Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasain cinta yang udah kita jalani dengan penuh harapan, tapi ternyata harus berakhir? Cerpen ini bakal bawa kalian ngerasain betapa beratnya perpisahan meski kita masih sayang.
Setiap kenangan, tiap tawa, dan bahkan tiap air mata, semua itu bakal terasa lagi pas baca cerita ini. Mungkin cerpen ini buat kalian yang pernah punya kenangan manis dan pahit dalam cinta. Jadi, siap-siap aja baper!
Kisah Cinta yang Tak Terlupakan
Buku yang Memulai Segalanya
Langit sore mulai meredup saat langkah seorang pemuda memasuki perpustakaan kota. Udara di dalamnya lebih dingin dibanding di luar, aroma kertas tua bercampur dengan wangi kopi yang samar-samar menguar dari kafe kecil di pojok ruangan. Tak ada suara selain detik jam dan desisan lembaran halaman yang dibalik pelan oleh para pengunjung.
Matanya menyusuri rak-rak buku dengan santai, mencari sesuatu yang bisa menemani sore ini. Hingga akhirnya, di ujung ruangan, ia melihat buku yang diincarnya sejak lama—sebuah novel klasik yang konon sulit ditemukan. Jemarinya terulur, namun tepat saat hampir menyentuhnya, tangan lain lebih dulu mengambil buku itu.
“Heh, aku yang duluan lihat,” suara seorang gadis terdengar di sebelahnya.
Pemuda itu menoleh. Seorang gadis berdiri di sana, memeluk buku itu dengan ekspresi menang. Rambutnya tergerai rapi, kaus putih dan celana jeansnya sederhana, tapi ada sesuatu dalam cara gadis itu menatap yang membuatnya terlihat percaya diri.
“Tapi aku yang duluan mau ambil,” jawabnya tenang.
Gadis itu menyipitkan mata, lalu menepuk sampul buku yang ada di pelukannya. “Tapi aku yang duluan pegang.”
“Jadi karena kamu lebih cepat sepersekian detik, itu berarti buku ini milik kamu?”
Gadis itu mengangguk dengan bangga. “Ya.”
Pemuda itu menghela napas, memilih untuk tidak berdebat lebih lama. “Yaudah, ambil aja.”
Ia berbalik, melangkah menuju rak lain, tapi suara gadis itu kembali menghentikannya.
“Kalau kamu mau, kita bisa baca bareng,” ucapnya tiba-tiba.
Langkahnya terhenti. Matanya menatap gadis itu, memastikan apakah tawaran itu sungguhan atau hanya cara lain untuk mengejeknya. Namun, gadis itu terlihat serius.
“Apa aku keliatan tipe orang yang suka baca buku rame-rame?” tanyanya dengan nada skeptis.
Gadis itu tertawa kecil. “Ya enggak, tapi ini buku bagus. Sayang kalau cuma aku yang baca duluan.”
Ia diam sejenak, mempertimbangkan. Tawaran itu memang tidak biasa, tapi sesuatu dalam cara gadis itu berbicara membuatnya sulit untuk menolak. Akhirnya, ia kembali duduk di kursi dekat jendela, dan gadis itu mengikuti, membuka halaman pertama buku dengan semangat.
Mereka mulai membaca, bergantian membalik halaman tanpa berbicara. Suara samar hujan mulai terdengar di luar, membuat suasana semakin nyaman.
Setelah beberapa saat, gadis itu berkomentar tanpa menoleh, “Aku kira kamu bakal lebih banyak ngomong.”
“Aku lebih suka baca daripada ngobrol.”
“Tapi tadi kamu debat soal buku ini.”
“Itu karena kamu duluan nyulut.”
Gadis itu terkekeh. “Oke, salah aku.”
Ia melirik ke arahnya, menemukan gadis itu tersenyum kecil. Ada sesuatu yang aneh—bukan dalam arti buruk, tapi lebih ke perasaan familiar yang tak bisa dijelaskan.
“Aku Nayla,” gadis itu akhirnya memperkenalkan diri.
Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Raka.”
Dan seperti itu, tanpa direncanakan, tanpa diduga, nama mereka akhirnya terikat dalam sebuah pertemuan sederhana yang tidak akan pernah mereka lupakan.
—Mereka mulai sering bertemu di perpustakaan. Awalnya, hanya untuk membaca buku yang sama. Lama-lama, mereka mulai mengobrol lebih banyak. Nayla ternyata lebih cerewet dari yang ia kira. Gadis itu bisa bercerita panjang lebar tentang hal-hal kecil—tentang hujan yang turun lebih awal dari perkiraan, tentang kopi yang menurutnya terlalu pahit, tentang anjing tetangganya yang selalu menggonggong setiap malam.
