Tentu. Ada apa?”

Beberapa menit kemudian, balasan datang.

“Aku sedang ada di kota. Aku ingin bertemu.”

Arka tertegun. Keira kembali ke kota? Ia sempat merasa bingung, hampir tidak percaya, sebelum akhirnya memutuskan untuk langsung merespons.

“Kapan?”

“Hari ini, jika kamu ada waktu. Aku ingin bicara.”

Arka melihat sekitar, sejenak merasakan kebingungannya. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Keira ingin bicara—dan Arka tahu itu bukan tentang sekadar pertemuan ringan. Ada sesuatu yang tak terungkap selama ini, dan saat ini saatnya untuk dibuka.

Setelah beberapa saat, Arka pun memutuskan untuk bertemu dengan Keira. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman kota yang sepi, yang selalu menjadi tempat favorit mereka dahulu. Saat Arka tiba di sana, Keira sudah duduk di sebuah bangku panjang, menatap ke arah danau yang diam dengan air yang terlihat seperti kaca.

Keira mengenakan jaket hitam, tampak lebih dewasa, dan sedikit lebih berbeda dari yang ia ingat. Wajahnya tidak lagi terlihat penuh dengan kecemasan atau kebingungannya yang dulu. Ia terlihat lebih tenang, tapi ada sesuatu yang menahan rasa berat di matanya.

Arka duduk di sebelahnya, tak berkata apa-apa untuk beberapa detik. Hanya terdengar suara tetesan hujan yang jatuh pelan di dedaunan.

“Keira, ada apa?” tanya Arka akhirnya, suaranya terkesan berat, penuh kekhawatiran. Meskipun ia sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa Keira mungkin tidak pernah melihatnya lebih dari seorang teman, saat itu ia merasa bahwa ada sesuatu yang belum pernah dia pahami sebelumnya.

Keira menghela napas panjang, seolah mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu ini mungkin agak terlambat, Arka,” katanya pelan, suaranya serak. “Tapi aku harus mengatakan sesuatu yang mungkin selama ini aku sembunyikan.”

Arka menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu apa yang akan diungkapkan. Keira sedikit menggigit bibirnya, seperti tengah merasakan kebingungan yang mendalam.

“Aku merasa bodoh,” lanjut Keira dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul, tapi setelah aku pergi ke luar negeri, setelah aku menjauh dari semua yang ada di sini… aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting. Dan ternyata, itu adalah kamu, Arka.”

Arka terdiam, jantungnya berdebar kencang mendengar kata-kata Keira. Setiap detik terasa semakin berat, semakin menekan, karena seketika semuanya seperti mengalir begitu saja tanpa bisa dihentikan.

“Aku merasa… aku menyia-nyiakan waktu kita dulu. Aku terlalu terjebak dalam ekspektasi orang tua, terlalu fokus pada apa yang seharusnya aku lakukan, dan terlalu mengabaikan apa yang sebenarnya aku inginkan. Aku sempat berpikir aku bisa hidup dengan itu—dengan meninggalkan semua yang ada di sini. Tapi kenyataannya, aku nggak bisa.”

Keira menundukkan kepala, seolah malu dengan apa yang baru saja dia katakan. Arka bisa merasakan getaran ketulusan dalam suaranya. Semua yang telah mereka lalui, semuanya terasa seperti terjalin dalam setiap kalimat yang keluar dari bibir Keira.

“Arka, aku minta maaf,” Keira melanjutkan, “Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tahu aku tidak bisa memaksakan semuanya. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku menyesal tidak memberi kesempatan lebih banyak kepada kita berdua.”

Arka tidak bisa berkata-kata. Perasaannya begitu campur aduk—senang, kecewa, bingung, dan bahkan cemas. Ada sesuatu yang sangat dalam di hatinya yang ingin ia ungkapkan, tetapi ia tahu bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk mendengarkan lebih banyak dari Keira, bukan untuk berbicara tentang perasaannya sendiri.

“Keira, aku… aku nggak tahu harus bilang apa. Aku nggak pernah mengharapkan apa pun dari kamu,” kata Arka akhirnya, suaranya lirih, “Tapi, kamu sudah kembali. Itu lebih dari yang aku harapkan.”

Keira menatapnya, matanya penuh dengan kebingungannya sendiri. “Aku ingin kita memulai lagi, Arka. Aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita sendiri. Tidak ada yang menjamin segalanya akan berjalan dengan sempurna, tapi setidaknya, kita harus mencoba.”

Arka bisa merasakan sebuah harapan baru yang perlahan tumbuh dalam dadanya. Keira, yang selama ini tampak begitu jauh, kini memberi secercah cahaya yang cukup untuk membuatnya percaya lagi.

“Keira,” Arka berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku siap mencobanya. Selama ini aku menunggu… dan aku masih di sini.”

Keira tersenyum, senyum yang lebih lebar kali ini, senyum yang penuh harapan, meskipun masih ada ketegangan di antara mereka. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Mereka sudah memulai sesuatu yang baru, meskipun masih banyak hal yang harus diperjuangkan.

 

Menjemput Kebahagiaan yang Tertunda

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengalir dalam setiap percakapan mereka, sesuatu yang dulu hilang—sebuah kebersamaan yang kini terjalin dengan lebih hati-hati dan penuh pengertian. Keira dan Arka mulai membangun kembali ikatan mereka yang sempat terputus, bukan dengan cara yang terburu-buru, tapi dengan kesabaran dan perhatian lebih. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada lagi ruang untuk kesalahan yang sama, tapi kali ini, mereka lebih siap.

