Cerpen Persahabatan Cowok dan Cewek: Langkah yang Tak Selalu Sejajar

Posted on

Pernah nggak sih kamu punya sahabat lawan jenis yang deket banget sampe-sampe orang ngira kalian pacaran, padahal ya cuma sahabatan aja? Nah, cerpen “Langkah yang Tak Selalu Sejajar” ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri, kesel, bahkan nyesek karena relate banget sama dinamika persahabatan cewek dan cowok yang nggak melulu indah tapi tetap penuh makna.

Kisah seru Zia dan Arka ini bukan cuma soal canda dan tawa bareng, tapi juga tentang pertengkaran, ego, rasa yang abu-abu, sampai perjuangan buat tetap ada meskipun arah hidup mereka mulai beda. Yuk baca, dijamin ceritanya enak diikutin, nggak ngebosenin, dan anti klise!

 

Cerpen Persahabatan Cowok dan Cewek

Pertemuan Tak Terduga

Zia mengerutkan dahi, matanya menatap serius soal fisika yang terbuka di depannya. Tugas yang diberikan oleh dosen pagi itu benar-benar membuatnya pusing. Matanya menyapu lembaran soal yang semakin lama semakin tidak dimengerti. Zia bukan tipe orang yang mudah menyerah, tapi kali ini rasanya otaknya benar-benar buntu.

“Kenapa sih fisika harus kayak gini?” Zia mendesah pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Di sampingnya, Arka duduk dengan santai, tangannya menulis sesuatu di buku catatan, terlihat jauh lebih tenang. Zia tahu, dia selalu seperti itu. Cowok satu ini tidak pernah terlihat terburu-buru, selalu tampak santai meskipun berada di tengah tekanan. Dan itu kadang membuatnya merasa kesal.

“Arka,” Zia akhirnya berbalik ke arah Arka, mencoba mengusik dunia tenangnya. “Lo udah nyelesaiin soal itu belum?”

Arka melirik sekilas ke Zia, wajahnya yang cenderung datar seolah tak terganggu. “Udah, kok. Gampang, tuh,” jawabnya tanpa ekspresi, matanya tetap fokus ke buku catatannya.

Zia merasa frustasi. “Gampang? Lo bilang gampang, Arka. Gue nggak ngerti apa-apa di sini!”

Arka melanjutkan menulis sejenak, lalu akhirnya berhenti dan menatap Zia dengan pandangan yang agak heran. “Lo serius nggak ngerti? Gue bisa bantu jelasin kalau lo mau.”

Zia menatap Arka dengan tatapan ragu. Dalam hati, ia merasa aneh. Kenapa dia harus minta bantuan cowok yang setiap kali berada di sampingnya justru membuatnya kesal dengan caranya yang terlalu santai itu? Tapi, di sisi lain, Zia tahu, Arka adalah orang yang paling bisa menjelaskan hal-hal teknis tanpa terdengar menggurui.

“Gue nggak ngerti apa-apa tentang ini,” Zia akhirnya berkata dengan suara pelan, memutuskan untuk membuka diri.

Arka mendengus pelan, tapi senyum tipis mulai muncul di wajahnya. “Ya udah, sini gue ajarin. Tapi, lo harus fokus, ya,” ujarnya dengan nada yang tak terlalu serius, tapi cukup meyakinkan.

Zia menatap Arka sejenak, sedikit terkejut. Terkadang, meskipun Arka terlihat cuek dan sering menjengkelkan, ada kalanya sikapnya yang tenang justru membuat Zia merasa nyaman. Dia benar-benar berbeda dengan orang-orang lain yang lebih suka menilai tanpa memberi kesempatan. Dan Zia, entah kenapa, merasa sedikit terbuka dengan cara Arka mengajarinya.

“Jadi gini,” Arka mulai menjelaskan dengan pelan, “Ini soal hukum Newton. Lo lihat diagramnya kan? Gampang kalau lo paham dasar-dasarnya.”

Zia hanya mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia merasa sedikit kebingungan. Arka terus menjelaskan dengan sabar, dan meskipun Zia merasa ada banyak istilah yang masih asing di telinganya, sedikit demi sedikit, hal itu mulai menyatu di otaknya. Seakan-akan, penjelasan Arka membuka pintu baru dalam otaknya.

“Nah, jadi gini,” Arka melanjutkan penjelasan. “Lo tinggal terapkan rumusnya, dan hasilnya bisa ketahuan.”