“Kenapa kamu suka baca buku?” tanya Nayla suatu sore.
Raka mengangkat bahu. “Karena lebih tenang.”
“Tenang gimana?”
“Di buku, semua cerita ada akhirnya. Entah itu bahagia atau nggak, kita selalu tahu akhirnya. Nggak kayak dunia nyata, kadang kita nggak pernah tahu ujungnya bakal gimana.”
Nayla terdiam, seperti memproses kata-kata itu. Lalu, ia tersenyum kecil. “Berarti, kamu suka kepastian.”
“Mungkin,” jawab Raka santai.
Mereka terus menghabiskan waktu bersama. Hari berganti minggu, dan minggu menjadi bulan. Tanpa disadari, Raka mulai terbiasa dengan keberadaan Nayla. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara, dalam cara ia tertawa, dalam cara ia menatap dunia yang berbeda dari dirinya—sesuatu yang perlahan-lahan membuatnya nyaman.
Namun, bahkan dalam buku yang paling indah pun, selalu ada bab yang membawa perubahan.
Dan perubahan itu datang lebih cepat dari yang mereka kira.
Langkah Kecil Menuju Satu Nama
Musim hujan datang lebih cepat tahun ini. Setiap sore, langit mendung menggantung rendah, seolah-olah siap menumpahkan beban yang ia simpan selama ini. Raka duduk di bangku kayu dekat jendela perpustakaan, menatap rintik-rintik air yang berjatuhan di kaca. Di hadapannya, Nayla sibuk mengaduk coklat panas yang tadi dibelinya dari kafe kecil di dalam perpustakaan.
“Kenapa diem aja?” tanya Nayla tanpa mengangkat kepala.
“Enggak apa-apa,” jawab Raka.
“Kamu lagi mikirin sesuatu,” tebak Nayla, melirik ke arahnya.
Raka menghela napas. “Kayaknya ini pertama kalinya aku nggak bisa fokus baca buku.”
Nayla tersenyum kecil. “Kenapa? Karena aku di sini?”
“Bisa jadi.”
Nayla mendengus, tapi pipinya sedikit merona. “Kamu lagi serius nggak sih? Biasanya kalau ngomong gitu aku bakal nganggep bercanda.”
“Kali ini nggak bercanda.”
Jawaban Raka membuat Nayla terdiam. Mereka berdua saling menatap, seakan mencari sesuatu yang tak terucapkan di mata masing-masing. Hujan masih turun di luar, menciptakan ritme yang tenang di antara keheningan mereka.
Setelah beberapa detik, Nayla mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Aku pernah mikir… kalau pertemanan kita ini aneh.”
“Aneh gimana?”
Nayla mengangkat bahu. “Awalnya cuma gara-gara buku. Tapi sekarang, aku jadi nyaman ngobrol sama kamu. Padahal, kalau dipikir-pikir, kita beda banget.”
Raka tak langsung menjawab. Nayla benar—mereka berbeda. Nayla selalu ceria, impulsif, dan penuh kata-kata. Sementara Raka lebih suka diam, lebih suka mengamati dunia daripada ikut serta di dalamnya. Tapi anehnya, perbedaan itu justru terasa… pas.
“Mungkin karena kita saling melengkapi,” gumam Raka akhirnya.
Nayla menoleh lagi, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kalau aku nanya sesuatu, kamu harus jawab jujur.”
“Oke.”
“Kamu pernah suka sama seseorang?”
Pertanyaan itu datang tiba-tiba, tapi entah kenapa, Raka tidak terkejut. Ia menatap Nayla, mencoba membaca maksud di balik pertanyaan itu, tapi gadis itu tetap tenang, meskipun jemarinya menggenggam erat cangkir coklat panasnya.
“Ada,” jawab Raka akhirnya.
Nayla mengangguk pelan. “Dan gimana rasanya?”
Raka berpikir sejenak sebelum menjawab. “Rasanya kayak… nemu halaman favorit di sebuah buku, yang mau dibaca ulang terus-menerus. Tapi di sisi lain, takut kalau nanti halaman itu bakal hilang atau berubah.”
Nayla tersenyum, meskipun matanya terlihat sendu. “Kamu puitis juga, ya.”
“Bukan puitis. Cuma jujur.”
Mereka kembali diam. Hujan di luar mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Suasana di perpustakaan pun mulai sepi, hanya menyisakan beberapa orang yang masih sibuk dengan buku mereka.
