Daftar Isi
Kadang, kita nggak sadar kalau perang terbesar nggak selalu ada di medan tempur. Terkadang, yang paling berat itu adalah perang dalam hati. Tapi, siapa sangka kalau persaudaraan bisa jadi kunci buat mengakhiri semua itu?
Kalau kamu pikir perdamaian itu cuma buat orang baik, mungkin kamu harus baca cerita ini. Karena, di dunia ini, bahkan yang paling keras pun bisa belajar untuk melepaskan dan saling menerima.
Cerpen Perdamaian
Percikan Kebencian di Tengah Lembah
Langit sore di lembah Miraga memerah, seolah ikut marah melihat dua klan bersiap untuk perang. Di sisi selatan lembah, kamp klan Kladeon berdiri kokoh, dengan tenda-tenda besar yang berjajar rapi. Aksar berdiri di tengah lapangan pelatihan, menggenggam tombak kayu dengan ujung logam yang baru saja diasah. Tangan kanannya memutar tombak itu perlahan, menguji keseimbangan senjata yang akan ia gunakan keesokan harinya.
Suara langkah kaki mendekat, dan Aksar tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Mavira, kakaknya, dikenal dengan cara berjalannya yang cepat dan tegas. “Kenapa kamu di sini sendirian?” tanyanya, tanpa basa-basi.
“Aku cuma… berpikir,” jawab Aksar, tetap fokus pada tombaknya.
“Berpikir apa? Tentang mereka?” Mavira mengayunkan pedangnya ke udara beberapa kali, memeriksa ketajamannya. “Kamu tahu, kan, besok itu hari penting. Kalau kamu nggak fokus, kita bisa kalah.”
Aksar menghela napas. “Aku tahu. Tapi aku nggak bisa berhenti mikir. Semua ini… buat apa, Kak?”
Mavira berhenti, menatap adiknya dengan tatapan tajam. “Buat apa? Kamu serius nanya itu sekarang? Mereka, Aksar. Klan Tharanis. Mereka yang bikin hidup kita seperti ini. Mereka rebut tanah kita, air kita. Kamu lupa?”
Aksar menunduk, tidak menjawab. Baginya, jawaban Mavira terasa kosong. Ya, dia tahu sejarahnya. Cerita tentang perang bertahun-tahun, tentang dendam yang diwariskan. Tapi semakin dewasa, semakin sulit baginya untuk menerima bahwa semua itu masih jadi alasan untuk saling membunuh.
Di sisi utara lembah, kamp klan Tharanis sibuk dengan persiapan mereka sendiri. Di tengah keramaian, Elvyn berdiri memimpin pertemuan kecil dengan para pengintai. Peta besar tergelar di atas meja kayu, dikelilingi oleh lentera yang berkelap-kelip.
“Kita harus tahu posisi pasukan mereka sebelum matahari terbit,” katanya, menusukkan belati ke salah satu titik di peta. “Aku nggak mau kita masuk ke perangkap lagi kayak dulu.”
Salah satu pengintai mengangguk. “Kami akan berangkat sebelum gelap, Elvyn. Tapi apa kita benar-benar harus menyerang duluan? Mereka juga kuat.”
Elvyn mengerutkan dahi. “Kita nggak punya pilihan. Kalau kita tunggu, mereka yang akan datang ke sini dan ngancurin semuanya.”
Kian, adiknya yang baru saja bergabung, menyela. “Tapi bukankah itu lebih baik, Kak? Kita bisa bikin jebakan di sini, di tempat kita sendiri.”
Elvyn memandang Kian dengan sabar, tapi tegas. “Dengar, aku ngerti kamu masih baru di sini. Tapi perang ini bukan soal strategi doang. Ini soal menunjukkan bahwa kita nggak takut. Kalau mereka lihat kita ragu, kita kalah.”
Kian diam, menggigit bibirnya. Elvyn kembali fokus ke peta, mencoba menekan perasaan ragu yang samar-samar mulai tumbuh di dadanya.
Sementara itu, matahari hampir tenggelam di balik bukit ketika Aksar memutuskan meninggalkan kampnya sejenak. Ia berjalan ke arah hutan yang memisahkan kedua kamp, mencoba mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk persiapan perang. Langkahnya terhenti saat ia mendengar suara ranting patah, disusul bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan.
“Siapa di sana?” serunya, mengangkat tombaknya.
