Cerpen Puitis: Mencari Diri dalam Bayangan di Tengah Malam

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa seolah-olah dunia ini berhenti sejenak? Ketika kamu cuma duduk, bengong, dan mikirin hal-hal yang nggak pernah sempat dipikirin sebelumnya. Cerita ini bakal bawa kamu ke momen kayak gitu—dimana bayangan di malam hari bisa jadi lebih dari sekadar sesuatu yang kita lihat.

Sambil ngeteh atau sekadar duduk bareng orang yang kamu rasa ngerti, kamu bakal nemuin banyak hal. Yuk, simak ceritanya, siapa tahu kamu juga bisa nemuin sesuatu yang selama ini kamu cari.

 

Cerpen Puitis

Langkah Sepi di Antara Keramaian

Langit sore itu sedikit mendung, awan kelabu menggantung di atas kota, tapi tak ada hujan yang turun. Orang-orang berlalu-lalang, masing-masing terjebak dalam dunia mereka. Sepeda motor melaju dengan deru mesinnya, orang-orang yang menunggu bus berbicara dengan cepat, sementara di ujung jalan, ada satu sosok yang berjalan dengan langkah pelan, seolah-olah dunia ini tak pernah terburu-buru.

Dia berjalan tanpa tujuan jelas, hanya mengikuti jejak kakinya sendiri di atas trotoar yang sudah mulai dingin. Tanpa memperhatikan keramaian, dia hanya mendengarkan langkah-langkahnya, merasakan setiap detik yang berlalu dengan kecepatan yang aneh. Semua orang tampak seperti bayangan yang tak bisa dia sentuh. Di tengah hiruk-pikuk itu, dia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri daripada sebelumnya.

Tiba-tiba, dari belakang, ada seseorang yang memanggil. Suaranya terdengar familiar, namun cukup jauh untuk membuatnya terkejut.

“Aku kira kamu sudah lupa jalan pulang,” kata suara itu.

Dia menoleh. Seorang lelaki dengan jaket hitam dan wajah yang setengah tersenyum berdiri di sana. Mata mereka bertemu, tapi tidak ada yang perlu diucapkan. Hanya ada tatapan yang berbicara lebih banyak dari kata-kata.

“Aku tidak sedang pergi ke mana-mana,” jawabnya pelan, lalu kembali melangkah, tak merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.

Lelaki itu mengikuti langkahnya, kali ini tanpa suara, seolah-olah ada pemahaman di antara mereka yang tak perlu diterjemahkan. Keduanya berjalan dalam keheningan yang aneh, namun nyaman. Kaki-kaki mereka bergerak bersama, namun tidak ada yang harus diucapkan. Hanya suara langkah yang saling berirama di tengah kebisingan kota.

“Apa kamu nggak capek?” lelaki itu akhirnya bertanya lagi, suaranya lebih lembut dari tadi, lebih dalam.

“Capek itu soal apa?” jawabnya dengan senyum tipis yang hanya bisa dia rasakan. “Ada capek yang datang dari luar, ada juga yang datang dari dalam.”

Dia tahu lelaki itu tak akan paham. Siapa yang akan mengerti apa yang rasanya ketika dunia terus berputar sementara seseorang memilih untuk berhenti sebentar? Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan itu dengan kata-kata.

Lelaki itu terdiam, berjalan di sampingnya, seakan memahami, meski tanpa bisa benar-benar merasakannya. Di kota ini, setiap orang terhubung dengan cara yang berbeda—melalui percakapan yang cepat, tatapan yang kosong, atau langkah-langkah yang tak pernah berhenti. Tapi dia, dia lebih memilih untuk tidak menjadi bagian dari itu.

“Aku lebih suka ini,” dia berkata, menatap lurus ke depan. “Sendiri, dengan pikiran yang tidak ada habisnya.”

Lelaki itu menoleh sejenak, tapi tak ada keheranan di matanya. Seperti sudah sering mendengar kalimat serupa, dia hanya mengangguk pelan. “Aku tahu. Kadang, sendirian malah memberi lebih banyak ketenangan daripada berkerumun dengan orang banyak.”

