Daftar Isi
Kadang kita lupa, hidup itu nggak melulu soal pintar, soal nilai, atau soal seberapa banyak pujian yang kita dapet. Kadang, hidup itu soal perubahan, tentang belajar ngerti diri sendiri, dan belajar berhenti jadi orang yang sok hebat.
Nah, cerpen ini bercerita tentang Darius, seorang pelajar yang pinter banget, tapi juga sombongnya bukan main. Sampai akhirnya, dia nyadar kalau segala yang dia banggakan itu nggak sebanding sama kedamaian yang dia cari. Yuk, simak perjalanan dia buat ngelepasin ego dan nemuin makna hidup yang sesungguhnya.
Pelajar Pintar yang Sombong
Bayangan di Kelas
Darius melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah percaya diri. Di balik kacamata hitam yang ia kenakan, ada sorot mata yang tajam—seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Setiap kali ia masuk ke kelas, semua mata pasti tertuju padanya, meski itu tidak pernah mengganggu. Justru, dia menikmatinya. Kelas ini adalah tempat di mana dia menjadi raja. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasannya. Matematika, fisika, kimia—semuanya terasa mudah, seakan-akan dia dilahirkan untuk menguasai segala hal itu.
“Selamat pagi, Darius,” sapa Mrs. Sari, guru matematika yang selalu tampak terkesan dengan kepintarannya. Setiap kali ia menyelesaikan soal lebih cepat daripada yang lain, Mrs. Sari selalu memberinya pujian.
“Hari ini kita punya soal yang sedikit lebih menantang,” kata Mrs. Sari, mencoba memberi tantangan meski dia tahu siapa yang akan menyelesaikannya pertama kali. “Siapa yang bisa jawab, silakan maju.”
Darius hanya mengangkat alis, merasa seakan tidak perlu mendengarkan instruksi lebih lanjut. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Soal yang dianggap sulit itu pasti akan menjadi permainan baginya. Dengan santai, ia duduk di kursinya, meletakkan tas ransel di sebelahnya, dan menatap papan tulis.
Beberapa detik kemudian, sebuah soal muncul di papan tulis. Angka-angka rumit dan simbol-simbol yang nampaknya membuat kepala teman-teman sekelasnya berputar-putar. Darius tidak merasakan hal yang sama. Dengan kecepatan yang tenang, ia menulis angka-angka dan rumus-rumus di papan tulis tanpa berpikir dua kali. Semua yang ada di kepalanya seolah langsung mengalir ke tangan.
Tak lama setelahnya, dia selesai. Begitu selesai menulis, dia mundur sedikit, memperlihatkan hasil kerjanya. Semua mata kini tertuju padanya. Kelas itu sepi, hanya ada bisik-bisik yang semakin kencang.
“Eh, itu benar?” tanya seorang teman, Rivan, yang duduk di barisan belakang.
Darius hanya mendengus. “Tentu saja benar. Ini bahkan soal anak-anak,” jawabnya sambil melirik ke arah mereka dengan ekspresi bosan.
Teman-temannya mulai menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang terkesima, ada yang cemas karena tidak bisa mengerjakannya, dan ada pula yang sepertinya sudah terbiasa dengan sikap Darius yang selalu merasa lebih pintar dari yang lain.
“Jadi, siapa lagi yang mau coba?” kata Mrs. Sari, sambil melihat hasil kerja Darius yang sudah tercetak jelas di papan. Semua siswa yang duduk di bangku belakang hanya menunduk, enggan untuk ikut bersaing.
Darius menatap mereka semua. Mungkin mereka merasa malu. Mungkin juga mereka merasa tidak mampu. Tetapi, baginya, itu semua adalah hal yang wajar. Dia sudah terbiasa jadi yang paling cerdas, jadi apa yang bisa mereka lakukan?
“Ya sudah, kalau begitu. Untuk kalian yang merasa soal ini sulit, silakan cari bantuan di rumah,” Mrs. Sari akhirnya berkata, menyerah.
Darius duduk kembali di kursinya, melemparkan pandangan acuh tak acuh ke sekeliling. Dia merasa seperti orang yang sedang menonton pertunjukan yang sangat membosankan. Di luar sana, para siswa berbisik tentang kepintarannya. Ada yang mengaguminya, ada yang merasa tidak suka padanya, dan ada juga yang iri. Darius tahu itu semua. Ia tidak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah bagaimana tetap menjadi yang terbaik, meski itu berarti harus berdiri sendirian.
