Daftar Isi
Jadi gini, ceritanya ada cowok keren yang nggak pernah peduli sama dunia, tapi tiba-tiba jadi pacar si cewek yang super galak dan baperan. Gimana bisa?
Nah, kalau kamu pengen tau gimana hubungan konyol yang penuh tawa tapi juga bikin baper ini bisa terjadi, baca terus deh ceritanya. Jangan heran kalau kamu bakal ketawa ngakak!
Cerpen Romansa Komedi
Rencana Niat PDKT Paling Bikin Kaget
Di kantin SMA Pelita Gemilang, Riana duduk sambil bersandar santai di kursinya. Sore itu, kantin penuh seperti biasa, dengan suara obrolan bercampur tawa yang bergema di seluruh ruangan. Tapi fokus Riana bukan pada keramaian di sekitarnya, melainkan pada satu orang saja—Evan, si cowok populer yang sedang duduk di meja paling ujung bersama gengnya. Sosoknya terlihat santai, sesekali menyunggingkan senyum, dan seolah seluruh kantin berputar hanya untuk menyorotnya.
Riana tak sabar untuk melancarkan aksinya. Hari ini dia memutuskan, bukan cuma akan bilang ke teman-temannya, tapi ke seluruh sekolah, kalau Evan itu pacarnya. Bukan sekadar asal omong, Riana merasa ini adalah aksi yang terencana rapi.
Amel, teman setianya, duduk di sebelah Riana sambil memandangi sahabatnya itu dengan tatapan was-was. “Kamu beneran yakin mau lakuin ini, Ri?” Amel bertanya sambil mencolek lengan Riana, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Riana balas menoleh dengan ekspresi yang sok serius. “Ya, lah! Hari ini Evan bakal tahu kalo dia nggak bisa sembarangan menolak aku. Suka nggak suka, dia bakal jadi pacar aku.” Senyumnya lebar, penuh percaya diri, sementara Amel cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Aku nggak tahu ini niat kamu atau kamu sekadar pengin bikin heboh,” Amel mendesah sambil memandangi Evan yang masih sibuk mengobrol dengan teman-temannya. “Tapi aku cuma mau ngingetin, jangan sampai kamu malu sendiri nanti.”
Riana menatap Amel dengan tatapan setengah meremehkan. “Amel, inget ya, kadang orang jenius itu harus berani ambil resiko.”
Amel hanya bisa meringis, mencoba membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Setelah meneguk minumannya untuk menghilangkan rasa deg-degan, Riana akhirnya berdiri dengan penuh keyakinan. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah santai menuju meja Evan. Langkahnya seolah dipenuhi aura kemenangan, padahal di dalam hati, jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
Begitu sampai di depan Evan, Riana mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup untuk membuat Evan dan teman-temannya mendongak.
“Evan,” Riana memulai dengan suara yang cukup keras, cukup untuk membuat semua orang di kantin menoleh dan memperhatikan. Bahkan, beberapa teman Evan yang tadinya sibuk mengobrol langsung menghentikan percakapan mereka, menatap Riana dengan pandangan penuh penasaran.
Evan menatapnya dengan alis terangkat. “Ada apa, Riana?” tanyanya, nada suaranya datar tapi jelas penasaran. Riana tahu, di balik ekspresi dinginnya, Evan sedikit terganggu dengan perhatian mendadak ini. Tapi justru itulah tujuan Riana.
“Kita perlu ngomong serius,” ujar Riana dengan nada sok penting, seolah-olah dia baru saja mengajak Evan rapat besar. Suaranya terdengar begitu tegas, penuh keyakinan.
Evan hanya mengangguk, sementara teman-temannya mulai menahan tawa. Riana tak menggubris, malah melanjutkan, “Denger, mulai sekarang aku adalah pacar kamu.”
Seketika suasana kantin terdiam. Semua orang yang mendengar—bahkan yang semula duduk jauh dari meja Evan—mulai menatap mereka dengan pandangan terkejut. Di antara mereka bahkan ada yang setengah berbisik ke temannya, “Serius, nih?”
