Cerpen Romansa Sedih Cinta Ditimpa Kepergian: Kenangan yang Tak Terlupakan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak ada bagian dari dirimu yang hilang, tapi nggak tahu gimana cara ngembaliin? Begitu juga yang dirasain sama Naufal, yang kehilangan Kaira, orang yang selama ini jadi bagian paling penting dalam hidupnya.

Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia penuh kenangan manis yang sekarang cuma bisa dia simpen, dan nggak ada lagi yang bisa ngulangin semuanya. Kalo kamu pikir cinta itu cuma tentang kebahagiaan, siap-siap deh buat diseret ke dalam rasa sakit yang nggak bisa dihindari.

 

Kenangan yang Tak Terlupakan

Saat Senyumanmu Menghentikan Waktu

Di sebuah kafe kecil yang selalu ramai di akhir pekan, aku duduk sendiri di sudut meja, menatap secangkir kopi yang sudah lama mendingin. Semua orang tampak asyik dengan obrolan mereka masing-masing, kecuali aku. Aku lebih suka berada dalam sunyi. Tidak ada yang tahu, meski aku di keramaian, aku selalu merasa seperti tidak pernah benar-benar ada. Hingga saat itu.

Dia masuk, membawa harum kopi dan senyum cerianya. Kaira. Namanya selalu terdengar seperti lagu, lembut dan merdu, meski aku hanya tahu sedikit tentangnya. Aku melihatnya melangkah dengan percaya diri, rambut coklatnya tergerai sempurna, sedikit berkilau di bawah cahaya temaram. Pakaian yang dia kenakan tidak pernah gagal membuatnya terlihat seperti bintang di kafe itu, meskipun yang lain mungkin tidak menyadarinya. Aku selalu bisa melihatnya.

Kaira duduk di meja dekat jendela, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Sesekali, matanya yang besar itu melirik keluar jendela, melihat ke luar seolah memikirkan sesuatu yang jauh. Aku selalu melihatnya begitu. Seperti ada dunia yang dia sembunyikan, dunia yang tidak pernah dia ungkapkan. Entah kenapa, aku merasa tertarik. Bukan karena kecantikannya yang luar biasa, meskipun itu jelas jadi salah satu alasan. Tetapi ada sesuatu yang lebih dalam, seperti ada cahaya di matanya yang tidak dimiliki orang lain.

Beberapa menit berlalu, dan aku tidak bisa berhenti menatapnya. Tiba-tiba, Kaira menoleh, dan matanya bertemu dengan mataku. Aku terkejut, tak siap dengan tatapannya yang tajam namun hangat. Aku langsung mengalihkan pandangan, merasa canggung. Itu pertama kalinya aku merasa terperangkap dalam mata seseorang.

“Kamu sering duduk di sini?” Suaranya terdengar lembut, dan aku menoleh, melihat senyumannya yang mempesona. Seperti sebuah pembukaan percakapan yang tidak pernah aku rencanakan.

Aku mengangguk pelan, sedikit tersentak dengan pertanyaannya. “Ya… aku sering ke sini,” jawabku dengan suara yang sedikit tercekat.

Kaira tertawa kecil, menatapku dengan rasa ingin tahu. “Kenapa kamu sendirian? Tempat ini selalu ramai, kan?”

Aku terdiam sejenak, mencari jawaban yang tepat. “Kadang… lebih baik sendirian,” kataku akhirnya, meskipun sejujurnya, aku hanya tidak tahu harus mengatakan apa. Aku lebih suka menghindar dari keramaian, lebih memilih berada dalam sunyi yang terasa nyaman, meskipun seringkali terasa sepi.

Kaira mengangguk, tampak berpikir. “Aku juga begitu kadang-kadang. Kadang, dunia terlalu berisik, dan aku butuh waktu untuk sendiri. Tapi, anehnya, selalu ada orang-orang yang datang dan mengganggu ketenangan itu,” katanya sambil tersenyum nakal.

Aku tersenyum kecil. “Iya, memang selalu begitu,” jawabku, merasa aneh dengan percakapan ini. Kami hanya saling bertukar kalimat singkat, tetapi aku merasa sudah lama mengenalnya.