Mereka berhenti sejenak di bawah sebuah pohon besar. Daunnya sudah mulai berguguran, menghiasi trotoar dengan warna kuning dan merah. Keduanya hanya berdiri di sana, menatap kota yang terus berputar tanpa henti, sementara waktu seolah berhenti hanya untuk mereka berdua.

“Kenapa kamu selalu memilih untuk sendiri?” lelaki itu bertanya lagi, suaranya lebih dalam, seperti ingin menyelami lebih jauh.

Dia tersenyum tipis, tidak menjawab langsung. Justru, matanya memandang jauh ke depan, mencoba menangkap sesuatu yang hanya bisa ia rasakan. “Karena di dalam sendirian, aku bisa melihat segala sesuatu dengan lebih jelas,” katanya akhirnya, suaranya tenang dan penuh makna. “Sendiri tidak berarti sepi. Itu hanya ruang untuk melihat segala yang selama ini terlewat.”

Lelaki itu mengangguk lagi, tapi kali ini dengan rasa yang lebih dalam, seolah mencoba memahami lebih dari sekadar kata-kata. Mereka berdiri begitu lama, hanya menikmati kebersamaan dalam diam, seperti dua jiwa yang terhubung tanpa harus berteriak atau berbicara.

Akhirnya, lelaki itu membuka mulutnya lagi. “Tapi kamu nggak merasa takut, kan? Sendirian seperti itu, di tengah dunia yang serba cepat ini?”

“Takut?” Dia tertawa pelan, “Takut itu hanya soal rasa. Kalau kamu bisa berdamai dengan rasa itu, kamu akan merasa lebih bebas.”

Lelaki itu tersenyum tipis. “Kamu memang selalu punya cara pandang yang berbeda.”

“Karena aku memilih untuk melihat dunia dengan cara yang tak orang lain lihat,” jawabnya, tanpa menoleh ke arah lelaki itu. “Tidak selalu harus mengikuti apa yang dikatakan orang. Kadang, kamu hanya perlu berhenti sejenak dan dengarkan bisikan angin, atau suara langkahmu sendiri.”

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, langkah mereka serentak, namun hati mereka terpisah dalam cara yang tak terucapkan. Kota ini terlalu ramai, dan dunia ini terlalu sibuk, tetapi mereka tetap berjalan dalam keheningan yang mereka pilih. Tidak ada tujuan, hanya ada langkah yang terus melangkah, menapaki dunia yang terlalu cepat, sementara mereka hanya ingin merasakan detik yang mengalir dalam damai.

Di tengah keramaian itu, mereka terus berjalan, tanpa ada yang perlu dibuktikan. Keheningan yang mereka miliki sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaan.

 

Keheningan yang Mengisi Ruang

Malam datang dengan perlahan, membawa udara yang lebih sejuk. Jalanan yang tadi riuh dengan suara kendaraan kini mulai sunyi. Lampu-lampu jalan berkelip seperti bintang yang terjebak di bawah langit kota. Di ujung jalan, mereka berhenti. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya ada perasaan yang mengalir begitu saja, tanpa harus dipaksakan.

Dia menatap ke sekeliling, menyadari bahwa kota yang dulu terasa penuh kini justru terasa lebih kosong. Entah karena malam yang datang begitu cepat, atau karena dirinya yang sudah terbiasa dengan ruang yang hening, kota ini tak lagi terdengar bising. Semua yang ada di sekitar terasa seperti ilusi yang menghilang, meninggalkan hanya bayang-bayang yang tak bisa dipegang.

“Kenapa kamu selalu mencari keheningan?” lelaki itu akhirnya memecah kebisuan, suaranya lebih rendah, seolah tak ingin mengganggu malam yang sudah begitu tenang.

Dia mengangkat bahu, matanya tetap memandang jauh, seperti ada sesuatu yang dia coba temukan di kejauhan sana. “Karena dalam keheningan, aku bisa mendengar suara yang lebih dalam. Suara yang mungkin tidak terdengar saat aku terjebak dalam kebisingan.”

