Cerpen Rindu Sahabat Sejati: Kenangan Abadi dalam Kebersamaan yang Hilang

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak ada satu orang yang nggak bisa digantikan? Seorang sahabat yang udah jadi bagian dari hidup kamu, yang selalu ada di saat seneng atau susah. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba dia nggak ada lagi.

Rasanya? Hancur, kan? Nah, cerita ini tentang Raka dan sahabatnya, Rendra. Kisah tentang kebersamaan yang dulu nggak pernah kita pikir bakal hilang begitu aja. Tapi ya, hidup emang penuh kejutan. Kadang, yang tinggal cuma kenangan. Yuk, baca cerita ini dan rasain apa yang gue rasain.

 

Cerpen Rindu Sahabat Sejati

Kenangan di Bukit Kecil

Senja itu, langit di atas desa masih berwarna jingga, dicampur sedikit semburat merah muda yang lembut. Suasana di bukit kecil itu terasa berbeda, seperti ada yang hilang, meski semuanya tampak sama. Raka duduk di atas rerumputan hijau yang sudah mulai mengering, menatap langit yang semakin gelap, dengan suara angin yang berbisik di telinganya. Tangan kanannya menggenggam gitar tua milik Rendra, yang kini seolah menjadi miliknya.

“Ren, kamu pasti bakal kaget kalau aku bilang aku udah nggak bisa hidup tanpa kamu,” kata Raka pelan, meskipun ia tahu bahwa sahabatnya tidak lagi bisa mendengar.

Di sekelilingnya, desa yang pernah mereka jelajahi bersama masih seperti dulu—sepi dan damai. Sawah yang terbentang luas dengan pohon-pohon rindang di sekitar jalan setapak, seperti kenangan yang tak bisa dilupakan. Semua ini pernah mereka nikmati bersama, tawa mereka menggema di antara pepohonan itu, mengisi kekosongan yang ada.

Raka memandang kosong ke arah jalan yang membentang di bawah bukit, tempat mereka dulu sering berjalan sambil berbicara tentang banyak hal, dari hal-hal konyol sampai impian yang mereka bagi. Tapi sekarang, hanya ada sepi.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya yang mulai goyah. Sementara angin yang berhembus di antara pepohonan itu, seakan-akan membawa suara Rendra yang hilang, menenangkan, meski tidak cukup untuk mengisi ruang kosong di dadanya.

“Rend, aku datang ke sini lagi. Yang kamu bilang waktu itu… aku ingat kok,” kata Raka, suaranya semakin pelan. Ia memandang gitar yang kini berada di tangannya. Dulu, gitar itu selalu ada saat mereka duduk bersama di sini, di bukit yang sama, dengan langit yang sama. Sekarang, tanpa Rendra, semuanya terasa hampa.

Tiba-tiba, kenangan itu datang begitu saja. Raka kembali ke masa-masa ketika mereka masih remaja. Mereka sering datang ke bukit ini untuk sekadar duduk diam, berbicara tentang masa depan, dan kadang membicarakan hal-hal konyol. Rendra akan selalu memainkan gitar, meskipun akordnya seringkali salah. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah kebersamaan mereka, tawa mereka, yang selalu membuat hari-hari terasa indah.

“Rend, kamu ingat nggak? Waktu kita ngomongin tentang masa depan? Aku bilang aku mau jadi arsitek, kan?” Raka tertawa kecil, menahan rasa sesak di dada. “Aku selalu berpikir kita akan berdua melangkah ke sana, bareng-bareng. Tapi… sekarang, aku sendiri.”

Dia memejamkan mata, mencoba mengingat suara sahabatnya, tawa yang selalu mengiringi setiap kalimatnya.

Angin itu semakin kencang, seperti sebuah jawaban. Suara gitar tua yang tergeletak di tangannya seolah kembali terdengar dalam ingatannya, mengiringi kenangan yang terus hidup dalam dirinya.

“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ren. Aku nggak tahu harus melanjutkan apa tanpa kamu,” kata Raka dengan suara yang hampir tak terdengar, namun penuh dengan keputusasaan.

Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar, menambah kesunyian yang terasa begitu berat. Raka melirik ke langit, yang kini mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar samar. Seakan-akan, itu adalah cara alam memberinya tanda bahwa meskipun Rendra telah tiada, kenangan mereka akan tetap hidup selamanya.

Raka menundukkan kepala dan menggenggam gitar itu dengan erat. Sekarang, gitar itu bukan hanya sekadar alat musik. Itu adalah simbol dari kebersamaan mereka, satu-satunya benda yang bisa menghubungkannya dengan sahabat yang telah pergi. Ia memetik senar gitar itu, meskipun tangannya terasa kaku. Lagu yang dulu sering mereka nyanyikan bersama terdengar pelan di malam yang sunyi.

“Ini lagu kita, Ren,” kata Raka, suara itu menggetarkan hatinya. “Aku mainin buat kamu, buat kenangan kita.”

Ia bernyanyi pelan, suara rendahnya terdengar pecah, bercampur dengan angin yang berbisik di telinganya. Tapi ia terus bernyanyi, meskipun ada perasaan kosong yang menyelimuti hatinya.

Tak lama, suara gitar itu berhenti. Raka menatap senja yang kini sudah hampir hilang. Hanya ada sisa-sisa cahaya yang memudar di cakrawala. Ia merasa seolah Rendra masih ada di sampingnya, mendengarkan, menemani. Tapi kenyataan itu begitu pahit, dan rasa sakitnya begitu dalam.

Tangan Raka gemetar saat ia meletakkan gitar itu di sampingnya. Ia tahu, bahwa seiring berjalannya waktu, kenangan mereka akan tetap hidup, meski Rendra tidak lagi ada di sini. Namun, itu tidak akan pernah cukup menggantikan tempat sahabatnya dalam hidupnya.

“Rend… Aku rindu,” kata Raka dalam bisikan, seolah berharap ada jawaban, meski tahu itu tidak akan pernah datang.

Malam itu semakin larut, dan Raka tetap duduk di bukit itu, merenung dalam kesunyian. Kenangan tentang Rendra yang penuh tawa dan kebersamaan mengisi setiap sudut hatinya. Tapi yang lebih mengisi adalah perasaan hampa yang tak terucapkan, yang hanya bisa ia simpan dalam diam.

 

Lagu untuk Sahabat yang Hilang

Pagi datang dengan pelan, menyusup melalui celah-celah pohon yang berjejer rapi di sekitar bukit kecil itu. Raka masih terdiam di sana, di tempat yang sama, duduk di atas rerumputan yang kini basah oleh embun. Gitar tua itu ada di sampingnya, masih tergeletak begitu saja, seolah-olah menunggu dipetik kembali. Namun Raka tidak merasa cukup kuat untuk melakukannya. Tangan kanannya terasa kaku, seolah-olah beban berat terlalu lama ia pikul.

Senyap. Hanya ada desiran angin yang menyapa telinganya, seolah berbicara dengan lembut namun tajam.

Raka menatap pemandangan di depannya, matanya menyusuri sawah yang mulai berwarna hijau cerah, meskipun rasanya ia tak mampu sepenuhnya menghayati keindahan itu. Di depan mata, dunia terus bergerak, tetapi jiwanya tertinggal di tempat yang jauh, bersama kenangan yang semakin memudar.

Dulu, ketika mereka masih bersama, tempat ini adalah saksi bisu kebersamaan mereka. Mereka akan bercanda tentang masa depan—tentang impian dan harapan yang mereka jalin bersama. “Bakal jadi apa kita nanti?” kata Rendra dulu dengan tatapan penuh semangat, seperti tak ada hal yang tidak mungkin.

Dan Raka, yang selalu lebih realistis, hanya tersenyum. “Kita berdua akan jadi orang yang hebat, Ren. Tapi, aku pasti bakal tetap di sini, di desa ini.”

Rendra hanya tertawa, melemparkan pandangan ke arah bukit yang sama, dan kemudian berkata, “Aku akan datang, kok. Aku bakal kembali, kalau aku udah sukses.”

Kenangan itu tiba-tiba melintas di benaknya, membuat dada Raka sesak. Betapa ia sangat merindukan sahabatnya. Ia menghela napas, berusaha menenangkan hati yang terasa penuh sesak, mencoba menerima kenyataan bahwa Rendra tidak akan pernah kembali lagi.