Raka melirik jam di pergelangan tangannya. “Udah sore. Kamu nggak pulang?”
Nayla menatap ke luar jendela, lalu mendesah pelan. “Mager. Hujannya baru reda, pasti jalanan becek.”
“Aku bisa nganterin.”
Nayla menoleh cepat, seakan tak yakin dengan yang baru didengarnya. “Hah?”
“Aku bisa nganterin,” ulang Raka santai.
Nayla mengerjapkan mata, lalu tersenyum kecil. “Baik banget, tumben.”
“Yaudah, kalau nggak mau, nggak usah.”
“Enggak! Aku mau!” potong Nayla cepat, lalu tertawa kecil. “Tapi naik apa?”
“Motor. Kamu mau?”
Nayla pura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke. Tapi kalau jatuh di jalan, aku bakal nyalahin kamu.”
Raka hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Pegangan yang bener, jangan nyalahin aku kalau nanti ketiduran di jalan.”
Mereka keluar dari perpustakaan bersama. Udara setelah hujan terasa lebih segar, dan jalanan masih sedikit basah. Raka menyalakan motornya, sementara Nayla dengan ragu naik ke jok belakang.
“Kalau aku jatuh, kamu tanggung jawab, ya,” gumam Nayla pelan.
Raka menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Tenang. Aku nggak bakal ngebiarin kamu jatuh.”
Dan pada malam itu, tanpa keduanya sadari, sesuatu telah berubah di antara mereka. Sebuah langkah kecil menuju sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan.
Di Antara Perpisahan dan Pengorbanan
Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang tak pernah terduga. Raka mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, meski sudah ada di sana sejak lama. Nayla yang ceria, yang selalu membawa warna dalam setiap percakapan, kini menjadi bagian dari hidupnya yang tak bisa lagi diabaikan.
Malam itu, mereka duduk di pinggir danau, seperti biasa, setelah mereka menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Suasana sunyi di sekitar mereka hanya dihiasi oleh suara air yang beriak pelan dan gelegar angin yang berhembus lembut. Di bawah cahaya bulan yang lembut, mereka berdua duduk di sebuah batu besar, menyandarkan punggung mereka, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan.
“Raka,” suara Nayla memecah keheningan.
“Ya?”
“Kenapa kamu selalu datang ketika aku butuh? Kamu selalu ada, tanpa aku minta.”
Raka menoleh, menatapnya dengan serius. Ada yang berbeda dalam mata Nayla malam ini—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan biasa.
“Aku nggak pernah nanya kenapa kamu selalu butuh aku. Tapi aku tahu, aku selalu ada karena… karena aku ingin.”
Nayla terdiam sejenak, mengalihkan pandangannya ke permukaan danau yang gelap. “Tapi kadang aku takut, Raka. Takut kalau suatu hari kamu nggak ada lagi. Takut kalau semua ini cuma ilusi yang akan hilang begitu saja.”
Raka menghela napas. Kata-kata itu mengusik hatinya, menimbulkan rasa yang sulit dijelaskan. “Aku nggak pernah mau pergi. Aku nggak akan pergi, Nayla.”
“Tapi… gimana kalau aku nggak bisa menjadi seperti yang kamu harapkan?”
Itu adalah pertanyaan yang lebih berat dari yang Raka duga. Ia menatap Nayla yang kini menunduk, seolah menghindari tatapannya. “Kamu nggak perlu jadi apa-apa, Nayla. Kamu nggak perlu berubah. Aku nggak mengharapkan kamu menjadi sesuatu yang berbeda.”
Tapi Nayla masih diam. Raka tahu, dalam diamnya itu, ada sesuatu yang sedang dipikirkan, yang mungkin bahkan dia sendiri tak bisa ungkapkan.
“Raka…” suaranya hampir seperti bisikan. “Apa yang terjadi kalau aku nggak bisa terus ada di sini?”
Itu adalah kalimat yang tak pernah Raka bayangkan akan keluar dari mulut Nayla. Seseorang yang selama ini selalu tampak begitu kuat dan ceria, tiba-tiba menunjukkan sisi rapuhnya yang tersembunyi.
Ia meraih tangan Nayla, menggenggamnya erat, mencoba memberikan kekuatan tanpa kata-kata. “Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Aku di sini, dan aku akan selalu ada. Kalau kamu merasa takut, aku akan jadi pengingat kamu bahwa nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Nayla mengangkat wajahnya, tatapannya kosong, seolah mencari sesuatu dalam diri Raka yang mungkin tidak dia temukan. “Aku takut, Raka. Takut kalau suatu hari nanti, aku nggak punya tempat lagi di hidup kamu.”