Dari balik semak, seorang gadis muncul dengan belati di tangan. Mata birunya menatap tajam, penuh kewaspadaan. Rambut hitamnya terurai, kontras dengan seragam kulit yang ia kenakan. Aksar mengenali lambang di dadanya—klasik Tharanis.
“Kamu siapa?” tanya gadis itu, nadanya penuh perintah.
“Aku yang harusnya nanya,” balas Aksar. “Apa kamu di sini buat mata-mata?”
Gadis itu mendengus, menurunkan belatinya sedikit. “Kalau iya, kenapa? Kamu mau bunuh aku di sini?”
Aksar tidak menjawab. Ia tahu ini situasi berbahaya, tapi entah kenapa ia tidak langsung menyerang. Ada sesuatu di mata gadis itu yang membuatnya ragu.
“Kamu nggak akan ngelaporin aku,” kata gadis itu lagi, kali ini suaranya lebih tenang. “Aku nggak di sini buat nyerang. Cuma… nyari udara segar.”
Aksar mengangkat alis. “Kamu pikir aku bakal percaya?”
“Percaya atau nggak, terserah kamu,” jawabnya santai. “Nama aku Elvyn. Dan kamu?”
“Aksar.” Ia menurunkan tombaknya sedikit, tapi tetap berjaga-jaga. “Kalau kamu bohong, aku nggak bakal ragu buat… ya, kamu tahu.”
Elvyn tertawa kecil. “Santai aja. Kalau aku mau nyerang, aku udah ngelakuin itu tadi.”
Keduanya berdiri dalam diam, dikelilingi suara malam hutan. Tidak ada yang tahu bahwa pertemuan kecil ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di balik perbedaan mereka, ada percikan yang mulai menyala, mengalahkan kebencian yang diwariskan oleh sejarah panjang klan mereka.
Tabrakan Takdir di Hutan Larangan
Malam itu, langit di atas hutan gelap pekat, hanya diterangi bintang-bintang yang seperti menonton dari kejauhan. Aksar dan Elvyn masih berdiri dalam keheningan yang canggung. Tombak di tangan Aksar sudah diturunkan sepenuhnya, meskipun jari-jarinya masih menggenggamnya dengan erat. Sementara itu, Elvyn memasukkan belatinya ke sarung kulit di pinggangnya, tapi sikap waspada tetap terlihat jelas dari caranya berdiri.
“Jadi, kenapa kamu benar-benar di sini?” Aksar akhirnya membuka suara. Suaranya datar, tapi di baliknya ada rasa ingin tahu yang tak bisa ia kendalikan.
Elvyn menyeringai kecil. “Udara segar, aku bilang tadi. Kamu nggak denger ya?”
“Udara segar? Di tengah hutan yang penuh bahaya? Kamu pikir aku bodoh?” Aksar menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresi gadis itu. Tapi Elvyn hanya mengangkat bahu seolah tak peduli.
“Kalau aku bilang aku cuma butuh waktu sendiri, kamu bakal percaya?” tantangnya balik.
Aksar mendengus. “Tergantung. Kamu jujur nggak?”
Elvyn terdiam, pandangannya menerawang melewati bahu Aksar. Untuk sesaat, ia terlihat lebih tenang, hampir melankolis. “Aku nggak bohong. Di kamp… terlalu banyak suara. Terlalu banyak tekanan.”
Aksar mengangguk kecil, mengerti meskipun ia tak ingin mengakuinya. Ia sendiri merasakan hal yang sama, meskipun alasannya datang ke hutan mungkin berbeda.
“Bagaimana dengan kamu?” Elvyn melanjutkan, sekarang dengan nada lebih lembut. “Apa yang bikin kamu keluar dari kamp kamu?”
Aksar mengangkat bahu. “Mungkin alasan yang sama. Aku nggak suka terlalu banyak orang.”
Elvyn tersenyum tipis, tapi ia tak berkata apa-apa lagi. Keheningan kembali turun di antara mereka, hanya dipecahkan oleh suara angin yang menggoyang pepohonan. Namun, di tengah keheningan itu, suara lain muncul—gemerisik daun yang terlalu keras untuk sekadar angin.
“Kamu dengar itu?” bisik Elvyn, tubuhnya langsung kaku.
Aksar mengangguk, sudah mengangkat tombaknya lagi. Ia memutar tubuhnya, matanya mencari sumber suara. Tapi sebelum ia bisa menemukan apapun, sekelompok sosok muncul dari balik semak. Mata Aksar membelalak saat mengenali lambang di dada mereka. Mereka adalah prajurit Tharanis.