Lelaki itu tidak langsung menjawab. Dia tahu, kadang memang ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua yang dia rasakan dalam diam itu lebih besar daripada yang bisa diungkapkan. Keheningan adalah bahasa yang dia kenal, sebuah ruang di mana dia bisa mengerti dirinya lebih jelas.

“Di sini,” dia melanjutkan, “aku bisa mendengar detak jantungku, bisa merasakan napasku yang berjalan perlahan. Dan itu cukup. Tak perlu lebih dari itu.”

Lelaki itu mengangguk pelan, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Mereka berdiri beberapa saat, menatap ke arah yang sama, mengikuti aliran malam yang terus berjalan tanpa peduli.

“Aku kadang berpikir,” lelaki itu mulai berbicara lagi, “apakah kamu pernah merasa takut. Sendirian seperti ini.”

Dia menoleh, tertawa pelan. “Takut itu… bukan sesuatu yang harus dihindari. Aku tidak takut sendirian, kalau yang aku hadapi adalah diriku sendiri.”

Lelaki itu sedikit tersenyum, namun ada keraguan yang tersisa di matanya. “Tapi kadang, sendirian itu bisa terasa berat, kan? Seperti ada beban yang datang tanpa kita tahu dari mana.”

Dia diam sejenak, merenung. “Mungkin. Tapi aku sudah belajar untuk tidak menolaknya. Beban itu selalu ada, dan terkadang aku merasa lebih kuat saat aku memandangnya tanpa rasa takut.”

Lelaki itu menghela napas, seolah ingin berkata sesuatu, namun ragu. “Aku nggak tahu… kadang aku merasa, meskipun ada orang di sekitar kita, tetap saja ada bagian dari diri kita yang tak bisa dibagi. Yang tetap terasa kosong, meskipun semua orang ada di sekitar kita.”

Dia menatap lelaki itu lebih lama kali ini, matanya mencari sesuatu di balik kata-kata yang baru saja terucap. “Mungkin itu karena kita tak pernah benar-benar mencoba untuk mengenal diri kita sendiri,” jawabnya pelan. “Kita terlalu sibuk mencari orang lain, mengharapkan mereka mengisi ruang kosong kita, padahal kita lupa bahwa kadang kita harus mengisi ruang itu sendiri.”

Lelaki itu terdiam, seolah mencerna setiap kata yang baru saja didengar. Mereka berdiri di sana, berdua, dikelilingi oleh malam yang semakin pekat. Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka, tapi kali ini terasa berbeda. Tidak ada rasa canggung, tidak ada keheningan yang mengganggu. Mereka hanya ada di sana, dalam kebersamaan yang aneh namun penuh makna.

“Aku rasa aku mulai mengerti,” lelaki itu akhirnya berkata, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. “Keheningan itu bukan untuk ditakuti, tapi untuk dimengerti. Kita bisa lebih hidup dalam kesendirian, jika kita tahu apa yang sebenarnya kita cari.”

Dia tersenyum tipis, merasa seolah-olah sebuah pemahaman baru telah terbentuk di antara mereka. “Kadang yang kita cari bukan sesuatu yang besar. Terkadang, cukup dengan duduk diam, mendengarkan dunia, dan akhirnya menemukan diri kita sendiri.”

Malam semakin larut, dan suara langkah mereka bergema pelan di sepanjang jalan. Tanpa tujuan jelas, mereka terus berjalan, mengarungi kota yang sepi, namun terasa penuh dengan segala kemungkinan. Keheningan yang mereka pilih bukan berarti penyerahan. Itu adalah pilihan untuk mencari kedamaian dalam diri, untuk menjelajahi ruang kosong yang sering kali kita hindari.

Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kafe kecil yang tampaknya baru buka. Lampunya hangat, mengundang, seperti memberikan pelukan yang nyaman setelah malam yang panjang. Lelaki itu menatap kafe itu sejenak, lalu kembali menatapnya.