Zia menatapnya bingung. “Tapi kenapa tadi hasilnya beda dari yang lo dapet?”

Arka menghela napas pelan, seolah berpikir sejenak. “Ya karena lo nggak ngerapin satu langkahnya. Lo tuh sering banget keburu-buru.”

Zia mendengus kesal. “Bukan masalah buru-buru, Arka. Gue emang nggak ngerti aja.”

Tapi Arka hanya tersenyum ringan. “Gue bilang kan, lo mesti fokus. Tenang aja, lo pasti bisa. Kalau lo ngerti langkah-langkahnya, lo bisa kerjain soal ini tanpa masalah.”

Zia akhirnya mengangguk, mencoba menerima penjelasan Arka, meskipun dia masih merasa sedikit kesal dengan cara Arka yang selalu tenang, seolah semua hal bisa diselesaikan dengan santai. “Ya, ya, gue coba,” jawab Zia, sedikit jengkel namun juga merasa lega karena akhirnya ada yang bisa menjelaskan tanpa membuatnya merasa bodoh.

Mereka kembali fokus pada soal fisika itu, namun Zia bisa merasakan bahwa sesuatu yang berbeda mulai tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Walaupun Arka sering kali mengganggunya dengan candaan dan sikap santainya, ada kalanya Zia merasa dia bisa belajar banyak dari sahabatnya itu.

Setelah beberapa lama, Zia merasa sudah cukup mengerti konsep dasar soal itu. Arka pun mengangguk puas, seakan tidak ada yang istimewa. “Nah, kan. Gampang kan?”

Zia meliriknya dengan ragu. “Gampang karena lo udah ngerti, Arka. Lo nggak mikirin gimana rasanya bingung di tengah soal yang kayak gini?”

Arka tertawa kecil. “Ya, itu sih emang masalah lo. Gue cuma ngajarin, nggak bisa mikirin gimana rasanya bingung,” ujarnya dengan nada yang ringan.

Zia mendelik tajam, namun tiba-tiba mereka berdua tertawa bersama. Zia merasa lucu juga melihat bagaimana Arka selalu bisa membuatnya tertawa meskipun dia sedang kesal. Mereka berdua bisa terjebak dalam sebuah canda tawa yang tidak pernah benar-benar serius, namun tetap ada makna di baliknya.

“Lo tuh aneh banget, Arka,” kata Zia sambil menyandarkan punggungnya di kursi. “Tapi gue rasa, tanpa lo, gue bakal terus bingung.”

Arka memiringkan kepala. “Gue nggak aneh, Zia. Cuma beda aja dari lo. Gue gak pernah ambil pusing soal yang gak penting. Lo harus belajar santai sedikit.”

Zia hanya menggelengkan kepala, meskipun di dalam hatinya ia merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang selama ini ia hindari—sahabat lawan jenis yang ternyata bisa memahami dirinya lebih dari yang ia bayangkan.

Tiba-tiba, bel berbunyi, menandakan bahwa waktu kuliah sudah selesai. Zia dan Arka bergegas mengumpulkan barang mereka, namun Zia tidak bisa menahan senyum kecil yang tersungging di wajahnya. Ia merasa, persahabatan ini akan menjadi perjalanan yang jauh lebih menarik dari yang ia kira sebelumnya. Tapi untuk saat ini, dia hanya merasa lega—legakan karena akhirnya ada yang bisa membantunya mengerti fisika.

“Besok gue ajarin lagi kalau lo masih bingung,” Arka berkata sambil mengangkat tasnya, tersenyum polos seperti biasanya.

Zia hanya mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu, persahabatan mereka akan terus dipenuhi dengan momen-momen seperti ini. Kadang, penuh dengan konflik, tapi selalu berakhir dengan pemahaman.

Benturan dan Perbedaan

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa sedikit lebih ringan bagi Zia. Ia mulai terbiasa duduk di samping Arka, walaupun tetap saja kadang merasa terganggu dengan kebiasaan cowok itu yang suka menggambar asal-asalan di buku catatan, bahkan di tengah kuliah yang serius. Tapi, entah kenapa, keberadaan Arka membuat suasana jadi nggak terlalu tegang. Ada saja hal random yang dia lontarkan, bikin Zia ingin menimpuk, tapi juga tertawa dalam hati.