Pelajaran selesai, dan lonceng berbunyi. Semua siswa bergegas keluar dari kelas, menuju kantin atau hanya sekedar berkumpul di luar. Darius berjalan dengan santai, tidak terburu-buru. Teman-temannya yang biasanya berusaha mendekat padanya, hari ini tampak ragu-ragu. Mereka tahu betul siapa Darius—anak yang tidak mudah didekati.
“Bro, serius deh, lo tuh keren banget,” ucap Rivan, yang akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.
Darius hanya mengangguk pelan, tidak menanggapi lebih jauh. “Ya, aku tahu.”
Seperti biasa, Darius merasa bahwa Rivan dan teman-temannya ini hanya sekedar penghormatan kepada kecerdasannya. Mereka tidak benar-benar mengenalnya. Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat—sebuah sosok yang sempurna. Sementara dia, di dalam hati, merasa sangat lelah dengan semua itu.
Begitu sampai di rumah, suasana tidak jauh berbeda. Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya hanya sekilas menyapa, “Darius, selesai ujian tadi?” Suara itu terdengar lebih seperti pertanyaan formal daripada perhatian tulus seorang ayah.
“Iya, selesai,” jawab Darius singkat, melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Rumah ini seperti rumah tanpa nyawa. Ibunya sibuk dengan pertemuan sosialnya, kakak-kakaknya tidak pernah ada di rumah, kecuali untuk makan malam yang terasa lebih seperti rutinitas daripada kebersamaan.
Di kamar, Darius membuang tasnya sembarangan. Dia duduk di meja belajarnya, membuka buku dan mulai mengerjakan soal-soal yang bahkan lebih sulit dari yang dia kerjakan di sekolah. Tapi kali ini, tidak ada kebanggaan yang datang. Tidak ada sorakan dari teman-teman. Hanya ada dirinya dan dunia yang sunyi.
Di luar sana, ada dunia yang memujinya, namun di dalam rumah ini, Darius lebih merasa seperti bayangan. Tidak lebih dari sekedar hiburan semata untuk mereka yang tidak pernah benar-benar peduli.
Di Antara Pujian dan Kesendirian
Hari-hari Darius berjalan seperti biasa. Di sekolah, dia adalah pusat perhatian, selalu menjadi yang terbaik, yang paling pintar, yang paling menguasai materi. Semua mata tertuju padanya setiap kali ada ujian atau tugas besar. Namun, semakin lama, rasa bangga itu mulai terasa seperti beban. Setiap pujian yang datang dari teman-temannya terasa kosong, seperti tepuk tangan yang tidak pernah menyentuh hatinya.
Hari itu, seperti hari-hari lainnya, Darius duduk di kantin sekolah, sendirian. Meja yang dia pilih selalu berada di pojok, jauh dari keramaian. Ia lebih suka itu—mengamati orang lain tanpa terlibat. Sesekali, matanya berkeliling, mencari wajah-wajah yang familiar. Tetapi tidak ada yang menarik perhatian. Semua teman-temannya tampaknya lebih tertarik pada percakapan mereka sendiri, atau sibuk dengan grup yang sudah mereka pilih sejak lama.
“Darius, kamu gak mau gabung sama kita?” tanya Laila, salah satu temannya yang biasanya suka meminta pendapat Darius soal soal-soal sulit. Laila duduk di meja sebelah, dengan beberapa teman perempuan lainnya.
Darius hanya melirik mereka sekilas. “Enggak, terima kasih. Aku lebih suka makan sendiri.” Jawabannya datar, tidak ada rasa ingin bergabung.
Laila terlihat ragu, sejenak. “Gak masalah, sih… Tapi kalau ada apa-apa, kamu tahu, kan?” Laila masih mencoba menjalin percakapan, meski Darius selalu menolaknya dengan halus.
Darius mengangguk, tanpa menatap Laila lebih lama. Sebenarnya, dia tahu bahwa Laila dan teman-temannya hanya mendekatinya karena dia pintar. Mereka ingin tahu apa yang dia pikirkan, apa yang dia kerjakan, dan bagaimana cara dia mengerjakan semua itu. Tetapi di balik perhatian itu, dia merasa kosong. Mereka tidak benar-benar mengenalnya, tidak ada yang tahu bagaimana rasanya duduk di rumah yang sepi, dengan orang tua yang lebih peduli pada pekerjaan mereka daripada pada dirinya.
