Daftar Isi
Gimana rasanya kalau cinta yang dulu sempat hilang, akhirnya datang lagi, tapi kali ini dengan cara yang beda? Cerita ini tentang dua orang yang udah lama banget nggak ketemu!
Namun ketika akhirnya mereka berhadapan lagi, semua yang ada di antara mereka kayak cuma kenangan lama yang akhirnya harus ditinggalin. Mereka harus mulai dari awal—tanpa jarak, tanpa beban masa lalu, dan dengan harapan yang lebih besar. Jadi, siap-siap buat terhanyut dalam perjalanan mereka yang penuh rasa, kecewa, dan harapan baru.
Cerpen Romansa Mengharukan
Di Bawah Hujan yang Sama
Hujan deras mengguyur kota seperti tirai air yang tebal, membasahi segala yang ada di bawahnya. Jalanan licin berkilau diterpa lampu jalan yang remang, menciptakan pantulan warna-warni dari kendaraan yang melaju cepat. Bau khas hujan bercampur dengan aroma aspal basah memenuhi udara. Orang-orang berlari kecil mencari tempat berteduh, mengangkat tas atau jaket mereka untuk melindungi diri.
Di depan sebuah kafe yang jendelanya besar dan berkabut, Callista berdiri. Tubuhnya mungil terbungkus mantel hitam, dan payung lipat yang ia bawa terjepit di tangan. Namun, payung itu tetap tertutup; ia tidak berusaha membuka atau berlindung di bawahnya. Matanya sibuk menatap layar ponsel, menunggu sesuatu yang tidak kunjung datang—sebuah pesan atau mungkin panggilan.
Beberapa meter darinya, Altan berdiri di bawah kanopi toko buku tua yang hampir terlupakan. Toko itu memiliki papan nama yang huruf-hurufnya mulai memudar, menambah kesan bahwa tempat ini sudah lama tidak menjadi tujuan orang. Altan sebenarnya hanya berniat berteduh sebentar, menunggu hujan reda. Namun, ketika matanya menangkap sosok Callista di seberang jalan, langkahnya tertahan.
Hatinya seperti tertarik ke belakang, ke masa-masa ketika Callista masih menjadi bagian dari hidupnya. Rambutnya mungkin sedikit lebih pendek sekarang, tapi gestur itu—cara Callista memiringkan kepala saat menatap ponsel—tidak berubah sedikit pun.
Altan mencoba mengalihkan pandangannya, tapi gagal. Ia mendapati dirinya terus menatap. Lama ia berdiri di sana, bertarung dengan pikirannya sendiri. Haruskah ia menyapa? Atau cukup biarkan momen ini berlalu? Tapi rindu yang ia tahan selama ini semakin kuat, memaksa langkahnya maju.
“Callista,” suaranya nyaris tenggelam oleh hujan.
Gadis itu menoleh, matanya membesar ketika menyadari siapa yang memanggil. “Altan?”
Ia berjalan mendekat, tanpa peduli genangan air yang mulai membasahi sepatunya. Callista mematung sejenak, seolah tidak percaya bahwa pria itu benar-benar ada di hadapannya.
“Kamu di sini?” Callista akhirnya bersuara, nada terkejut bercampur bingung.
Altan tersenyum tipis. “Kelihatannya iya. Aku cuma berteduh. Tapi nggak nyangka bisa ketemu kamu.”
Hening meliputi mereka. Hanya suara rintik hujan yang menjadi latar, seperti melodi kecil yang mengisi kekosongan.
“Apa kabar?” Altan mencoba membuka percakapan, berusaha terdengar santai meski dadanya berdebar kencang.
“Baik. Kamu sendiri?” Callista menjawab singkat, matanya masih menyelidik.
“Masih hidup, sih,” Altan terkekeh kecil. Namun tawanya tidak menutupi kegugupan yang terasa jelas.
Satu-dua langkah mendekatkan mereka, tapi jarak yang sebenarnya lebih dari sekadar hitungan meter. Altan memandangi wajah Callista, mencari-cari bekas senyum yang dulu selalu ia lihat. Tapi malam ini, senyum itu entah menghilang ke mana.
“Mau masuk?” Altan menunjuk kafe di belakang Callista. “Di sini dingin banget.”
Callista ragu sejenak. Namun, akhirnya ia mengangguk pelan.
Di dalam kafe, suasana hangat menyambut mereka. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari interiornya yang sederhana. Lampu-lampu kuning menggantung rendah, menciptakan suasana yang nyaman. Altan memilih meja di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari pandangan pengunjung lain.
