Cerpen Romansa Manis di Yogyakarta 1990: Kisah Cinta yang Tumbuh di Bawah Hujan

Posted on

Bayangin deh, lagi hujan-hujanan bareng orang yang bikin hati kamu deg-degan. Entah kenapa, semua yang terjadi seolah sempurna banget, kayak scene dalam film tapi lebih nyata. Ini bukan soal cinta yang datang tiba-tiba, tapi tentang perjalanan yang dimulai dari langkah kecil di Yogyakarta di tahun 1990. Yuk, ikutin kisahnya, siapa tahu kamu juga ngerasain gimana manisnya cinta yang tumbuh di tengah hujan.

 

Romansa Manis di Yogyakarta 1990

Senja di Angkringan

Yogyakarta di tahun 1990 terasa berbeda. Suasana yang penuh kenangan, dengan jalanan yang masih dipenuhi sepeda ontel dan mobil-mobil klasik, seolah berbicara tentang masa lalu yang hangat. Tidak ada hiruk-pikuk ponsel atau teknologi canggih yang membuat orang sibuk dengan dunia maya. Semua terasa lebih dekat dan nyata. Saat itu, yang dibutuhkan hanya sebuah senyuman dan tatapan untuk bisa merasa bahagia.

Aku duduk di sebuah angkringan di ujung jalan Malioboro, menikmati wedang jahe hangat yang baru saja dipesan. Angkringan ini selalu menjadi tempat favoritku untuk melarikan diri dari kesibukan kampus. Di sini, aku bisa merasakan kedamaian, menikmati senja yang perlahan berganti malam. Aroma rokok dan suara tawa pengunjung lainnya membuatku merasa seolah-olah berada di dunia yang berbeda, jauh dari keramaian.

Angkringan itu sederhana. Lampu temaram yang digantung di langit-langit, deretan daun pisang yang menjadi alas makanan, dan berbagai macam lauk yang siap disantap. Suasana yang begitu hangat, meskipun malam mulai turun dan angin mulai terasa lebih dingin.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Di luar sana, dunia terus berjalan. Tapi di sini, di angkringan ini, aku merasa seolah waktu berhenti. Semuanya terasa nyaman dan familiar. Setiap pertemuan di sini selalu meninggalkan kenangan manis, terutama saat aku bertemu dengan Arif.

Aku tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang berbeda setiap kali aku berbicara dengannya. Mungkin karena dia selalu mengerti apa yang aku rasakan tanpa banyak bertanya. Dia selalu ada, meskipun dalam kesederhanaannya. Arif bukan tipe yang suka berbicara banyak, tapi ada cara tertentu yang membuatku merasa nyaman. Seperti saat ini.

Aku mendengar langkah kaki mendekat, dan tanpa harus menoleh, aku tahu itu Arif. Dengan jaket kulit cokelatnya yang sudah sedikit pudar dan rambut ikalnya yang selalu berantakan, dia berjalan ke arahku. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seperti biasa.

“Ria,” sapanya, suaranya rendah dan hangat. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum, merasa sedikit canggung meskipun perasaan itu sudah sering datang. Dia selalu membuatku merasa sedikit gugup, entah mengapa.

“Hai, Arif,” jawabku sambil memiringkan kepala. “Kamu datang juga akhirnya.”

Arif duduk di seberangku, menatapku dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Wajahnya memang tidak terlalu mencolok, tetapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Mungkin karena ketulusan yang dia tunjukkan di setiap kata dan tindakannya. Tanpa banyak bicara, kami mulai menikmati keheningan, seperti dua orang yang sudah saling mengerti.

“Gimana kuliahmu?” tanya Arif setelah beberapa saat, membuka percakapan.

“Biasa saja,” jawabku sambil memandang jalanan di luar angkringan, “Tugas menumpuk, tapi bisa dikerjain kok. Kamu?”

“Begitu juga. Cuma… lebih banyak mikirin masa depan, ya,” katanya sambil menggaruk tengkuknya. Aku tertawa pelan mendengarnya.