Saat makan siang berakhir, Darius kembali ke kelas, melewati koridor yang penuh dengan tawa dan obrolan yang terdengar sangat asing baginya. Di ruang kelas, teman-temannya sudah berkumpul, berbicara tentang acara-acara sosial yang mereka ikuti, tentang teman baru yang mereka temui, atau rencana akhir pekan yang penuh dengan kebahagiaan. Semua itu terasa jauh dari dirinya.
Hari itu, pelajaran bahasa Indonesia sedang berlangsung. Mrs. Fitri sedang memberikan tugas tentang menulis esai kreatif. Darius hanya duduk dengan tenang, tidak tertarik untuk memulai. Menulis bukanlah tantangan baginya, dan dia merasa seperti sedang membuang waktu. Ketika dia akhirnya mulai menulis, kata-katanya mengalir dengan lancar, seolah-olah dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Tapi saat menulis, ada perasaan kosong yang mulai mengisi ruang-ruang pikirannya. Dia menulis dengan cepat, tetapi kata-kata yang muncul terasa hampa. Sesekali, dia melihat ke arah jendela, di luar sana langit cerah, tetapi hatinya terasa gelap. Semua yang dia miliki—kecerdasan, pujian, sorakan—hanya sebuah ilusi. Tidak ada yang peduli pada apa yang dia rasakan di dalam.
Ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, Darius membereskan bukunya dengan lambat. Semua teman-temannya sudah bergerak menuju pintu keluar, berbicara dengan gembira tentang rencana setelah sekolah. Darius tetap duduk, masih memikirkan kalimat-kalimat yang baru saja dia tulis, tapi semuanya terasa tidak berarti.
“Darius, kamu gak ikut ke perpustakaan?” suara Laila terdengar lagi, kali ini lebih lembut.
Darius mengangkat wajahnya, sedikit tersentak. Laila berdiri di dekat meja, menunggu jawaban. Wajahnya tampak ramah, tetapi Darius bisa melihat ada sedikit keinginan dalam matanya. Keinginan untuk mendapatkan bantuan.
“Enggak, aku ada yang lain.” Jawabnya singkat. Dia melirik jam tangannya, merasa tidak ada yang mendesaknya untuk melanjutkan hari dengan cara yang lebih menyenangkan.
Laila hanya mengangguk, sedikit kecewa, sebelum kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Darius berjalan keluar dari kelas, menuju lorong sepi yang jarang dilalui siswa lain. Langkah kakinya bergema di koridor kosong. Setiap langkahnya seperti memantul, mengingatkan dia akan kesendiriannya yang semakin mendalam. Pujian dari teman-temannya tidak pernah memenuhi ruang kosong yang ada dalam dirinya.
Di rumah, situasi tidak jauh berbeda. Ayahnya hanya duduk di ruang tamu, memeriksa laporan-laporan bisnis, dan ibunya sibuk dengan telepon genggamnya, terlibat dalam percakapan yang tidak pernah berujung. Darius berjalan melewati mereka dengan langkah pelan, menuju kamar yang sudah menjadi tempat pelariannya.
Namun, begitu pintu kamar tertutup, dia kembali merasakan sepi yang sangat menekan. Buku-buku di raknya seakan menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupnya yang hanya diwarnai dengan kecerdasan dan kesendirian. Darius membuka buku matematika, tapi kali ini dia merasa tidak tertarik. Semua itu seperti rutinitas tanpa ujung.
Saat itulah ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rivan.
“Darius, ada acara besok di kafe. Mau ikut?”
Darius membaca pesan itu dan mendesah. Ia tahu apa maksud Rivan. Itu hanya sebuah acara sosial, tempat mereka berkumpul untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak ada artinya baginya. Tempat di mana orang-orang hanya peduli pada status dan bukan siapa mereka sebenarnya. Darius tidak tertarik. Dia hanya ingin ada sesuatu yang lebih bermakna, meskipun dia tak tahu apa itu.
“Aku pikir aku gak perlu datang, Riv. Terima kasih.”