“Kamu?!” salah satu dari mereka berseru, menunjuk ke arah Elvyn. “Apa yang kamu lakukan di sini? Dan kenapa ada dia?” Ia menunjuk Aksar dengan pedangnya.
“Aku…” Elvyn terlihat bingung, tapi ia segera menegakkan tubuhnya. “Aku cuma jalan-jalan. Dan dia nggak nyerang aku. Jadi, mundur.”
“Mundur? Dia musuh!” bentak prajurit itu. “Kamu tahu apa yang harus kita lakukan.”
Aksar mengangkat tombaknya, bersiap. Ia tahu ia tak mungkin menang melawan begitu banyak orang, tapi ia juga tidak berniat mati begitu saja. “Aku nggak nyari masalah,” katanya, meskipun ia tahu kata-katanya tak akan berarti apa-apa bagi mereka.
Elvyn melangkah maju, berdiri di antara Aksar dan para prajurit. “Dengar, aku bilang dia nggak nyerang aku. Kalau kalian menyerangnya sekarang, itu sama saja kalian menyerang aku juga.”
Prajurit itu tampak ragu, tapi kemarahannya jelas terlihat. “Elvyn, dia dari Kladeon. Kamu mau melindungi musuh? Apa kamu gila?”
“Aku nggak bilang aku melindunginya,” jawab Elvyn cepat. “Aku cuma bilang jangan bertindak bodoh di sini. Kita nggak tahu situasinya sepenuhnya.”
“Kita nggak butuh tahu apapun!” prajurit itu melangkah maju, pedangnya siap diangkat. Tapi sebelum ia bisa menyerang, Aksar bergerak. Dengan satu ayunan tombak, ia memukul pedang prajurit itu, membuatnya jatuh ke tanah.
“Jangan sentuh aku,” kata Aksar, nadanya rendah tapi penuh ancaman.
Suasana menjadi tegang. Para prajurit Tharanis tampak bingung, tidak yakin harus menyerang atau menunggu. Elvyn, di sisi lain, tampak frustrasi.
“Berhenti!” teriaknya, suaranya menggelegar di tengah hutan. Semua orang, termasuk Aksar, menoleh padanya.
“Kita nggak di sini buat saling bunuh di tengah hutan. Kalau kalian mau perang, lakukan itu besok di lembah. Tapi sekarang, aku bilang mundur.” Elvyn menatap para prajurit dengan tegas, dan meskipun mereka terlihat enggan, mereka akhirnya menuruti perintahnya.
Saat para prajurit mundur, Elvyn berbalik ke arah Aksar. “Kamu harus pergi,” katanya singkat.
Aksar menatapnya, mencoba membaca niat di balik kata-katanya. Tapi kali ini, Elvyn tampak benar-benar serius. Tanpa banyak bicara, Aksar memutar tubuhnya dan pergi, melangkah masuk lebih jauh ke hutan.
Ketika ia sudah cukup jauh, Aksar berhenti, bersandar di batang pohon, dan menghela napas panjang. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas—gadis itu, Elvyn, berbeda dari apa yang ia bayangkan tentang orang-orang Tharanis.
Dan untuk alasan yang tidak ia mengerti, ia ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Sekutu di Balik Senyap
Malam terus merayap, membawa serta hawa dingin yang menggigit. Di sisi utara hutan, Elvyn berjalan cepat kembali ke kamp. Langkahnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena pikirannya penuh. Apa yang baru saja ia lakukan? Melindungi musuh? Bagaimana jika para prajurit tadi melapor?
Ketika ia sampai di tepi kamp Tharanis, Elvyn berhenti sejenak. Ia menatap lentera-lentera yang menggantung di sepanjang jalan masuk. Suara tawa dan diskusi para prajurit terdengar samar, tapi rasanya seperti gangguan. Napasnya tertahan saat ia melihat Kian berdiri menunggu di dekat tenda pertemuan.
“Elvyn,” panggil Kian begitu melihatnya. Suaranya datar, tetapi ada nada khawatir yang sulit disembunyikan. “Apa yang terjadi di hutan tadi?”
Elvyn mengerutkan alis. “Kamu dengar dari siapa?”
“Beberapa prajurit. Mereka bilang kamu… melindungi orang Kladeon. Itu benar?”
Elvyn menggigit bibirnya, mencoba merangkai jawaban. “Aku nggak melindunginya. Aku cuma mencegah mereka bertindak bodoh. Kita nggak butuh masalah baru sekarang.”
