Cerpen Perbandingan Orang Tua: Menemukan Jati Diri di Antara Ekspektasi dan Kekecewaan

Posted on

Kadang hidup kayak nggak pernah cukup, ya? Gimana nggak, setiap langkah yang kita ambil selalu dibanding-bandingin sama orang lain, apalagi sama keluarga sendiri. Punya orang tua yang selalu punya ekspektasi tinggi, tapi nggak pernah bilang cukup, pasti bikin kita merasa terjebak banget.

Tapi, siapa sangka kalau di tengah semua perbandingan itu, ternyata ada jalan buat nemuin diri kita sendiri? Yuk, baca cerita ini dan rasain gimana rasanya ngejalanin hidup yang nggak selalu sesuai ekspektasi orang tua, tapi tetep punya arti buat diri sendiri.

 

Perbandingan Orang Tua

Bayangan di Balik Karisa

Pagi itu, seperti biasa, aku duduk di meja makan, sendirian, dengan piring kosong yang menunggu di depanku. Makanan belum datang, karena ibu masih sibuk dengan segala urusan rumah dan ayah yang selalu terlambat. Karisa, kakakku, sudah duduk di kursinya dengan buku catatan yang tersebar di depan mata. Dia sibuk mencatat hal-hal tentang sekolahnya, atau mungkin tentang pelajaran yang baru saja dia pelajari. Aku tak terlalu tahu, yang jelas dia selalu tahu apa yang harus dilakukan, sementara aku, entah kenapa, tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

Ibu akhirnya datang membawa semangkuk bubur yang tampaknya terlalu banyak untuk aku makan seorang diri. Aku memaksakan senyum saat dia menyodorkan mangkuk itu ke arahku, meski dalam hatiku sudah mulai merasa kenyang hanya dengan melihat betapa ibu tampaknya lebih peduli pada Karisa.

“Coba deh, Sienna. Kamu lihat Karisa, dia udah bisa dapet nilai sempurna di ulangan matematika kemarin,” kata ibu sambil menatap Karisa dengan mata berbinar. “Kenapa kamu nggak bisa kayak dia, ya?”

Aku hanya mengangguk pelan, seolah-olah tak ada yang salah dengan perkataan ibu. Padahal, rasanya sakit sekali. Seolah aku sedang dipukul tanpa tampak luka fisik. Karisa hanya tersenyum manis, seolah tahu betul bahwa segala perhatian itu bukan untuknya saja, tetapi juga untuk semua orang yang ada di sekitarnya. Termasuk ibu yang selalu menunggu prestasinya.

“Ya, Sienna? Kalau kamu bisa lebih rajin belajar, mungkin kamu bisa dapat nilai setinggi itu juga,” ibu melanjutkan tanpa sedikitpun ragu. Aku merasa seperti terhimpit, terjebak dalam kata-kata itu yang terus mengudara, mengurungku tanpa bisa melarikan diri.

Aku mengaduk bubur di mangkukku, tak tahu apa yang harus kujawab. Aku sudah terlalu sering mendengar kalimat yang sama, berulang kali. Rasanya sudah tak ada lagi yang baru. Karisa, yang pintar, yang cantik, yang selalu jadi kebanggaan orang tua kami. Aku? Aku hanya Sienna yang selalu berada di bayangannya, tak pernah lebih dari sekadar latar belakang yang tampak samar.

“Kenapa sih, Sien? Kamu nggak ngomong apa-apa hari ini,” tanya Karisa, menatapku dengan matanya yang tak menunjukkan rasa curiga sedikitpun. Karisa memang selalu begitu. Dia tidak pernah tahu perasaan orang lain, atau mungkin dia tidak peduli. Dia selalu berada di puncak, di atas segalanya, sementara aku hanya… tak lebih dari angin yang lewat.

“Aku nggak apa-apa, kok,” jawabku dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Aku tidak ingin mengganggu suasana pagi yang seharusnya penuh kebahagiaan itu. Mungkin ini hanya masalah perasaan pribadi, tapi aku sudah lelah. Sangat lelah.

