Cerpen Romansa Konyol: Cowokku Sakit Kanker Korea dan Drama yang Tak Terduga

Posted on

Pernah bayangin nggak, kalau hidup yang awalnya biasa aja tiba-tiba berubah jadi drama Korea konyol? Ini tentang seorang cowok yang, meskipun lagi sakit kanker Korea (ya, bener, kanker Korea!), malah bikin hari-hari penuh tawa dan kekacauan.

Cinta, drama, dan kekonyolan yang nggak terduga, semua tercampur jadi satu. Siap-siap deh buat ikutan ketawa dan bingung, karena cerita ini jauh dari yang biasa!

 

Cerpen Romansa Konyol

Diagnosis “Kanker Korea”

Hari itu sepertinya tidak ada yang spesial, kecuali kenyataan bahwa aku harus menemui Arya setelah hampir seminggu tidak bertemu. Biasanya, hari-hari kami penuh dengan obrolan ringan dan canda tawa, tapi belakangan aku merasa ada yang aneh. Telingaku menangkap kabar dari teman-teman kampus bahwa Arya sempat tidak masuk kelas selama dua hari berturut-turut. Itu membuatku sedikit khawatir, apalagi dia tidak pernah terlihat sakit. Kalau memang ada yang nggak beres, tentu dia akan memberitahuku, kan?

Aku tiba di kosannya lebih cepat dari yang kukira. Kosan Arya terletak di lantai dua sebuah bangunan lama yang dikelilingi deretan pohon rimbun. Begitu aku sampai di depan pintu kamar, aku langsung mengetuk.

“Arya! Aku datang,” seruku sambil memiringkan kepala sedikit. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

Pintu terbuka perlahan, dan Arya muncul dengan ekspresi yang… sangat tidak biasa. Biasanya dia selalu ceria dan penuh semangat, tapi kali ini dia tampak serius—bahkan seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

“Eh, kamu kenapa? Sakit?” tanyaku, melihat wajahnya yang agak pucat.

Arya menatapku dengan tatapan kosong yang cukup membuatku terkejut. Tanpa berkata-kata, dia melangkah mundur, memberi ruang bagiku untuk masuk ke dalam.

“Gak apa-apa, Dika. Aku cuma butuh waktu,” jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, dan ada kesan dramatis yang kurasa tidak biasa.

Aku memasuki kamar kosannya yang sedikit berantakan—ada baju yang berserakan, beberapa botol minuman ringan yang tergeletak di meja, dan di sudut ruang, layar televisi yang masih menampilkan drama Korea yang sudah habis ditonton. Seketika, aku merasa semakin bingung.

“Arya, kamu kenapa? Aku bawa makanan favorit kamu, loh. Ini ada bakpao merah, tahu kan, yang kamu suka banget itu?” Aku mencoba membangkitkan suasana dengan sedikit humor, tapi wajah Arya tetap datar.

“Ada yang harus aku katakan, Dika,” katanya lagi, kali ini lebih serius. “Aku… Aku sakit.”

Aku mengerutkan kening. “Sakit? Sakit apa, sih?”

Arya menarik napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang penuh arti. “Sebenarnya, aku ini sakit, Dika. Tapi bukan sakit biasa. Aku… terinfeksi.”

“Terinfeksi?” Aku benar-benar bingung. “Infeksi apa? Maksud kamu flu atau demam?”

Arya menggelengkan kepala perlahan, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. Lalu, dengan ekspresi yang seakan-akan dia sedang mengungkapkan sebuah rahasia besar, dia berkata, “Aku terinfeksi… kanker Korea.”

Aku langsung terdiam. Kanker Korea? Apa maksudnya? Apa dia bercanda?

“Serius, Arya? Apa yang kamu bicarakan sih? Ini bukan saatnya bercanda.” Aku berusaha menganggapnya cuma lelucon, tapi tatapan serius di wajahnya membuatku semakin bingung.

“Aku nggak bercanda, Dika,” Arya menjawab dengan suara yang lebih tenang, “Setelah nonton drama Korea yang itu—‘Winter in Seoul’—aku merasa hidupku jadi lebih dramatis. Aku mulai merasa ada yang nggak beres. Hatiku rasanya kayak disayat-sayat setiap kali ada adegan yang bikin gue nangis.”

