Cerpen Pelajar Pintar yang Dibuli, Tapi Berani Bangkit: Kisah Ezra yang Tak Terlihat

Posted on

Kita sering denger kan, kalau pelajar pintar itu pasti hidupnya enak, selalu di atas, nggak ada masalah? Tapi kenyataannya, nggak selalu begitu.

Cerita Ezra ini bakal bikin kamu mikir lagi tentang apa yang sebenarnya ada di balik seorang pelajar jenius yang terus-terusan dibuli. Tapi, bukan cuma soal bullying, ini lebih dari itu. Kalau kamu pernah merasa terjebak dalam rutinitas dan tekanan yang nggak kelihatan, cerpen ini pasti bikin kamu merasa relate banget.

 

Kisah Ezra yang Tak Terlihat

Anak yang Selalu Diam

Suasana pagi di SMA Gravista terasa seperti biasa—riuh, penuh suara tawa, obrolan, dan langkah-langkah tergesa di koridor panjang. Di antara semua kebisingan itu, Ezra Vivaldi berjalan tenang. Tasnya tertata rapi di punggung, buku-buku tebal dijepit erat di tangan, dan ekspresinya seperti biasa—datar.

Murid-murid lain sudah terbiasa dengan kehadiran Ezra. Dia bukan orang yang menghilang, tetapi juga bukan yang menonjol secara sosial. Semua orang tahu dia adalah peraih nilai tertinggi hampir di setiap mata pelajaran. Semua orang tahu dia tidak pernah keluar untuk nongkrong, tidak pernah ikut kegiatan klub, bahkan hampir tidak pernah terlihat berbicara kecuali saat menjawab pertanyaan guru.

Dan yang paling penting—semua orang tahu bahwa dia tidak akan pernah melawan jika dijadikan sasaran.

Saat Ezra berjalan melewati sekumpulan siswa di dekat tangga, salah satu dari mereka—Tio—menyenggol bahunya cukup keras hingga buku yang digenggamnya jatuh berceceran ke lantai.

“Eh, maaf, gak sengaja,” kata Tio dengan seringai lebar.

Ezra menunduk, mengambil bukunya satu per satu tanpa membalas.

“Nggak ada reaksi lagi, dong,” kata Adrian, temannya Tio, ikut tertawa. “Kayak ngomong sama tembok.”

Siswa lain yang melihat hanya menoleh sebentar, lalu kembali dengan urusan masing-masing. Ini bukan pertama kalinya Ezra mengalami hal seperti ini.

Tio berjongkok, mengambil salah satu buku Ezra dan membukanya asal. “Gila, ini apaan? Rumus-rumus semua. Lo gak bosen hidup ya, Ezra?”

Ezra mengulurkan tangan. “Balikin.”

Tio menatapnya, sedikit terkejut karena akhirnya Ezra bicara. Tapi setelahnya, dia tertawa. “Bentar, bentar, gue mau liat dulu. Wah, ini apaan? Integral trigonometri? Seriusan, lo ngerti ini?”

Ezra tidak menjawab, hanya tetap menatap Tio dengan ekspresi dingin.

“Bosan banget hidup lo,” Adrian menimpali. “Ngapain sih belajar doang? Lo kayak robot yang diprogram cuma buat ngejar nilai.”

Ezra menarik napas pendek, lalu mengulurkan tangannya lebih jauh. “Balikin,” ulangnya dengan nada yang sama.

Tio mengangkat bahu. “Yaudah, nih.” Tapi bukannya memberikan dengan benar, dia malah melempar buku itu ke lantai, tepat di depan kaki Ezra.

Ezra tidak bereaksi. Dia hanya menunduk lagi, mengambil buku itu tanpa sepatah kata pun.

“Seriusan, lo gak bakal ngelawan?” tanya Adrian, heran. “Lo tuh udah sering banget dibeginian, tapi lo gak pernah marah. Kenapa?”

Ezra berdiri, menepuk-nepuk sampul bukunya yang kotor, lalu menatap mereka sekilas. “Buat apa?” katanya akhirnya.

Tio mengernyit. “Buat apa apanya?”

“Buat marah,” jawab Ezra singkat.

Sejenak, tidak ada yang bicara. Jawaban itu, sesederhana dan setenang apa pun, entah kenapa terdengar lebih menusuk daripada bentakan.

Sebelum mereka bisa berkata apa-apa lagi, bel masuk berbunyi. Ezra berbalik tanpa terburu-buru, berjalan menuju kelas seperti tidak ada yang terjadi.

Di belakangnya, Tio dan Adrian masih berdiri di tempat, saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung. Mereka sudah sering menjahili Ezra, tapi hari ini terasa berbeda.

Bukan karena Ezra melawan—karena dia tidak melawan.

Tapi justru karena dia tidak pernah perlu melawan.

Di dalam kelas, Ezra duduk di kursinya di barisan depan, mengeluarkan buku-bukunya seperti biasa. Sekelilingnya penuh dengan suara siswa yang masih bercanda sebelum guru datang, tapi dia tidak peduli.

Hidupnya selalu seperti ini. Tidak ada kejutan, tidak ada perubahan.

Dan dia tidak pernah mengharapkan apa pun berbeda.