Kian mendekat, menatap kakaknya tajam. “Kita ini sedang perang, Kak. Masalah kita justru mereka. Kalau kamu ragu, gimana orang-orang lain bakal percaya sama kamu?”
Elvyn menahan diri untuk tidak memarahi adiknya. Kian memang masih muda, dan cara pandangnya seringkali hitam-putih. “Kamu nggak ngerti, Kian,” katanya akhirnya. “Semua ini nggak sesederhana itu. Kita nggak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang dendam.”
“Tapi kita juga nggak bisa mempercayai mereka,” balas Kian. Ia menggelengkan kepala, kecewa, sebelum akhirnya pergi ke arah tenda prajurit.
Elvyn menghela napas panjang, merasakan beban di pundaknya semakin berat. Ia tahu, apa yang ia lakukan tadi adalah taruhan besar. Tapi ia juga tahu bahwa sesuatu tentang Aksar berbeda, seperti ada sesuatu yang harus ia ketahui lebih jauh.
Di sisi lain hutan, Aksar berjalan pulang dengan langkah lambat. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Elvyn bukan tipe orang yang ia bayangkan dari klan Tharanis. Berani, tegas, dan… entah bagaimana, tidak terlihat seperti seseorang yang benar-benar ingin perang.
Ketika ia akhirnya tiba di kamp Kladeon, Mavira sudah menunggunya di depan tenda utama. Matanya menyipit tajam, penuh kecurigaan.
“Kamu dari mana?” tanyanya, menyilangkan tangan di dada.
“Hutan,” jawab Aksar singkat, mencoba menghindari tatapan tajam kakaknya.
Mavira mendekat, matanya memeriksa wajah Aksar seperti mencari jejak kebohongan. “Hutan? Kamu tahu perintahnya. Nggak ada yang boleh keluar malam-malam. Apa yang kamu lakukan di sana?”
“Aku cuma butuh waktu sendiri,” jawab Aksar, mencoba terdengar santai. “Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.”
Mavira mendengus, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. “Besok perang, Aksar. Aku nggak mau ada hal-hal yang bikin kita lemah. Kalau kamu ada masalah, bilang sekarang.”
Aksar menatap kakaknya sejenak sebelum akhirnya menggeleng. “Aku baik-baik saja, Kak. Aku cuma… lelah.”
Mavira mengangguk kecil, meskipun masih terlihat ragu. “Istirahat. Besok kita nggak bisa salah langkah.” Ia kemudian berbalik, meninggalkan Aksar dengan pikirannya sendiri.
Malam semakin larut, tetapi di kedua kamp, kegelisahan merayap di hati mereka yang tahu bahwa perang sudah di depan mata. Di dalam tenda Elvyn, ia duduk di atas dipan kayu, menatap peta besar yang tergantung di dinding. Jari-jarinya perlahan menyusuri garis-garis batas yang memisahkan wilayah Kladeon dan Tharanis.
Suara langkah kaki di luar membuatnya menoleh. Pintu tenda terbuka, dan seorang pria tua masuk. Itu adalah Orven, salah satu penasihat tertua di klan Tharanis. Mata tuanya yang tajam langsung menatap Elvyn dengan penuh arti.
“Kamu kelihatan nggak tenang,” katanya, suaranya lembut namun dalam.
Elvyn menghela napas. “Aku cuma berpikir tentang besok. Apa ini benar-benar keputusan yang tepat?”
Orven mendekat, mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Kamu tahu, aku sudah melalui lebih banyak perang daripada yang kamu bayangkan. Dan satu hal yang selalu sama… perang hanya meninggalkan kehancuran, bahkan bagi yang menang.”
Elvyn menatap pria tua itu dengan kening berkerut. “Kalau begitu kenapa kita masih terus berperang, Orven?”
“Karena kita terlalu takut untuk mencari jalan lain,” jawabnya. “Tapi aku melihat sesuatu di mata kamu, Elvyn. Sesuatu yang tidak aku lihat di generasi sebelumnya. Kamu punya keraguan, dan itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.”
Elvyn terdiam, mencerna kata-kata itu. Ia merasa sedikit lega, meskipun ia tahu perjalanan ke depan masih panjang dan berliku.
Di kamp Kladeon, Aksar duduk di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat perkemahan. Gemericik airnya memberikan ketenangan di tengah gejolak pikiran. Ia tidak bisa mengabaikan pertemuannya dengan Elvyn. Di tengah semua kebencian yang diajarkan kepadanya, Elvyn memberikan secercah rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
“Malam dingin buat kamu di sini sendirian, ya?” Suara Mavira mengejutkan Aksar. Kakaknya berdiri tak jauh, memeluk tubuhnya sendiri melawan dingin.