Dia menatap layar ponselnya, mengirimkan balasan itu tanpa ada sedikit pun rasa menyesal. Darius tahu jawabannya sudah jelas—dia akan tetap sendirian. Itu adalah pilihan yang selalu dia buat.
Jejak yang Terhapus
Sejak hari itu, Darius merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Hari-hari yang dulu terasa biasa, kini dipenuhi dengan keresahan yang sulit dia jelaskan. Meskipun di luar ia tetap terlihat seperti Darius yang biasa, pintar dan acuh, ada kekosongan yang kian mengisi hari-harinya. Bahkan setiap kali mendapati senyuman teman-temannya, dia merasa seperti ada dinding yang tak bisa ditembus. Mereka menganggapnya hebat karena otaknya, bukan siapa dia sebenarnya.
Di sekolah, hampir tidak ada yang peduli dengan perasaan orang lain. Semua orang hanya sibuk dengan status mereka, dan Darius mulai merasa seperti bagian dari mesin yang tidak pernah berhenti berputar. Dia tidak tahu kapan semua ini dimulai, tetapi tiba-tiba saja, setiap langkah yang dia ambil seolah terasa lebih berat.
Hari itu, setelah jam pelajaran berakhir, Darius berjalan ke arah tempat parkir seperti biasa. Namun, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Seorang gadis berdiri di dekat mobilnya, menunggu. Itu adalah Laila. Dia bukan tipe orang yang biasa mengganggu Darius setelah kelas selesai, jadi kehadirannya kali ini cukup mengejutkan.
“Darius,” suara Laila memanggilnya, dengan nada yang berbeda dari biasanya.
Darius berhenti sejenak, memandang Laila dengan sedikit kebingungan. “Ada apa?” tanyanya, meski nada suaranya terkesan datar, tidak ada minat di dalamnya.
Laila terdiam beberapa detik, tampaknya berpikir keras sebelum akhirnya berkata, “Kamu gak kelihatan baik, Darius. Aku tahu kamu suka menghindar, tapi gak selamanya kamu bisa sendirian. Kadang, orang perlu teman.”
Darius menatapnya lama. Kata-kata Laila terasa menohok, meskipun dia tidak menginginkannya. Sejenak, dia ingin tersenyum sinis, mengatakan bahwa dia tidak butuh siapa pun, bahwa dia baik-baik saja sendirian. Tapi entah kenapa, kata-kata itu tidak keluar.
“Kenapa kamu peduli?” akhirnya dia bertanya, masih dengan nada yang sama, tetapi ada keraguan di dalam suaranya.
Laila tersenyum tipis. “Karena aku peduli, Darius. Kamu… kamu itu pintar, terlalu pintar untuk mengurung diri seperti ini. Kamu nggak cuma butuh buku dan pelajaran. Ada hal lain yang lebih penting, percaya sama aku.”
Darius merasa ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Laila. Ada kehangatan yang tidak biasa, sesuatu yang jarang dia temui. Mungkin karena dia terlalu terbiasa dengan orang-orang yang datang hanya untuk meminta bantuan soal pelajaran, atau karena teman-temannya yang selalu tertarik dengan kecerdasannya, bukan dirinya sebagai pribadi. Tapi Laila? Laila menawarkan sesuatu yang berbeda. Itu membuatnya merasa canggung, bahkan sedikit tidak nyaman.
“Tapi aku baik-baik saja,” jawab Darius, meskipun dalam hatinya ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. “Aku nggak butuh siapa-siapa.”
Laila tidak membalas langsung. Ia hanya diam, lalu beralih melihat langit yang mulai gelap, seakan mengajak Darius untuk melihat dunia di luar dirinya. “Tapi dunia gak selalu baik-baik saja, Darius. Dan kadang, kita gak bisa terus bersembunyi dalam kehebatan kita sendiri.”
Darius mengalihkan pandangannya ke jalanan yang kosong. Suasana sekitar terasa hampa. Hatinya yang selama ini selalu terkunci tiba-tiba merasa goyah. Sebuah perasaan yang dulu selalu dia coba hindari mulai muncul ke permukaan. Perasaan takut, rasa kesepian yang semakin mendalam. Tanpa sadar, dia memutar kunci mobilnya dan membuka pintu.