Kaira kemudian memesan kopi dan duduk kembali di mejanya. Aku terus memperhatikannya, merasa ada yang berbeda. Ada daya tarik yang tidak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang menghubungkan kami meskipun kami belum saling mengenal. Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, Kaira menoleh lagi padaku.

“Aku Kaira,” katanya dengan santai, menyodorkan tangan. “Dan kamu?”

Aku ragu sejenak, kemudian mengulurkan tangan, merasa canggung meskipun itu hanya perkenalan sederhana. “Aku Naufal.”

Kami tersenyum, dan entah kenapa, pertemuan ini terasa seperti sesuatu yang tak terduga. Suasana kafe yang ramai kini terasa lebih sepi, hanya ada kami berdua, seperti dunia ini milik kami saja. Kaira, dengan senyumnya yang begitu mudah, membuatku merasa nyaman meskipun aku tidak sering berbicara dengan orang asing.

Beberapa kali kami berbincang, saling bercerita tentang hal-hal yang sederhana, seperti film yang baru ditonton atau buku yang baru dibaca. Kaira tampaknya menikmati percakapan ini, begitu juga aku. Tidak ada topik berat, hanya obrolan ringan yang mengalir begitu alami. Waktu pun berlalu tanpa terasa. Ketika Kaira berdiri untuk pergi, aku merasa sedikit canggung. Aku tidak siap jika pertemuan ini harus berakhir.

“Aku harus pergi sekarang,” katanya sambil tersenyum, menyisir rambutnya yang sedikit berantakan. “Tapi aku senang bisa ngobrol dengan kamu.”

Aku hanya mengangguk, sedikit terkejut. “Aku juga senang bisa ngobrol dengan kamu,” jawabku, merasa aneh karena kata-kata itu keluar begitu saja.

Kaira melambaikan tangan, dan aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ada perasaan aneh yang tumbuh dalam diriku. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.

Aku menyesap kopi yang sudah lama dingin, merasa senyum Kaira masih ada di sana. Dalam hatiku, aku tahu, ini baru awal. Awal dari sesuatu yang lebih, sesuatu yang aku tidak bisa prediksi. Dan, meskipun aku tahu, aku tidak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi, aku merasa seperti dunia ini memberi kesempatan baru padaku.

Aku hanya berharap, kesempatan itu tidak akan berakhir dengan cepat.

 

Janji yang Tak Pernah Terucap

Seminggu setelah pertemuan pertama itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang menggelayuti pikiranku. Kaira, gadis itu, terus menghantui benakku. Ada sesuatu yang menarik dalam cara dia berbicara, dalam caranya melihat dunia yang sepertinya penuh dengan rahasia. Entah kenapa, meskipun hanya beberapa kali berbicara dengannya, aku merasa seolah-olah aku sudah mengenalnya lebih lama dari itu.

Kami bertemu lagi di kafe yang sama, tempat yang seakan menjadi saksi dari sebuah kisah yang belum selesai. Kaira duduk di meja yang sama, kali ini sendirian, dengan secangkir teh di depannya. Senyumnya terlihat lebih ringan daripada sebelumnya, meskipun ada kesan bahwa dia menyimpan sesuatu yang dalam.

“Aku kira kamu tidak akan datang,” ucapnya begitu aku duduk di hadapannya. Matanya yang besar itu memandangiku dengan sedikit rasa penasaran, seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu.

“Aku tidak bisa menolak ajakanmu,” jawabku sambil tersenyum, meski dalam hati aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuatku datang. Ada perasaan yang terus menarikku ke arahnya, seperti benang tak terlihat yang mengikat kami berdua.

Kami berbincang tentang banyak hal lagi, kali ini lebih dalam. Kaira bercerita tentang kehidupannya, tentang keluarganya yang selalu sibuk, tentang bagaimana dia merasa terjebak dalam rutinitas yang kadang membosankan. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa seolah-olah ada sebuah keterikatan yang mulai tumbuh meskipun kami hanya mengenal satu sama lain dalam waktu singkat.

“Tapi ada satu hal yang aku tidak bisa lepaskan,” kata Kaira, tiba-tiba suara lembutnya berubah sedikit serius. Matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah-olah mengingat sesuatu yang sudah lama hilang. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Sesuatu yang tak bisa aku temukan di tempat lain.”

