Daftar Isi
Jadi, bayangin deh, kamu lagi stuck di rumah, hari-hari berjalan begitu aja, dan rasanya hidup kayak nggak ada arah. Itu yang Isha rasain, dia yang dulunya penuh dengan harapan, sekarang malah merasa kehilangan tujuan.
Tapi, kadang-kadang, kita cuma perlu waktu buat sendiri dulu, kan? Tanpa gangguan, tanpa tekanan. Dan mungkin, di saat itulah kita mulai nemuin hal-hal kecil yang bikin hidup terasa lebih berarti. Jadi, kalau kamu lagi ngerasa sepi atau bingung, coba deh baca cerita Isha. Mungkin kamu bakal nemuin sedikit cahaya di situ.
Cerpen Perjalanan Menemukan Cahaya dalam Diri yang Terlupakan
Di Antara Dinding-Dinding Sunyi
Pagi ini terasa seperti pagi lainnya. Pagi yang lambat, tanpa sesuatu yang bisa diandalkan untuk memberi semangat. Isha terbangun dari tidur yang sepertinya tidak pernah benar-benar memulihkan dirinya. Ada rasa kosong yang mengganggu setiap kali matanya terbuka. Seperti ada sesuatu yang hilang, atau mungkin memang semuanya tak pernah ada sama sekali.
Dia duduk di pinggir tempat tidur, menatap ruang kamarnya yang terang karena sinar matahari yang sudah mulai naik. Kamar itu tak banyak berubah, masih sama seperti ketika pertama kali dia masuk ke dalamnya, berbulan-bulan yang lalu. Hanya ada tumpukan buku-buku yang jarang dibaca, beberapa pakaian yang tak sempat dilipat, dan kursi kayu yang kakinya sudah mulai goyah. Isha mengusap wajahnya, mencoba membangunkan tubuh yang terasa lelah walaupun tidur sepanjang malam.
Ketika dia berjalan menuju dapur, suara langkah kakinya terkesan lebih berat dari biasanya. Ada rasa kesendirian yang merayap perlahan di setiap sudut rumah. Tidak ada suara ibu yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan, atau adiknya, Kamil, yang selalu berlari ke sana kemari, mengoceh tentang hal-hal sepele. Rumah ini terasa lebih besar hari ini, kosong, dan sepi.
Isha membuka lemari es, mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya yang terasa kosong. Hanya ada beberapa potong roti dan selai strawberry, itu pun sudah hampir habis. Dia menyendok selai, mencoleknya ke roti, lalu menggigitnya perlahan. Tidak ada rasa nyaman, hanya kekosongan yang mengisi hatinya.
Tiba-tiba, ponsel di meja makan bergetar. Isha menatap layar, melihat pesan singkat dari Kamil. Meski jarak memisahkan mereka, adiknya selalu mengirimkan pesan-pesan singkat yang memberi sedikit cahaya di tengah kesunyian.
Kamil: “Isha, kamu kenapa? Terlihat gak enak banget di foto terakhir yang kamu kirim.”
Isha menatap pesan itu, memikirkan jawaban yang tepat. Dulu, dia akan membalas dengan kalimat-kalimat penuh semangat, seperti apa yang biasanya dia lakukan, tapi kali ini, dia hanya terdiam. Kamil tidak mengerti. Dia tidak tahu rasanya hidup di sini, sendirian, tanpa ada yang benar-benar peduli.
Isha: “Aku cuma capek, Kam. Gak ada yang menarik di sini. Cuma… biasa aja.”
Dia menekan kirim, lalu menatap ponsel itu. Terkadang, dia merasa Kamil terlalu jauh di sana, tidak bisa mengerti perasaan yang dia alami di sini. Kadang dia ingin menceritakan semuanya, bagaimana rasanya bangun setiap hari dan merasa kosong, bagaimana waktu terasa berjalan sangat lambat, seakan dia terjebak di dalamnya. Tapi, untuk apa? Dia tidak yakin Kamil akan mengerti.
Tapi, tidak ada salahnya mencoba.
Ponsel itu bergetar lagi, kali ini bukan dari Kamil, melainkan dari ibu. Isha menghela napas sebelum membuka pesan itu.