Mereka mulai menghabiskan waktu bersama lagi, meski kadang hanya sekedar duduk di sebuah kedai kopi kecil, saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi selama waktu mereka terpisah. Keira yang dahulu tampak begitu sibuk dengan hidupnya, kini lebih banyak berbicara tentang hal-hal sederhana yang dulu mereka abaikan. Arka yang dulu lebih tertutup, kini lebih banyak tersenyum, dan segala ketegangan di antara mereka perlahan memudar.

Satu sore yang cerah, saat matahari masih terik dan langit biru begitu jernih, Keira mengajak Arka ke tempat mereka pertama kali bertemu—sebuah taman kecil yang ada di tengah kota, penuh dengan bunga-bunga yang tumbuh subur, angin yang sepoi-sepoi, dan kenangan lama yang terasa begitu nyata.

Mereka duduk di bangku yang sama, seperti dulu. Hanya saja kali ini, tidak ada kesunyian yang terasa canggung. Keira memandang Arka dengan tatapan yang lebih dalam, seolah mencoba mengungkapkan perasaannya tanpa kata-kata.

“Arka, aku ingin kamu tahu,” Keira memulai dengan suara yang lembut. “Selama ini, aku sering merasa bingung dengan apa yang aku cari. Aku terlalu sering mengejar hal-hal yang sebenarnya tidak aku inginkan. Tapi kamu, Arka… kamu selalu ada, bahkan ketika aku merasa bahwa aku sudah jauh darimu.”

Arka menatap Keira dengan mata yang penuh pengertian, seakan tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Keira, aku juga merasa hal yang sama. Kita mungkin membutuhkan waktu untuk menemukan jalan kita masing-masing, tapi yang terpenting, kita ada di sini, sekarang. Aku nggak pernah menganggap apa yang kita punya sebagai hal yang biasa, meskipun dulu aku nggak tahu cara untuk menyampaikannya.”

Keira tersenyum, senyum yang penuh kelegaan, seolah semua beban yang ada selama ini mulai terangkat sedikit demi sedikit. Ia meraih tangan Arka dan menggenggamnya dengan erat, seolah ingin memastikan bahwa mereka tak akan pernah terlepas lagi.

“Aku janji,” Keira melanjutkan, “Aku tidak akan lagi membuat jarak antara kita. Aku ingin kita bisa berjalan bersama, dalam segala hal. Aku tahu kita tidak sempurna, Arka, tapi aku siap menjalani semuanya bersamamu.”

Arka menatap tangan Keira yang menggenggamnya, merasakan kedamaian yang mulai merasuk ke dalam dirinya. Semua kegelisahan yang dulu menyertainya kini berubah menjadi kepercayaan. Kepercayaan bahwa setiap kesulitan, setiap air mata, adalah bagian dari perjalanan mereka yang akan berujung pada kebahagiaan.

“Keira,” kata Arka dengan suara yang lebih rendah, namun penuh makna, “Aku sudah lama menunggu saat seperti ini. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin melanjutkannya denganmu. Aku siap menjemput kebahagiaan yang sudah lama tertunda.”

Keira menatapnya dengan mata yang penuh harapan. “Kita akan melakukannya bersama, Arka. Kita akan menjadikan semua yang telah terjadi sebagai pembelajaran, bukan penghalang.”

Mereka duduk bersama di bangku itu, berbicara tentang masa depan yang penuh kemungkinan, tentang harapan-harapan yang akhirnya bisa diungkapkan, tentang perjalanan yang akhirnya bisa dimulai bersama. Tidak ada lagi kata penyesalan, hanya ada kebersamaan yang tulus.

Malam tiba, membawa angin sejuk yang menyapu wajah mereka. Keira dan Arka berjalan berdampingan, menyusuri jalanan yang kini terasa lebih terang. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi satu hal yang pasti—mereka akan menjalani semuanya bersama. Dan itu sudah cukup bagi mereka.

Di bawah langit yang penuh bintang, Arka merasakan kebahagiaan yang sederhana, kebahagiaan yang datang setelah kesulitan, kebahagiaan yang datang setelah penantian panjang. Mereka tidak lagi terjebak dalam keraguan atau ketakutan akan masa depan. Mereka sudah menemukan jalan mereka, dan kini mereka siap melangkah bersama menuju kebahagiaan yang selama ini mereka impikan.

Dan akhirnya, di sinilah mereka—di ujung perjalanan yang penuh liku, di tempat yang paling mereka inginkan untuk berada. Bersama, dalam kebahagiaan yang sederhana dan penuh cinta.

 

Jadi, gimana? Kadang cinta itu memang nggak selalu mulus, tapi kalau kita berusaha, dan ada orang yang saling mendukung, semuanya bisa jadi lebih indah.

Keira dan Arka mungkin butuh waktu untuk sampai ke titik ini, tapi yang penting mereka nggak pernah menyerah. Cinta itu bukan tentang langsung sempurna, tapi tentang berjuang bareng, melewati segala hal dengan hati yang sama. Dan kamu, sudah siap buat percaya sama cintamu sendiri?

Leave a Reply