“Masa depan? Kayaknya kamu nggak usah khawatir, Arif. Kamu orangnya pintar. Gampang aja,” ujarku, berusaha meyakinkan. Arif tersenyum lagi, lalu menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya.

“Tapi kadang… aku merasa banyak hal yang belum aku capai, Ria,” katanya pelan, seperti merenung. “Banyak hal yang aku nggak tahu harus dimulai dari mana.”

Aku terdiam mendengar kalimatnya. Ada rasa hangat yang menjalar di dada, melihat Arif yang biasanya terlihat tegar dan penuh semangat kini tampak sedikit rapuh. Tidak banyak orang yang bisa membuka diri seperti itu, apalagi pada seseorang yang baru mereka kenal.

“Tapi kamu nggak perlu khawatir, kok,” jawabku, mencoba memberikan rasa tenang. “Pasti ada jalan, Arif. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi aku percaya kamu bisa melaluinya.”

Arif menatapku, lalu tersenyum kecil. “Makasih, Ria. Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik.”

Ada keheningan sejenak di antara kami, dan aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Sesuatu yang mungkin lebih mendalam, yang menghubungkan kami tanpa harus diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebersamaan ini. Sesuatu yang aku rasakan setiap kali bertemu dengannya.

Suara kipas angin di angkringan itu berputar pelan, dan meskipun suasana malam semakin gelap, ada cahaya yang tidak bisa aku hindari. Bukan cahaya lampu temaram yang ada di sekitar kami, tapi cahaya yang ada dalam hatiku. Sesuatu yang menghangatkan, yang membuatku merasa tenang, bahkan ketika dunia seakan berjalan begitu cepat di luar sana.

Aku tidak tahu apakah perasaan ini hanya sebatas keakraban atau ada lebih banyak hal yang tersembunyi di dalamnya. Tapi saat itu, di bawah langit senja yang perlahan berubah menjadi malam, aku merasa jika aku bisa terus duduk bersama Arif, berbicara tentang segala hal, menikmati setiap detik yang ada.

Dan saat itu juga, Arif mengeluarkan sebuah pertanyaan yang aku sudah lama tunggu-tunggu, meskipun aku tak pernah benar-benar mengakuinya pada diriku sendiri.

“Ria,” panggil Arif lembut, menyentuh tanganku yang terletak di atas meja. Aku menoleh, dan untuk sesaat, dunia di sekitar kami seakan menghilang. Hanya ada kami berdua. “Aku… aku suka kamu.”

Aku terdiam, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kata-katanya menggantung di udara, membekas di hatiku. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kaku. Mataku tak bisa lepas dari matanya, yang penuh harapan dan ketulusan.

“Arif…” Suara aku hanya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku juga… suka kamu.”

Aku melihat senyum Arif berkembang perlahan, dan di malam yang sempurna ini, kami berdua hanya duduk di sana, saling memahami, tanpa perlu kata-kata lebih. Seolah dunia tidak perlu bergerak lebih cepat. Seperti itulah kami, di angkringan yang hangat ini, di bawah langit senja yang semakin gelap.

Kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau minggu depan, tapi saat itu, kami merasa cukup dengan apa yang ada. Cukup dengan kebersamaan yang sederhana ini.

 

Setiap Langkah Bersamamu

Malam semakin larut, namun kami tetap duduk di sana, menikmati secangkir kopi dan beberapa sepotong tempe penyet yang rasanya selalu membuat aku rindu. Angkringan yang sederhana ini seolah menjadi dunia kami yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar kenyamanan, sesuatu yang aku rasakan setiap kali Arif ada di dekatku.

Setelah pengakuannya tadi, aku tak bisa lagi menahan perasaan yang sudah lama terpendam. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa suka biasa. Aku tidak tahu kapan itu dimulai, tapi yang pasti, perasaan ini sudah ada sejak lama. Mungkin sejak pertama kali aku melihatnya berdiri di depan kelas dengan senyuman polosnya, atau saat dia dengan sabar menunggu aku selesai dengan tugas-tugas kuliah yang tak kunjung selesai.