Aksar mengangguk, tanpa menoleh. “Aku cuma butuh waktu untuk berpikir.”
Mavira mendekat, duduk di sebelahnya. Untuk beberapa saat, mereka hanya duduk diam, mendengarkan suara air. Akhirnya, Mavira berkata, “Apa kamu merasa perang ini salah, Aksar?”
Pertanyaan itu membuat Aksar terkejut. Ia menoleh ke kakaknya, mencoba membaca ekspresinya. Tapi wajah Mavira tetap tenang, meskipun matanya memancarkan kelelahan.
“Aku nggak tahu,” jawab Aksar pelan. “Tapi aku merasa… ada cara lain.”
Mavira mengangguk kecil, seolah memahami apa yang ia maksud. “Aku juga pernah berpikir begitu. Tapi dunia ini nggak sederhana. Kadang, kita nggak punya pilihan selain bertarung.”
Aksar terdiam, tetapi dalam hatinya ia tahu, ia tidak ingin mempercayai itu sepenuhnya.
Di kejauhan, suara burung hantu memecah keheningan malam. Aksar dan Mavira tetap duduk di sana, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka, tidak menyadari bahwa di sisi lain lembah, Elvyn juga duduk dalam keheningan yang sama, dengan keraguan yang serupa.
Malam itu, di tengah persiapan perang, takdir diam-diam sedang menyulam benang-benang yang akan menyatukan mereka.
Persaudaraan di Tengah Api
Matahari terbit perlahan di balik pegunungan, menandakan dimulainya hari yang penuh ketegangan. Elvyn berdiri di depan barisan prajuritnya, matanya menatap tajam ke horizon yang mulai diterangi cahaya pagi. Suara derap kaki prajurit yang bersiap di belakangnya menjadi irama yang mengingatkannya pada kenyataan: perang tidak akan berhenti hanya dengan harapan.
Kian berdiri di sampingnya, wajahnya lebih tegang dari biasanya. “Kita siap, Kak,” katanya, suara sedikit bergetar. “Semua pasukan sudah terorganisir.”
Elvyn mengangguk tanpa berkata apa-apa. Fokusnya terpaku pada medan perang yang tak jauh dari sana. Tentu saja, ini adalah keputusan yang sulit, tapi ia tahu bahwa tak ada jalan lain. “Berhati-hatilah,” kata Elvyn akhirnya, menatap adiknya dengan serius. “Jangan terlalu terbawa emosi.”
Kian mengangkat dagunya, berusaha menunjukkan keberanian. “Aku tahu, Kak.”
Namun, meskipun kata-kata itu keluar, dalam hati Elvyn merasa resah. Tidak hanya karena persiapan yang sangat mendesak, tetapi juga karena keyakinannya mulai goyah. Dalam sekian lama menjalani peperangan ini, ia merasa ada yang berbeda. Sebuah pertanyaan yang mulai mengusik pikirannya: Apa benar ini satu-satunya jalan?
Di sisi lain lembah, Aksar duduk di balik bebatuan besar, menyaksikan pasukan Kladeon bersiap-siap. Mavira berdiri di dekatnya, menyandarkan senjatanya pada tanah.
“Jangan khawatir, Aksar,” kata Mavira, menyadari kegelisahan adiknya. “Ini perang kita. Kita tidak akan kalah.”
Aksar menggelengkan kepala. “Ini bukan tentang menang atau kalah, Kak. Ini tentang apa yang akan kita tinggalkan setelah semua berakhir.”
Mavira menatap adiknya dengan tatapan tajam, lalu menghela napas panjang. “Aku tahu perasaanmu. Aku juga merasa… ada sesuatu yang aneh tentang semua ini. Tapi kita tidak punya pilihan, Aksar.”
Keduanya terdiam sejenak. Hanya suara angin dan desiran ranting yang terdengar. Aksar merasa dilema ini semakin menghimpit dadanya. Haruskah mereka terus berperang hanya karena ini sudah menjadi jalan yang mereka pilih? Ataukah ada cara lain untuk menghentikan kebencian yang telah mendarah daging?
Seiring berjalannya waktu, hari itu akhirnya datang. Semua persiapan telah selesai, dan pasukan dari kedua belah pihak mulai bergerak menuju medan perang yang sudah ditentukan. Kian memimpin barisan depan pasukan Tharanis, sementara di sisi Kladeon, Mavira memimpin pasukannya.