Aku hanya diam, mencoba memahami apa yang dia rasakan. Tapi dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang mungkin tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang mengikat kami berdua, meskipun kami belum tahu itu apa.

“Kamu tahu, aku sering merasa seperti dunia ini terlalu besar untuk aku pahami,” lanjut Kaira, kali ini suaranya hampir berbisik. “Tapi ketika aku berbicara denganmu, semuanya terasa lebih… sederhana.”

Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Kaira itu mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin dia merasa seperti itu? Padahal aku hanya seorang yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung menghindari keramaian dan terlalu banyak bicara. Namun di hadapannya, semua itu tidak terasa penting. Semua yang ada hanya kami berdua, berbicara tanpa beban, seolah waktu berhenti saat kami saling memahami.

Kami melanjutkan percakapan itu dengan topik yang lebih ringan, tertawa tentang hal-hal kecil yang kami temui di kehidupan sehari-hari. Namun di dalam hatiku, ada rasa ingin tahu yang semakin membesar. Apa yang sebenarnya Kaira simpan di balik senyumnya yang manis? Kenapa dia bisa begitu terbuka, namun tetap menyembunyikan begitu banyak hal di dalam dirinya?

Saat sore mulai menjelang, Kaira mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang penuh arti. “Naufal,” ucapnya pelan, suara itu terdengar lebih dalam dari sebelumnya. “Aku merasa seperti kita sudah mengenal satu sama lain sejak lama, meskipun kita baru bertemu beberapa kali.”

Aku hanya menatapnya, bingung dengan perasaan yang mulai tumbuh. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apakah perasaan yang sama dengan perasaanku?

Aku tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan di dalam diriku. “Mungkin kita memang sudah saling mengenal lebih lama dari yang kita kira,” jawabku, meski aku tahu kalimat itu hanya sekadar pengalihan.

Kaira tersenyum tipis, namun ada kesedihan yang terlintas di matanya. “Entahlah, Naufal. Aku hanya berharap… aku berharap aku tidak kehilangan kesempatan ini. Tidak kehilangan kesempatan untuk… untuk merasakan hal-hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.”

Kata-katanya menggantung di udara, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucapkan di baliknya. Aku ingin bertanya lebih jauh, ingin mengetahui lebih banyak tentang apa yang mengganggu pikirannya, tentang apa yang membuatnya merasa seperti ini. Namun, aku tahu bahwa kadang-kadang, ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan. Ada hal-hal yang perlu disimpan di dalam hati, meskipun itu menyakitkan.

Aku hanya mengangguk pelan. “Aku di sini, Kaira. Aku tidak akan pergi,” kataku, meski dalam hatiku aku merasa tidak yakin. Kenapa aku mengatakan itu? Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, apakah aku akan selalu ada di sisinya atau tidak. Tapi saat itu, aku merasa seperti sebuah janji yang tak terucapkan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata.

Kaira menatapku dengan penuh harapan, dan aku bisa melihat ada rasa lega di matanya. “Terima kasih, Naufal,” katanya dengan suara lembut, seperti menyimpan sejuta perasaan dalam kata itu.

Kami berdua terdiam sejenak, hanya duduk di sana, menikmati detik-detik yang perlahan berlalu. Tidak ada yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi, tapi saat itu, kami berdua tahu bahwa kami telah mengikat sebuah janji yang tidak bisa diubah. Sebuah janji yang mengikat kami, meskipun tak ada kata yang diucapkan.

Tapi entah kenapa, ada perasaan aneh di dalam diriku. Perasaan yang tidak bisa aku jelaskan, seolah-olah aku sedang berdiri di tepi jurang, menunggu sesuatu yang tak bisa aku kendalikan.

 

Waktu yang Terlambat

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang tidak biasa. Ada sesuatu yang mengganggu, meskipun aku tidak tahu pasti apa. Kaira selalu ada dalam pikiranku, seperti bayangan yang tak bisa kuhapuskan. Aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir tentang percakapan terakhir kami—tentang janji yang aku buat tanpa benar-benar tahu apa artinya.

Kafe itu selalu menjadi tempat yang sama. Aku datang lebih awal hari itu, duduk di sudut yang sudah menjadi tempat favoritku. Tempat yang seakan menjadi saksi dari beragam perasaan yang ada dalam diriku—kegelisahan, keraguan, dan rasa ingin tahu yang semakin mendalam tentang Kaira.