“Bagaimana kalau kita masuk? Aku rasa kita perlu sedikit kehangatan,” katanya, kali ini suara yang lebih ringan.

Dia tersenyum, mengangguk perlahan. “Terkadang, sedikit kehangatan bisa membuat kita merasa lebih hidup.”

Mereka memasuki kafe itu, membawa keheningan yang mereka temui di luar ke dalam ruang yang lebih kecil, namun tetap terasa luas dalam cara mereka berbicara dengan diam. Malam ini, di tempat yang tak terduga, mereka menemukan lebih dari sekadar kebersamaan. Mereka menemukan ruang untuk memahami diri mereka masing-masing.

 

Langkah di Antara Bayang-Bayang

Udara hangat dari mesin penghangat kafe menyambut mereka begitu pintu ditutup di belakang. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan suara pelan musik akustik dari sudut ruangan. Meja-meja kayu yang diwarnai lampu temaram menciptakan suasana yang damai, kontras dengan dinginnya malam di luar. Hanya ada beberapa pelanggan di sana—dua orang tua berbincang pelan dan seorang pria dengan laptopnya, tenggelam dalam layar.

Mereka memilih duduk di pojok ruangan, tepat di dekat jendela besar yang menghadap jalanan. Dari sana, lampu jalan terlihat seperti taburan kunang-kunang, berkilauan di tengah kegelapan malam.

Lelaki itu membuka menu tanpa banyak bicara. Dia melirik sekilas ke arah perempuan di depannya yang sedang menatap ke luar jendela. Matanya terlihat fokus, seperti membaca sesuatu yang tak terlihat di balik kaca.

“Kopi hitam buat aku,” katanya sambil menutup menu. “Kamu mau pesan apa?”

Dia menoleh perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Teh hangat aja. Kayaknya malam ini nggak butuh yang terlalu kuat.”

Lelaki itu memberi isyarat pada pelayan, lalu menyebutkan pesanan mereka. Saat pelayan pergi, dia bersandar di kursi dan memandangi perempuan itu lagi, kali ini lebih lama.

“Ada yang kamu lihat di luar sana?” tanyanya, nadanya ringan.

Dia menggeleng, tapi tidak langsung menjawab. “Cuma jalanan kosong,” katanya akhirnya. “Tapi kadang aku merasa, ada cerita di balik setiap jalan. Seperti jejak-jejak orang yang pernah melaluinya masih tertinggal di sana, walau kita nggak bisa lihat.”

Lelaki itu tertawa kecil, suara yang lebih mirip hembusan napas. “Kamu selalu punya cara buat bikin hal biasa jadi puitis.”

“Bukan soal puitis,” dia membalas sambil menyilangkan tangan di atas meja. “Aku cuma… merasa ada banyak hal yang nggak kita sadari. Seperti bayangan. Selalu ada, tapi kita jarang benar-benar memperhatikan.”

“Kamu suka memperhatikan bayangan?”

Dia mengangkat bahu, senyumnya melebar sedikit. “Kadang. Bayangan itu jujur, nggak seperti cahaya. Dia selalu ada, nggak peduli seberapa gelap.”

Lelaki itu terdiam, seolah memikirkan kata-katanya. Pelayan datang dengan minuman mereka, mengisi keheningan dengan suara cangkir yang diletakkan di atas meja. Dia mengambil tehnya, mengaduk perlahan sebelum menyeruputnya.

“Bayangan juga bisa menakutkan,” kata lelaki itu tiba-tiba. “Mereka selalu mengikuti kita, tapi kita nggak pernah benar-benar tahu apa yang ada di dalamnya.”

Dia mengangguk pelan, setuju. “Benar. Tapi mungkin itu karena kita nggak pernah mau melihat lebih dekat. Kita takut sama apa yang bisa kita temukan.”

Lelaki itu menatapnya lama, matanya seperti mencoba menembus sesuatu yang lebih dalam. “Jadi, apa yang kamu temukan selama ini? Dalam bayangan?”