Evan menghela napas, matanya memperhatikan Riana dengan tatapan heran dan sekaligus bingung. Dia membuka mulutnya, tapi sebelum sempat berkata-kata, Riana melanjutkan, “Dan kamu nggak punya pilihan. Mulai sekarang, anggap aja hubungan kita ini resmi. Kamu nggak usah khawatir, aku ini cewek paling pintar di sekolah. Dijamin, hubungan kita bakal bikin kita pasangan keren di sekolah ini.”
Riana mengatakannya dengan santai, seperti membicarakan jadwal ulangan besok. Di sisi lain, teman-teman Evan mulai cekikikan mendengar deklarasi ini, seolah-olah mereka sedang menonton acara komedi langsung di depan mata.
“Riana, kamu sadar nggak kalo yang kamu omongin ini agak… absurd?” Evan akhirnya berbicara, suaranya terdengar sabar tapi penuh tanda tanya. Dia menatap Riana dengan tatapan seolah mencari tahu apakah dia serius atau hanya main-main.
Riana tersenyum, tak tergoyahkan. “Absurd gimana? Ini kesempatan langka, Evan. Jangan sia-siakan! Aku ini punya banyak penggemar di sekolah, tahu.”
Evan menahan tawa kecil sambil memutar matanya, tapi dia tetap mencoba mengendalikan ekspresinya. Dengan nada setengah menggoda, dia berkata, “Oke, kalo kamu beneran serius, aku kasih satu tantangan buat kamu.”
“Tantangan?” Mata Riana menyipit, penuh perhatian. “Lanjutkan.”
Evan tersenyum tipis, tatapan jahil di matanya mulai terlihat. “Bikin aku ketawa dalam lima detik. Kalo kamu berhasil, aku bakal anggap serius kata-katamu tadi. Tapi kalo nggak… kamu harus mundur, dan berhenti ganggu aku.”
Riana terdiam, mulutnya sedikit terbuka. Namun, bukannya gentar, dia malah tersenyum lebar, penuh kemenangan. “Beres! Tantangan diterima.”
Seluruh ruangan makin hening. Riana melipat tangan di dadanya dan menatap Evan dengan pandangan penuh percaya diri. Tanpa ragu, ia langsung berkata, “Evan, tau nggak? Di Surga itu pasti ada aturan yang jelas. Salah satunya… cewek selain aku nggak boleh jatuh cinta sama kamu!”
Lalu, suasana yang awalnya hening seketika pecah oleh tawa, bukan hanya dari Evan, tapi juga dari teman-temannya, termasuk beberapa murid di sekitar mereka. Bahkan Evan yang biasanya dingin dan jarang tertawa terpaksa menyembunyikan tawanya di balik tangan, tapi jelas sekali kalau dia tak bisa menahan diri.
Riana menyeringai, merasa menang. “Gimana, Evan? Deal kita?”
Evan menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu serius banget, ya. Oke, anggap aja ini awal yang baik, tapi jangan harap aku bakal sepenuhnya ikut aturan kamu.”
Riana mengangkat dagunya, penuh percaya diri. “Tunggu aja, aku pasti bikin kamu bener-bener mengakui ini.”
Evan hanya tersenyum tipis, masih mencoba mengendalikan tawanya. Riana melangkah kembali ke mejanya dengan langkah penuh kemenangan, sementara seluruh kantin masih riuh karena kejadian barusan.
Amel menyambut Riana dengan tatapan tak percaya. “Ri, kamu… kamu beneran berhasil bikin Evan ketawa?” tanyanya takjub.
Riana tersenyum lebar. “Yup! Misi hari ini sukses besar.”
Namun di dalam hatinya, Riana tahu ini baru awal. Tantangan berikutnya masih panjang, dan dengan keyakinan penuh, dia sudah memikirkan rencana lanjutan untuk menjaga statusnya sebagai pacar resmi Evan.