“Kenapa kamu selalu ada di sini?” tanya Darius pelan, hampir seperti gumaman, tidak yakin kenapa dia bertanya hal itu.
Laila menatapnya sebentar, lalu akhirnya menghela napas. “Karena aku tahu kamu tidak seperti yang orang pikirkan, Darius. Kamu hanya… butuh waktu.”
Darius terdiam sejenak, matanya kini tertuju pada jalanan yang jauh. Kata-kata Laila berputar-putar dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya, dia merasa seolah-olah ada yang mengerti dirinya. Bukannya merasa nyaman, dia justru merasa gelisah.
Laila tersenyum lagi, lebih lembut kali ini. “Aku tahu kamu gak suka dikasihani, Darius. Aku juga gak mau jadi orang yang mengganggu hidupmu. Tapi, aku cuma pengen bilang, kalau kamu butuh sesuatu selain buku, kamu bisa cari aku.”
Darius hanya mengangguk pelan. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Perasaan yang tak biasa ini seperti berkelahi dengan egonya yang selalu dominan. Akhirnya, dia menutup pintu mobilnya dengan pelan dan berbalik.
“Aku pergi dulu,” katanya singkat.
Laila tidak mengejarnya. Dia hanya berdiri di sana, memandang Darius pergi, seakan tahu, meskipun Darius berusaha keras untuk menghindar, ada sesuatu yang mulai bergerak dalam dirinya.
Sesampainya di rumah, Darius merasa lelah, lebih dari biasanya. Di dalam kamar yang sepi, dia melemparkan tas ke tempat tidur dan duduk di tepi ranjang. Pikirannya melayang, mengingat kembali apa yang terjadi tadi. Laila, dengan cara yang sederhana, memberikan secercah harapan bahwa ada kehidupan di luar kepintarannya. Tetapi Darius masih ragu. Mengizinkan orang lain masuk ke dalam kehidupannya, membuka hatinya, itu bukan hal yang mudah baginya.
Namun, satu hal yang pasti—sesuatu mulai berubah dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa dia hindari lagi.
Titik Balik
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Darius merasa semakin terombang-ambing. Hidupnya yang selama ini dipenuhi dengan angka-angka, rumus, dan pencapaian akademis, kini seolah kehilangan arah. Meskipun ia masih terlihat sama di luar, seperti Darius yang selalu hebat dan tak terjangkau, di dalam dirinya, ada perasaan yang mulai menggerogoti. Rasa ingin tahu, rasa yang telah lama terkubur dalam lautan keangkuhan.
Di sekolah, ia tidak pernah mencari perhatian, tetapi entah kenapa kali ini, ia mulai memperhatikan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang berbeda. Di kantin, saat melihat teman-temannya yang sibuk dengan obrolan ringan, Darius merasa asing. Mereka tidak pernah benar-benar memahami dirinya, dan dia tidak pernah benar-benar peduli untuk memahaminya. Tapi sekarang, semuanya tampak berbeda. Kehebatan yang selama ini ia banggakan, tiba-tiba terasa hampa.
Pulang dari sekolah, Darius memutuskan untuk berhenti di sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Tempat itu sering ia lewati, namun tidak pernah sekali pun ia berhenti. Hari ini, entah kenapa, ia ingin mencoba sesuatu yang baru. Duduk sendirian, menikmati secangkir kopi hitam tanpa gangguan.
Begitu ia duduk di meja, matanya langsung tertuju pada Laila, yang kebetulan juga berada di sana, duduk di sudut dengan secangkir teh hangat di tangannya. Matanya tampak fokus pada buku yang terbuka di depannya, tetapi saat ia merasakan kehadiran Darius, matanya bertemu dengan pandangan Darius.
Laila tersenyum tipis, seolah sudah tahu bahwa pertemuan ini akan terjadi. “Kamu datang juga akhirnya,” katanya santai, tidak terkejut sedikit pun.
Darius merasa sedikit canggung, tapi dia tidak menghindar. “Aku… cuma ingin mencoba tempat baru,” jawabnya, berusaha tidak terdengar seperti orang yang sedang mencari alasan.
Laila mengangguk. “Iya, aku juga suka tempat ini. Enak, kan?”