Arif menatapku dengan mata yang lembut. Di bawah sinar lampu temaram itu, dia terlihat lebih mempesona, lebih nyata dari sebelumnya.

“Kamu nggak nyangka kan kalau aku yang pertama kali bilang ini?” katanya, masih dengan senyum tipis di wajahnya.

Aku menggelengkan kepala, meski hatiku sedikit berdebar mendengarnya. “Sebenernya aku juga nggak tahu apa yang aku rasakan, Arif. Tapi sekarang aku yakin kalau perasaan ini lebih dari sekadar rasa suka biasa,” jawabku dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Dia mengangguk pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi kayu angkringan. “Aku juga merasa hal yang sama, Ria. Setiap kali kita ngobrol, aku ngerasa ada yang beda. Kamu tahu nggak, kamu itu seperti angin yang datang tiba-tiba, nggak terduga, tapi bisa bikin aku merasa lebih tenang.”

Aku tersenyum mendengar kata-kata Arif. Tak banyak yang bisa menyampaikan perasaan dengan cara yang sesederhana ini, dan justru itulah yang membuat kata-katanya terasa lebih dalam. Terkadang, aku merasa bahwa Arif adalah seseorang yang memahami betul arti kedamaian.

Malam itu terasa begitu panjang, meskipun kami hanya duduk bersama, berbicara tentang hal-hal kecil yang kadang tidak terlalu penting, tapi entah kenapa selalu membuat waktu berlalu begitu cepat. Kami berbicara tentang masa depan, tentang impian yang mungkin kami kejar, dan tentang kehidupan yang belum sepenuhnya kami pahami. Tetapi, di tengah obrolan kami yang mengalir begitu alami, aku merasa seolah semuanya sudah sempurna. Tanpa harus ada yang berlebihan.

Ketika akhirnya kami memutuskan untuk pulang, aku berjalan di samping Arif, dengan jarak yang lebih dekat dari biasanya. Malam itu, jalanan Malioboro yang biasanya ramai, terasa sepi. Lampu-lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan panjang di sepanjang trotoar, dan udara malam yang sedikit dingin membuat kami melangkah lebih cepat.

“Ria,” panggil Arif, suaranya penuh dengan ketulusan. Aku menoleh ke arahnya. “Kamu yakin dengan perasaan kamu sekarang?”

Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menatap langit yang sudah mulai gelap. Bintang-bintang di langit seolah ikut mendengar percakapan kami. “Aku nggak tahu, Arif. Tapi yang aku tahu, aku nggak pernah merasa sebahagia ini. Kita sudah lama saling mengenal, dan aku rasa ini bukan cuma kebetulan,” jawabku dengan mata yang menatapnya langsung.

Arif terdiam sejenak. Kemudian, dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. Genggaman itu terasa begitu nyaman, seakan semua keraguan yang pernah ada menghilang begitu saja. “Kita nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu, Ria.”

Aku hanya bisa tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir melalui genggaman tangannya. Aku tahu, meskipun masa depan selalu penuh ketidakpastian, satu hal yang aku yakini—kami berada di sini bersama, di waktu ini, dan itu sudah lebih dari cukup.

Kami melanjutkan langkah kami, berjalan di bawah langit malam Yogyakarta, berdua. Angin malam berbisik lembut, membawa aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Aku merasa nyaman, merasa bahwa ini adalah jalan yang tepat untuk kami jalani bersama. Tanpa banyak kata, kami terus melangkah, menikmati malam yang indah ini.

Malam itu, aku sadar, perjalanan kami baru saja dimulai. Mungkin banyak hal yang belum kami ketahui tentang satu sama lain, tentang hidup, tentang dunia yang luas ini. Namun, apa pun yang terjadi, aku merasa bahwa setiap langkah yang kami ambil bersama akan membawa kami lebih dekat. Setiap detik yang kami habiskan bersama akan menjadi kenangan yang indah, yang akan aku simpan dalam hati.