Perjanjian Kocak di Kantin Sekolah
Setelah insiden hari itu di kantin, gosip bahwa Riana dan Evan “resmi pacaran” langsung menyebar. Berita itu bahkan sampai di telinga para guru, yang tentunya bikin Riana makin senang—dan bikin Evan makin sering jadi bahan tatapan kagum dari murid-murid lain. Bukan cuma cewek, cowok-cowok di kelas juga mulai memandang Evan dengan ekspresi seolah-olah dia baru naik level di sebuah game.
Di sisi lain, Evan sendiri mulai merasa risih. Bukannya risih karena status “pacar” Riana, tapi karena cara cewek itu bertingkah laku, seolah-olah dia sudah jadi bagian hidup Evan yang nggak bisa dicabut. Evan akhirnya memutuskan untuk menemui Riana di kantin, persis saat istirahat pertama dimulai. Saat itu, Riana sedang duduk santai di meja yang sama seperti kemarin, ditemani Amel, yang sejak awal merasa ini semua cuma rencana ngawur.
Tanpa basa-basi, Evan langsung duduk di depan Riana dan menatapnya dengan serius. “Kita perlu bicara, Riana,” ucapnya, tegas tapi terdengar agak lelah.
Riana malah tersenyum tipis, seolah sudah tahu yang bakal dibahas. “Eh, tumben. Biasanya kamu ogah ketemu aku duluan,” balas Riana sambil memainkan sedotan minumannya dengan ekspresi puas.
Amel, yang duduk di sebelah Riana, mengangkat alis sambil menatap Evan. “Ada apa, Evan? Mau ngebatalin ‘hubungan’ kalian, ya?”
Evan menghela napas. “Bukan, aku nggak akan ngebatalin perjanjian itu,” katanya, membuat Riana sedikit terkejut.
Amel malah tertawa kecil. “Oh, kirain kamu bakal nyerah,” canda Amel, meski Evan sama sekali tak terhibur.
Riana melipat tangan di depan dada. “Jadi? Kenapa cari aku?”
Evan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma mau batasin aturan yang kamu bikin. Kamu kan yang mulai ini semua, jadi harusnya kamu bisa kompromi, ya?”
Riana tertawa kecil. “Batasan? Oke, aku kasih kamu kesempatan untuk ngomong. Coba jelasin batasannya.”
Evan menatap Riana dengan tatapan serius, dan mulai menjelaskan, “Pertama, aku nggak akan dipaksa buat nemenin kamu ke mana-mana, apalagi acara yang kamu undang sendiri. Kedua, kamu nggak boleh bilang apa pun yang aneh ke guru soal kita berdua. Dan terakhir, tolong, jangan buat pengumuman di tempat umum lagi kalau kita pacaran. Cukup sampai di sini saja orang-orang tahu, jangan sampai kamu bikin seluruh sekolah heboh.”
Riana pura-pura berpikir sambil mengetukkan jarinya ke dagu, berpura-pura berat menyetujui permintaan Evan yang terakhir. “Hmm, jadi intinya kamu nggak mau terlalu kelihatan kayak pacar aku di depan orang lain?” tanyanya dengan nada jahil, senyuman menggoda menghiasi bibirnya.
Evan mengangkat bahu. “Intinya, jangan bikin aku terlihat… terlalu kebawa arus, gitu.”
Riana mengangguk pelan, lalu tiba-tiba dia mengetukkan jarinya di meja. “Baik, aku setuju, tapi ada satu syarat tambahan dari aku!”
Evan mengerutkan dahi, menatap Riana dengan curiga. “Apa lagi?”
Riana mendekatkan diri ke meja, memiringkan kepalanya sambil tersenyum licik. “Kamu tetap harus panggil aku dengan sebutan ‘sayang’ atau ‘beb’ kalau kita lagi berdua. Minimal… satu kali sehari.”
Amel, yang mendengar syarat ini, hampir tersedak minumannya sendiri. “Riana! Itu… itu kok terdengar… sok mesra banget!” Amel tertawa kecil sambil menutup mulutnya, setengah tak percaya dengan permintaan sahabatnya itu.
Evan menatap Riana dengan tatapan malas. “Kamu nggak serius, kan?”
Riana malah menatapnya dengan pandangan menantang. “Kalau nggak mau, ya udah. Kita anggap aja kamu yang mundur duluan.”
