Cerpen Rekonsiliasi Keluarga: Perjalanan Seorang Anak Meminta Maaf pada Ayah

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa seakan semuanya berantakan, dan kamu nggak tahu lagi harus mulai dari mana? Kadang, hubungan yang terputus itu butuh waktu lama banget buat bisa bener-bener pulih.

Tapi, apa yang terjadi kalau akhirnya kamu bisa duduk bareng, ngobrol, dan ngomongin semua yang selama ini tertahan? Cerita ini buat kamu yang mungkin lagi merasa jauh dari orang yang paling penting dalam hidup, dan mungkin, butuh waktu untuk benar-benar pulang.

 

Cerpen Rekonsiliasi Keluarga

Hujan yang Membawa Pulang

Hujan turun perlahan, menciptakan ritme yang tenang di atas trotoar yang basah. Lampu jalan memantulkan cahaya samar di genangan kecil, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Di bangku kayu yang sudah mulai rapuh, seorang pria tua duduk dengan tangan bersedekap di dada, menikmati sisa hangat jaket lusuh yang membungkus tubuhnya. Napasnya membentuk uap tipis di udara dingin malam itu.

Tak jauh darinya, seorang pemuda berdiri di bawah payung merah. Pandangannya tak lepas dari sosok tua itu, tapi langkahnya tetap terpaku di tempat. Jemarinya yang menggenggam sebuah amplop terlihat sedikit gemetar. Ragu. Takut. Entah perasaan mana yang lebih mendominasi.

Hujan semakin deras, membasahi jalanan sepi yang hanya diisi suara rintik dan sesekali deru kendaraan yang melintas.

“Kamu mau duduk?” suara pria tua itu memecah kesunyian, terdengar tenang meski hampir tersapu suara hujan. Ia melirik pemuda itu dengan tatapan sabar.

Pemuda itu, Nayar, menelan ludah. Langkahnya terasa berat saat ia mendekat, lalu akhirnya duduk di ujung bangku, menjaga jarak. Ia masih menggenggam amplop itu erat, seolah takut kehadirannya akan mengubah segalanya.

“Kamu masih ingat tempat ini?” tanya pria tua itu lagi, suaranya mengandung kehangatan samar.

Nayar mengangguk pelan. “Aku nggak pernah lupa.”

Hening sejenak. Hujan terus turun, menemani dua jiwa yang berjarak lebih dari sekadar beberapa sentimeter di bangku itu.

“Kenapa kamu baru datang sekarang?”

Nayar menggigit bibirnya. Pertanyaan itu ringan, tapi berat di dadanya. Ia tidak langsung menjawab. Matanya hanya menatap lurus ke jalanan, memperhatikan mobil-mobil yang melintas, sibuk dengan urusan masing-masing.

“Aku nggak tahu,” akhirnya ia menggumam pelan. “Mungkin… karena aku pengecut.”

Pria tua itu tertawa kecil, bukan mengejek, tapi lebih seperti memahami. “Kamu nggak pernah pengecut, Nayar. Kamu cuma butuh waktu.”

Nayar menoleh cepat, sedikit terkejut. Ada sesuatu dalam suara pria tua itu yang membuat dadanya semakin sesak. Seolah tak ada kemarahan, tak ada kebencian.

“Tapi aku butuh waktu terlalu lama.” Nayar meremas amplop di tangannya. “Aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa sekarang.”

Pria tua itu—Atma—menarik napas panjang, lalu menengadah menatap langit yang gelap. “Kamu tahu? Hujan ini… rasanya lebih hangat dibanding hujan terakhir kali kita duduk di sini.”

Nayar ikut mendongak, meski ia tahu langit yang ia lihat masih sama: kelam, dingin, tanpa bintang. “Terakhir kali… aku nggak ada di sini.”

Atma menoleh padanya, lalu tersenyum kecil. “Kamu selalu ada di sini.” Ia menepuk dada kirinya pelan. “Cuma, mungkin kamu nggak sadar.”

Jantung Nayar mencelos. Kata-kata itu lebih menusuk daripada kemarahan apa pun yang pernah ia bayangkan akan ia terima malam ini.