Tangan Raka meraih gitar tua itu. Perlahan, ia mulai memetik senar dengan hati-hati. Lagu yang dulu mereka nyanyikan bersama terdengar pelan, hampir tak terdengar di tengah kesunyian pagi. Raka tahu, ini bukan hanya sekadar melodi. Ini adalah cara ia mencoba menyampaikan semua perasaan yang terpendam. Ini adalah cara ia berbicara dengan Rendra, meski sahabatnya tak bisa mendengarnya lagi.

Ketika nada pertama itu mengalun, Raka merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Suara gitar itu, meski agak kasar karena jarang dimainkan, terasa seperti suara Rendra yang sedang berada di sampingnya. Raka terhanyut dalam lagu itu, membiarkan kenangan menyapu seluruh pikiran dan emosinya. Setiap petikan senar membawa kembali wajah Rendra, tawa sahabatnya yang penuh semangat, dan rasa hangat yang selalu ia rasakan di setiap momen kebersamaan mereka.

“Aku janji, Ren. Aku akan selalu ingat kamu,” bisik Raka, suaranya hampir tenggelam oleh melodi yang ia ciptakan. “Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya.”

Air mata menetes perlahan di pipinya, tapi Raka tidak peduli. Ia merasa tak perlu menahan semuanya lagi. Setiap tetes air mata yang jatuh adalah pengingat bahwa ia masih mencintai sahabatnya, bahwa ia masih rindu akan keberadaannya.

Setelah beberapa lama, lagu itu selesai, dan keheningan kembali menyelimuti bukit kecil itu. Matahari mulai naik lebih tinggi, menyinari jalanan desa yang perlahan mulai terlihat sibuk dengan aktivitas penduduk. Raka menatap sekelilingnya dengan pandangan kosong. Semuanya terlihat sama, tetapi entah kenapa, semua terasa begitu berbeda. Kehidupan berjalan seperti biasa, tapi dia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menjalani semuanya seperti dulu.

Pikirannya melayang lagi. Tentang hari-hari tanpa Rendra. Tentang perasaan yang datang begitu mendalam, seolah tak ada ujungnya. Tentang bagaimana hidupnya kini terasa kosong tanpa sahabatnya yang selalu ada.

Setiap hari terasa lebih berat. Raka kembali ke rutinitas yang lama, mencoba menjalani kehidupan dengan cara yang sama. Tapi hatinya kosong. Rasanya seperti ada lubang besar yang tak bisa ia tutupi. Setiap langkah terasa hampa, dan tak ada lagi yang membuatnya merasa utuh. Rendra, sahabatnya, adalah bagian dari dirinya yang hilang.

Suatu malam, saat Raka pulang ke rumah setelah bekerja di ladang, ia berhenti sejenak di depan rumah tua mereka, tempat dulu mereka sering bermain bola atau bercanda tentang hal-hal bodoh. Di depan pintu, ada sebatang pohon besar yang biasa mereka jadikan tempat berteduh. Raka menatap pohon itu, merasa ada sesuatu yang hilang. Ia duduk di bawahnya, meraih batu kecil dan melemparkannya ke tanah.

“Ren, kamu tahu nggak? Aku masih pengen cerita banyak hal sama kamu,” katanya dalam hati, dengan suara pelan. “Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Rasanya semua orang nggak ngerti apa yang aku rasain.”

Tapi hanya angin yang menjawab, berhembus lembut melalui celah pohon. Di sanalah Raka menyadari bahwa meski Rendra tidak ada lagi, perasaan yang mereka bagi akan tetap ada—terukir dalam setiap kenangan yang hidup di dalam hatinya. Dan meski perasaan itu menyakitkan, Raka tahu bahwa sahabatnya tidak ingin ia berhenti hidup. Rendra ingin ia melanjutkan langkah, menjalani hidup, meski tanpa dirinya.

Dengan perlahan, Raka bangkit dari bawah pohon itu, mengambil gitar yang masih ia bawa, dan melangkah menuju jalanan desa. Keheningan malam itu seperti sebuah janji, sebuah pengingat bahwa meski kebersamaan mereka telah berakhir, kenangan itu akan tetap hidup, selalu ada di dalam dirinya, sebagai sahabat yang tidak akan pernah hilang.