Hari itu terasa seperti sebuah pembukaan yang tidak aku harapkan. Kaira datang, namun bukan dengan senyum yang sama. Wajahnya tampak letih, matanya agak sembab, dan aura yang biasanya cerah kini berganti menjadi kelam. Sesuatu terjadi, dan aku tahu bahwa dia sedang berjuang dengan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar masalah sehari-hari.

Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Kaira, ada apa?” tanyaku, mataku menelusuri setiap ekspresi di wajahnya yang tampak seperti menyimpan beban berat.

Kaira duduk perlahan, menatapku dengan tatapan kosong yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Aku… aku tidak tahu bagaimana harus mulai menjelaskannya,” katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah setiap kata yang dia ucapkan bisa menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggung.

Aku merasa cemas, ada rasa takut yang mulai tumbuh di dalam hatiku. Sesuatu sedang terjadi, dan aku bisa merasakannya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar hubungan yang sedang kami bangun. “Kamu bisa cerita padaku, Kaira. Aku di sini,” jawabku, mencoba meyakinkan dirinya. Terkadang, kata-kata sederhana itu bisa memberi sedikit ketenangan. Setidaknya itu yang aku harap.

Kaira menarik napas panjang, kemudian memandang keluar jendela, seolah-olah mencari jawaban di dunia yang jauh di sana. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Naufal. Aku merasa seperti aku kehilangan diri aku sendiri. Ada sesuatu yang terjadi pada keluargaku, dan itu… itu membuat semuanya kacau.”

Aku terdiam. Aku bisa melihat ada pergolakan di dalam dirinya. Dia tidak hanya berbicara tentang masalah biasa, ini lebih dalam dari itu. “Apa yang terjadi?” tanyaku pelan, berusaha memberikan ruang bagi dia untuk membuka diri.

Kaira menunduk, meremas cangkir teh di tangannya. “Ayahku… dia sakit. Penyakit yang sudah cukup lama. Aku baru tahu kemarin. Aku pikir aku bisa menghadapi semuanya, tapi kenyataannya aku… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suaranya terdengar patah, dan aku bisa merasakan ketakutan yang menyelubungi kata-katanya.

Aku merasa hatiku tercekat. Kaira, gadis yang selalu terlihat kuat dan penuh semangat, kini tampak rapuh, seperti kaca yang bisa hancur kapan saja. “Kaira, aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kataku, kata-kata terasa tak cukup untuk menyampaikan perasaan yang muncul begitu tiba-tiba.

Dia mengangguk, seolah memahami. “Aku juga tidak tahu. Aku merasa seperti semuanya runtuh begitu saja. Aku harus memilih antara apa yang aku inginkan dan apa yang keluargaku butuhkan. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya,” tambahnya, suaranya semakin lemah.

Aku merasa ada bagian dari diriku yang hancur mendengar kata-katanya. Aku ingin sekali bisa membantu, ingin sekali memberinya kekuatan yang tampaknya telah hilang. Namun, aku juga tahu, aku tidak bisa melawan rasa sakitnya. Ini adalah sesuatu yang harus dia jalani sendiri, meskipun aku ingin sekali bisa mendampinginya.

“Kaira,” aku berkata dengan pelan, “apa pun yang terjadi, kamu tidak harus menghadapinya sendirian. Aku di sini. Aku akan ada untuk kamu, meskipun aku tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk membantu.”

Dia menatapku dengan mata yang hampir kosong, seolah-olah tidak yakin dengan kata-kataku. Tapi kemudian, dia tersenyum kecil, sebuah senyuman yang mengandung rasa terima kasih, meskipun masih ada kesedihan di dalamnya. “Terima kasih, Naufal. Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu,” katanya pelan.

Seiring berjalannya waktu, Kaira semakin sering datang ke kafe itu, namun kali ini dia lebih banyak diam. Setiap kali aku melihatnya, ada luka yang dalam di matanya—luka yang tidak bisa aku obati hanya dengan kata-kata. Setiap obrolan yang kami lakukan terasa lebih berat, lebih gelap. Aku merasa seperti aku sedang menunggu sesuatu yang tak bisa aku hindari. Sesuatu yang entah mengapa, membuatku merasa semakin jauh dari dirinya.