Aku memandangnya dengan tatapan campur aduk antara bingung dan khawatir. “Maksud kamu? Apa itu penyakit baru atau gimana?”

“Aku nggak tahu, Dika. Tapi setelah aku nonton semua episode drama itu, rasanya hidupku kayak ada di dalam drama. Segala sesuatu jadi terlalu berlebihan—tangisan, rindu, cemas—semuanya kayak ada di luar kendali. Itu kayak kanker yang menyebar ke seluruh tubuhku.”

Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna semua kata-kata aneh yang baru saja dia ucapkan. Memang, Arya itu terkenal dengan segala kelakuan dan pemikiran anehnya, tapi ini sudah di luar dugaan. “Jadi… maksud kamu, kamu ‘terinfeksi’ drama Korea? Dan itu bikin kamu merasa seperti ada yang salah dengan hidupmu?”

Arya mengangguk pelan. “Iya, Dika. Setiap kali nonton, aku merasa seperti aku terhubung dengan tokoh-tokoh itu. Ada yang sedang berjuang, ada yang sedang patah hati, ada yang harus mengorbankan semuanya untuk cinta. Dan di antara semua itu, aku… merasa ada yang hilang.”

Aku mengerutkan dahi. “Tunggu dulu, Arya. Jadi, kamu merasa ‘terinfeksi’ gara-gara nonton drama, dan itu bikin kamu merasa terjebak dalam kisah yang sama?”

“Iya.” Dia menjawab dengan sangat serius, dan itu bukan hal yang aku harapkan. Arya, dengan segala tingkah anehnya, memang selalu bisa mengejutkan aku dengan cara yang konyol dan absurd, tapi kali ini sepertinya dia benar-benar merasa ada yang salah.

“Jadi, menurut kamu, aku harus gimana, dong? Maksudnya, kalau kamu udah kena ‘kanker Korea’ gitu, aku jadi harus jadi dokter drama Korea gitu?” tanyaku sambil setengah tertawa, berharap bisa membuat suasana sedikit lebih ringan.

“Dika… ini nggak main-main. Aku butuh perhatian kamu. Aku butuh seseorang yang bisa ngertiin aku, bukan cuma yang ngeliat aku kayak cowok yang aneh. Ini lebih dari sekadar sakit. Ini tentang bagaimana aku merasa terhubung sama kisah-kisah itu,” jawabnya, matanya seakan menatap jauh, penuh makna.

Aku mendesah panjang, bingung harus berkata apa. Tapi aku tahu, ini adalah Arya. Cowok yang sering bikin aku geleng-geleng kepala, yang kadang terasa terlalu dramatis tapi juga nggak bisa diprediksi. Ternyata, kali ini dia benar-benar butuh aku untuk mendengarkan.

“Baiklah,” kataku akhirnya, meskipun aku masih merasa bingung dengan semua ini. “Jadi, kamu mau aku bantu sembuhin kamu dari ‘kanker Korea’ ini? Kita nonton drama bareng terus, ya?”

Arya mengangguk, tapi ada sedikit senyum muncul di wajahnya. “Ya, itu salah satunya. Tapi yang lebih penting, Dika, kamu harus bener-bener ngerti apa yang aku rasain.”

Aku mengangguk, walaupun di dalam hati aku masih bertanya-tanya, kanker Korea itu sebenernya apa sih? Tapi untuk sekarang, yang penting aku ada buat Arya. Karena itu yang pacar seharusnya lakukan, kan?

 

Malam Minggu Bersama Oppa

Malam minggu. Kalau biasanya, malam ini dipenuhi dengan obrolan ringan bersama teman-teman kampus atau pergi ke kafe, kali ini aku memilih untuk menghabiskan waktu di kosannya Arya. Sepertinya, memang aku sudah terjebak dalam dunia dramanya yang absurd. Setelah segala kekonyolan yang dia ceritakan tentang “kanker Korea”-nya, aku merasa kalau aku tidak menemani dia malam ini, mungkin dia akan semakin tenggelam dalam dunia drama yang entah apa itu.