Atma lalu melirik amplop di tangan Nayar. “Surat?” tanyanya santai, meski matanya sudah menunjukkan lebih dari sekadar rasa ingin tahu.

Nayar mengeratkan genggamannya. “Iya. Surat yang seharusnya aku kasih dari dulu.”

Keheningan kembali mengisi jarak mereka. Hanya suara hujan yang menjadi latar, seperti irama dari sebuah cerita yang belum selesai.

“Apa aku boleh membacanya?” tanya Atma akhirnya.

Nayar menatap amplop itu lama sebelum akhirnya mengulurkannya dengan tangan yang sedikit bergetar.

Atma menerimanya perlahan, membuka lipatannya dengan hati-hati. Matanya mulai membaca, dan di saat yang sama, hatinya mulai terbuka pada sesuatu yang sudah lama ia tutup rapat.

Nayar menunduk, menunggu. Ia tahu, setelah ini, tak ada yang bisa kembali seperti semula. Tapi mungkin, hanya mungkin, sesuatu yang baru bisa dimulai.

Hujan masih turun, namun entah kenapa, malam ini terasa lebih hangat dari sebelumnya.

 

Surat yang Tak Pernah Terkirim

Atma membaca setiap kata dengan perlahan. Setiap huruf dalam surat itu seperti bisikan dari masa lalu, menggali kenangan yang hampir ia lupakan—atau sengaja ia kubur dalam-dalam. Hujan masih turun, menari di atas aspal, tapi dunia di sekelilingnya seakan berhenti.

Nayar menunduk, kedua tangannya saling menggenggam, menunggu tanpa suara. Dalam hatinya, ia menebak-nebak apa yang akan terjadi. Apakah pria tua itu akan marah? Kecewa? Atau justru tersenyum seolah semuanya baik-baik saja?

Beberapa menit berlalu. Atma masih diam. Jemarinya sedikit gemetar saat ia meremas sudut kertas itu. Lalu, tanpa mendongak, suaranya keluar pelan, hampir tenggelam di antara suara hujan.

“Kapan kamu nulis ini?”

Nayar menggigit bibirnya. “Tiga tahun lalu.”

Atma akhirnya menoleh. Matanya yang tua menatap pemuda di sampingnya dengan campuran perasaan yang sulit diartikan. “Tiga tahun,” ulangnya, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Nayar mengangguk, tapi masih enggan bertemu pandang. “Aku… aku nulis ini waktu aku mulai sadar kalau aku salah. Tapi aku nggak pernah punya cukup keberanian buat ngasihnya ke Ayah.”

Atma menarik napas panjang, lalu tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan ironi dalam hidupnya sendiri. “Dan sekarang kamu datang, setelah tiga tahun berlalu.”

Nayar menggigit lidahnya. Ia tidak tahu harus merespons seperti apa.

“Kenapa sekarang?” lanjut Atma, nada suaranya masih tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang sulit ditebak.

Nayar menghela napas, mengangkat wajahnya sedikit, menatap hujan yang jatuh dari langit. “Karena aku capek,” akhirnya ia mengaku. “Capek lari dari semuanya. Capek pura-pura nggak peduli. Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu dan perbaiki semuanya, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan bersembunyi.”

Atma menatap pemuda itu dalam diam. Raut wajahnya sulit ditebak, seperti ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Selama ini…” Atma akhirnya berbicara lagi, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. “Aku nunggu.”

Jantung Nayar mencelos. Ia menoleh cepat, menatap pria tua itu dengan mata membelalak. “Apa?”

Atma tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di dalamnya. “Aku nggak pernah marah, Nayar. Aku cuma… nunggu. Nunggu kamu pulang.”

Hujan semakin deras, tapi bagi Nayar, dunia di sekelilingnya terasa membeku.

“Kenapa?” tanyanya, suaranya serak.

Atma tertawa kecil lagi. “Karena kamu anakku.”

Dan pada saat itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, air mata yang jatuh di wajah Nayar bukan hanya dari hujan.