Ibu: “Isha, jangan lupa jaga kesehatan. Nanti malam ibu pulang. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Pesan yang singkat, tetapi cukup membuatnya terdiam. Sesuatu yang perlu dibicarakan? Apa lagi yang akan dibicarakan? Apakah ibu merasa ada yang aneh dengan dirinya? Mungkin ibu mulai sadar bahwa sesuatu tidak beres. Isha bahkan belum tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan betapa kosongnya dirinya.
Dia menatap jendela, melihat cahaya matahari yang mulai menyentuh permukaan rumah tetangga. Ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya, tapi dia tidak tahu apa itu. Bisa jadi ini hanya perasaan sesaat yang akan hilang begitu saja. Tapi entah kenapa, hari ini semuanya terasa lebih berat.
Saat dia memutuskan untuk duduk di kursi di ruang tamu, dia merasa seperti berada di tempat yang salah. Ruang tamu itu terlalu besar untuknya, seolah memandanginya dengan kosong. Tidak ada suara, tidak ada riuh tawa, hanya suara detakan jam dinding yang terasa begitu keras di telinganya. Isha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Matanya menatap ke arah lemari buku di sudut ruangan. Beberapa buku yang sudah lama tidak dibaca, menumpuk di sana, tertutup debu. Buku-buku itu tidak pernah benar-benar menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Beberapa kali dia berniat untuk membaca, tetapi begitu membuka halaman pertama, dia merasa kata-katanya tidak bisa menenangkan pikirannya. Semua terasa sia-sia.
Dia meraih salah satu buku itu, membuka halaman pertama yang sudah mulai kuno, lalu duduk dengan tangan yang terasa kaku. Seakan-akan ada dinding yang membatasi dirinya dan dunia luar. Tidak ada yang mengerti, tidak ada yang peduli.
Dia menutup buku itu, meletakkannya kembali di tempatnya, dan menatap langit-langit. Sejenak, Isha merasa seperti ingin berteriak, membebaskan dirinya dari perasaan ini. Tapi, apa gunanya berteriak kalau tidak ada yang mendengarkan?
Suara pintu depan terbuka, dan Isha tahu itu adalah suara ibu yang baru pulang. Ibu masuk dengan wajah lelah, membawa tas kerja yang selalu ada di pundaknya.
“Isha, kamu di mana?” suara ibu terdengar, memecah keheningan yang ada.
Isha tidak menjawab. Hanya duduk, menatap ibu yang perlahan mendekat. Ibu meletakkan tasnya di meja dan duduk di sebelah Isha, memperhatikannya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Ada apa, Isha? Kamu kelihatan capek sekali,” kata ibu, suaranya lembut tapi penuh tanya.
Isha memalingkan wajah, berusaha menghindar dari tatapan ibu. “Gak ada apa-apa, Bu. Cuma… biasa aja,” jawabnya pelan, berusaha menutupi perasaan yang sesungguhnya.
Ibu menghela napas, lalu meraih tangan Isha. “Ibu tahu ada yang gak beres. Kamu nggak perlu sok kuat, Isha. Kalau kamu butuh bicara, Ibu selalu ada.”
Isha hanya terdiam, merasakan tangan ibu yang hangat di tangannya, tetapi hatinya tetap merasa kosong. Mungkin ibu memang peduli, tetapi adakah yang bisa mengerti perasaan ini? Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
Di luar, cahaya matahari semakin redup, dan langit mulai gelap. Tetapi di dalam, tidak ada yang berubah. Hanya ada kesunyian yang terasa begitu nyata, seperti menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Isha merasa seolah terjebak dalam sebuah ruang yang terlalu besar, sementara dirinya terlalu kecil untuk menghadapinya.
Sekeping Waktu yang Terlupakan
Isha duduk di balkon rumah, menatap ke arah langit yang kini semakin kelam. Angin malam berhembus lembut, menyapu rambutnya yang tergerai. Suasana di luar begitu tenang, hanya ada suara jangkrik yang saling bersahutan. Dia tidak tahu apa yang dia cari di sini, di balkon yang tak pernah dia perhatikan sebelumnya. Mungkin hanya untuk mencari sedikit kedamaian, atau mungkin, hanya untuk mengisi kekosongan yang tidak tahu lagi harus diisi dengan apa.