Evan diam sejenak, lalu akhirnya menyerah. Dia tahu Riana nggak akan pernah membiarkan dirinya menang sepenuhnya. Dengan menghela napas panjang, Evan mengangguk, “Baiklah, tapi cuma sekali sehari, dan itu pun kalau nggak ada orang lain yang dengar.”
Riana tersenyum lebar, seperti singa yang baru saja berhasil menangkap mangsanya. “Sepakat!” katanya dengan nada penuh kemenangan.
Amel hanya bisa memandang keduanya bergantian, lalu menghela napas. “Serius deh, kalian berdua kayak bocah kecil yang saling ngotot. Tapi aku jadi penasaran, hubungan kalian ini bakal bertahan berapa lama?”
Evan dan Riana saling berpandangan sesaat, lalu keduanya malah saling melempar senyum kecil.
Hari-hari berikutnya, Riana benar-benar menjaga “aturan” yang mereka sepakati, meski dia tak lupa meminta Evan untuk memenuhi satu syarat tambahannya setiap hari. Walaupun terlihat malas-malasan, Evan tetap menyebutnya “sayang” setiap kali mereka bertemu berdua, meskipun suaranya lebih pelan dari bisikan.
Yang membuat Riana lebih puas adalah bahwa sikap Evan yang terus mengalah hanya membuat gosip semakin ramai. Anak-anak di sekolah bahkan mulai menyebut Riana dan Evan sebagai pasangan aneh, dengan komentar-komentar yang nggak kalah kocak.
“Eh, liat, tuh, Evan. Kayaknya sekarang dia lebih pendiem dari biasanya,” celetuk salah satu murid di lorong.
“Ya, jelaslah. Pacarnya Riana, masa dia nggak kena efeknya?” balas teman yang lain sambil tertawa kecil.
Mendengar bisikan-bisikan itu, Riana malah tersenyum bangga, merasa seperti “pacar” Evan yang benar-benar diakui oleh sekolah. Sementara Evan, walaupun sering menghela napas melihat tingkah Riana, sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan gosip-gosip itu. Ada sesuatu tentang Riana yang entah bagaimana selalu membuat suasana di sekitarnya jadi penuh warna.
Di sela-sela masa istirahat, mereka berdua akhirnya sering terlihat bersama, entah sedang duduk di kantin atau ngobrol santai di taman sekolah. Meski awalnya Evan terkesan canggung, lambat laun, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Riana. Tapi tentu saja, dia tetap merasa risih setiap kali Riana sengaja memanggilnya “beb” di depan Amel, yang selalu tertawa terbahak-bahak mendengar itu.
Dan setiap kali Riana memanggilnya dengan sebutan “beb”, Evan cuma bisa memutar mata, membalas pelan, “Iya, iya, sayang.” Meski kata itu diucapkannya dengan setengah kesal, tetapi Riana tahu kalau di balik itu ada sedikit senyum tipis yang tersirat.
Suatu hari, di kantin sekolah, Amel yang selalu mendukung “rencana” Riana akhirnya bertanya, “Ri, jujur aja, kamu beneran suka sama Evan, atau ini semua cuma karena kamu pengin bikin sensasi di sekolah?”
Riana terdiam sejenak. Dia tahu pertanyaan itu akan datang, tapi belum pernah benar-benar memikirkannya. Dia menatap Amel, lalu akhirnya menjawab dengan nada lebih pelan, “Awalnya cuma iseng, Mel. Tapi lama-lama aku ngerasa, kayaknya aku suka aja ngeliat dia bingung sama tingkahku.”
Amel hanya tersenyum penuh pengertian. “Ya, tapi ingat, jangan sampai main perasaan. Siapa tahu, kamu sendiri yang bakal baper.”
Riana tertawa, menggeleng pelan. “Aku? Baper sama Evan? Nggak bakal!” katanya penuh percaya diri. Tapi entah kenapa, dalam hati kecilnya, Riana merasa ada sesuatu yang mulai berubah.