 

Langkah yang Hilang

Malam itu, langit terasa semakin gelap, lebih dari biasanya. Raka berdiri di tepi jalan, menatap rumah-rumah yang terletak berjajar di sepanjang desa. Beberapa lampu di jendela rumah tampak menyala, tapi malam tetap terasa sunyi. Hanya langkah kaki Raka yang terdengar di sepanjang jalan setapak itu. Ia tidak tahu harus kemana, namun langkahnya terus berjalan, mengarah tanpa tujuan yang jelas.

Di dalam dadanya, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—sebuah perasaan yang menekan, seperti beban berat yang tak bisa ia lepas. Selama ini, ia selalu mengira bahwa dengan menjalani rutinitas harian, ia akan bisa melupakan rasa kehilangan itu sedikit demi sedikit. Namun semakin hari, semakin jelas bahwa kehilangan Rendra bukanlah hal yang bisa dilupakan. Tidak secepat itu. Dan sekarang, semakin Raka mencoba untuk terus maju, semakin terasa jarak antara dirinya dengan masa lalu yang telah lama ia tinggalkan.

Pikirannya kembali mengingat hari-hari terakhir bersama Rendra. Malam itu, mereka duduk bersama di bawah pohon besar di tepi desa, berbicara tentang banyak hal. Tentang impian mereka, tentang masa depan yang cerah. Rendra bahkan sempat bercanda, mengatakan bahwa suatu saat nanti, mereka akan bertemu di tempat yang lebih baik, di tempat yang jauh lebih indah daripada desa kecil ini.

“Aku yakin kita bakal jadi orang-orang besar, Rak. Kamu dengan proyekmu, aku dengan dunia musik,” kata Rendra waktu itu, dengan semangat yang begitu membara. “Kita bakal sukses, kita bakal lihat dunia.”

Raka hanya tersenyum, meski hatinya merasakan ada sesuatu yang aneh saat itu. Sebuah perasaan bahwa impian itu terlalu tinggi, terlalu jauh untuk dijangkau. Tetapi Rendra begitu penuh harapan, begitu yakin. Dan Raka, sahabatnya, hanya bisa mengikuti, mendengarkan, dan mencoba percaya.

Namun, sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan. Impian mereka terhenti sebelum sempat tercapai, meninggalkan sebuah kekosongan yang tak bisa digantikan oleh apapun.

Di ujung jalan, Raka melihat sebuah toko kecil yang masih buka, cahaya kuning dari lampu neon yang tampak bersinar di tengah malam yang sunyi. Ia melangkah mendekat dan masuk, mencoba mengalihkan pikirannya, meskipun hatinya terasa berat. Di dalam toko itu, ada banyak barang-barang tua, seakan-akan setiap sudutnya menyimpan kenangan masa lalu.

“Raka…” sebuah suara memanggil, dan Raka menoleh.

Itu suara Rendra. Raka terkejut, hampir tidak percaya. Tapi begitu ia menoleh, hanya ada pemilik toko yang sedang tersenyum ramah padanya.

“Cuma kamu sendiri ya, Mas? Mau beli apa?” tanya pemilik toko dengan suara tenang.

Raka menggelengkan kepala, menyadari bahwa ia baru saja terjebak dalam lamunan panjang. “Nggak apa-apa. Cuma… ngelamun,” jawabnya, sedikit canggung.

Pemilik toko mengangguk, memahami. Raka pun melangkah ke arah rak-rak barang yang terpasang di dinding toko. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Beberapa barang-barang antik itu menarik perhatiannya, namun tidak ada yang benar-benar menarik hatinya. Ia berhenti di dekat sebuah album foto tua yang terletak di atas meja kayu. Tanpa berpikir panjang, ia membuka album itu.

Setiap lembar foto yang ia buka seperti menyentuh hatinya dengan lembut. Foto-foto keluarga yang tampak bahagia, foto-foto masa lalu yang tertangkap di kamera. Tapi di halaman terakhir, ada sebuah foto yang membuat dadanya terasa sesak. Itu adalah foto Rendra—terambil saat mereka masih kecil, bermain di halaman belakang rumah, dengan tawa ceria yang tak bisa ia lupakan.