Tangan Isha memegang secangkir teh hangat yang sudah lama tidak disentuh. Rasanya tawar, tak ada rasa manis yang biasa dia cari, tak ada kekuatan yang bisa memberikan kehangatan. Semua terasa sama. Tanpa tujuan, tanpa harapan, hanya ada himpitan yang semakin menggelayuti setiap bagian dari dirinya.
Ibu masuk ke dalam rumah setelah beberapa saat, meninggalkan Isha sendiri di luar. Tapi, meskipun begitu, suara ibu yang sibuk berlari ke sana kemari tidak membuat Isha merasa lebih hidup. Rumah itu tetap sunyi, meskipun penuh aktivitas.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini dari Kamil.
Kamil: “Isha, kamu di mana? Lagi gak ada kerjaan?”
Pesan yang sederhana, tapi entah mengapa terasa seperti potongan hidup yang hilang. Isha menatap pesan itu sejenak, mencoba memikirkan jawabannya. Adiknya, Kamil, selalu begitu. Dia tak mengerti bagaimana rasanya terjebak dalam kesendirian yang tidak bisa dijelaskan. Dia tidak tahu apa yang Isha rasakan ketika seluruh dunia terasa kosong.
Isha: “Lagi di balkon, Kam. Cuma… mikir aja.”
Dia menekan kirim, lalu kembali menatap ke luar, seolah berharap ada sesuatu yang akan membawanya pergi dari semua ini. Sesuatu yang bisa memberi arti baru. Tapi tidak ada. Semua yang dia lihat hanyalah gelap, dan bintang-bintang yang jauh sekali dari jangkauannya. Seperti dia, yang terjebak di dunia ini, jauh dari semua yang seharusnya membuatnya merasa hidup.
Tiba-tiba, ibu muncul lagi, duduk di kursi sebelahnya dengan wajah yang kini tampak lebih lelah dari sebelumnya.
“Isha, Ibu nggak bisa terus-terusan begini, melihat kamu diam aja. Ibu tahu ada yang salah. Sini cerita sama Ibu, sayang” Ibu berkata pelan, dengan nada yang mencoba menenangkan. Tapi Isha tidak bisa menanggapi.
“Kenapa kamu nggak coba cerita? Ini bukan cuma tentang kamu lagi, kita keluarga, kita harus bisa saling bantu,” lanjut ibu, suara ibu kali ini terdengar lebih lembut, seolah mencoba meredakan kecemasan yang tertanam dalam hatinya.
Isha menghela napas. Kata-kata itu terdengar begitu berat, begitu benar, tapi hatinya tetap merasa kosong. “Aku gak tahu harus mulai dari mana, Bu. Semua yang aku rasain kayak… nggak penting. Gak ada yang bisa ngerti.” Suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam.
Ibu mengerutkan dahi. “Isha, kamu nggak sendirian. Kamu punya Ibu. Kami semua di sini untuk kamu.” Ibu meraih tangan Isha, menggenggamnya erat.
Isha tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya terdiam, merasakan kehangatan tangan ibu yang memeluknya seolah tak ingin melepaskannya. Tapi di dalam hatinya, dia tetap merasa kosong. Ada bagian dalam dirinya yang merasa hampa, seolah-olah dia kehilangan sesuatu yang tidak bisa ditemukan lagi.
Kamil: “Isha, aku pengen banget ngobrol sama kamu. Gak perlu ada beban, aku ngerti kok, kalau kamu lagi butuh waktu sendiri.”
Pesan dari Kamil masuk lagi. Isha menatapnya, tidak tahu harus bagaimana. Terkadang, kata-kata itu terasa begitu jauh. Dia hanya ingin ada seseorang yang benar-benar mengerti, yang bisa membuatnya merasa seperti bagian dari dunia ini lagi. Namun, setiap kali dia berusaha untuk lebih dekat, dia hanya merasa semakin jauh.
Isha berdiri, menatap bintang-bintang yang mulai tampak di langit malam. Dia ingin berteriak, ingin membebaskan dirinya dari rasa sesak ini. Tetapi tak ada suara yang keluar. Dia hanya terdiam, merasakan setiap detik berlalu dengan lambat, seperti waktu yang ingin terus menunggu tanpa tujuan.