 

Luka yang Tak Terucap

Hujan terus mengguyur kota, seakan mencoba menyapu segala hal yang tersisa di antara dua jiwa yang terdiam di bangku tua itu. Di bawah lampu jalan yang temaram, Nayar menunduk, jemarinya mencengkeram ujung jaketnya sendiri, seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahannya tetap utuh.

Ayahnya—Atma—masih menggenggam surat itu. Kertasnya sedikit basah terkena cipratan hujan, tapi kata-kata yang tertulis di sana tetap jelas. Sisa tawa kecil yang tadi terdengar kini telah menghilang, digantikan dengan tatapan dalam yang menembus pemuda di sampingnya.

“Kamu tahu?” Atma akhirnya membuka suara. “Selama ini aku sering mikir, kalau suatu hari kita ketemu lagi… aku harus ngomong apa?”

Nayar menahan napas.

Atma menatap lurus ke depan, ke jalanan yang lengang. “Harusnya aku marah. Harusnya aku tanya, kenapa kamu pergi gitu aja tanpa bilang apa pun. Harusnya aku teriak, nyalahin kamu… karena ninggalin rumah yang udah kehilangan banyak hal.”

Nayar menelan ludah, tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya.

Atma menghela napas, berat. “Tapi ternyata, setelah ketemu lagi… aku nggak bisa ngelakuin semua itu.”

Hening. Hanya suara hujan yang masih setia menemani.

“Kenapa?” suara Nayar hampir tak terdengar.

Atma tersenyum kecil. “Karena bagaimanapun juga, aku lebih lega melihat kamu di sini. Meskipun aku tahu… kita nggak bisa berpura-pura seolah nggak pernah terjadi apa-apa.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada kemarahan apa pun yang bisa Nayar terima malam ini. Dadanya terasa sesak. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan, ingin mengatakan banyak hal—tapi semuanya terasa sia-sia. Karena pada akhirnya, tak ada kata-kata yang cukup untuk menebus luka yang ia tinggalkan tiga tahun lalu.

“Ayah…” akhirnya ia berhasil mengeluarkan suara. “Aku tahu aku salah.”

Atma tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang masih menghitam, lalu menarik napas panjang. “Kenapa kamu pergi waktu itu, Nayar?”

Pertanyaan yang selama ini menghantuinya akhirnya terucap.

Nayar menggigit bibirnya. Tangan yang mengepal di pangkuannya semakin erat, seolah menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ia simpan.

“Aku nggak kuat,” katanya lirih. “Aku nggak bisa tinggal di rumah itu setelah Ibu pergi.”

Napas Atma tertahan.

“Aku tahu aku harusnya nggak ninggalin Ayah sendirian, aku tahu aku harusnya tetap di rumah, tetap berusaha buat bikin semuanya lebih baik.” Mata Nayar mulai memanas. “Tapi tiap malam, aku selalu dengar suara tangisan Ayah dari kamar. Aku lihat Ayah duduk di ruang tamu sampai pagi, nunggu sesuatu yang nggak akan pernah datang lagi. Dan aku…” Suaranya bergetar. “Aku nggak sanggup. Aku nggak sanggup lihat Ayah kayak gitu terus.”

Atma menunduk. Jemarinya mengepal di atas pangkuannya. Ia tak menyangka, di balik kepergian Nayar, ada luka yang selama ini tak terucap.

“Jadi kamu pergi?” suara Atma hampir seperti bisikan.

Nayar mengangguk pelan. “Aku pengecut, Yah.” Matanya memerah. “Aku pikir kalau aku pergi, aku bisa lari dari semuanya. Aku pikir kalau aku jauh dari rumah, aku bisa melupakan rasa kehilangan ini. Tapi ternyata… ke mana pun aku pergi, aku tetap bawa luka itu.”

Atma mengusap wajahnya, mencoba menenangkan napasnya sendiri. Ia tak menyangka, beban yang selama ini ia pikir hanya ada di pundaknya, ternyata juga menghancurkan anaknya sendiri.

Hening kembali mengisi jarak mereka. Hujan perlahan mulai mereda, menyisakan suara rintik-rintik kecil di trotoar.