Aku berdiri di depan pintu kamar Arya, membawa kantong besar yang berisi makanan ringan dan dua botol minuman soda. Aku yakin itu bisa sedikit menghibur. Setidaknya, aku bisa ikut merasakan sedikit apa yang dia rasakan, meski masih tetap merasa agak konyol dengan semua ini.

Pintu terbuka, dan Arya muncul di hadapanku dengan wajah yang lebih ceria dari kemarin. Di tangannya, dia memegang remote TV, siap melanjutkan episode drama Korea yang tertunda. Sepertinya, malam ini akan menjadi “perjuangan” bagi kami berdua.

“Adika, kamu bawa makanan? Aku suka!” Arya langsung merebut kantong plastik itu dari tanganku. “Ayo, masuk! Waktunya kita jadi oppa dan noona yang… punya masalah-masalah berat!”

Aku menahan tawa, berusaha untuk tidak terbawa suasana. “Gila, ya. Kalau aku nggak tahu kamu, mungkin aku udah lari duluan. Tapi, ya sudah, ayo. Oppa dan noona, kan?” Aku mengikutinya masuk ke kamar, yang kali ini sudah dipenuhi dengan kertas-kertas dan catatan kecil yang dia buat. Ternyata, Arya mulai serius dengan “penyakit”nya. Setidaknya, itu yang aku tangkap.

Arya menghempaskan diri di atas kasur, lalu menyuruhku duduk di sebelahnya. Di TV, episode drama “Winter in Seoul” yang dia ikuti sudah dimulai lagi. Seperti biasa, latar belakang ceritanya tentang kisah cinta tragis antara dua tokoh utama yang harus berpisah karena berbagai alasan yang penuh drama.

“Jadi, Dika,” Arya memulai dengan suara serius, “Kamu sudah siap merasakan apa yang aku rasakan? Karena drama ini nggak main-main.”

Aku duduk bersila di sampingnya, meraih satu botol soda dan membuka penutupnya. “Kayaknya aku sudah siap. Tapi serius, Arya, kamu nggak ngerasa aneh gitu nggak sih? Maksud aku, kamu beneran ngerasa hidupmu jadi kayak drama gini, nggak kebawa banget?”

Arya menatapku dengan tatapan serius yang bahkan lebih dramatis daripada tokoh di layar. “Aku beneran ngerasain, Dika. Ada momen-momen di mana aku merasa aku bukan cuma nonton drama. Aku jadi bagian dari cerita ini. Aku jadi kayak karakter yang nggak bisa keluar dari plot-nya. Kanker Korea itu… bukan hal biasa. Ini soal perasaan yang nggak bisa aku kendaliin.”

Aku menyeringai, meski sebenarnya sedikit bingung dengan apa yang dia katakan. “Oke, oke, aku paham. Tapi, ini serius banget ya. Maksudnya, kalau kamu jadi pemeran utama di drama ini, terus aku siapa? Jadi pemeran pembantu yang diam-diam punya perasaan, gitu?”

Arya tertawa pelan, suara tawa itu terdengar sedikit canggung. “Bukan, Dika. Kamu itu… jadi sahabat yang selalu ada di sampingku. Kamu harus ngertiin aku, walaupun aku tahu kamu nggak ngerti sepenuhnya.” Dia mengedipkan mata. “Dan, kamu juga harus jadi pacarku, yang ikut nonton drama sampai larut malam. Itu aturan baru.”

Aku menahan tawa. “Oke deh, kalau itu aturan baru, aku ikutan. Cuma, aku harus bilang… ini sedikit aneh, Arya.”

Kami berdua tertawa bersama, sejenak melupakan segala kekonyolan yang ada. Aku tahu, meski terdengar gila, ini adalah cara Arya untuk merasa terhubung dengan dunia yang dia buat sendiri. Dunia di mana dia bisa berperan sebagai tokoh utama dalam kisah cinta yang rumit dan penuh drama.