Arif dan aku, kami berjalan bersama, tanpa rasa takut, hanya dengan keyakinan bahwa perjalanan ini adalah milik kami.

 

Ketika Cinta Tak Terucap

Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang masih belum bisa kujelaskan. Semalam, selepas aku dan Arif berjalan pulang dari angkringan, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Mungkin ini terlalu cepat untuk disebut sebagai cinta, tapi hatiku mulai yakin—ini bukan sekadar kedekatan antara teman lama. Setiap percakapan kami terasa lebih dari sekadar kata-kata. Ada kedalaman di setiap kalimat yang kami ucapkan, ada perasaan yang terpendam di balik senyum dan tatapan mata yang kami bagi.

Namun, meskipun semua itu terasa begitu nyata, aku tak bisa menghindari sedikit keraguan yang masih mengendap. Apa aku siap dengan semua ini? Apa aku siap untuk membuka hati pada seseorang yang sudah lama aku anggap sebagai teman, sahabat, yang tiba-tiba muncul sebagai sosok yang lebih dari itu?

Pagi itu, langit Yogyakarta terlihat cerah. Udara segar pagi menyentuh kulitku, membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku duduk di depan cermin, merapikan rambut yang berantakan setelah tidur semalam. Saat melihat refleksi diriku sendiri, aku tersenyum tipis. Di sana, di balik cermin, aku melihat seorang perempuan yang perlahan mulai menerima kenyataan bahwa perasaannya bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih.

Aku keluar dari rumah kos, menyusuri jalanan yang masih lengang. Di ujung jalan, terlihat Arif sedang berdiri di dekat halte, menunggu angkutan yang akan mengantarnya ke kampus. Melihatnya di sana, hatiku berdebar. Aku tahu kami akan bertemu seperti biasa, namun entah kenapa, hari ini ada rasa berbeda yang membuat segala sesuatu terasa lebih intim.

“Selamat pagi!” Aku menyapa, mencoba terdengar biasa saja meski hatiku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.

Arif menoleh dengan senyuman lebar di wajahnya. Senyuman yang selalu bisa membuat hari-hariku terasa lebih cerah. “Pagi, Ria. Kamu kelihatan lebih cerah hari ini,” ujarnya, matanya masih penuh dengan kehangatan.

Aku tertawa kecil, merasa sedikit canggung. “Mungkin karena aku tidur cukup,” jawabku. Kami berjalan berdampingan menuju halte. Tidak ada kata-kata besar, hanya obrolan ringan yang mengalir begitu saja. Namun di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di antara kami.

Saat bus datang dan kami naik bersama, aku duduk di samping Arif. Kami duduk berdekatan, namun ada jarak yang terasa tak terucapkan. Jarak itu bukan jarak fisik, melainkan jarak yang terbentuk karena ketidakpastian tentang apa yang sedang kami jalani. Kami berdua tahu ada perasaan yang mengikat kami, tapi kami belum bisa menyebutnya dengan kata-kata.

Setiap detik yang berlalu di dalam bus terasa penuh dengan keheningan yang meskipun sepi, tidak pernah terasa canggung. Aku menikmati kehadirannya, meski tak ada yang perlu diucapkan. Di luar jendela, gedung-gedung kota berlalu dengan cepat, namun di dalam bus ini, kami hanya berdua, terjebak dalam dunia kami yang baru saja dimulai.

Akhirnya, kami sampai di kampus. Kami berjalan bersama menuju kelas, seperti biasa, tetapi ada yang berbeda. Setiap tatapan Arif, setiap senyum yang ia berikan, terasa lebih intim. Kami berdua masih belum bisa saling mengungkapkan apa yang kami rasakan, namun semakin hari, semakin jelas bahwa perasaan itu tumbuh dan berkembang.

Di tengah kuliah yang membosankan, aku mendapati diriku memikirkan Arif terus-menerus. Wajahnya yang sederhana, senyumnya yang tidak pernah gagal membuat hatiku berdebar, bahkan caranya mendengarkan dengan serius setiap perkataanku membuat aku merasa dihargai dengan cara yang berbeda. Di sana, di antara tugas dan catatan kuliah yang menumpuk, ada perasaan yang terus tumbuh.