Ibu dan Karisa mulai terlibat percakapan lainnya, tentang rencana Karisa mengikuti lomba matematika di sekolah, sementara aku hanya duduk diam, memperhatikan mereka tanpa bisa berkata apa-apa. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seperti pisau yang mengiris-iris hatiku. Kenapa aku selalu dibandingkan dengan Karisa? Kenapa tidak ada yang melihat aku, Sienna, yang selalu berusaha agar dilihat?

Tak ada yang pernah benar-benar melihatku.

Setelah makan, aku memilih untuk pergi ke kamar. Karisa mengikutiku, seolah tahu aku sedang tidak ingin berbicara banyak. Dia duduk di pinggir tempat tidurku dengan wajah yang agak cemas, tetapi aku tahu itu bukan cemas karena perhatian, lebih karena rasa ingin tahu yang sesaat datang begitu saja.

“Eh, Sien, kamu kenapa sih? Kok kayaknya berbeda banget dari biasanya? Kalau ada masalah, ngomong aja,” katanya dengan nada yang terdengar seperti keprihatinan, tapi aku tahu, dalam hatinya, dia tidak terlalu peduli. Dia hanya ingin tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja, biar bisa kembali merasa lebih baik karena dia dianggap sebagai sosok yang selalu bisa membantu.

Aku menatap langit dari jendela kamarku. Rasanya, dunia ini begitu besar, namun seolah tidak ada tempat untukku. Semua ruang terisi oleh bayangan Karisa. Semua pujian, semua perhatian, selalu mengalir ke arahnya. Aku, hanya menjadi bagian dari cerita mereka yang terlupakan.

Karisa menunggu jawabanku, tetapi aku hanya terdiam. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan ini. Bagaimana menjelaskan bahwa aku selalu merasa diabaikan, selalu dibandingkan, dan selalu merasa tak cukup untuk mendapatkan cinta mereka. Aku merasa seperti sebuah bayangan yang terus menunggu matahari terbenam agar bisa menghilang dan tidak lagi mengganggu dunia mereka.

“Kamu nggak ngerti, kan?” tanyaku akhirnya, suaraku serak karena tertahan.

Karisa tampak terkejut, tetapi dia hanya diam. Aku tahu, dia tidak mengerti. Karisa tak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Dia tak pernah berada di posisi yang sama. Dia tak tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang tak pernah cukup. Tak pernah cukup dalam pandangan orang tua. Tak pernah cukup dalam dirinya sendiri.

“Gak apa-apa, Sien. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aja,” katanya, berdiri dan keluar dari kamar tanpa memberi kesempatan aku untuk menjelaskan lebih jauh.

Aku menatap pintu yang tertutup rapat. Rasanya hatiku kosong. Aku tak bisa lagi menangis. Aku hanya merasa terlalu lelah untuk melawan segala perasaan ini.

Aku hanya ingin menjadi seseorang yang cukup, setidaknya untuk mereka. Tapi mungkin, aku memang tak akan pernah cukup.

Lalu aku memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan semua ini. Tapi, seperti biasa, bayangan Karisa terus menghantuiku, tak bisa dihindari, tak bisa dihindarkan.

Sampai kapan pun.

 

Pagi yang Terlupakan

Hari-hari berlalu dengan cara yang hampir sama. Setiap pagi aku bangun lebih awal, bukan karena semangat, tapi karena aku terbiasa dengan keheningan sebelum semuanya dimulai. Karisa selalu bangun lebih dulu, membuat segalanya terlihat seperti pameran prestasi. Hari ini, aku mendengar suara pintu kamar kakakku terbuka lebih dulu, seperti biasanya. Begitu mendengar langkah kaki ringan di lantai, aku tahu dia sudah siap menghadapi dunia lagi, siap menyambut semua pujian dan perhatian yang akan mengalir kepadanya.

Aku menatap jam di dinding. Masih ada waktu sebelum ibu menyerbu kamar untuk menyuruh kami turun sarapan. Aku merapikan tempat tidur, seperti rutinitas yang selalu kujalani. Entah kenapa, rasanya hidupku penuh dengan rutinitas yang entah membawa aku kemana. Semua berjalan tanpa arah, tapi tetap teratur. Semua orang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Ayah dengan pekerjaan, ibu dengan segala kewajiban di rumah, dan Karisa dengan kesuksesan yang dia raih dengan mudah.