Tanpa sadar, Raka meraih foto itu dan menatapnya dalam-dalam. Foto itu membuat kenangan lama kembali muncul, seolah-olah Rendra sedang duduk di sampingnya, tertawa bersamanya, berbicara tentang segala hal yang mereka impikan bersama. Kenangan itu begitu nyata, begitu dekat, namun begitu jauh.

“Aku kangen, Ren,” bisik Raka pelan, menatap foto itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Kehilangan itu telah membuatnya merasa seperti ada dua dunia yang terpisah—satu dunia tempat ia berada sekarang, yang penuh dengan rutinitas dan kenangan, dan satu lagi dunia tempat Rendra berada, dunia yang penuh dengan tawa dan harapan.

“Kenapa harus kamu yang pergi, Ren?” tanya Raka dalam hati, seperti berharap ada jawaban dari foto itu, meskipun ia tahu itu mustahil.

Pemilik toko mendekat, menyadari tatapan Raka yang penuh dengan kesedihan. “Itu foto lama ya, Mas?” tanya pemilik toko dengan suara pelan, mencoba membuka percakapan.

Raka mengangguk, masih menatap foto itu. “Iya… itu teman saya. Sudah lama nggak ketemu,” jawabnya, berusaha menahan air matanya yang semakin deras.

Pemilik toko hanya mengangguk, lalu pergi ke bagian lain toko, memberi Raka waktu untuk sendiri dengan perasaannya. Raka tetap diam, masih menatap foto itu, berusaha menerima kenyataan yang sulit diterima. Ia tahu bahwa hidupnya kini akan selalu berbeda tanpa Rendra, dan tidak ada cara untuk mengembalikan semuanya seperti dulu.

Di luar, suara angin mulai terdengar, dan Raka melangkah keluar dari toko itu, membawa foto yang kini ia pegang erat. Foto itu, meskipun hanya selembar kenangan, adalah bagian dari dirinya yang tak akan pernah hilang. Kenangan yang akan terus hidup dalam dirinya, mengisi kekosongan yang terasa begitu dalam.

Saat Raka melangkah pergi, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin ia belum siap untuk sepenuhnya menerima kenyataan, tapi yang pasti, ia tahu bahwa meskipun Rendra sudah tidak ada lagi, kenangan tentang sahabatnya akan selalu ada di sana, di dalam hati dan pikirannya, menuntunnya untuk terus melangkah, meskipun tanpa kehadiran fisik Rendra.

 

Kenangan yang Abadi

Pagi itu, Raka terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Udara segar pagi itu menyentuh kulitnya, mengusir sedikit kepenatan yang selama ini mengendap di hatinya. Walaupun rasa kehilangan masih ada, ia merasa sedikit lebih siap menghadapi kenyataan—bahwa hidup harus terus berjalan, meski dunia ini kini terasa berbeda tanpa Rendra.

Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang album foto yang sejak kemarin malam ia bawa pulang. Foto Rendra di halaman belakang rumah masih terlipat rapi di dalamnya, dan setiap kali Raka memandang foto itu, ia merasa ada kehangatan yang mengalir dalam dirinya. Seolah-olah sahabatnya itu masih ada di sampingnya, mengingatkannya untuk tetap berjalan meskipun langkahnya terhenti sementara waktu.

Raka memutuskan untuk keluar rumah. Matanya menatap langit yang cerah, penuh harapan yang perlahan kembali tumbuh di dalam dadanya. Ia tahu bahwa tidak akan ada yang bisa menggantikan tempat Rendra, tetapi kenangan tentang sahabatnya itu akan selalu ada, sebagai penerang di tengah kegelapan.

Pagi itu, langkah Raka terasa lebih mantap. Ia pergi ke tempat yang selalu ia kunjungi bersama Rendra. Tempat yang dulu menjadi saksi bisu dari semua obrolan mereka, dari semua impian yang mereka rajut bersama. Sebuah kafe kecil di ujung jalan yang penuh dengan aroma kopi yang selalu mereka nikmati sambil berbincang tentang banyak hal. Kafe itu sekarang terasa sedikit lebih sepi, tetapi kenangan tentang mereka masih terasa hidup di sana.