Raka hanya bisa menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Perasaan yang mengalir begitu dalam, namun kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya seolah lenyap begitu saja.
Tiba-tiba, Nayla berdiri, mengangkat tangan yang sedari tadi tergenggam oleh Raka. “Aku nggak bisa terus begini, Raka. Aku nggak bisa terus menunggu sesuatu yang nggak pasti.”
Raka terkejut dengan kata-kata itu. “Kamu ngomong apa sih?”
Nayla menatapnya, matanya penuh keraguan. “Aku nggak bisa jadi sesuatu yang kamu harapkan, Raka. Aku takut kalau aku nggak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan. Kamu pantas bahagia, tapi aku nggak bisa menjanjikan itu.”
“Jadi, kamu mau menyerah?” tanyanya dengan suara yang mulai serak.
“Aku bukan menyerah. Aku cuma… nggak mau menjadi penghalang buat kamu,” jawab Nayla pelan, hampir berbisik.
“Jadi, apa yang kamu inginkan?” Raka bertanya, suaranya bergetar.
Nayla terdiam sejenak, memandang langit malam yang penuh bintang. “Aku nggak tahu, Raka. Aku cuma nggak ingin jadi beban. Aku takut kalau perasaan ini cuma sementara, dan aku nggak bisa jadi seseorang yang layak buat kamu.”
Raka berdiri, menghadap Nayla, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan seolah ada jarak yang sangat jauh antara mereka. “Jangan bilang kamu pergi dari aku karena kamu takut. Jangan lari hanya karena kamu pikir kita nggak mungkin bertahan.”
Nayla menatapnya, ada kesedihan di matanya yang semakin membuat Raka merasa hancur. “Aku nggak tahu. Aku hanya takut, dan aku nggak tahu harus apa.”
Raka menggenggam kedua tangan Nayla, menariknya mendekat. “Kita nggak akan tahu sampai kita coba, Nayla. Aku nggak akan biarin kamu pergi.”
Namun Nayla menarik tangannya dengan lembut. “Raka… aku… aku nggak bisa.”
Langit malam tiba-tiba terasa sangat berat. Raka berdiri terpaku, merasa seolah dunia yang mereka bangun bersama runtuh begitu saja di hadapannya. Nayla menatapnya untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Raka yang hanya bisa terpaku.
Dari jauh, Nayla menoleh sekali lagi, dan meskipun tidak ada kata yang terucap, Raka tahu—mereka telah sampai pada titik di mana setiap langkah selanjutnya akan membawa mereka ke jurang perpisahan yang tidak bisa dihindari.
Kenangan yang Tak Terucapkan
Sudah beberapa minggu sejak Nayla pergi, meninggalkan Raka dengan kenangan yang begitu menyakitkan. Setiap sudut kota, setiap langkah yang diambil, selalu mengingatkannya pada sosok yang kini tak ada di sampingnya. Ia terbangun dengan perasaan kosong setiap pagi, merasa seolah ada bagian dirinya yang hilang.
Raka tak bisa menjelaskan perasaan itu. Ia selalu mencoba untuk terus bergerak maju, tetapi setiap kali berusaha melupakan, bayangan Nayla selalu datang tanpa permisi. Ia tahu, saat itu, ia tak bisa lagi menghindar dari kenyataan bahwa ada perasaan yang jauh lebih dalam dari yang ia duga sebelumnya.
Pada suatu sore yang sunyi, Raka memutuskan untuk kembali ke tempat mereka biasa menghabiskan waktu—pinggir danau yang menjadi saksi bisu hubungan mereka. Angin yang berhembus pelan membawa aroma tanah basah, dan suara riak air menyapa telinga dengan ketenangannya.
Di sana, di atas batu besar yang pernah mereka duduki bersama, Raka duduk seorang diri. Begitu banyak waktu yang telah berlalu, namun semuanya terasa baru. Semua kenangan, rasa sakit, dan kebahagiaan yang mereka bagi terasa seperti bagian dari cerita yang belum selesai.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan.
“Raka…”
Ia menoleh, dan di sana, berdiri Nayla. Perempuan itu mengenakan jaket denim yang biasa ia pakai saat mereka berjalan berdua. Wajahnya masih seperti yang ia ingat, meskipun ada sedikit perubahan—lebih matang, lebih bijaksana, dan sedikit melankolis.