Begitu aku turun ke ruang makan, aku melihat ibu duduk di meja, mata penuh harap. “Sienna, hari ini ada acara sekolah, kan?” Ibu bertanya sambil menatapku, namun pandangannya lebih pada secangkir kopi di tangan daripada padaku. “Aku harap kamu bisa ikut berpartisipasi dalam acara itu, ya?”

Aku mengangguk, meskipun dalam hati aku tidak tahu apa acara itu dan kenapa harus ada keharusan untuk ikut. Aku sudah terbiasa dengan permintaan yang lebih banyak datang dari ibu, tetapi tak pernah terasa seperti permintaan yang tulus. Semua permintaannya seolah lebih berfokus pada memenuhi ekspektasi daripada melihat siapa aku sebenarnya. Aku hanya bagian dari rutinitas harian yang perlu dilakukan.

Karisa datang kemudian, dan semua perhatian langsung tertuju padanya. Ibu tersenyum bangga saat melihatnya, mencurahkan kata-kata yang selalu menghiasi pagi-pagi mereka. “Karisa, kamu sudah siap untuk acara di sekolah nanti?” Ibu bertanya dengan antusias, bahkan terlihat lebih bahagia melihat Karisa bangun pagi ini dibandingkan dengan wajahku yang sepertinya sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.

Karisa hanya tersenyum, wajahnya seolah tak pernah lelah. “Iya, Bu. Aku sudah siap kok,” jawabnya dengan nada lembut dan penuh percaya diri, seperti biasa. Ibu tersenyum, dan aku tahu, di dalam hatinya, dia merasa bahwa Karisa adalah satu-satunya yang patut dibanggakan. Sementara aku? Aku hanya duduk di sana, mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa perbandingan itu terus-menerus menggerogoti perasaanku.

Kami mulai makan, dan ibu mulai berbicara tentang acara sekolah yang hanya menjadi angin lewat bagiku. “Kalau kamu ikut acara itu, Sienna, pasti banyak orang yang terkesan sama kamu. Siapa tahu bisa jadi kesempatan bagus buat kamu.” Ada sedikit nada paksaan dalam suaranya, seolah-olah ia berharap bahwa aku bisa berubah menjadi seseorang yang bisa dibanggakan, yang selalu tepat waktu dan tidak mengecewakan.

Aku menunduk, mencoba menelan kata-kata yang seolah menyesakkan tenggorokanku. Semua yang aku lakukan selalu terasa salah di mata mereka. Bahkan saat aku merasa sudah berusaha, perbandingan itu masih ada, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi. Karisa bisa apa saja dengan mudah, sementara aku, apa yang aku lakukan tidak pernah dianggap cukup. Aku bahkan sudah lelah berusaha menjelaskan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membutuhkan pengakuan. Tapi kenyataannya, aku tetap menginginkannya. Aku ingin diterima, ingin dilihat.

“Sienna, kenapa kamu diam aja?” suara ibu mengagetkanku. Dia sudah selesai berbicara dengan Karisa dan kini fokus padaku. “Kamu belum jawab, kan? Apa rencanamu hari ini?”

Aku tersadar, masih menggenggam sendok dengan tangan yang mulai terasa kaku. “Aku… aku mungkin nggak ikut acara itu, Bu.” Jawabanku terdengar pelan, namun jelas. Aku tahu itu keputusan yang akan membuat ibu kecewa, tapi aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang Karisa. Mungkin, jika aku ikut acara itu, aku akan kembali merasakan betapa tidak bergunanya aku di mata mereka.

Ibu terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi ragu. “Sienna, kamu harusnya lebih berusaha, tahu. Karisa aja bisa melakukannya dengan baik. Kenapa kamu nggak coba?” suaranya terkesan kecewa. Semua kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatiku, tapi aku sudah terlalu lelah untuk melawan. Mereka hanya akan selalu membandingkan kami berdua, dan aku tahu itu takkan pernah berubah.

Karisa diam, mungkin merasa aneh dengan suasana yang tiba-tiba jadi canggung. Namun dia tidak mengatakan apa-apa, tetap diam dengan wajah tenang yang selalu menenangkan semua orang, kecuali aku. Aku ingin berteriak, ingin memberontak, tapi rasanya itu tidak ada gunanya. Tidak ada yang mendengarkan.