Suatu hari, Arka menghampiri Zia di kantin kampus dengan ekspresi penuh antusias. Tangan kirinya menggenggam kamera DSLR yang tampak baru dibersihkan.

“Zia, weekend ini ikut gue, yuk. Ada event pameran seni di galeri kota. Banyak instalasi keren, gue juga mau ambil dokumentasi buat proyek fotografi gue.”

Zia melirik Arka dari atas sampai bawah, mencoba mencari tanda bahwa ini hanya candaan. Tapi cowok itu tampak serius. “Lo ngajak gue ke pameran seni?” tanyanya ragu.

“Ya, kenapa nggak? Seru, kok. Lo butuh lihat dunia yang lebih… berwarna,” Arka menjawab sambil nyengir.

Zia menghela napas. “Lo tau kan gue nggak terlalu nyaman sama tempat rame gitu. Banyak orang, banyak suara… bising.”

Arka duduk di bangku seberangnya, meletakkan kameranya di atas meja. “Justru itu. Lo terlalu sering menghindar dari hal-hal kayak gitu. Sekali-sekali aja, anggap ini latihan sosial,” ujarnya sambil menyodorkan kentang goreng.

Zia menggeleng pelan. “Gue lebih suka nonton film di rumah. Tenang, santai, dan nggak harus ngobrol sama orang asing.”

“Gue nggak ngajak lo ngobrol sama semua orang di sana juga. Gue cuma pengen lo liat apa yang gue suka. Itu aja,” suara Arka terdengar sedikit lebih serius, berbeda dari biasanya.

Zia terdiam. Dalam hatinya, dia tahu Arka nggak pernah benar-benar memaksa. Tapi ada nada kecewa di balik kalimat itu, seakan Arka benar-benar berharap dia datang. Dan Zia, seperti biasa, sulit menolak ketika ekspresi cowok itu berubah dari santai jadi sungguh-sungguh.

“Aku pikir-pikir dulu, ya,” katanya akhirnya.

Arka mengangguk, meski senyumannya agak berkurang.

Sabtu sore, Zia datang juga. Bukan karena dia tiba-tiba jadi suka keramaian, tapi karena dia tahu Arka akan kecewa kalau dia tidak datang. Lagipula, ia penasaran juga, seperti apa dunia Arka yang selama ini cuma ia dengar dari cerita-cerita sepintas.

Galeri itu penuh dengan lampu-lampu redup dan pengunjung dengan gaya berpakaian yang unik. Zia merasa seperti alien di tengah planet lain. Tapi Arka—Arka tampak hidup. Ia berjalan dari satu karya ke karya lain dengan kamera di tangannya, berbicara dengan beberapa seniman, bahkan tertawa kecil saat menjelaskan konsep sebuah foto kepada Zia.

“Liat instalasi ini, Zia,” kata Arka, menunjuk pada sebuah karya berbentuk kepala manusia yang dipenuhi benang kusut. “Menurut senimannya, ini representasi dari pikiran yang gak pernah berhenti muter.”

Zia mengangguk, berusaha memahami. “Kelihatannya… ribet, ya?”

Arka tertawa. “Ya, kayak hidup.”

Semuanya berjalan cukup lancar, sampai akhirnya Zia merasa kewalahan. Terlalu banyak suara, terlalu banyak interaksi. Beberapa orang bahkan mulai mengajak ngobrol karena mereka pikir Zia juga seniman atau fotografer, mungkin karena Arka terus menempel padanya.

Zia menarik napas panjang dan akhirnya menarik Arka ke samping. “Aku keluar dulu, ya. Mau cari udara.”

Arka mengerutkan alis. “Kenapa? Baru juga setengah jalan.”

Zia menatapnya dengan nada kesal. “Aku nggak nyaman, Arka. Aku udah bilang dari awal.”

“Tapi lo bisa coba sedikit lebih terbuka, Zia. Gue pikir lo bakal ngasih kesempatan buat hal baru,” jawab Arka dengan nada agak tinggi, yang biasanya nggak pernah dia pakai ke Zia.

“Ini bukan soal lo atau karya-karya itu. Ini soal aku. Aku capek. Dan gue nggak suka dipaksa buat suka sesuatu yang bukan diri gue.”

Kalimat itu menggantung di antara mereka. Beberapa orang di dekat mereka menoleh, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Arka menatap Zia lama, lalu akhirnya memalingkan wajahnya.