Namun, saat mereka saling mendekat, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Tiba-tiba, seorang prajurit dari barisan Kladeon berlari maju dan menghentikan langkah pasukannya. “Tunggu!” teriaknya. “Ada yang harus kita bicarakan.”
Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Elvyn dan Aksar yang berada di garis terdepan. Di antara keduanya, jarak yang biasanya mengarah pada pertarungan sekarang terhenti. Aksar menatap Elvyn, dan dalam pandangannya, ada kesamaan yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar perang.
“Ada apa?” tanya Mavira dengan penuh curiga, matanya langsung mengarah pada prajurit yang baru datang.
“Pihak Tharanis… mereka ingin berbicara,” jawab prajurit itu, napasnya terengah-engah. “Prajurit Elvyn—dia meminta pertemuan.”
Aksar merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat. Apa ini? Sebuah tawaran damai?
Prajurit itu melangkah mundur sedikit, memberi jalan bagi Elvyn yang kini maju ke depan. Di bawah matahari yang mulai terik, wajah Elvyn tampak lebih tenang dari sebelumnya. Ia berjalan menuju barisan Kladeon, dan Aksar tak bisa menahan langkahnya yang mengikuti. Hati Aksar berdebar, seperti ada sesuatu yang berat di pundaknya, tetapi takdir tampaknya telah mengarahkannya untuk berdiri di sini, di titik temu antara perang dan perdamaian.
Saat Elvyn berdiri di hadapan Aksar, mereka berdua hanya saling menatap. Keheningan itu terasa panjang, sampai akhirnya Elvyn berbicara dengan suara rendah, namun penuh makna.
“Aksar, ini sudah terlalu lama berlangsung,” katanya, suara tegas namun ada kelelahan di baliknya. “Kita tidak bisa terus hidup seperti ini. Apakah kamu tidak merasakannya juga? Kita tidak perlu saling menghancurkan.”
Aksar terdiam sejenak, matanya tak lepas dari mata Elvyn yang memancarkan rasa keputusasaan. Di dalam hatinya, Aksar tahu bahwa perang bukanlah pilihan yang benar. Tapi apakah mungkin untuk berhenti?
“Kami tidak bisa berhenti begitu saja,” jawab Aksar, meskipun suara hatinya berkata sebaliknya. “Kami sudah berjuang terlalu lama, Elvyn.”
“Aku tahu. Tapi tidak ada yang akan bertahan jika kita terus seperti ini,” jawab Elvyn, lebih lembut kali ini. “Kita bisa mencari jalan lain. Untuk masa depan kita.”
Mavira dan Kian berdiri tidak jauh, saling memandang dengan kebingungannya masing-masing. Mereka bertanya-tanya apakah benar apa yang mereka dengar.
Aksar akhirnya menarik napas dalam-dalam, merasakan beban di hatinya. Tanpa kata, ia mengulurkan tangannya, mengundang Elvyn untuk berdamai, meski tahu bahwa jalan menuju perdamaian ini tidak akan mudah.
“Jika kita bisa mencari jalan bersama,” kata Aksar, “maka aku siap untuk mencoba.”
Elvyn mengangguk, dan tangan mereka bertemu. Dalam genggaman itu, ada sebuah janji yang tidak diucapkan—janji untuk mengakhiri kebencian, untuk mencari jalan yang lebih baik.
Hari itu, di tengah medan yang penuh amarah, dua dunia yang terpisah lama itu akhirnya mulai membuka pintu menuju perdamaian. Elvyn dan Aksar tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi setidaknya, mereka telah mengambil langkah pertama menuju masa depan yang lebih damai.
Dengan langkah yang lebih pasti, mereka berpaling ke pasukan masing-masing. Meskipun perang belum berakhir, mereka tahu bahwa hari ini, persaudaraan telah lahir kembali, bahkan di tengah api yang menghanguskan segalanya.
Dan siapa yang tahu? Mungkin, di dunia ini, kita semua hanya butuh satu kesempatan untuk berdamai, untuk melihat bahwa kita bukan musuh, melainkan saudara.
Persaudaraan itu bukan soal darah yang sama, tapi hati yang memilih untuk saling memahami. Karena, pada akhirnya, hanya cinta dan perdamaian yang bisa mengubah dunia ini—selangkah demi selangkah, sampai semua kebencian itu hilang.