Di layar TV, adegan cinta yang penuh air mata berlangsung. Aku melihat bagaimana Arya tampak begitu terhanyut dengan cerita itu. Matanya hampir berkaca-kaca, seakan-akan dia benar-benar menjadi bagian dari kisah yang ada. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil.

“Ya ampun, Arya! Kamu nangis? Cuma gara-gara adegan ini?” Aku hampir terpingkal melihat ekspresinya yang begitu dramatis.

Arya menatapku dengan serius, tapi aku bisa melihat ada senyum kecil di ujung bibirnya. “Jangan bilang kamu nggak ikut ngerasain apa yang mereka rasain, Dika. Ini drama yang berat. Hati ini bisa hancur cuma gara-gara perpisahan yang nggak terelakkan.”

Aku terdiam sejenak. Memang, meskipun aku merasa bahwa ini semua terlalu berlebihan, entah kenapa, aku sedikit ikut terhanyut dengan suasana itu. Aku mulai merasa, mungkin ada sedikit kebenaran dalam apa yang Arya rasakan. Tentang perasaan yang terkadang sulit untuk dikendalikan, tentang hati yang rasanya lebih berat saat terjerat dalam kisah yang penuh dengan emosi.

“Arya,” aku mulai, “mungkin kamu benar. Mungkin kita memang nggak bisa menghindari drama-drama semacam ini. Tapi, yang jelas… kamu nggak sendiri, kok. Aku selalu ada di sini buat kamu.”

Arya menoleh padaku dengan tatapan yang tidak biasa. Seperti ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir di antara kami. “Terima kasih, Dika. Kamu nggak tahu betapa pentingnya kata-kata itu buat aku.”

Aku cuma tersenyum, meskipun hati ini mulai sedikit tergetar. Jadi, malam ini, mungkin bukan tentang drama yang ada di TV, tapi tentang kami berdua yang saling memahami, meski dengan cara yang sedikit aneh dan gila.

 

Drama yang Berlanjut

Pagi harinya, aku terbangun dengan rasa bingung, seolah-olah baru saja terbangun dari sebuah mimpi aneh. Semua yang terjadi kemarin malam terasa seperti bagian dari sebuah film yang tak bisa aku hentikan. Entah kenapa, aku merasa seolah dunia ini sudah berputar di luar kendali. Arya, dengan segala kekonyolannya, tiba-tiba berhasil menarik aku ke dalam dunia dramanya yang penuh dengan absurditas.

Aku memeriksa ponselku. Pesan dari Arya? Tentu saja. Sudah jam sepuluh pagi, dan dia pasti sedang mempersiapkan diri untuk episode drama selanjutnya. Aku membalas pesan itu dengan santai.

Dika: “Arya, seriusan, kamu masih nonton drama Korea lagi?”

Tak lama, balasan masuk.

Arya: “Tentu saja, Dika! Aku butuh itu untuk bisa bernafas. Selain itu, siapa yang mau nemenin aku?”

Aku menghela napas. Sudah kukira. Arya ini memang aneh. Tapi, entah kenapa, ada perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. Perasaan yang lebih dari sekadar kasihan pada teman yang sedang merasa terjebak dalam drama hidupnya. Mungkin, itu yang disebut sebagai… perasaan aneh?

Aku pun memutuskan untuk pergi ke kosan Arya. Kalau biasanya aku datang karena butuh bantuan belajar atau sekadar ngobrol soal tugas kuliah, kali ini rasanya sedikit berbeda. Aku datang untuk menjadi bagian dari drama yang entah kenapa mengubah dinamika pertemanan kami.

Setibanya di depan kamar Arya, aku melihat pintu terbuka sedikit. Arya sedang duduk di sofa dengan sebuah bantal peluk besar di pangkuannya. Layar TV menampilkan adegan yang dramatis, seperti biasa. Drama Korea yang entah sudah berapa kali dia tonton itu masih memikat hatinya. Aku menggelengkan kepala, tapi kali ini, aku tidak bisa menghindar dari perasaan yang mulai tumbuh.

Aku duduk di sampingnya, melemparkan tas ke samping, dan menatap layar TV yang penuh dengan dramanya. Arya, dengan mata yang masih terpejam, berbisik pelan. “Dika, kalau kamu bisa jadi karakter di drama ini, siapa yang kamu pilih? Jadi yang mana? Tokoh utama? Atau cuma… figur pendukung?”