Hari itu berlalu begitu saja. Aku pergi ke sekolah, berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti arus yang ada. Tidak ada yang menarik perhatian, tidak ada yang memberi sedikitpun rasa penting pada diriku. Aku hanya seorang gadis yang sedang mencoba untuk bertahan di tengah bayang-bayang orang lain. Tapi aku tahu, hari ini tidak akan berbeda dari kemarin. Tidak akan ada perubahan.

Malamnya, setelah kembali ke rumah, aku duduk di meja belajarku yang selalu berantakan. Di luar jendela, langit malam begitu gelap, seolah mencerminkan perasaanku yang mulai kehilangan arah. Aku menatap cermin di meja belajarku, melihat pantulan wajahku yang tampak lelah, penuh pertanyaan, tapi tak ada jawaban.

Aku kembali berpikir, apakah aku bisa menemukan cara untuk berhenti dibandingkan dengan Karisa? Tetapi semakin aku mencoba berpikir, semakin berat rasanya untuk menjawab pertanyaan itu. Aku tahu jawabannya, tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu. Aku hanya ingin merasa cukup. Apakah itu terlalu banyak untuk diminta?

 

Di Ujung Toleransi

Hari-hari setelah percakapan itu semakin terasa berat. Aku tahu ibu merasa kecewa, meskipun ia tak mengatakannya langsung. Aku bisa merasakan ketegangan di udara setiap kali aku berada di dekatnya. Karisa, seperti biasa, tak pernah menunjukan beban apapun. Seolah dunia berjalan sesuai dengan ritmenya yang sempurna, sementara aku terjebak dalam irama yang tak pernah sesuai.

Minggu ini, ibu membuat pengumuman yang menurutku semakin memperburuk semuanya. “Karisa mendapat tawaran beasiswa penuh di luar negeri,” katanya suatu pagi, sambil menyodorkan secarik kertas kepada ayah yang sedang duduk di meja makan. Seperti biasa, mereka berbicara tentang hal itu seolah-olah itu adalah pencapaian terbesar dalam hidup mereka.

Ibu menatap Karisa dengan tatapan penuh kebanggaan. “Ini kesempatan yang sangat langka, Karisa. Kamu benar-benar berhasil.” Karisa hanya tersenyum, wajahnya menyiratkan rasa syukur yang tulus, tapi entah kenapa aku merasa itu tidak cukup. Seolah dia tak benar-benar peduli dengan betapa banyaknya perhatian yang dia terima. Itu hanya seperti rutinitas baginya. Aku yang duduk di sebelahnya, diam-diam menahan sakit hati.

Aku merasa dunia ini semakin sempit. Setiap keputusan yang aku buat terasa selalu salah di mata mereka. Bahkan ketika aku mencoba memilih jalanku sendiri, ibu selalu menemukan cara untuk menandingi segala usahaku dengan cerita sukses Karisa. Kenapa aku merasa seperti orang yang terbuang? Karisa adalah gambaran sempurna yang ibu dan ayah inginkan. Aku? Aku adalah gambaran kegagalan yang mereka coba sembunyikan.

Selesai makan, aku berjalan keluar, tak tahan lagi dengan suasana di dalam rumah. Aku duduk di beranda, menatap langit yang mulai berubah warna, merah keemasan seiring dengan matahari yang perlahan terbenam. Aku tidak tahu harus ke mana atau apa yang harus kulakukan. Rasa sakit itu seperti pisau yang terus-menerus mengiris tanpa ampun.

“Kenapa kamu di sini?” Suara Karisa menyadarkanku dari lamunanku. Aku menoleh, dan dia berdiri di pintu, matanya mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu nggak ikut ngobrol sama ibu dan ayah? Ada apa?”

Aku hanya menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba muncul begitu saja. “Nggak apa-apa,” jawabku, berusaha terdengar biasa meski hatiku terasa berat. “Cuma butuh waktu sendiri.”

Dia berdiri di sana, diam sejenak, seolah memikirkan sesuatu yang mendalam. “Kenapa sih, kamu selalu kayak gitu? Kalau kamu nggak suka sama apa yang mereka lakukan, kenapa nggak ngomong langsung?” Karisa melangkah mendekat dan duduk di sebelahku. Wajahnya tampak serius, berbeda dari biasanya yang selalu ringan dan penuh senyum. “Kamu tahu, aku nggak pernah minta semua ini.”