“Apa yang kamu cari, Isha?” tanya ibu dengan lembut, membuat Isha kembali menoleh padanya.
Isha menggigit bibir bawahnya, bingung menjawab. “Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma… ngerasa kosong. Seperti nggak ada yang berarti.” Suaranya hampir berbisik, seperti takut kalau-kalau kata-kata itu bisa menghancurkan semuanya.
Ibu menarik napas panjang. “Kamu harus percaya, semua ada waktunya. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam rasa kosong itu. Kamu akan temukan jalan keluar, percayalah.”
Isha ingin meyakini kata-kata itu, tapi hati kecilnya meragukan. Jalan keluar seperti apa yang bisa ditemukan jika semuanya terasa tertutup rapat?
Dia menoleh ke arah ibu, merasakan ada secercah harapan yang menyelinap masuk. Mungkin, kata-kata ibu ada benarnya. Mungkin saja, ada sesuatu yang akan datang, meskipun dia tidak tahu kapan itu akan terjadi.
Isha kembali duduk di kursi balkon, membiarkan angin malam mengelus wajahnya. Sekali lagi, dia menatap langit yang penuh bintang. Mungkin, dia harus belajar untuk menunggu, meski hatinya merasa berat. Mungkin, ada cahaya di ujung gelap itu.
Tapi untuk saat ini, semua yang dia bisa lakukan hanyalah menunggu.
Kepingan Kenangan yang Tersisa
Isha terbangun lebih pagi dari biasanya, terkejut mendapati dirinya masih terbaring di kursi balkon. Semalam dia tertidur tanpa sengaja, matanya lelah, tetapi ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ada sedikit ketenangan dalam dirinya, meski sejujurnya dia tidak tahu apakah itu akan bertahan.
Pagi itu, langit biru menyambutnya, namun bayang-bayang malam masih terasa di sekitar rumah. Isha berjalan ke dalam, membuka jendela besar yang menghadap ke taman belakang, dan melihat rumput yang masih basah oleh embun pagi. Suasana di rumah terasa lebih sepi dari biasanya, ibu sudah pergi ke pasar, dan Kamil belum ada kabar. Semua seakan terhenti, berlarut dalam keheningan yang mendalam.
Tangan Isha meraih ponselnya, membuka layar, dan melihat beberapa pesan yang belum dibaca. Ada pesan dari Kamil lagi.
Kamil: “Aku ada kejutan buat kamu. Udah siap belum buat keluar?”
Isha terdiam sejenak, menatap pesan itu. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merespons. Perasaan enggan untuk bergerak, untuk berinteraksi, masih mengendap dalam dirinya. Ada ketakutan kecil yang muncul dalam dirinya—ketakutan akan perubahan, ketakutan akan hal-hal yang belum dia pahami.
Namun, setelah beberapa detik menatap layar ponselnya, Isha memutuskan untuk menjawab.
Isha: “Apa sih, Kam? Ada apa?”
Tak lama kemudian, pesan balasan masuk.
Kamil: “Aku cuma pengen ngajak kamu keluar, makan siang. Gak ada yang aneh kok, cuma kita berdua.”
Isha menghela napas, mengusap wajahnya pelan. Sungguh, dia tak tahu harus merasa apa. Kamil memang sering mengajaknya keluar, tapi seringkali suasana tak pernah benar-benar membantunya merasa lebih baik. Tapi kali ini, mungkin saja ini akan berbeda. Mungkin ada sesuatu yang bisa mengubah perasaannya, meskipun Isha ragu akan itu.
Akhirnya, Isha memutuskan untuk pergi. Ia mengambil jaket, mengenakannya dengan malas, lalu keluar menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Kamil sudah menunggu di dalam mobil dengan ekspresi santai, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa cemasnya dia terhadap kondisi Isha.
“Kamu nggak usah cemas gitu, Kam,” kata Isha, mencoba meredakan ketegangan yang dia rasakan di dalam mobil. “Aku baik-baik aja.”
Kamil memandangnya sejenak, ragu, lalu akhirnya tersenyum, meskipun senyuman itu terasa dipaksakan. “Kamu nggak terlihat baik-baik aja, Isha. Tapi nggak masalah. Yang penting kamu mau keluar.”