Aku tertawa kecil, lebih dari sekadar mencoba menghindari perasaan aneh yang mulai menyelusup. “Jujur? Kayaknya aku lebih suka jadi karakter yang selalu ada di samping orang lain. Kayak… sahabat yang ngertiin, yang ngasih semangat meski nggak ngerti apa yang lagi dirasain. Tapi kalau kamu tanya soal tokoh utama, aku sih lebih milih jadi yang jadi pacarnya si cowok keren itu.”

Arya membuka matanya, menatapku dengan serius. “Beneran? Kamu serius mau jadi karakter yang cuma jadi figuran gitu?”

Aku mengangguk. “Yup. Kalau figuran bisa bikin drama lebih seru, kenapa nggak? Lagian, siapa sih yang butuh jadi tokoh utama? Kalau jadi pendukung yang baik, kamu bisa bikin cerita itu lebih hidup.”

Arya terdiam sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Kamu gila! Gila, Dika. Tapi, ya udah. Kalau kamu memang suka jadi figuran, berarti kamu harus ngelakuin ini.”

Arya mengeluarkan sebuah kertas dari tumpukan di meja sampingnya. Kertas itu penuh dengan coretan-coretan yang menurutku lebih mirip dengan daftar hal-hal yang ingin dilakukan oleh karakter di sebuah drama. “Ini, Dika. Kamu harus ikut ‘drama’ ini, bener-bener ikut. Kamu nggak boleh keluar dari plot-nya.”

Aku melirik kertas itu. Daftar itu lebih mirip dengan rencana hidup yang dibuat oleh seseorang yang sedang terobsesi dengan hidupnya sendiri. “Apa-apaan ini, Arya?” aku bertanya, heran. “Kamu serius nih, nyuruh aku ngerjain semua ini?”

Arya mengangguk dengan ekspresi wajah yang lebih serius daripada sebelumnya. “Tentu saja! Ini kan bagian dari plot, Dika. Drama ini nggak bisa terjadi tanpa peran kamu. Ini tentang kita—kamu dan aku—yang harus menyelesaikan masalah ini bersama. Kamu nggak bisa mundur.”

Aku menghela napas panjang. “Tapi ini semua… cuma drama, kan? Maksudnya, ini bukan kehidupan nyata. Kamu nggak perlu terlalu serius banget, Arya.”

Dia menatapku tajam, dan untuk pertama kalinya, aku merasa Arya bukan cuma teman yang biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik mata itu, sesuatu yang lebih dari sekadar lelucon atau drama ringan. “Kamu nggak ngerti, Dika. Ini bukan soal nonton TV atau nulis skrip. Ini soal… perasaan yang nggak bisa diabaikan. Kalau kamu cuma jadi penonton, kita nggak akan sampai ke bagian yang lebih seru. Kita harus sama-sama berjuang buat ngerjain misi ini. Jadi, ayo. Bersiaplah jadi bagian dari drama kehidupan aku.”

Aku terdiam sejenak, merasa kebingungan dengan apa yang baru saja dia katakan. Arya memang aneh, tapi dia juga… punya cara yang tak biasa untuk menyentuh hati orang lain. Entah kenapa, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar drama Korea yang kami tonton bersama.

Dan malam ini, aku tahu, kami akan mulai mengarungi cerita ini. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai bagian dari cerita yang aneh dan tidak biasa ini.

 

Akhir yang Tak Terduga

Hari-hari kami berjalan seperti biasa, meski dengan satu perbedaan besar. Aku, yang sebelumnya tak pernah terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingku, kini mulai merasakan bahwa hidup ini lebih dari sekadar rutinitas. Bersama Arya, aku masuk ke dalam sebuah dunia yang penuh dengan kekonyolan, drama, dan tawa. Dunia yang tak peduli dengan logika atau kenyataan. Dunia yang, entah kenapa, membuatku merasa hidup dengan cara yang berbeda.