Aku menatapnya, terkejut. “Apa maksudmu?”

“Karir akademisku, beasiswa ini, semua perhatian itu… Aku nggak pernah minta mereka selalu membandingkan kamu sama aku.” Karisa menghela napas. “Aku cuma melakukan apa yang mereka inginkan. Tapi itu nggak berarti aku bahagia.”

Aku terdiam, kalimat itu seperti pukulan yang cukup keras untuk membuatku terjaga dari kebingunganku. “Tapi kamu selalu bisa… selalu berhasil…” jawabku pelan, seolah ingin menegaskan bahwa dia memang jauh lebih unggul dari aku. “Aku selalu merasa kayak nggak bisa ngikutin apa yang kamu lakukan.”

Karisa tersenyum kecil, namun senyumnya tak seperti senyum yang biasanya menenangkan. “Kamu nggak perlu ngikutin apa-apa yang aku lakukan, Sienna. Kamu cuma perlu jadi dirimu sendiri.” Suaranya lembut, namun ada kesedihan di sana. “Tapi kita semua terjebak dalam ekspektasi mereka, termasuk aku. Aku cuma nggak tahu cara keluar dari itu.”

Aku terdiam, terpesona mendengar pengakuan itu. Karisa, yang selama ini aku anggap sebagai contoh sempurna, ternyata juga merasakan beban yang sama. Mungkin, selama ini aku melihatnya hanya dari satu sisi. Aku hanya melihat semua yang dia miliki, tapi tidak melihat kekecewaan yang dia sembunyikan. Aku hanya melihat hasilnya, bukan perjuangannya. Dan sekarang, aku mulai memahami bahwa di balik setiap pencapaian, ada harga yang harus dibayar.

“Kamu nggak sendirian, Sienna,” Karisa melanjutkan, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Kita berdua nggak sendirian.”

Tapi meskipun aku merasa ada sedikit kelegaan setelah mendengar kalimat itu, aku tetap tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang telah lama mengendap di dalam diriku. Bahkan Karisa, yang seringkali membuatku merasa kalah, merasa sama terperangkapnya. Kami berdua terperangkap dalam bayang-bayang orang tua yang selalu membandingkan kami, yang selalu menuntut lebih.

Aku menatapnya, merasa sedikit lebih ringan, meski kesedihan itu belum juga hilang. “Aku masih nggak tahu apa yang harus kulakukan, Karisa. Aku cuma capek merasa nggak cukup.” Kata-kataku hampir tersembunyi dalam isakan, tapi aku berusaha menahannya.

“Percaya deh, kamu lebih dari cukup,” jawabnya, dengan mata yang kini terlihat lebih lembut, lebih tulus. “Mungkin nggak sekarang, tapi nanti kamu bakal tahu kok. Jangan biarin apa yang mereka katakan menentukan siapa kamu.”

Aku mengangguk, meskipun hatiku masih penuh dengan keraguan. Tapi setidaknya, kali ini ada seseorang yang memahami, seseorang yang bisa melihat diriku lebih dari sekadar bayang-bayang orang tua. Namun, rasa sakit itu tetap ada. Dan aku tahu, perjalanan ini masih jauh.

 

Di Ujung Jalan yang Terang

Hari-hari setelah percakapan dengan Karisa itu berlalu begitu saja, namun sesuatu dalam diriku mulai berubah. Entah itu karena kata-katanya yang mulai meresap pelan-pelan, atau mungkin karena aku mulai berani melihat diriku dengan cara yang berbeda. Aku sadar, meskipun perbandingan itu tidak akan pernah hilang sepenuhnya, aku tidak harus terbelenggu oleh itu selamanya.

Malam itu, aku duduk sendiri di kamarku, menatap langit malam yang begitu gelap, dipenuhi dengan bintang-bintang yang seolah berbicara kepadaku. Bintang-bintang itu seolah berkata, lihatlah kami, kami tidak peduli dengan siapa yang paling terang atau paling gemerlap. Kami hanya ada, dengan cara kami sendiri.

Aku tersenyum pelan, menyadari bahwa mungkin, aku juga bisa begitu. Mungkin aku tidak harus menjadi seperti Karisa untuk dihargai. Mungkin, aku hanya perlu menjadi diriku sendiri—dengan segala ketidaksempurnaan dan keraguan yang aku miliki.