Mereka duduk berhadapan, ditemani dua cangkir teh yang baru saja diantar oleh pelayan. Callista mengaduk pelan tehnya, pandangannya tertuju pada pusaran kecil di dalam cangkir. Altan, di sisi lain, memainkan cincin perak di jarinya, kebiasaan yang selalu muncul saat ia gugup.
“Jadi…” Altan memulai, mencoba memecah kebekuan. “Aku dengar kamu balik dari Amsterdam.”
Callista mengangguk. “Baru beberapa bulan. Aku nggak langsung pulang ke sini. Sempat tinggal di Jakarta dulu.”
“Kenapa nggak bilang?” Altan bertanya, tatapannya mencari jawaban.
Callista mendesah pelan. “Karena aku nggak tahu kamu masih peduli atau nggak.”
Altan terdiam, seperti terpukul oleh kata-kata itu. Ia menunduk, memutar cincinnya lebih cepat. “Callista, aku selalu peduli.”
“Benarkah?” Callista akhirnya menatap langsung ke matanya. “Kalau memang iya, kenapa kamu nggak pernah balas pesanku? Kenapa kamu nggak pernah jawab teleponku?”
Altan menelan ludah, rasa bersalah jelas tergambar di wajahnya. “Karena aku takut.”
“Takut apa?” suara Callista nyaris berbisik, tapi nadanya tajam.
Altan menarik napas panjang, berusaha menyusun kata-katanya. “Aku takut… kalau aku terus dekat sama kamu, aku nggak akan pernah bisa melepaskan kamu. Dan aku pikir, dengan menjauh, aku bisa lebih gampang melupakan semuanya.”
Callista terpaku. Kata-kata itu seperti menamparnya, tapi di saat yang sama ada kehangatan aneh yang merayapi dadanya.
“Tapi ternyata aku salah,” Altan melanjutkan, suaranya bergetar. “Semakin jauh aku pergi, semakin aku sadar kalau kamu nggak pernah benar-benar hilang dari pikiranku.”
Hening kembali menyelimuti. Hujan di luar mulai reda, meninggalkan tetesan kecil yang jatuh perlahan dari atap. Di dalam kafe, dua hati yang pernah terpisah kini saling mencari jalan untuk kembali.
“Altan,” Callista akhirnya bersuara, suaranya rendah dan penuh keraguan. “Kita nggak bisa menyelesaikan semuanya dalam semalam.”
Altan mengangguk. “Aku tahu. Tapi setidaknya… kita bisa mulai bicara lagi. Tanpa jarak.”
Callista tersenyum kecil, senyum yang mengandung harapan, meski masih samar. “Kita lihat nanti.”
Babak baru bagi mereka belum dimulai sepenuhnya, tapi setidaknya malam ini mereka tahu satu hal: jarak itu tidak lagi terasa mustahil untuk dijembatani.
Kenangan yang Belum Usai
Lampu jalanan masih bersinar redup ketika Altan dan Callista meninggalkan kafe. Hujan telah berhenti, meninggalkan sisa-sisa genangan di trotoar yang memantulkan bayangan mereka berdua. Udara malam itu dingin, tapi langkah mereka pelan, seolah tak ingin terlalu cepat mengakhiri pertemuan yang baru saja dimulai kembali.
Mereka berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Sesekali Altan melirik Callista yang menggenggam payungnya dengan tangan kaku. Hanya suara langkah kaki dan desau angin malam yang menemani. Di sudut jalan, Altan akhirnya membuka mulut.
“Kamu mau aku antar pulang?” tanyanya, sedikit ragu.
Callista menggeleng pelan. “Aku tinggal nggak jauh dari sini. Jalan kaki saja.”
Altan mengangguk, meski ia tetap menjaga langkahnya seiring dengan langkah Callista. Ada sesuatu dalam keheningan ini yang membuatnya terasa berat—seperti ada begitu banyak hal yang ingin diucapkan, tapi tak satu pun yang cukup mudah untuk disuarakan.
“Aku nggak pernah lupa tempat ini,” Altan berkata tiba-tiba, suaranya rendah tapi terdengar jelas di malam yang sepi.
Callista meliriknya. “Tempat apa?”
“Kafe tadi,” Altan tersenyum samar. “Dulu kita pernah duduk di meja yang sama. Kamu nggak ingat?”
Callista berhenti sejenak, matanya menyipit seperti mencoba mengingat. Lalu, pelan-pelan ia tertawa kecil. “Meja di sudut itu? Yang kamu bilang tempat paling strategis buat ‘menghindari orang’?”