Siang itu, setelah kuliah selesai, kami duduk di taman kampus yang rindang. Matahari sudah mulai terbenam, namun udara masih cukup hangat. Aku duduk bersandar pada pohon besar, sementara Arif duduk di sebelahku, tak jauh.

“Ria,” panggilnya pelan, membuat aku menoleh. “Aku tahu kita berdua belum bicara tentang ini dengan jelas, tapi aku merasa kita perlu bicara sekarang. Tentang kita.”

Aku merasa jantungku berdebar kencang. Arif menatapku dengan serius, seolah dia tahu betul apa yang ada dalam pikiranku. “Aku nggak mau kalau kita terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan. Aku ingin tahu apakah kamu merasa hal yang sama,” lanjutnya.

Aku terdiam, menatap matanya yang penuh harap. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berarti. Aku sudah siap dengan jawabanku, tapi aku ingin memastikan bahwa aku benar-benar siap untuk ini.

“Arif, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku cuma tahu, perasaan ini berkembang sejak lama. Aku merasa kamu berbeda, dan aku nggak bisa lagi menahan perasaan ini,” jawabku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku merasa lega setelah mengatakannya.

Arif tersenyum, senyum yang hangat dan penuh makna. “Aku juga merasa hal yang sama, Ria. Aku nggak pernah merasa sebahagia ini sebelum kita bicara tentang ini.”

Kami saling menatap, lalu dia meraih tanganku. Genggaman itu terasa lebih kuat dari sebelumnya, seolah dunia seketika menjadi milik kami berdua.

Di bawah langit sore yang mulai gelap, kami berdua duduk bersama, dengan hati yang penuh perasaan yang belum terucap sepenuhnya. Namun, kami tahu satu hal—kami sudah melangkah lebih dekat, lebih pasti. Dalam keheningan, kami menikmati kedekatan yang baru saja kami temukan.

Perasaan itu, yang dulunya hanya bayangan, kini mulai menjadi kenyataan. Dan aku tahu, apa pun yang akan terjadi, kami akan menghadapi semuanya bersama.

 

Langkah yang Pasti

Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan perasaan yang kami miliki mulai semakin jelas, semakin mendalam. Setiap kali aku melihat Arif, hatiku semakin yakin bahwa aku telah memilih langkah yang tepat. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingungan. Kami berada di jalan yang sama, berjalan berdampingan dengan tujuan yang semakin terang.

Hari itu, Yogyakarta menyambut kami dengan hujan yang turun deras. Aku dan Arif baru saja keluar dari kampus setelah kuliah, dan kami terjebak di bawah pohon besar dekat parkiran, berusaha menghindari hujan yang semakin lebat. Kami tak membawa payung, dan langkah-langkah kami terhenti begitu saja.

“Apa kita harus nunggu hujan reda?” tanyaku, mencoba tersenyum meski air hujan mulai membasahi rambutku.

Arif menatapku, lalu tersenyum. “Kita bisa terus jalan meskipun hujan, kalau kamu nggak masalah basah-basahan,” jawabnya, dengan nada yang membuatku merasa lebih tenang. Aku tertawa, menatap hujan yang turun semakin deras.

“Basah-basahan juga nggak masalah sih,” aku menjawab, merasa tidak keberatan sedikit pun. Rasanya seperti setiap detik yang aku habiskan bersamanya, hujan ini tak lebih dari sekadar angin lalu.

Namun, Arif memandangku lebih serius kali ini. “Ria, aku ingin mengajak kamu ke suatu tempat. Tempat yang menurutku kamu akan suka. Boleh kan?”

Aku mengangguk, penasaran dengan tempat yang ia maksud. Tanpa banyak kata, Arif meraih tanganku dan menariknya menuju ke arah jalan kecil yang sepi, di luar keramaian kampus. Meskipun hujan deras, aku merasa tidak keberatan. Bahkan, aku merasa lebih dekat dengan Arif, seakan perjalanan ini adalah bagian dari kisah kami yang baru saja dimulai.