Isha hanya mengangguk. Dalam perjalanannya, dia melihat kehidupan kota yang ramai, lalu lintas yang padat, dan gedung-gedung yang tak pernah berhenti berdiri, meskipun dia merasa semuanya itu terlalu jauh untuk dijangkau. Semua terasa seperti bayangan kabur, seolah-olah dunia di luar sana tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari pusat kota. Kamil memesan dua gelas jus jeruk, dan mereka duduk di sebuah meja di dekat jendela. Isha menatap jalanan yang sibuk di luar, merasa sedikit cemas, tetapi mencoba menenangkan dirinya.
“Jadi, ada yang baru? Ceritain dong,” kata Kamil, mencoba membuka percakapan dengan cara yang ringan.
Isha tersenyum tipis. “Gak ada yang baru, Kam. Semuanya sama aja. Hidup aku cuma gitu-gitu aja.”
Kamil mengerutkan kening, menatapnya dengan cemas. “Aku gak bisa lihat lo terus-terusan kayak gini. Kamu harus… kamu harus mulai berjuang, Isha. Ini gak bisa terus begini.”
Isha terdiam sejenak, mengaduk-aduk jus jeruknya dengan sendok, merasa sedikit bingung dengan kata-kata Kamil. “Berjuang? Untuk apa?”
“Berjuang buat diri kamu sendiri, buat hidup kamu. Kamu punya banyak hal yang bisa kamu capai, Isha. Kamu punya potensi yang besar, tapi kamu malah ngerasa kosong. Kamu harus keluar dari situ.” Kamil menatapnya dengan serius, wajahnya penuh harapan.
Isha menggigit bibir bawahnya. Kata-kata itu terdengar begitu berat, terlalu berat untuk ditanggung saat ini. Tapi entah kenapa, ada perasaan yang berbeda kali ini. Perasaan seperti ada seseorang yang benar-benar peduli, yang ingin melihatnya lebih dari sekadar bayangan yang hilang dalam waktu.
“Susah, Kam,” kata Isha pelan. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Kamil menghela napas, lalu meraih tangan Isha. “Mulai dari sekarang, mulai dengan satu langkah kecil. Aku akan bantu kamu, kok. Kamu nggak perlu takut.”
Isha menatap tangan Kamil yang menggenggamnya dengan erat. Ada kenyamanan di sana, meskipun perasaan kosong itu masih ada di dalam dirinya. Tetapi kali ini, dia tidak merasa sendirian.
Dia mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. “Makasih, Kam,” ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Namun, di dalam hatinya, Isha tahu. Langkah kecil itu harus dimulai, dan meskipun dia masih ragu, mungkin—hanya mungkin—ini adalah awal dari sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Mencari Cahaya dalam Diri
Hari-hari setelah itu terasa berbeda. Ada semacam perubahan yang perlahan mengisi ruang-ruang kosong dalam diri Isha, meskipun kadang-kadang dia masih merasa seperti melawan arus. Kamil tetap berada di sisinya, menjadi sosok yang tidak pernah lelah mengingatkannya bahwa dia tidak sendiri. Setiap kali Isha merasa terpuruk, Kamil selalu ada untuk memberinya sedikit kekuatan. Seperti sebuah benih yang akhirnya mulai tumbuh, meskipun lambat, Isha merasa ada sesuatu yang mulai berkembang di dalam dirinya.
Pagi itu, Isha bangun dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin karena udara pagi yang terasa lebih segar, atau mungkin karena sesuatu dalam dirinya yang mulai menemukan arah. Dia tidak tahu pasti, tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia ingin mencoba.
Dengan niat itu, Isha memutuskan untuk keluar rumah lebih awal, tanpa menunggu Kamil. Dia ingin menikmati hari itu sendiri, tanpa beban. Dia berjalan kaki ke taman dekat rumah, menikmati ketenangan yang hanya bisa ditemukan di pagi hari, saat dunia masih tertidur dan hanya suara angin yang terdengar.
Di taman, Isha duduk di bangku yang terletak di bawah pohon besar, mengamati daun-daun yang berguguran dengan lembut. Ada sesuatu yang menenangkan dalam kesederhanaan itu. Dalam ketenangan pagi yang tak terucapkan, dia merasa seolah-olah dunia memberi kesempatan kedua.