Dan begitu ia melihat Evan yang datang menghampirinya di kantin dengan senyuman kecil, Riana sadar bahwa mungkin, tanpa dia sadari, hatinya memang perlahan-lahan tertarik pada Evan, cowok yang awalnya hanya dijadikan target keisengan.
Getar yang Nggak Diundang
Suasana di sekolah mulai terasa aneh buat Evan. Bukan cuma karena gosip soal dia dan Riana yang terus berkembang tanpa kendali, tapi juga karena ada perasaan baru yang pelan-pelan mulai mengganggunya setiap kali dia melihat Riana. Semua ini dimulai sejak beberapa hari yang lalu, saat Evan tanpa sadar menangkap Riana tertawa kecil, entah kenapa tawa itu membuat jantungnya sedikit berdegup lebih cepat.
Hari ini, mereka berdua lagi-lagi duduk di kantin seperti biasa. Riana, yang biasanya sibuk ngobrol atau menggodanya, justru kali ini terlihat lebih pendiam. Amel, yang biasanya ikut meramaikan suasana, nggak bisa gabung karena ada urusan di kelas lain. Suasana pun jadi canggung, dan ini pertama kalinya Evan merasa kikuk saat duduk berdua dengan Riana.
Riana diam-diam melirik Evan, lalu menghela napas pelan. Dia ingat betul apa yang Amel bilang kemarin tentang perasaan. Meski awalnya dia cuma iseng, belakangan ini setiap kali melihat Evan, dia merasa ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya—sesuatu yang nggak bisa dia kendalikan.
Riana memberanikan diri untuk membuka obrolan, “Eh, Van…,” panggilnya sambil memainkan sedotan di gelasnya.
Evan menoleh, lalu tersenyum tipis. “Hmm?”
“Menurut kamu, seberapa lama kita bisa tahan pura-pura pacaran kayak gini?” tanya Riana sambil mencoba terlihat santai, padahal sebenarnya dia sedikit gugup.
Evan berpikir sejenak sebelum menjawab, “Entahlah. Sampai kamu bosan mungkin?”
Riana tertawa kecil. “Bosannya udah dari dulu, Van, tapi kamu masih asyik-asyik aja.”
Evan memutar matanya sambil tersenyum. “Asyik? Lebih tepatnya pasrah kali, Ri. Kamu kan tahu aku nggak bisa nolak.”
Riana tersenyum lebar, merasa puas dengan jawabannya. Tapi ada hal lain yang ingin dia ketahui—sesuatu yang lebih dari sekadar permainan mereka selama ini.
“Van, kamu pernah nggak, ngerasa ada yang beda di antara kita?” tanya Riana tiba-tiba, suaranya berubah agak serius.
Evan terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Riana. Dia menggaruk kepalanya yang nggak gatal, lalu mencoba menjawab dengan nada santai, “Beda gimana maksudnya?”
“Ya… beda aja. Kayak, aku sama kamu itu… mulai deket beneran?” ucap Riana sambil menatap lurus ke mata Evan.
Untuk sesaat, mereka saling pandang, dan di tengah keheningan itu, Evan merasa ada getaran aneh yang merayap di dalam dirinya. Getaran yang membuatnya sadar bahwa mungkin, tanpa dia sadari, Riana sudah berhasil merusak benteng dinginnya selama ini.
“Nggak tahu, sih,” jawab Evan akhirnya, mencoba menghindari topik dengan mengalihkan pandangan ke luar jendela kantin. “Aku… ya, cuma ngikutin alur aja.”
Riana tertawa kecil, tapi dalam hatinya ada rasa kecewa. Evan memang cowok yang sulit ditebak, dan setiap kali dia mencoba untuk lebih mendekat, Evan selalu menjawab dengan cara yang santai, seolah-olah perasaan itu nggak ada.
Tapi kemudian Riana mendapat ide.
“Gimana kalau kita adain ujian kecil?” usul Riana tiba-tiba.
Evan mengerutkan dahi. “Ujian? Maksud kamu apa?”
Riana tersenyum jahil. “Buat ngetes… apakah kamu sebenarnya suka sama aku atau enggak.”