“Oke. Kalau lo mau keluar, silakan,” ucapnya pendek, lalu berjalan kembali ke dalam galeri tanpa menoleh lagi.

Zia berdiri di sana cukup lama, menatap pintu galeri yang kembali tertutup di belakang Arka. Ada rasa bersalah, tapi juga marah. Marah karena Arka nggak ngerti posisinya. Tapi juga sedih karena ini pertama kalinya mereka berselisih seperti itu.

Malam harinya, Zia berdiam di kamarnya. Tangannya beberapa kali membuka chat Arka, mengetik pesan, lalu menghapusnya. Ia tahu mereka cuma beda cara pandang, tapi kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang penting?

Ponselnya tetap sunyi. Tidak ada pesan dari Arka malam itu.

Langit malam menatapnya diam dari jendela. Zia menyandarkan kepala di dinding, menyadari bahwa persahabatan yang ia kira kuat, ternyata juga bisa goyah oleh hal sekecil itu. Tapi ia juga tahu, hubungan mereka terlalu dalam untuk putus hanya karena perbedaan cara menikmati dunia.

Namun untuk malam itu, diam menjadi satu-satunya cara menjaga jarak. Dan Zia membiarkannya, meskipun hati kecilnya berharap Arka juga sedang berpikir hal yang sama: bahwa mereka akan baik-baik saja. Suatu saat nanti.

Jarak yang Tercipta

Dua hari berlalu sejak malam itu, dan tak satu pun dari mereka saling menghubungi.

Biasanya, akan ada pesan dari Arka setiap pagi, entah itu meme receh, foto kopi hitam yang baru diseduh, atau sekadar “gue kesiangan lagi, Ziaaa.” Tapi pagi itu, dan pagi setelahnya, layar ponsel Zia tetap kosong. Hening. Bahkan story Instagram Arka—yang biasanya penuh dengan foto jalanan, lampu kota, atau coretan-coretan aneh—juga mendadak sepi. Seakan dia benar-benar lenyap dari sirkulasi hari-hari Zia.

Di kampus, suasana tak jauh berbeda. Mereka masih satu kelas, duduk tidak jauh, tapi seakan berada di dunia yang berbeda. Tak ada sapa, tak ada lelucon Arka yang biasanya datang di waktu paling tidak terduga. Arka kini lebih banyak duduk sendiri, kadang bersama Rio atau teman lain dari divisi fotografi, sedangkan Zia kembali ke lingkaran kecilnya yang tenang.

Namun anehnya, suasana sunyi itu justru lebih bising dari apa pun. Ada sesuatu yang mengganjal, terus menempel di dalam kepala, seperti lagu lama yang tak kunjung hilang dari pikiran.

Hari Rabu siang, hujan turun deras, memaksa semua orang berteduh di lorong kampus. Zia duduk di ujung bangku, sendirian, menatap rintik-rintik air di balik kaca. Suasana seperti ini biasanya jadi momen favoritnya—tenang, dingin, dan damai. Tapi kini rasanya sepi dalam cara yang berbeda.

Arka datang beberapa menit kemudian, basah kuyup karena lupa bawa payung. Ia langsung duduk di ujung lain bangku yang sama, cukup jauh, tapi tetap satu garis pandang. Beberapa mahasiswa lain berlarian di lorong, tapi di antara mereka berdua, waktu seperti berhenti.

Zia melirik sekilas, lalu kembali menunduk. Hatinya berdebar, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk membuka percakapan lebih dulu.

Arka mengusap rambutnya yang basah, lalu membuka mulut.

“Masih marah?”

Zia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Aku? Nggak marah.”

“Ya udah, kalau gitu gue yang marah.”

Nada Arka terdengar setengah bercanda, setengah sungguh-sungguh. Zia menahan tawa, tapi tak sepenuhnya bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.

“Masa cowok gampang ngambek?” sahut Zia, pelan tapi terdengar jelas di tengah gemuruh hujan.

“Bukan soal cowok atau cewek. Ini soal orang yang ngerasa temennya berubah,” Arka menatap ke depan, tak menatap Zia. “Lo kayak nutup pintu rapat-rapat, padahal gue cuma mau nunjukin dunia yang gue suka.”

Zia menggigit bibir, mencoba meredam emosi yang mulai muncul. “Aku nggak nutup pintu, Ka. Aku cuma… nggak bisa langsung cocok. Dan lo nyeret aku terlalu cepat, kayak… maksa.”