Altan tertawa pendek. “Kamu ingat juga, ternyata.”
“Sulit lupa, sih. Waktu itu kamu pesen kopi yang bahkan nggak kamu suka, cuma biar bisa pura-pura sibuk sambil baca buku.”
Altan mengangkat bahu, senyumnya melebar. “Dan kamu malah ganggu aku dengan cerita panjang soal film yang aku belum tonton.”
“Karena kamu yang bilang film itu jelek, padahal kamu bahkan belum nonton,” Callista menyahut cepat, matanya memancarkan kilau nostalgia.
Obrolan kecil itu membuat jarak di antara mereka terasa semakin mencair. Mereka melangkah kembali, kali ini dengan ritme yang lebih santai. Namun, seperti biasanya, keheningan yang muncul sesudah tawa sering kali lebih berat daripada sebelumnya.
“Kamu bahagia di sana?” Altan bertanya tiba-tiba, suaranya serius.
Callista menoleh padanya, sejenak tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. “Amsterdam itu indah. Tapi aku nggak pernah benar-benar merasa pulang.”
Altan terdiam. Jawaban itu terlalu jujur, dan ia tidak yakin harus merespons seperti apa.
“Kamu sendiri? Kenapa kamu tetap di sini? Aku pikir kamu akan pergi ke luar negeri juga, seperti yang selalu kamu rencanakan dulu,” Callista balik bertanya.
Altan menunduk, menendang pelan kerikil kecil di trotoar. “Rencana itu… berubah. Banyak hal yang bikin aku sadar kalau nggak semua hal bisa dikejar bersamaan. Beberapa harus dikorbankan.”
“Apa yang kamu korbankan, Tan?”
Altan berhenti melangkah. Ia menatap Callista, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan. “Aku rasa… aku sudah tahu jawabannya sekarang.”
Callista hanya memandangnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu lagi, ada sesuatu dalam tatapan mereka yang terasa terlalu besar untuk kata-kata.
Langkah mereka membawa mereka ke taman kecil di dekat perumahan Callista. Taman itu lengang, hanya ada beberapa bangku kayu yang basah oleh sisa hujan. Callista berhenti di dekat sebuah ayunan yang berderit pelan tertiup angin.
“Kamu ingat tempat ini?” tanyanya, suaranya terdengar lebih pelan dari sebelumnya.
Altan memandang sekeliling. “Tentu saja. Ini tempat kamu ngambek waktu aku nggak jadi datang ke acara ulang tahunmu, kan?”
Callista tersenyum kecil. “Dan kamu akhirnya datang jam sebelas malam, bawa brownies yang kamu beli di minimarket.”
“Itu brownies terbaik yang bisa aku temukan,” Altan membela diri, terkekeh.
Mereka tertawa bersama, tapi tawa itu segera mereda. Callista duduk di ayunan, memutar pelan rantainya dengan tangan. Tatapannya kosong, seperti sedang menelusuri kenangan yang terlalu jauh untuk disentuh.
“Kamu tahu, Tan,” Callista mulai, suaranya sedikit bergetar. “Aku sering ke tempat ini waktu kamu pergi. Aku nggak tahu kenapa, mungkin karena aku berharap kamu tiba-tiba muncul. Tapi kamu nggak pernah datang.”
Altan merasa ada yang mencengkeram hatinya. Ia mengusap tengkuknya dengan gugup, mencoba mencari jawaban yang tepat.
“Callista, aku—”
“Kamu nggak perlu minta maaf,” Callista memotongnya, menoleh dengan senyum tipis. “Aku sudah berdamai dengan itu. Hanya saja, kadang aku berpikir… kalau saja waktu itu kita nggak menyerah terlalu cepat, apa yang akan terjadi?”
Altan terdiam. Pertanyaan itu, meski sederhana, mengandung beban yang sulit untuk dijawab.
“Aku juga sering bertanya-tanya hal yang sama,” ia akhirnya mengakui. “Tapi yang jelas, sekarang aku di sini. Dan aku ingin memperbaiki semuanya, kalau kamu masih mengizinkan.”
Callista menatapnya lama, matanya berkaca-kaca. Angin malam berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
“Altan,” Callista berkata pelan, “Kita sudah jauh sekali dari tempat kita mulai. Aku nggak tahu apakah semuanya bisa kembali seperti dulu. Tapi kalau kamu serius, aku mau mencoba.”
Altan mengangguk, senyumnya perlahan muncul. “Aku serius, Callista. Aku nggak akan menyerah kali ini.”