Di suatu malam yang gelap, kami berdua duduk di balkon kosannya, memandang bintang yang terpencar di langit. Arya masih memeluk bantal peluk besar yang selalu menemani setiap adegan dramanya. Dia terlihat lebih tenang malam ini, seolah dunia sekitarnya telah berhenti berputar sejenak.

“Jadi, Dika,” suara Arya memecah keheningan. “Kamu merasa apa sekarang? Setelah semua yang kita jalani ini.”

Aku menatap langit, menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak tahu, Arya. Tapi kalau harus dibilang, aku merasa lebih hidup. Kayaknya, kadang kita butuh drama buat ngerasa ada yang berarti dalam hidup kita, ya nggak?”

Arya terkekeh, kemudian mengangguk pelan. “Mungkin. Mungkin juga kita butuh drama supaya kita bisa ketawa, supaya kita bisa ngerasa nggak sendiri.”

Aku mengangguk setuju. Semua yang terjadi—kekonyolan, keanehan, dan segala drama yang kami jalani—sepertinya mengubah aku. Aku yang dulu pendiam, sekarang bisa tertawa lepas bersama Arya, menikmati kebersamaan yang tak terduga.

“Jadi,” aku mulai bertanya, “kapan drama Korea berikutnya dimulai?”

Arya menatapku dengan mata yang penuh semangat. “Gampang. Cuma tunggu script-nya selesai dulu, baru kita bisa main lagi.”

Aku tertawa terbahak-bahak. “Drama Korea ala kita, ya? Yang ada bumbu kebodohan dan cinta gila.”

Arya tersenyum, mengedipkan mata dengan nakal. “Tentu. Drama ini bukan buat orang yang nggak berani ngadepin kenyataan. Ini buat orang yang siap terjebak di dalam cerita absurd yang nggak ada habisnya.”

Kami berdua terdiam sejenak. Terkadang, dalam hidup, ada saat-saat di mana kita butuh sedikit absurditas untuk tetap waras. Aku menyadari bahwa meskipun dunia kami aneh dan penuh drama, itulah yang membuat semuanya jadi lebih berwarna. Arya mungkin gila, mungkin agak melampaui batas, tapi dia telah membuat aku melihat kehidupan dengan cara yang berbeda—lebih terbuka, lebih bebas.

Malam itu, dengan bintang yang masih berkerlap-kerlip di langit, aku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku dan Arya telah menjalani drama ini bersama, dan kami tahu, bahwa bahkan jika cerita ini berakhir, kehidupan akan terus berjalan. Kami akan terus tertawa, saling mendukung, dan menulis skrip kami sendiri.

Aku tersenyum kecil. “Jadi, drama kita selesai?”

Arya menatapku dengan wajah serius, tapi senyumannya tetap menyungging di sudut bibirnya. “Belum, Dika. Drama ini baru saja dimulai. Kalau kamu mau, kita bisa teruskan cerita ini. Dengan lebih banyak absurditas, lebih banyak tawa, dan tentu saja… lebih banyak kejutan.”

Dan aku tahu, apa pun yang terjadi, kami berdua—sebagai dua tokoh gila dalam drama ini—akan terus berjalan bersama. Kami tak tahu apa yang akan datang, tapi setidaknya, kami siap menunggu setiap bab berikutnya, tanpa peduli seberapa konyolnya itu.

Karena begitulah cara kami menulis kisah ini. Dengan tawa, dengan kekonyolan, dan dengan sedikit sentuhan cinta yang tidak biasa.

 

Jadi, siapa bilang drama itu cuma buat di TV? Hidup itu sendiri sudah cukup absurd dengan segala kejutan yang datang tanpa diduga. Kadang, kita butuh sedikit kekonyolan dan cinta yang tak terduga buat ngerasa hidup lebih hidup.

Kalau ada satu hal yang bisa dipelajari dari cerita ini, ya, mungkin itu: jangan takut untuk tertawa, apalagi kalau itu barengan orang yang bikin hidupmu jadi lebih berwarna. Drama ini belum selesai, dan siapa tahu, masih ada kejutan-kejutan lainnya yang bakal datang. Sampai jumpa di cerita lainnya, ya!!

Leave a Reply