“Ayah,” suara Nayar kembali terdengar, kali ini lebih lirih, lebih ragu. “Apa Ayah… bisa maafin aku?”

Atma menoleh, menatap wajah anaknya yang sudah lama tak ia lihat dari jarak sedekat ini. Ada begitu banyak emosi di dalam matanya, tapi yang paling jelas terlihat bukanlah kemarahan atau kekecewaan—melainkan kesedihan yang selama ini ia simpan sendiri.

Ia menarik napas dalam, lalu akhirnya mengulurkan tangan, menepuk kepala Nayar dengan lembut.

“Kamu udah pulang,” katanya pelan. “Itu lebih dari cukup.”

Dan saat itu juga, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Nayar menangis tanpa harus bersembunyi.

 

Rumah yang Kembali Utuh

Pagi datang dengan lembut, membawa udara segar yang seakan membersihkan sisa hujan semalam. Nayar duduk di kursi kayu di depan rumah, menatap pohon-pohon yang mulai tumbuh lebih hijau setelah hujan besar itu. Suara burung-burung yang berkicau di pagi hari mengisi kesunyian. Untuk pertama kalinya, ia merasa bisa bernapas lega.

Atma muncul dari dalam rumah, membawa secangkir kopi hitam di tangan. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan cangkir itu di atas meja kayu yang sudah lama tak digunakan. Matanya menatap Nayar dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang tidak penuh kebencian atau kekecewaan, melainkan penerimaan.

“Ngomong-ngomong, aku udah mulai minta bantuan orang untuk perbaiki rumah. Kamu bisa bantu di akhir pekan?” tanya Atma, suaranya lembut, namun pasti.

Nayar menoleh, matanya bertemu mata ayahnya yang sudah terlihat lebih tenang. Ia mengangguk perlahan. “Tentu, Yah. Aku siap bantu.”

Atma tersenyum tipis. “Aku nggak bisa ngelakuin semuanya sendirian, Nayar.”

“Aku tahu,” jawab Nayar. “Aku janji, kali ini aku nggak bakal ninggalin kamu lagi.”

Suasana yang semula canggung kini terasa lebih hangat. Pagi itu, mereka duduk berdua, tanpa perlu banyak kata. Hanya ada keheningan yang penuh makna, yang mengalir dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu. Terkadang, luka yang paling dalam adalah yang tak terucap, tetapi bisa sembuh dengan pelukan yang tulus dan waktu yang membawa pemulihan.

Setelah beberapa saat, Nayar berdiri dan menyentuh bahu Atma dengan lembut. “Aku nggak tahu kapan semuanya bisa benar-benar pulih, Yah. Tapi aku janji, aku akan selalu ada di sini, dan kali ini, aku nggak akan pergi kemana-mana lagi.”

Atma menatap anaknya dengan mata yang lebih ringan, seolah beban yang selama ini ada di pundaknya perlahan terangkat. “Itu sudah cukup, Nayar. Itu sudah lebih dari cukup.”

Di ujung jalan, matahari mulai muncul, menciptakan cahaya hangat yang menerangi rumah yang lama terlupakan. Dua orang yang pernah terpisah kini kembali bersatu, tak ada lagi kebisuan, tak ada lagi jarak yang menghalangi.

Mereka tidak membutuhkan banyak kata untuk memperbaiki segalanya. Cukup dengan hadir, cukup dengan berusaha. Rumah ini, seperti hubungan mereka, tidak akan pernah sempurna, tetapi ia akan selalu menjadi tempat untuk kembali, untuk memulai lagi.

Dan di sana, di halaman depan rumah itu, Nayar akhirnya merasa pulang.

 

Kadang, nggak perlu ribet, nggak perlu kata-kata panjang lebar. Cukup ada niat buat berubah, ada hati yang ikhlas buat ngebenerin semuanya. Rumah bukan cuma tempat tinggal, tapi juga tempat untuk kita kembali, meskipun ada banyak luka. Semoga cerpen ini ngingetin kita, kalau selalu ada kesempatan buat mulai lagi, selama kita mau berusaha.

Leave a Reply