Aku tahu ada batasan-batasan yang tidak bisa aku lewati. Aku ingin mendekat, tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa rasa sakit yang dia rasakan adalah sesuatu yang tidak bisa aku pahami sepenuhnya. Aku hanya bisa mendengarkan, menjadi teman yang ada, meskipun aku tahu itu belum cukup untuk meringankan beban yang dia pikul.

Hari itu datang. Waktu yang aku takutkan akhirnya tiba. Kaira tidak datang ke kafe seperti biasa. Aku menunggu hingga malam, berharap dia akan muncul dan memberi kabar. Namun, telepon yang aku kirim tidak dibalas, pesan yang kutulis tetap kosong. Ada perasaan yang mencekam, sesuatu yang membuat hatiku semakin berat.

Akhirnya, aku menerima pesan singkat yang mengubah segalanya.

“Naufal, aku harus pergi. Ayahku… dia… sudah tidak ada lagi.”

Dunia seakan berhenti berputar ketika aku membaca pesan itu. Sebuah kenyataan yang sangat pahit, dan aku tahu, hidup Kaira akan berubah selamanya. Aku ingin berlari ke tempatnya, menghiburnya, namun aku tahu, ada saat-saat dalam hidup yang hanya bisa dilalui dengan waktu. Dan aku merasa, mungkin saat itu adalah waktu yang terlewatkan.

Tidak ada lagi janji yang bisa kuberikan. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa menghiburnya.

Yang ada hanya kesedihan yang harus kami jalani sendiri.

 

Hujan yang Menghampiri

Hari-hari berlalu, membawa kesunyian yang semakin dalam di dalam diriku. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Kaira menghilang dari kehidupanku, dan meskipun aku tahu betapa dalam kehilangan yang dia rasakan, aku merasa seakan aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Seperti bagian yang dulu selalu ada, selalu memantulkan cahaya, kini menjadi kabut yang sulit kujelajahi.

Aku kembali ke kafe itu, tempat yang selalu kami habiskan waktu bersama. Meja yang dulu selalu penuh tawa dan cerita kini terasa kosong, terlalu besar untuk diisi oleh kenangan yang tidak bisa dibawa kembali. Hujan turun di luar, suara tetesan air yang menyentuh atap memberikan ketenangan yang semu. Seolah waktu ingin mengingatkanku bahwa hidup terus berlanjut meskipun segalanya terasa tidak sama lagi.

Aku duduk di tempat yang biasa, memesan kopi hitam yang sama. Rasanya kini pahit. Aku menatap ke luar jendela, melihat jalan yang dipenuhi genangan air. Hujan seolah menyembunyikan jejak langkahku, jejak langkah yang mencari Kaira, meski aku tahu dia tidak akan pernah kembali. Tak ada lagi harapan. Tak ada lagi janji yang bisa kutepati.

Lalu, aku mendapat telepon darinya. Itu Kaira. Suaranya terdengar jauh, hampir teredam oleh tangis yang terkadang terasa lebih keras dari kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Naufal…” Suaranya terdengar rapuh, hampir tak terdengar.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya. Semua yang dia alami membuatku merasa semakin jauh darinya.

“Aku merasa kosong,” jawabnya pelan. “Aku merasa seperti kehilangan semua yang aku punya, bahkan diriku sendiri.”

Aku terdiam. Aku ingin menghiburnya, berkata sesuatu yang bisa meringankan rasa sakitnya. Tapi kata-kata terasa tak cukup. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menghentikan aku untuk melanjutkan. “Kaira, aku…” Aku berhenti, kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokanku. Apa yang bisa aku katakan pada seseorang yang sedang terjebak dalam kesedihannya yang mendalam?

“Kau tahu, aku merasa tidak bisa lagi hidup dengan bayangan yang terus mengganggu. Semua kenangan itu seperti belenggu yang membuatku tak bisa bergerak,” lanjutnya dengan suara bergetar.

Aku tahu betul perasaan itu. Kenangan yang tak bisa hilang, tak bisa dilepaskan. Kenangan yang menyakitkan dan merusak. Aku merasakan hal yang sama. Aku kehilangan Kaira, meskipun tubuhnya masih ada di dunia ini, jiwanya seolah telah terlepas. Aku tahu aku tidak bisa menariknya kembali. Aku tidak bisa membuatnya menjadi apa yang dia dulu—gadis yang ceria, penuh semangat.