Malam itu, di bawah cahaya lampu taman yang temaram, dua hati yang pernah terpisah perlahan-lahan mulai mendekat. Langkah mereka mungkin kecil, tapi itu cukup untuk membuat jarak di antara mereka terasa lebih mudah untuk dijembatani.
Membuka Jalan Baru
Altan berjalan di samping Callista, langkah mereka seirama, namun pikirannya tetap berlarian jauh di luar sana, terjebak di dalam kerumitan perasaan yang tak kunjung jelas. Sudah beberapa kali mereka mengobrol tentang bagaimana memulai lagi, namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Altan. Apakah mereka benar-benar siap untuk membuka lembaran baru, ataukah ini hanya ilusi bahwa semua bisa menjadi seperti dulu?
“Apa kamu yakin, Callista?” Altan akhirnya memecah keheningan saat mereka berhenti di dekat sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari taman tempat mereka tadi duduk. Suara riuh orang-orang yang sedang berbicara dan suara mesin kopi yang bersahutan membuat suasana sedikit lebih hidup. “Aku nggak mau kita terjebak dalam pengulangan cerita lama. Kalau kita benar-benar mulai dari awal, kita harus sepenuhnya meninggalkan masa lalu. Kamu paham itu?”
Callista menatapnya, matanya tajam, tapi ada kelembutan di sana. “Aku paham, Tan. Aku bukan cuma bilang itu untuk meyakinkan kamu, aku juga butuh waktu untuk benar-benar melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Aku nggak ingin kita terus terjebak dalam bayang-bayang itu.”
Altan menundukkan kepalanya. “Aku juga nggak mau itu, Callista. Tapi kadang… kadang aku merasa kita nggak cukup kuat buat melewatinya.”
Callista mengambil tangan Altan, menggenggamnya erat. “Aku tahu kita bisa, Tan. Aku percaya kita bisa. Cuma butuh waktu.”
Mereka berdua memasuki kafe, duduk di meja pojok yang terhalang sebagian oleh tanaman hijau. Lampu-lampu kecil yang menggantung di langit-langit memberi cahaya lembut yang semakin membuat suasana terasa intim. Callista memesan secangkir teh chamomile sementara Altan memilih kopi hitam, minuman yang selalu ia nikmati untuk menenangkan pikirannya.
Setelah beberapa menit duduk diam, menikmati keheningan yang tenang, Callista kembali membuka percakapan. “Kamu ingat waktu itu, Tan? Waktu kita berada di taman itu, dan kamu bilang kita harus mulai dari awal?”
Altan mengangguk pelan. “Ya, aku ingat. Kenapa?”
“Karena aku benar-benar ingin kita coba lagi. Aku nggak mau ada rasa ragu yang menghalangi kita. Aku nggak mau cuma menunggu kamu dengan harapan kosong. Kali ini, aku ingin kita berjuang bareng.” Callista menyandarkan punggungnya ke kursi, memandang Altan dengan ekspresi yang lebih serius daripada sebelumnya.
Altan merasakan getaran di hatinya. Ada ketulusan di mata Callista yang ia tidak bisa bantah. “Aku juga ingin itu, Callista. Aku… aku cuma nggak tahu apakah kita bisa benar-benar menghapus semua kenangan itu. Semuanya terasa begitu berat.”
“Masa lalu itu memang berat, Tan. Tapi kita nggak perlu melupakannya, hanya perlu belajar bagaimana melepaskannya. Kita harus menemukan cara agar masa lalu itu nggak menghalangi kita untuk melangkah maju.”
Lama mereka saling pandang, seolah mencari jawaban satu sama lain, hingga akhirnya Altan menghela napas panjang dan merasakan kenyamanan yang perlahan meresap. “Kamu benar. Kita harus bisa belajar dari masa lalu, bukan terjebak di dalamnya. Kalau kita berdua mau… mungkin kita bisa membuat semuanya jadi lebih baik.”
Callista tersenyum lembut, tatapannya penuh keyakinan. “Aku sudah siap, Tan. Seperti yang kamu bilang, kalau kita mau, kita bisa membuat semuanya jadi lebih baik.”
Suasana di kafe itu terasa semakin nyaman, dan meskipun masih ada banyak ketidakpastian di depan, mereka berdua merasa bahwa mereka telah menemukan satu sama lain lagi, kali ini dengan cara yang lebih matang.
Saat mereka selesai minum, Altan membayar tagihan, dan mereka berjalan keluar menuju jalan yang sama sekali berbeda dari yang dulu. Jalan yang lebih terang, penuh kemungkinan, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghantui.