Evan tertawa kecil, meskipun rasa gugup mulai muncul dalam dirinya. “Ujian? Kamu serius?”
“Yup!” Riana mengangguk mantap. “Kita bikin satu syarat lagi: kalau nanti ada momen di mana kamu benar-benar perhatian atau khawatir sama aku, berarti kamu gagal. Itu tandanya kamu jatuh cinta sama aku beneran.”
Evan mendengus, berusaha terlihat cuek. “Aku? Jatuh cinta sama kamu? Nggak mungkin.”
Riana mendekatkan wajahnya, dan kali ini tatapannya penuh tantangan. “Oke, kita lihat saja, Van. Mulai hari ini, kamu nggak boleh terlalu peduli sama aku, nggak boleh khawatir, nggak boleh cemburu, apalagi ngurusin hal-hal kecil soal aku. Bisa nggak?”
Evan tersenyum santai, meski dalam hatinya merasa sedikit terpojok. “Bisa lah. Aku ini, kan, cowok cuek.”
Riana tertawa lagi, dan tanpa berkata-kata lebih lanjut, mereka mengakhiri percakapan itu dengan cengiran lebar, masing-masing yakin bisa memenangkan “ujian” ini.
Selama beberapa hari berikutnya, Evan benar-benar berusaha untuk nggak terlalu peduli sama Riana. Bahkan saat Riana sengaja meninggalkan buku catatannya di meja, Evan berpura-pura nggak lihat dan tetap berjalan keluar kelas. Namun, ketika dia melihat Riana tergopoh-gopoh kembali untuk mengambil buku itu, Evan malah tersenyum geli.
Lalu ada hari di mana Riana sengaja datang terlambat ke kelas hanya untuk melihat apakah Evan akan menanyakan alasannya. Tapi Evan cuma melirik sebentar, lalu kembali sibuk dengan bukunya, pura-pura nggak peduli. Dalam hati, dia merasa sedikit bangga berhasil lolos dari jebakan Riana.
Namun, “ujian” ini ternyata nggak sesederhana itu. Pada suatu siang, saat Riana sedang berjalan sendirian di koridor sekolah, ada seorang anak kelas bawah yang nggak sengaja menabraknya. Meski hanya tersenggol sedikit, Riana langsung meringis dan berpura-pura kesakitan, berharap Evan akan muncul dan khawatir.
Seperti yang diduga, Evan memang melihat kejadian itu dari jauh. Meski dalam hatinya ada dorongan kuat untuk menghampiri, dia tetap bertahan dan hanya memperhatikan dari kejauhan, dengan tangan mengepal di samping. Riana yang menyadari Evan memperhatikan dari jauh, malah tersenyum penuh kemenangan.
Namun, sore itu, Evan merasa aneh. Setiap kali dia berusaha untuk nggak peduli pada Riana, perasaan yang sebaliknya justru semakin kuat. Dia mulai teringat momen-momen kecil saat mereka berdua tertawa bersama, atau bahkan ketika Riana melontarkan lelucon konyol yang dulu dia anggap mengganggu. Sekarang, semua itu justru terasa menyenangkan, membuatnya sadar bahwa mungkin, hanya mungkin, hatinya memang sudah tertambat.
Keesokan harinya, di kantin, Riana kembali melancarkan “serangan.” Dia dengan sengaja bercerita pada Amel bahwa dia akan bertemu cowok lain sepulang sekolah, hanya untuk melihat reaksi Evan.
“Eh, Mel, tahu nggak? Kayaknya sore ini aku bakal hangout sama anak kelas sebelah, namanya Rizal. Dia ngundang aku buat nongkrong di kafe,” ucap Riana dengan nada riang.
Amel yang mendengar rencana itu tertawa kecil, seolah sudah tahu maksud di baliknya. “Ih, tumben banget! Biasanya kamu nolak mentah-mentah, kok ini langsung oke?”
Riana tersenyum lebar sambil melirik ke arah Evan yang duduk tak jauh dari mereka.