Dia tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang samar dalam senyumnya—seperti rahasia yang dia simpan rapat. “Diriku sendiri,” jawabnya singkat.

Lelaki itu tidak mendesak, meski dia tahu jawaban itu hanya menyentuh permukaan. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kompleks, yang perempuan itu coba sembunyikan. Tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mungkin, pikirnya, beberapa bayangan memang lebih baik dibiarkan sendiri.

Mereka melanjutkan obrolan mereka, tapi kali ini suasananya lebih ringan. Topik berganti menjadi cerita-cerita kecil tentang hal-hal sepele—tentang hujan yang turun tiba-tiba beberapa hari lalu, atau tentang seorang pengamen di kereta yang menyanyikan lagu lama dengan suara serak tapi penuh emosi.

“Kadang aku iri sama mereka,” kata perempuan itu tiba-tiba, mengaduk sisa tehnya.

“Siapa?”

“Mereka yang bisa menyanyikan apa yang mereka rasakan. Aku nggak pernah bisa melakukannya.”

Lelaki itu tertawa, kali ini lebih keras. “Kamu nggak perlu menyanyi. Kamu punya cara sendiri buat menyampaikan apa yang kamu rasain.”

“Seperti apa?”

“Seperti malam ini. Semua yang kamu bilang, semua yang kamu lihat, itu udah lebih dari cukup. Kadang kata-kata nggak perlu sempurna, yang penting mereka jujur.”

Dia tersenyum, kali ini senyumnya penuh. Untuk pertama kalinya malam itu, dia merasa seolah dia benar-benar dipahami.

Ketika mereka akhirnya keluar dari kafe, malam sudah semakin larut. Jalanan yang tadi tampak kosong kini benar-benar sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang masih menyala. Mereka berjalan pelan, menikmati dingin yang menyentuh kulit mereka.

“Bayangan tadi,” lelaki itu membuka suara, “aku pikir aku mulai mengerti kenapa kamu suka memperhatikannya.”

“Oh ya?”

“Karena mereka nggak pernah bohong. Mereka ada di sana, apa adanya. Sama seperti kamu.”

Dia tidak menjawab, tapi lelaki itu bisa melihat senyumnya dari sudut matanya.

Langkah mereka terus membawa mereka melewati malam, meninggalkan jejak-jejak kecil yang mungkin suatu hari nanti akan menjadi bagian dari cerita di jalanan kosong itu.

 

Bayangan yang Tak Pernah Pergi

Langkah mereka terhenti di depan sebuah taman kecil yang hampir terlupakan. Bangku-bangku kayu di sana sudah mulai rapuh, sebagian catnya terkelupas oleh waktu. Pohon-pohon tua berdiri diam, bayangannya melintang panjang di bawah cahaya bulan. Tidak ada orang lain di taman itu, hanya mereka berdua dan malam yang terasa semakin sunyi.

Perempuan itu berjalan mendekati salah satu bangku, duduk perlahan sambil memeluk dirinya sendiri untuk melawan dingin. Lelaki itu mengikuti, duduk di sampingnya tanpa suara. Mereka tidak perlu berkata apa-apa; keheningan di antara mereka terasa cukup.

“Ini tempat yang aneh,” gumam perempuan itu akhirnya. Suaranya terdengar pelan, hampir tenggelam dalam angin malam.

“Aneh kenapa?”

“Seperti bukan bagian dari kota ini. Sepi, tapi tenang. Rasanya… seperti waktu berhenti.”

Lelaki itu mengangguk, matanya memperhatikan bayangan pohon yang menari pelan di tanah. “Kadang tempat seperti ini bagus. Kita butuh jeda dari semua yang berjalan terlalu cepat.”

Dia memandangnya, senyum kecil muncul di wajahnya. “Kamu kayaknya suka banget ngomong tentang hal-hal yang bikin orang mikir.”

Dia hanya tertawa kecil, membiarkan ucapannya menggantung di udara.