Setiap langkah mereka terasa lebih ringan, meskipun masih ada banyak hal yang perlu mereka selesaikan. Namun, satu hal yang jelas: kali ini mereka berjalan bersama, dan tidak ada jarak yang bisa menghalangi mereka lagi.
Altan menoleh ke Callista dengan senyum penuh harapan. “Ayo, kita mulai perjalanan baru ini, Callista. Tanpa jarak, tanpa ragu. Kita hadapi semuanya bersama.”
Callista mengangguk, senyumnya mengembang, dan mereka berdua melangkah bersama, kali ini lebih percaya diri dan lebih siap dari sebelumnya.
Memulai Tanpa Jarak
Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda. Altan dan Callista mulai mengisi ruang kosong yang dulunya dipenuhi keraguan dengan tawa, percakapan ringan, dan lebih banyak waktu bersama. Mereka tidak lagi berusaha mencari alasan untuk menjauh, melainkan berusaha menemukan cara untuk semakin dekat, meskipun masih banyak hal yang harus diselesaikan.
Pagi itu, mereka duduk di taman yang sama, tempat yang dulu menyimpan begitu banyak kenangan—baik yang manis maupun yang pahit. Namun, kali ini, suasananya jauh berbeda. Mereka duduk di bangku yang sama, namun kali ini tanpa rasa canggung, tanpa kekhawatiran yang mengganggu. Callista menatap Altan, senyumnya lebar, meskipun di matanya masih ada sedikit kelelahan dari masa lalu.
“Apa kamu merasa ini masih belum cukup, Tan?” Callista bertanya sambil menatap langit biru yang cerah. “Maksudku, kita sudah mencoba untuk lebih terbuka, untuk lebih mendekat, kan?”
Altan tersenyum tipis, menghela napas. “Aku merasa kita sudah mengambil langkah besar. Tapi aku juga tahu, ini baru permulaan. Kita nggak akan bisa menghindari hal-hal yang akan datang. Masa lalu kita… itu berat, Callista. Aku nggak bisa janji kalau semuanya akan mudah. Tapi aku janji, aku akan selalu ada, kali ini tanpa ragu.”
Callista memutar bola matanya, meski senyumnya masih menyentuh sudut bibirnya. “Aku nggak peduli kalau itu sulit, Tan. Aku cuma butuh kamu yang ada di sini, di saat-saat aku membutuhkan kamu. Gimana kalau kita fokus aja buat menikmati setiap detik yang kita punya sekarang, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi?”
Mata Altan berkilat sedikit, ada rasa haru yang tiba-tiba muncul. “Kamu benar, Callista. Kita nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa mengontrol apa yang kita lakukan sekarang.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehadiran masing-masing. Di dalam hati Altan, ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Callista bukan hanya tentang masa lalu—dia adalah masa depan yang ingin ia raih, sesuatu yang selalu terasa dekat namun jauh. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa dengan satu sama lain, mereka bisa menemukan jalan yang lebih terang.
“Tanpa jarak…” Callista berbisik, hampir seperti sebuah janji. “Kali ini, tanpa jarak.”
Altan menatapnya, kali ini dengan senyum penuh keyakinan. “Tanpa jarak, Callista. Hanya ada kita, dan perjalanan ini.”
Mereka bangkit dari bangku taman itu, berjalan bersama di jalan yang sama, tanpa rasa takut, tanpa beban, dan tanpa jarak. Mereka tahu bahwa apapun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya bersama. Di sisi kiri dan kanan mereka, dunia terus berputar, namun hati mereka hanya berfokus pada satu hal—menciptakan masa depan yang lebih baik, penuh harapan, dan yang terpenting, tanpa jarak.
Dan di sinilah kisah mereka mulai mengalir seperti sungai yang mengalir bebas, tanpa ada yang menahan. Altan dan Callista tahu, perjalanan mereka masih panjang, namun selama mereka bisa berjalan bersama, tak ada lagi yang bisa menghalangi mereka. Tanpa jarak, tanpa keraguan, hanya cinta yang berkembang seiring berjalannya waktu.
Dan perjalanan itu, adalah perjalanan yang baru saja dimulai.
Jadi, kadang cinta memang butuh waktu buat kembali menemukan jalannya, kan? Tapi yang penting, selama kita masih mau berusaha, jarak atau waktu nggak akan pernah bisa ngalahin apa yang ada di hati. Mungkin perjalanan mereka baru dimulai, tapi siapa tahu, mungkin cerita ini juga bisa jadi pengingat buat kita, bahwa cinta yang sejati nggak pernah benar-benar hilang. Hanya menunggu waktu untuk kembali ditemukan.