“Gue cuma pengen kita bisa ketemu di tengah,” Arka menjawab pelan. “Tapi gue juga sadar, kadang lo butuh waktu.”

Hening menyelimuti mereka. Hujan masih turun, semakin deras. Beberapa tetesan menimpa kaki Zia yang tak sengaja keluar dari batas atap. Tapi dia tak peduli.

“Aku nggak suka keramaian, tapi aku suka ngeliat lo semangat kayak kemarin,” gumam Zia, lebih kepada dirinya sendiri. “Dan mungkin aku terlalu takut buat bilang itu ke lo.”

Arka menoleh perlahan, matanya tidak sejernih biasanya, seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat diucapkan.

“Gue juga mungkin terlalu ngegas,” katanya pelan. “Harusnya gue ngerti lo beda.”

Zia mengangguk. “Kita memang beda.”

“Tapi kan nggak harus sama buat tetap jalan bareng,” balas Arka.

Dan kalimat itu, sesederhana apapun terdengar, membuat Zia merasa seperti ada celah kecil yang kembali terbuka di antara tembok-tembok yang mereka bangun selama beberapa hari terakhir.

Sejak percakapan di lorong itu, suasana di antara mereka perlahan membaik. Tak langsung kembali seperti dulu, tapi lebih hati-hati. Seperti dua orang yang sedang menapaki ulang jembatan yang sempat retak—pelan, tapi pasti.

Mereka kembali duduk bersebelahan di kelas, walaupun tanpa banyak obrolan. Kadang hanya saling tukar catatan, atau sekadar tatapan isyarat. Tapi Zia merasa nyaman dengan itu. Mungkin memang tidak semua hal perlu dibicarakan dengan kata-kata. Kadang, cukup dengan diam yang sama-sama dipahami.

Namun, pada suatu malam, konflik lama yang belum tuntas kembali mengusik.

Zia mengirim pesan.

Ka, boleh jujur nggak?

Balasan Arka datang cepat.

Boleh. Tapi jangan pake “tapi” di akhir ya.

Zia tersenyum tipis, lalu mengetik.

Aku kadang bingung, lo beneran nganggep gue cuma sahabat atau… lebih dari itu?

Pesan itu dikirim. Detik-detik terasa lambat. Layar ponsel menunjukkan “terbaca”, tapi tak ada balasan selama beberapa menit. Zia merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Akhirnya, Arka membalas.

Gue juga nanya hal yang sama ke diri gue. Tapi gue nggak mau ngancurin apa yang udah kita punya cuma karena gue salah ngartiin rasa.

Zia menatap layar lama, sangat lama, sebelum akhirnya membalas.

Makasih udah jujur. Aku juga ngerasa hal yang sama.

Tak ada balasan lagi malam itu. Tapi Zia tahu, jawabannya sudah cukup. Mereka tahu batas mereka, tapi juga tahu kedalaman hubungan yang tidak bisa diberi label sembarangan.

Dan malam itu, meski tak ada pelukan atau air mata, persahabatan mereka diam-diam tumbuh lebih kuat dari sebelumnya. Sebab, yang bisa bertahan melewati jarak dan diam, biasanya bukan sekadar teman biasa.

Langkah yang Selaras

Waktu terus berjalan, dan musim berganti. Kelas demi kelas berakhir, tumpukan tugas semakin menipis, dan aroma kelulusan mulai terasa di udara. Mahasiswa mulai sibuk dengan skripsi, proyek akhir, atau rencana masa depan yang belum sepenuhnya jelas—termasuk Zia dan Arka.

Hubungan mereka juga berubah. Bukan berubah menjadi cinta, seperti yang sering orang-orang harapkan dari persahabatan cowok dan cewek, tapi menjadi sesuatu yang lebih… dewasa. Mereka kini lebih tahu kapan harus diam, kapan harus bicara, dan kapan harus memberi ruang satu sama lain tanpa merasa ditinggalkan.

Pada suatu siang yang hangat, mereka duduk berdua di taman kampus yang hampir kosong. Di tangan Arka ada dua gelas kopi dingin, yang satunya dia sodorkan ke Zia tanpa banyak kata. Sudah jadi kebiasaan mereka sekarang—nggak selalu harus ada alasan buat duduk berdua.

Zia mengaduk kopinya perlahan, lalu menatap Arka yang sedang sibuk memotret bayangan dedaunan yang menari di aspal.