Darius duduk di kursi di depannya, memesan secangkir kopi tanpa berkata banyak. Dia merasa sedikit canggung, tetapi ada sesuatu yang menenangkan dalam kebersamaan yang aneh ini. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Darius merasa dirinya tidak harus berusaha menjadi orang lain.
Seiring waktu berlalu, Darius mulai merasakan perubahan. Pertemuan-pertemuan singkat dengan Laila mulai memberi efek yang tak terduga. Dia yang dulu terjebak dalam kesombongan dan pengakuan orang lain, kini mulai memahami bahwa hidup bukan hanya soal pencapaian dan status. Kadang, hal-hal kecil, seperti duduk bersama seseorang yang mengerti tanpa menghakimi, jauh lebih berarti.
“Kenapa kamu tidak pernah mencoba lebih dekat dengan teman-temanmu?” tanya Laila suatu hari, saat mereka duduk bersama di kafe yang sama.
Darius terdiam sejenak. “Aku… Aku tidak butuh teman-teman seperti itu,” jawabnya dengan ragu. “Mereka hanya tertarik dengan apa yang bisa aku beri, bukan siapa aku sebenarnya.”
Laila mengangguk perlahan, seakan memahami. “Tapi kamu gak bisa terus hidup seperti itu, Darius. Kamu gak akan pernah tahu seberapa berharga teman sejati itu sampai kamu coba.”
Darius menatapnya, merasa sedikit terbuka, sedikit lebih ringan. Laila benar, meskipun tidak langsung diucapkan, dia merasakannya. Keangkuhan yang selama ini ia pertahankan perlahan mulai retak. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu lebih dari sekadar otak yang pintar. Ada perasaan, ada hubungan manusiawi yang lebih dalam.
Hari demi hari, perasaan itu semakin kuat. Darius mulai lebih sering meluangkan waktu bersama Laila. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang hidup, tentang mimpi, tentang segala sesuatu yang tidak pernah ia bicarakan dengan siapa pun. Setiap percakapan terasa alami, dan Darius mulai merasakan sesuatu yang dulu ia takutkan—rasa keterikatan.
Pada suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Darius dan Laila berjalan di sepanjang trotoar kota yang ramai. Tak ada banyak kata-kata, hanya langkah kaki mereka yang terdengar pelan. Darius merasa aneh, tetapi tidak buruk. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman dalam ketidakpastian.
“Sebenarnya… aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya,” kata Darius akhirnya, melirik ke arah Laila dengan sedikit kebingungan. “Aku selalu merasa harus lebih dari yang aku tunjukkan, tapi kamu… kamu membuatku merasa cukup dengan siapa aku.”
Laila menoleh, senyumnya kali ini lebih cerah, penuh pengertian. “Karena kamu sudah cukup, Darius. Kamu cuma perlu melihatnya dari sudut yang berbeda.”
Darius terdiam, merenung sejenak. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti berjalan ke arah yang benar. Tidak ada lagi tekanan untuk menjadi sempurna, tidak ada lagi kebutuhan untuk membuktikan dirinya kepada dunia. Dia merasa diterima, tidak karena otaknya yang cemerlang, tetapi karena dirinya yang sebenarnya.
Dalam perjalanan itu, Darius sadar, bahwa titik balik yang dia cari selama ini bukan terletak pada pelajaran yang dia kuasai atau pujian yang dia terima. Titik balik itu ada pada penerimaan diri, dan mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang benar-benar melihatnya.
Dan untuk pertama kalinya, Darius merasa hidupnya penuh arti—tidak lagi dengan kebanggaan kosong yang selama ini dia pelihara, tetapi dengan kedamaian yang datang dari menerima siapa dirinya sebenarnya.
Jadi, mungkin kita semua pernah merasa di puncak, merasa lebih hebat dari yang lain, dan merasa dunia ini harus mengakui kita. Tapi, seperti Darius, kadang kita butuh waktu untuk nyadar kalau hidup nggak cuma soal itu. Kadang, yang kita butuhkan itu cuma penerimaan, bukan pengakuan.
Jadi, mungkin, perjalanan Darius ini bisa jadi pengingat buat kita semua—bahwa jadi diri sendiri, dengan segala kelemahan dan kekurangan, itu jauh lebih berharga daripada sekadar jadi orang yang selalu benar. Siapa tahu, perubahan terbesar dimulai dari satu langkah kecil yang kita ambil.