Evan, yang mendengar pembicaraan itu, diam sejenak sambil mengaduk minumannya. Meski berusaha terlihat cuek, dia tak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Bayangan Riana pergi dengan cowok lain membuat hatinya terasa kosong.
Tanpa berpikir panjang, Evan tiba-tiba berdiri dan menghampiri meja Riana. Dengan suara agak berat, dia berkata, “Kamu yakin mau pergi sama Rizal?”
Riana mengangkat alis, berpura-pura bingung. “Kenapa? Cemburu, Van?”
Evan menghela napas panjang, lalu mengakui sesuatu yang mungkin tak pernah dia duga sebelumnya. “Aku… nggak tahu kenapa, tapi aku nggak suka kalau kamu pergi sama cowok lain.”
Riana, yang tadinya berniat untuk menggoda Evan, kini terdiam. Wajahnya memerah, dan untuk pertama kalinya, dia merasa gugup di hadapan Evan.
Tanpa sadar, Evan meraih tangan Riana dan menatapnya dalam-dalam. “Aku… mungkin gagal ujian, Riana. Dan mungkin, aku emang udah beneran suka sama kamu,” ucapnya pelan, tapi penuh ketulusan.
Riana terpaku, dan seketika, kantin terasa hening. Evan mengakui perasaannya yang selama ini terpendam, tanpa ada embel-embel pura-pura atau permainan.
Sore itu, mereka berdua akhirnya menyadari bahwa hubungan mereka sudah jauh melampaui sekadar permainan. Dan meskipun semua dimulai dengan pura-pura, kini, bagi Evan dan Riana, perasaan itu nyata adanya.
Akhir yang Tidak Terduga
Hari-hari setelah pengakuan itu berjalan sedikit lebih hangat, meskipun ada banyak hal yang harus diselesaikan di antara Evan dan Riana. Ketegangan yang sempat terasa di antara mereka perlahan mereda, digantikan dengan rasa saling pengertian yang lebih kuat. Namun, rasa canggung tetap ada, seperti sesuatu yang tak bisa langsung hilang begitu saja setelah sekian lama bertindak seolah tak peduli.
Evan masih suka merasa aneh setiap kali Riana melontarkan pertanyaan, menguji dirinya. Seperti pagi ini, saat mereka bertemu di kantin, Riana dengan sengaja tersenyum manis dan bertanya, “Van, kamu mau ikut ke bioskop sore ini? Ada film baru, lho. Kamu suka kan film horor?”
Evan, yang biasanya bakal mengacuhkan pertanyaan semacam itu, kali ini malah menjawab dengan serius, “Tentu. Aku akan ikut.”
Riana menyipitkan mata, merasa sedikit janggal dengan reaksi Evan yang begitu cepat mengiyakan. “Kamu yakin? Kamu… nggak akan pura-pura nggak suka kan?”
Evan tersenyum tipis, membuat Riana semakin bingung. “Nggak. Aku nggak akan pura-pura nggak suka. Aku… kalau sudah ngomong iya, ya iya.”
Mereka akhirnya berangkat bersama sore itu, meski sebelumnya Riana sempat bertanya-tanya apakah dia sudah cukup serius dengan hubungan ini. Namun, ketika Evan duduk di sebelahnya di dalam bioskop, menonton film yang sama-sama mereka benci, dia merasa sesuatu yang nyaman—sesuatu yang membuat hatinya lebih tenang.
Tentu saja, itu bukan akhir dari segalanya. Film itu justru menjadi bahan candaan sepanjang perjalanan pulang. Ketika film horor itu berakhir dan mereka keluar dari bioskop, Riana masih setengah terkejut dengan reaksi Evan yang sangat antusias walaupun dia takut setengah mati.
“Van, serius, kamu tuh nggak takut sama sekali?” tanya Riana sambil melirik Evan yang sepertinya menikmati film horor itu meski beberapa kali dia menutup mata.
Evan tertawa terbahak-bahak. “Nggak lah. Itu cuma film, Ri. Kalau beneran ada hantu, aku lebih takut sama kamu yang bisa tiba-tiba muncul depan aku, bikin aku jantungan.”