“Arka,” panggilnya pelan.

“Hm?”

“Nanti, kalau udah lulus… kita bakal tetep kayak gini, kan?”

Arka berhenti motret, menoleh ke arahnya dengan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan kecuali kalau sedang membahas hal penting.

“Gue nggak janji bisa setiap hari ketemu atau ngobrol kayak sekarang,” katanya jujur, “tapi gue janji, kita nggak akan hilang satu sama lain.”

Zia terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi punya makna besar buatnya.

“Kadang aku takut, Ka. Kita terlalu nyaman sampai lupa bahwa dunia luar bisa berubahin segalanya.”

Arka tersenyum miring. “Zia, lo pikir gue nggak takut? Tapi lo tau kenapa gue nggak terlalu khawatir? Karena lo selalu bilang apa yang lo rasain. Dan gue juga belajar buat ngelakuin hal yang sama.”

Zia tersenyum, kali ini lebih tenang. Ia tahu Arka benar. Mereka bukan sahabat yang saling menyimpan. Kalau ada yang mengganggu, mereka bicara. Kalau marah, mereka diam dulu, lalu kembali. Kalau salah paham, mereka luruskan. Nggak selalu mudah, tapi selalu ada usaha.

Hari kelulusan datang cepat. Mereka berdiri berdampingan di barisan mahasiswa lain, dengan toga yang terasa terlalu besar dan ucapan selamat yang datang dari segala arah. Foto-foto diambil, pelukan diberikan, dan rencana masa depan mulai dibicarakan dengan kalimat-kalimat yang belum pasti.

Di tengah keramaian itu, Zia dan Arka duduk sebentar di bangku paling belakang auditorium. Orang-orang sibuk selfie, tapi mereka hanya saling menatap, tertawa pelan.

“Jadi, lo bakal lanjut ambil kerjaan fotografi itu, ya?” tanya Zia.

Arka mengangguk. “Iya. Nggak di sini, tapi. Mungkin pindah ke kota sebelah. Banyak proyek jalanan dan komunitas yang butuh dokumentasi.”

Zia mengangguk, berusaha menerima bahwa langkah mereka mulai bercabang. “Aku dapet kabar dari editor. Tulisan-tulisan yang aku kirim buat antologi itu, katanya mau diterbitin. Tapi… ya, prosesnya masih panjang.”

“Wah, itu keren banget, Zia.” Arka menepuk pundaknya ringan. “Gue bangga.”

Hening sebentar, lalu Zia berkata, “Kita akan tetap temenan, kan?”

Arka menoleh, matanya hangat. “Selama lo masih suka ngoreksi caption foto gue yang typo, dan gue masih bisa gangguin lo jam dua pagi cuma buat minta saran cover buku, kita masih temenan.”

Zia tertawa, lepas dan jujur. “Deal.”

Hari itu berakhir dengan perasaan ringan. Tak ada air mata, tak ada drama. Hanya dua sahabat yang tahu bahwa meskipun jalan mereka akan berbeda, fondasi hubungan mereka tidak mudah rapuh.

Sebab persahabatan mereka bukan tentang intensitas waktu yang dihabiskan bersama, tapi tentang saling mengerti, saling memberi ruang, dan saling menemukan lagi meski dunia terus bergerak.

Dan di antara foto-foto kelulusan yang penuh senyum palsu dan kamera profesional, hanya satu yang terasa paling tulus: foto buram yang diambil Arka dengan kamera analognya—Zia tertawa, rambutnya tertiup angin, dan di belakangnya langit yang terang, seperti masa depan yang belum mereka tahu, tapi siap untuk dijalani… bersama, meski dengan langkah yang tak selalu bersebelahan.

Gimana, udah ngerasain gimana serunya perjalanan persahabatan Zia dan Arka? Kadang, hubungan itu nggak selalu harus berjalan mulus. Ada tantangan, perbedaan, dan juga konflik yang bisa bikin kita makin kuat. Persahabatan cowok dan cewek itu unik, nggak bisa disamain sama hubungan lain, tapi itulah yang bikin special.

Kalau kamu pernah ngalamin hal yang sama, pasti bisa relate banget, kan? Jadi, jangan takut buat menjaga hubungan persahabatan meskipun beda pendapat atau jalan hidup, karena siapa tahu, mereka bakal tetap ada buat kamu sampai akhir. Sampai jumpa di cerita seru berikutnya!

Leave a Reply