Begitu Raka melangkah masuk, aroma kopi yang familiar langsung menyambutnya. Pemilik kafe, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, menyapanya.

“Raka, lama nggak datang,” sapa pria itu, seolah-olah waktu tidak pernah berlalu.

Raka hanya tersenyum tipis, merasa sedikit canggung. “Iya, saya kangen tempat ini,” jawabnya.

Pemilik kafe mengangguk, lalu mengarahkan Raka ke meja yang biasa mereka duduki. Raka duduk di sana, mengingatkan dirinya sendiri tentang semua momen yang ia habiskan bersama Rendra di tempat ini. Mereka dulu sering datang ke sini setelah pulang sekolah, duduk berjam-jam, berbicara tentang segala hal, dan berjanji bahwa mereka akan selalu ada satu sama lain, apapun yang terjadi.

Sekarang, Raka duduk sendiri di meja itu. Tanpa Rendra, tanpa tawa yang biasanya mengisi suasana. Tapi kali ini, ia tidak merasa sepi. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh dalam dirinya, sebuah penerimaan bahwa hidup harus terus berjalan. Ia memesan kopi, seperti yang biasa mereka lakukan.

Waktu berlalu, dan Raka duduk dengan tenang, menatap cangkir kopinya yang masih mengepulkan uap. Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan itu datang begitu saja. Bayangan Rendra muncul dalam pikirannya, seolah-olah sahabatnya itu masih ada di sana, tersenyum, dan memberinya semangat untuk terus melangkah.

Kenangan itu tidak akan pernah hilang. Meskipun Rendra telah pergi, ikatan yang mereka miliki akan selalu ada. Mereka mungkin tidak bisa lagi berbicara atau tertawa bersama, tetapi kenangan mereka akan terus hidup. Dan itu adalah hal yang paling berharga yang bisa Raka pegang.

Raka tersenyum kecil, merasa damai untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia sadar bahwa hidup tidak bisa diprediksi, dan meskipun perasaan rindu itu takkan pernah hilang, ia harus belajar untuk melepaskan sedikit demi sedikit. Ia harus menerima kenyataan bahwa sahabatnya telah pergi, tetapi kenangan indah bersama Rendra tetap akan mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya.

“Kau selalu jadi sahabat terbaik, Ren,” bisik Raka dalam hati, “Terima kasih untuk semua kenangan yang kau tinggalkan.”

Dengan perlahan, ia menghabiskan kopi itu, meresapi setiap tetesnya seperti mengingat setiap detik kebersamaannya dengan Rendra. Sebuah babak baru dalam hidupnya dimulai, bukan tanpa kehilangan, tetapi dengan sebuah pemahaman baru tentang arti kebersamaan yang sejati.

Dan Raka tahu, meskipun dunia ini terus bergerak maju, kenangan itu akan tetap abadi, tersimpan di dalam dirinya. Sahabatnya mungkin telah pergi, tetapi Rendra akan selalu ada, dalam setiap langkah yang ia ambil, dalam setiap senyum yang ia bagi, dan dalam setiap momen kebersamaan yang tak akan pernah ia lupakan.

Dengan hati yang lebih lapang, Raka berdiri dan berjalan keluar dari kafe kecil itu, melangkah menuju masa depannya. Masa depan yang penuh dengan kenangan indah dan, tentu saja, penuh dengan rasa rindu yang tak akan pernah padam.

 

Kadang, hidup emang nggak bisa diprediksi. Kita nggak tahu siapa yang bakal tinggal dan siapa yang harus pergi. Tapi satu hal yang pasti, kenangan itu nggak akan pernah hilang. Meskipun Rendra udah nggak ada di sini, dia selalu ada dalam setiap langkah Raka.

Jadi, buat la,i yang masih punya sahabat sejati, jaga mereka. Karena kadang, yang kita butuhkan cuma seseorang yang bisa bikin kita merasa kita nggak sendiri. Terima kasih, Ren. Kenangan ini bakal terus hidup, dan raka nggak akan pernah lupa.

Leave a Reply