Isha menatap langit, merenung, dan tiba-tiba merasa seolah ada jawabannya di sana. Selama ini, dia terlalu fokus pada perasaan kosong itu, pada ketidakpastian yang selalu ada di dalam dirinya. Tapi hari ini, dia memutuskan untuk melihat ke luar dirinya, mencari hal-hal kecil yang bisa membuatnya merasa hidup.
Beberapa minggu terakhir ini, Isha mulai mencatat apa yang dia rasakan setiap hari, seperti semacam jurnal pribadi. Menulis, meskipun terkadang dia merasa tak ada yang istimewa, membuatnya sedikit lebih sadar akan dirinya sendiri. Dia mulai merasakan bahwa hidupnya tidak perlu sempurna, tidak perlu dipenuhi dengan segala hal besar yang ia impikan sebelumnya. Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal kecil yang sering terabaikan.
Hari itu, Isha memutuskan untuk mengunjungi kafe yang dulu sering ia datangi bersama ibunya. Kafe kecil itu sudah lama tutup, tetapi ada kenangan yang melekat erat di dalamnya. Sambil berjalan menuju kafe yang sepi itu, Isha merasa bahwa dia sedang kembali ke rumah—bukan rumah fisik, melainkan rumah dalam dirinya. Tempat yang mungkin dia lupakan selama ini.
Di sana, di tengah kenangan yang hening, Isha merasakan adanya kedamaian yang luar biasa. Kafe itu telah lama tidak beroperasi, namun baginya, tempat itu menjadi simbol dari perjalanan yang sedang ia jalani. Dia tidak lagi merasa seperti seorang yang kehilangan arah. Isha menyadari bahwa dia sudah mulai menemukan bagian dari dirinya yang telah lama hilang.
Beberapa saat kemudian, Kamil muncul di depan kafe. Wajahnya terlihat cerah, meski tak banyak kata yang keluar. Dia duduk di samping Isha, menatap ke depan tanpa mengucapkan apapun. Namun, Isha bisa merasakan bahwa dia tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan perasaan yang terjalin di antara mereka.
“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Kamil akhirnya, suaranya lebih lembut daripada biasanya.
Isha tersenyum kecil, matahari yang jatuh di wajahnya membuatnya merasa hangat. “Aku lebih baik sekarang, Kam,” jawabnya pelan. “Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa… lebih damai.”
Kamil memandangnya dengan penuh perhatian. “Aku senang denger itu.”
Dan saat itu, Isha tahu bahwa meskipun perjalanan ini masih panjang, dia tidak lagi takut. Ada cahaya, meskipun samar, yang kini bisa ia lihat—sebuah cahaya yang berasal dari dirinya sendiri, dari kekuatan yang perlahan ia temukan di dalam hati. Mungkin dia tidak sepenuhnya sembuh, tapi setidaknya dia bisa merasakan bahwa dia sudah mulai menjalani hidupnya dengan cara yang baru.
Mereka berdua duduk diam, saling berbagi ketenangan yang sulit dijelaskan. Tidak perlu banyak kata, tidak perlu pencapaian besar. Kadang, perjalanan sejati adalah tentang menemukan kedamaian dalam diri, menerima ketidaksempurnaan, dan belajar untuk mencintai diri sendiri, tanpa ada yang memaksakan apa pun.
Dan di sana, di antara senja yang mulai datang, Isha merasa siap untuk melangkah lebih jauh, sedikit demi sedikit. Tidak ada yang tahu ke mana arah itu akan membawanya, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa jalan itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti.
Hanya perlu waktu. Dan dia mulai yakin bahwa itu akan cukup.
Jadi, mungkin perjalanan Isha nggak sepenuhnya mulus, tapi siapa sih yang hidupnya selalu lurus-lurus aja? Kadang, kita cuma perlu waktu untuk ngerasain hal-hal kecil yang bikin hati lebih tenang, dan nggak masalah kalau itu butuh proses.
Karena, pada akhirnya, hidup itu tentang menemukan kedamaian di tempat yang nggak kita duga sebelumnya. Mungkin, setelah baca cerita ini, kamu juga bisa ngerasain itu—bahwa terkadang, jawabannya ada di dalam diri kita sendiri, cuma perlu sedikit waktu buat menemukannya.