Angin bertiup lebih kencang, membuat daun-daun kering beterbangan di sekitar mereka. Perempuan itu mengeratkan jaketnya, menggigil sedikit. Lelaki itu, tanpa berkata apa-apa, melepas syalnya dan melingkarkannya di lehernya.

“Jangan,” katanya cepat, mencoba menolak. “Kamu bisa kedinginan.”

“Tapi kamu yang lebih butuh sekarang,” jawabnya singkat, nadanya tidak menerima bantahan.

Dia menunduk, matanya memandang syal itu dengan penuh perasaan. “Kamu selalu begini,” gumamnya.

“Begini gimana?”

“Selalu peduli, bahkan kalau aku nggak minta.”

Dia tidak menjawab, hanya memandang ke depan. Tapi perempuan itu melanjutkan, suaranya sedikit bergetar.

“Aku sering mikir, apa kamu nggak pernah lelah? Selalu ada, selalu siap buat bantuin aku, bahkan ketika aku sendiri nggak yakin aku pantas dapat itu semua.”

Lelaki itu menoleh, matanya menatapnya lekat. “Aku nggak pernah merasa kamu nggak pantas.”

“Tapi aku ini cuma—”

“Ssst,” potongnya lembut, tapi tegas. “Jangan bilang kamu cuma apa-apa. Kamu itu kamu. Itu cukup.”

Perempuan itu terdiam. Kata-katanya seperti meresap pelan, menembus lapisan keraguan yang selama ini dia bangun. Dia memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresi yang mungkin terlalu terbuka.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan lagi. Lalu, dia berbicara, nadanya lebih lembut. “Aku pernah takut sama bayangan, tahu nggak?”

“Kenapa?”

“Karena aku selalu merasa mereka bisa bicara tentang hal-hal yang aku sembunyikan. Kayak mereka tahu aku nggak sebaik yang aku coba tunjukkan ke orang lain.”

Lelaki itu tersenyum kecil. “Bayangan nggak peduli sama apa yang kamu tunjukkan ke orang lain. Mereka cuma peduli apa adanya kamu.”

Dia mendongak, menatap lelaki itu. “Kamu kayaknya lebih ngerti aku daripada aku sendiri.”

“Kalau aku ngerti kamu, itu karena aku selalu lihat kamu apa adanya.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca, tapi dia menahannya. Sebaliknya, dia menghela napas panjang, seolah melepaskan sesuatu yang selama ini menyesakkan. “Aku nggak tahu harus bilang apa lagi.”

“Nggak perlu bilang apa-apa,” jawab lelaki itu sambil tersenyum. “Kadang diam juga cukup.”

Malam semakin larut, tapi mereka tidak tergesa-gesa untuk pergi. Taman itu seperti menjadi ruang di mana waktu benar-benar berhenti, memberikan mereka momen yang mungkin tidak akan pernah mereka temukan lagi di tempat lain.

Ketika akhirnya mereka berdiri, bersiap untuk melanjutkan perjalanan, perempuan itu menatap lelaki itu sekali lagi. “Terima kasih,” katanya pelan.

Lelaki itu hanya mengangguk, lalu melangkah mendahuluinya. Tapi sebelum dia benar-benar menjauh, dia berhenti, menoleh dengan senyum kecil yang khas.

“Ayo, jangan lama-lama. Bayangan kita sudah menunggu.”

Perempuan itu tertawa kecil, lalu menyusulnya.

Langkah mereka menyatu, bayangan mereka menyatu di bawah cahaya bulan yang perlahan memudar di ujung malam. Di dalam bayangan itu, mereka menemukan sesuatu yang selama ini hilang—diri mereka sendiri, dan satu sama lain.

 

Mungkin kita nggak selalu butuh kata-kata untuk mengerti satu sama lain, kadang hanya dengan duduk bersama, dalam keheningan, kita bisa merasa lebih tenang.

Cerita ini mungkin cuma sebuah perjalanan singkat, tapi semoga bisa ninggalin kesan yang panjang. Karena kadang, di balik bayangan malam yang gelap, ada cahaya yang bisa buat kita lebih paham siapa kita sebenarnya.

Leave a Reply