Keesokan harinya, aku berusaha lebih terbuka kepada ibu. Aku duduk bersama di ruang tamu, mengamati wajahnya yang tampak lelah seperti biasa. Rasanya aneh, tapi aku tahu ini harus dilakukan.

“Ibu,” aku mulai dengan suara pelan, sedikit ragu. “Aku tahu kamu sering membandingkan aku dengan Karisa, dan itu… itu cukup menyakitkan.” Ibu menatapku dengan ekspresi terkejut, seolah tidak siap mendengar kalimat itu. “Tapi aku sadar, aku nggak bisa hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi kalian berdua. Aku ingin jadi diriku sendiri. Aku tahu itu mungkin mengecewakan, tapi aku cuma ingin kalian tahu, aku berusaha sekuat tenaga.”

Ibu terdiam, matanya seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutku. Suasana menjadi hening, penuh ketegangan, seperti ada beban yang tak bisa dilihat tapi terasa sangat nyata. “Aku nggak pernah bermaksud menyakitimu, Sienna,” akhirnya dia berkata pelan, suaranya lembut namun penuh kejujuran. “Aku hanya ingin kamu punya masa depan yang cerah, seperti Karisa.”

Aku mengangguk perlahan. “Aku tahu, Bu. Aku ngerti. Tapi aku butuh ruang untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Bukan hanya mengikuti jalur yang sudah ada.”

Ibu menatapku dengan mata yang mulai lembut. “Aku… aku minta maaf kalau selama ini aku terlalu keras padamu. Aku hanya takut kamu akan terlambat menemukan apa yang kamu mau.”

Aku bisa melihat rasa penyesalan dalam matanya, tapi ada hal lain yang juga aku lihat—ada harapan. Harapan bahwa aku bisa menemukan jalanku sendiri, meskipun itu berbeda dari yang mereka rencanakan.

Setelah percakapan itu, aku merasa sedikit lega. Bukan berarti semua masalah hilang, tapi setidaknya aku merasa seolah-olah aku bisa bernapas lagi. Aku bisa menjadi diri sendiri tanpa terus-menerus membandingkan diriku dengan Karisa.

Saat aku duduk di beranda malam itu, menikmati sejuknya angin yang berhembus, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Karisa muncul di depan pintu. Dia tersenyum, senyum yang berbeda dari biasanya, lebih hangat, lebih penuh pemahaman.

“Jadi, kamu sudah ngomong sama ibu?” tanya Karisa dengan suara lembut.

Aku mengangguk. “Ya, aku baru aja ngomong. Rasanya… rasanya lega.”

Karisa duduk di sampingku, menatap langit yang sama. “Aku tahu kamu kuat, Sienna. Kamu nggak harus jadi orang lain untuk bahagia.”

Aku menatapnya, dan dalam hatiku, aku tahu dia benar. Aku tidak perlu menjadi siapa-siapa selain diriku sendiri. Aku hanya perlu menerima kenyataan bahwa aku tak akan pernah bisa mengubah pandangan orang lain sepenuhnya. Yang bisa aku lakukan adalah mengubah cara pandangku terhadap diri sendiri.

Malam itu, aku merasa lebih tenang. Mungkin, hidupku tidak akan sempurna, dan mungkin aku tidak akan pernah menjadi seperti Karisa dalam segala hal. Tapi itu tidak masalah. Aku cukup dengan diriku sendiri. Dan itu sudah cukup.

Karisa tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Aku bangga padamu, Sienna.”

Aku tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Karena, meskipun jalan hidupku berbeda, aku masih bisa berdiri tegak, tanpa perlu merasa kurang dibandingkan orang lain.

 

Kadang, hidup memang kayak arena lomba yang nggak ada habisnya, apalagi kalau selalu dibanding-bandingin. Tapi akhirnya, yang bikin kita bertahan itu bukan jadi yang terbaik di mata orang lain, tapi belajar nerima diri sendiri apa adanya. Karena nyatanya, nggak perlu jadi orang lain buat merasa cukup. Yang penting, kita tahu siapa diri kita dan berani jalanin hidup dengan cara kita sendiri.

Leave a Reply