“Nayla,” suara Raka hampir hilang, dan ia terdiam sejenak. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Nayla tersenyum tipis. “Aku nggak tahu. Rasanya cuma pengen datang ke tempat yang dulu pernah kita buat kenangan.”
Raka tersenyum miris. “Kenangan, ya?”
“Iya, kenangan,” jawab Nayla pelan. “Aku tahu aku pergi dengan cara yang salah, Raka. Aku nggak bisa menjanjikan sesuatu yang nggak bisa aku beri. Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak pernah melupakan kamu.”
Hati Raka terasa sesak, tapi ia berusaha menahan emosinya. “Aku nggak pernah minta kamu pergi, Nayla. Tapi aku juga nggak bisa menahan kamu kalau kamu merasa ini bukan tempat yang tepat buatmu.”
Nayla menghela napas, duduk di sebelahnya, tetap menjaga jarak. “Aku tahu aku udah bikin keputusan yang berat buat kita. Tapi kamu juga punya hak buat bahagia, Raka.”
“Apa kamu bahagia sekarang?” tanya Raka, suaranya pelan namun penuh dengan makna yang lebih dalam.
Nayla menatapnya, sejenak hening. “Aku… nggak tahu, Raka. Aku cuma tahu, ada hal-hal yang harus aku hadapi, dan aku nggak bisa lari lagi dari itu.”
Raka mengangguk, mencoba memahami, meskipun hatinya rasanya ingin berteriak. “Tapi kenapa sekarang? Kenapa setelah semua waktu yang kita lewati?”
Nayla menatap langit, matanya mengabur, seolah mencari jawaban di sana. “Kadang, kita butuh waktu untuk menemukan diri kita sendiri. Kadang kita nggak bisa terus bersama orang yang kita cintai kalau kita nggak bisa mencintai diri kita sendiri dulu.”
Tiba-tiba, Raka merasakan kesedihan yang mendalam. Semua kebingungannya, semua rasa sakit yang selama ini dipendam, seolah terjawab oleh kata-kata Nayla. “Aku nggak tahu kalau kita sudah sejauh ini, Nayla. Aku cuma tahu, aku nggak bisa berhenti mencintaimu.”
Nayla menoleh, ada kelembutan dalam tatapannya. “Aku tahu, Raka. Dan aku juga nggak bisa berhenti mencintaimu.”
Namun, dalam keheningan itu, mereka menyadari satu hal yang paling sulit untuk diterima: cinta bukanlah alasan untuk memaksa sesuatu yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Kadang, dalam hidup, kita harus merelakan apa yang kita cintai, meskipun itu sangat menyakitkan.
Raka meremas tangan Nayla, seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa ini bukan akhir. Namun, Nayla menarik tangannya dengan lembut, memberikan senyuman yang penuh dengan pengertian. “Mungkin ini adalah cara kita untuk menyembuhkan luka-luka yang ada. Aku tahu kita nggak bisa terus bersama, Raka. Tapi aku nggak akan pernah lupa apa yang kita punya.”
Airmata mulai menggenang di mata Raka, tapi ia menahannya. Ia tahu, mungkin inilah saatnya untuk melepaskan, meskipun hatinya masih berat.
“Selamat tinggal, Nayla,” katanya akhirnya, dengan suara yang hampir pecah.
“Selamat tinggal, Raka.”
Dan saat itu, di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, dua hati yang pernah begitu dekat kini berpisah, membawa kenangan yang tak akan pernah hilang. Tidak ada kata yang lebih berat dari perpisahan, tetapi kadang itulah yang terbaik untuk semua.
Mereka berdua tahu, meskipun jalan mereka tak lagi bersinggungan, kenangan akan terus mengingatkan mereka tentang cinta yang pernah ada, tentang kisah yang tidak pernah benar-benar berakhir.
Mungkin ini akhir dari perjalanan mereka berdua, namun bagi Raka, cinta dan kenangan tentang Nayla akan tetap hidup dalam setiap langkahnya, di setiap detik kehidupannya yang baru.
Nah, itu dia cerita tentang cinta yang berakhir tapi nggak pernah benar-benar hilang. Kenangan dan perasaan itu tetap ada, meski kita udah nggak bisa bersama lagi.
Kadang, perpisahan itu memang harus terjadi biar kita bisa maju, tapi siapa yang bisa lupain kenangan indah, kan? Semoga cerpen ini bisa ngebuat kalian mikir, bahwa meski cinta berakhir, kenangan tetap hidup, dan kita selalu bawa itu ke mana pun kita pergi.