Kami berjalan menuju sebuah kafe kecil yang tersembunyi di ujung jalan, tempat yang sering kami lewati namun jarang kami singgahi. Kafe itu terlihat sangat sederhana, dengan interior yang hangat dan penuh dengan nuansa vintage. Saat kami masuk, suasana di dalamnya begitu nyaman, hampir seperti sebuah pelukan hangat di tengah cuaca yang dingin.

“Kafe ini tempat favoritku sejak dulu,” kata Arif sambil melangkah ke meja yang berada di dekat jendela besar. “Ini tempat yang selalu aku cari saat aku butuh waktu untuk berpikir atau sekadar melupakan segala kerumitan hidup.”

Aku duduk di depannya, menikmati suasana yang tenang, jauh dari keramaian. Lalu, Arif memesan dua cangkir kopi, dan kami duduk dalam keheningan. Meskipun kami tak bicara banyak, tapi aku merasa ada kedekatan yang luar biasa di antara kami. Keheningan itu tidak pernah terasa canggung, justru nyaman.

Setelah beberapa saat, Arif menatapku dengan serius. “Ria,” katanya pelan, matanya penuh makna. “Aku ingin kamu tahu satu hal. Aku ingin selalu ada untukmu. Aku ingin melangkah bersama kamu, tidak hanya sekarang, tapi selamanya. Aku ingin kita tidak hanya menjalani hari-hari ini, tapi juga merencanakan masa depan bersama.”

Aku menatapnya dengan perasaan yang penuh. Setiap kata yang ia ucapkan membuat hatiku berdebar lebih cepat. Selama ini, aku merasa ragu akan banyak hal, tetapi dengan Arif, semua keraguan itu seperti menguap begitu saja. Aku tahu, jika ada satu orang yang bisa membuatku merasa pasti, itu adalah dia.

“Arif,” aku mulai, suaraku sedikit bergetar, “Aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin kita berjalan bersama, meraih semua impian kita. Tidak ada lagi keraguan. Aku ingin kamu jadi bagian dari hidupku, bukan hanya sekarang, tapi untuk selamanya.”

Arif tersenyum, senyum yang membuat hatiku meleleh. Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat. Di kafe yang sederhana ini, di tengah hujan yang masih turun di luar, kami berdua merasa bahwa dunia hanya milik kami. Tidak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang kami rasakan, tak ada yang bisa memisahkan kami.

Waktu berlalu begitu cepat, dan saat aku kembali ke rumah kos malam itu, aku merasa dunia ini lebih cerah dari sebelumnya. Arif, dengan segala kebijaksanaan dan ketulusannya, telah membawa kebahagiaan yang tak terduga dalam hidupku. Kami mungkin belum tahu semua hal tentang masa depan, tapi satu hal yang pasti—kami akan selalu berjalan bersama, menapaki setiap langkah yang kami ambil dengan penuh keyakinan.

Kisah kami baru dimulai. Dan aku tahu, setiap langkah yang kami ambil bersama akan menjadi bagian dari cerita yang indah, tak terucapkan namun penuh makna.

Kami, yang dulunya hanya teman lama, kini telah menjadi dua hati yang tak terpisahkan. Kami melangkah maju, bersama-sama, dengan penuh cinta dan harapan, menantikan segala sesuatu yang akan datang dengan penuh keyakinan.

 

Jadi, begitulah kisah yang mungkin nggak semua orang alami, tapi pasti ada di hati mereka yang percaya kalau cinta itu bisa tumbuh dengan cara yang paling sederhana.

Kalau kamu lagi jalanin kisah serupa, semoga bisa merasa sehangat hujan yang menyejukkan, dan seindah setiap langkah yang kamu ambil bareng orang yang tepat. Cinta itu nggak selalu tentang kata-kata, tapi tentang perjalanan yang kita pilih bersama.

Leave a Reply