Aku merasakan sebuah kekosongan yang mendalam, yang tidak akan terisi lagi. Tidak ada waktu yang cukup untuk menghapus kenangan itu, bahkan jika aku menginginkannya. Kenangan tentang tawa, tentang cerita-cerita yang dulu membuat kami berdua tertawa tanpa peduli tentang dunia. Semua itu kini hanya menjadi bayangan yang semakin memudar, semakin hilang.

Aku mendengar isak tangis Kaira di ujung sana, dan aku hanya bisa terdiam. Tidak ada lagi yang bisa kutawarkan selain keberadaanku di sana, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah cukup untuk mengembalikannya seperti dulu.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Naufal. Aku merasa terperangkap di antara kenangan dan kenyataan yang tak bisa aku hadapi,” katanya, suara penuh keputusasaan.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Kaira, aku tidak punya jawaban. Aku hanya bisa ada di sini. Mungkin tidak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan, tapi aku akan selalu ada untuk mendengarkan,” jawabku, meskipun suara itu terasa rapuh di telingaku sendiri. Aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun, tapi kadang-kadang, hanya ada kata-kata itu yang bisa mengisi kekosongan.

Setelah percakapan itu, aku tidak tahu lagi harus ke mana. Kaira tidak menjawab pesan-pesan dariku. Tidak ada kabar, tidak ada tanda. Satu-satunya yang aku punya sekarang hanyalah kenangan yang terus membayang, menyelimuti pikiran dan hatiku.

Beberapa bulan berlalu. Kehidupanku kembali berjalan, meskipun terasa hampa. Aku tahu aku harus melangkah maju, tetapi ada bagian dari diriku yang merasa seakan terkubur dalam kenangan itu. Tidak ada lagi senyum Kaira yang membuat hari-hari lebih cerah. Tidak ada lagi suara gelak tawanya yang mengisi ruangan. Semua itu hanyalah bayangan yang mulai memudar, seperti jejak yang terkubur oleh hujan.

Suatu malam, aku berjalan ke tempat yang biasa, tempat yang dulu menjadi saksi dari begitu banyak cerita kami. Aku duduk di sana, di bawah langit yang dipenuhi awan gelap. Hujan tidak lagi turun seperti dulu, hanya angin yang berhembus pelan, membawa kesedihan yang tak kunjung hilang.

Aku menatap langit, dan entah mengapa, aku merasa seperti bisa mendengar suara Kaira di angin yang berhembus itu. Aku menutup mataku, mencoba merasakan kehadirannya, meskipun aku tahu dia tidak akan kembali. Tidak ada lagi yang tersisa selain kenangan yang kini menjadi bagian dari diriku.

Aku mulai menyadari, kadang kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Cinta, kenangan, dan rasa sakit—semua itu adalah bagian dari perjalanan yang tak bisa kita hindari. Namun, meskipun kita tidak bisa kembali ke masa lalu, kita tetap bisa melanjutkan hidup dengan membawa bagian-bagian itu dalam hati, meskipun itu berarti harus melangkah dengan berat.

“Aku akan selalu mengingatmu, Kaira,” bisikku pada angin yang berlalu. “Walaupun kamu sudah pergi, kamu akan selalu ada dalam setiap langkahku.”

Langkahku perlahan menyatu dengan hujan yang menetes pelan di tanah, sementara kenangan itu tetap ada, mengiringi setiap jejak yang kutinggalkan.

Hujan terus turun, dan aku tahu, itu adalah akhir dari sebuah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir.

 

Kadang, ada hal-hal dalam hidup yang memang tidak bisa kita kendalikan. Kenangan, rasa sakit, dan kehilangan akan selalu hadir, meskipun tak ada yang bisa menghapusnya sepenuhnya.

Namun, meskipun seseorang sudah pergi, mereka tetap hidup dalam ingatan yang kita simpan. Mungkin itulah yang bisa memberi kita kekuatan untuk terus berjalan, meski langkah itu terasa berat. Karena dalam setiap kenangan, ada sebuah cara untuk bertahan, meskipun dunia terasa hampa.

Leave a Reply