Riana hanya bisa tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Evan yang sedikit garing, tapi justru terasa menyenangkan. Satu hal yang dia tahu pasti: dia mulai menikmati kebersamaan mereka. Seiring berjalannya waktu, canda tawa dan perhatian yang dulu terasa tidak jelas kini menjadi bagian dari kebiasaan mereka berdua.
Setelah beberapa minggu berlalu, hubungan mereka semakin terasa ringan. Evan tak lagi ragu untuk berbicara tentang hal-hal kecil yang sebelumnya hanya dia pendam. Bahkan Riana pun mulai terbiasa dengan sikap Evan yang terkadang menggelikan, meski tetap tidak bisa ditebak.
Hari itu, di sebuah taman setelah jam pulang sekolah, Evan dan Riana duduk di bangku panjang, menikmati udara sore yang sejuk. Tak ada pembicaraan yang terlalu serius, hanya obrolan ringan tentang tugas sekolah, cerita lucu yang dibagikan teman-teman mereka, dan sedikit pembicaraan tentang masa depan.
“Van,” panggil Riana, sedikit melirik ke samping.
“Hmm?” jawab Evan, masih dengan gaya cueknya.
“Aku cuma mau bilang… aku senang sama semuanya yang terjadi sekarang,” ucap Riana dengan suara lembut. “Aku senang kamu ada di sini. Gimana kalau kita terusin aja hubungan ini? Tanpa banyak aturan atau ekspektasi, cuma biar kita bisa jalan bareng tanpa mikirin yang lain.”
Evan menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Aku juga senang, Ri. Kita nggak perlu banyak mikirin apa yang orang lain bilang atau harapkan. Kita jalanin aja. Aku nggak pernah terlalu serius soal hubungan, tapi… entah kenapa, kali ini beda. Kamu beda.”
Riana tersenyum lebar, dan Evan akhirnya sadar betapa dalamnya perasaan yang dia simpan selama ini. Dia nggak tahu kapan tepatnya, tapi tiba-tiba saja dia merasa Riana bukan sekadar cewek yang bikin hidupnya ribet, melainkan seseorang yang membuat semuanya jadi lebih hidup.
Malam itu, saat mereka berpisah di depan rumah Riana, Evan memberi senyum tipis sebelum mengucapkan kata-kata yang jarang dia ucapkan.
“Ayo, kita lihat aja ke depannya. Mungkin kita berdua baru mulai ngerasain yang sesungguhnya.”
Riana mengangguk dan tertawa ringan, “Kita lihat aja nanti, Van. Aku yakin, ini baru permulaan.”
Dan begitu, hari-hari mereka berlalu dengan cara yang sangat berbeda dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Tidak ada lagi pura-pura, tidak ada lagi ujian yang harus dilewati. Hanya ada mereka berdua, menikmati kebersamaan, meski sedikit kikuk, sedikit konyol, namun dengan satu kesamaan: rasa yang sudah semakin nyata. Mereka bukan hanya teman biasa, bukan cuma pacar palsu yang dibuat-buat untuk sekadar memenuhi tuntutan sosial. Mereka mulai menyadari, bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka sudah lebih dari sekadar kata-kata. Itu adalah sesuatu yang nyata, yang membentuk mereka jadi pasangan yang sempurna, meskipun dengan cara yang paling tidak terduga.
Kehidupan mereka berlanjut, penuh canda, penuh tawa, tapi juga penuh makna. Dan siapa yang tahu, mungkin mereka akan menemukan lebih banyak hal yang menyatukan mereka ke depan, tanpa perlu menunggu ujian atau aturan lagi.
Jadi gitu deh, cerita yang kadang lucu, konyol, tapi juga beneran bisa bikin baper. Terkadang, hubungan itu nggak perlu sempurna atau sesuai rencana, yang penting kalian bisa menikmati setiap momen bersama.
Nah, kalau kamu merasa cerita ini mirip banget sama yang kamu rasain, jangan lupa share ke teman-teman kamu, siapa tahu mereka juga lagi nyari cerita yang sama! Sampai ketemu di cerita selanjutnya, ya!