 

Hidup dalam Kotak

Di luar jendela kamarnya, hujan turun dengan derasnya, membasahi atap rumah yang selalu tampak sama. Ezra menatap keluar, memerhatikan butiran-butiran air yang jatuh dan pecah di kaca, mengalir perlahan menuju sudut yang lebih rendah. Suara gemericik hujan itu seperti pengingat akan rutinitas yang sama, yang seakan tidak pernah berakhir.

Setiap hari adalah salinan dari yang sebelumnya—dari langkah pertama yang diambil setelah membuka mata hingga langkah terakhir sebelum kembali tidur.

Pagi dimulai dengan bunyi alarm yang memaksa mata yang lelah untuk terjaga. Tidak ada waktu untuk malas. Jam tujuh pagi sudah dipenuhi dengan jadwal les matematika, diikuti dengan les bahasa Inggris, fisika, piano, hingga sampai malam, yang diakhiri dengan pelajaran bahasa Prancis dan sejarah dunia. Semua sudah diatur, semua sudah dipersiapkan. Tidak ada ruang untuk berhenti, untuk bertanya apa yang sebenarnya dia inginkan. Ezra hanya mengikuti.

Seperti robot yang diprogram, tugasnya hanya satu—menjadi sempurna.

Orang tuanya, terutama ayahnya, selalu mengingatkan dengan tegas. “Kamu harus jadi yang terbaik, Ezra. Di dunia ini, yang hanya dihargai adalah yang berprestasi.”

Ayahnya selalu berbicara dengan cara itu—tenang, penuh harapan, tetapi tak pernah membiarkan ruang untuk penolakan. Sejak kecil, Ezra diajarkan untuk tidak pernah menunjukkan kelemahan. Tidak ada kata ‘cukup’ dalam hidupnya.

Ibunya tidak jauh berbeda. Di meja makan, mereka selalu membahas rencana untuk ujian-ujian besar atau target-target akademik yang harus dicapai. Terkadang, Ezra merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Semua percakapan hanya berputar pada satu hal: pencapaian. Mereka tidak pernah bertanya tentang perasaannya, tentang apa yang dia inginkan atau apa yang membuatnya bahagia.

“Ezra, kamu sudah siapkan tugas biologi untuk besok?” tanya ibunya suatu malam, saat makan malam.

Ezra mengangguk. “Sudah.”

“Bagus. Jangan lupa juga latihan piano. Waktu kamu untuk bersenang-senang sudah lewat. Sekarang, kamu harus fokus.”

Dia mengangguk lagi, menundukkan kepala, merasa seperti patung dalam ruangan itu.

Setelah makan, Ezra kembali ke kamarnya. Dinding-dinding putih, rak-rak buku yang terisi penuh dengan referensi pelajaran, dan meja belajar yang bersih dan teratur. Di setiap sudut, dia tahu bahwa semua yang ada di sini adalah untuk tujuannya—untuk menjadi yang terbaik, untuk tidak mengecewakan.

Namun, dalam kesendirian malam itu, di tengah deru hujan yang memecah kesunyian, ada sesuatu yang mengganggu di dalam dirinya. Dia merasa kosong.

Kenapa hidupnya hanya untuk mengikuti alur yang ditentukan orang lain? Kenapa tidak ada tempat untuknya sendiri dalam hidup yang telah diatur begitu rapi ini?

Keinginan untuk melawan itu ada, meskipun kecil, tersembunyi di bawah lapisan kebiasaan. Tapi Ezra tahu—melawan berarti keluar dari zona aman yang sudah lama dia kenal. Berarti mengecewakan orang-orang yang sudah membentuknya. Berarti menanggung akibat yang lebih besar daripada dia bisa bayangkan.

Tetapi, apakah dia bisa terus seperti ini?

Di sekolah, dia kembali menjadi bagian dari rutinitas yang tak terhindarkan. Setiap langkah, setiap gerakan, sudah diprediksi. Di kelas, saat ujian datang, dia duduk dengan tenang, mengerjakan soal-soal itu dengan cepat, seolah sudah menjadi bagian dari dirinya yang tidak terpisahkan. Selesai. Begitu mudah.

Namun, di luar kelas, di tempat yang jauh dari buku dan pelajaran, ada dunia lain yang sepertinya ingin dipahami Ezra—dunia yang lebih rumit, lebih berantakan, dan jauh dari prediksi.

Liora, yang selama ini jarang muncul dalam pikirannya, tiba-tiba mengganggu dengan keberadaannya yang tidak biasa. Seperti hari itu di kantin, saat dia datang dengan roti dan sebuah senyuman kecil yang jujur. Sederhana, tapi berbeda. Tidak ada maksud tersembunyi.

“Lo gak bakal nyesel, kan?” pertanyaan Liora itu datang begitu saja, mengusik pikirannya.

Ezra mengingat kembali tatapan mata Liora, dan rasa itu—sesuatu yang mulai merayap di dalamnya. Sesuatu yang tidak pernah ada dalam rutinitas hariannya, sesuatu yang datang tanpa dia rencanakan. Sebuah perasaan yang, anehnya, membuatnya merasa sedikit lebih hidup.

Tapi dia juga tahu, perasaan itu berbahaya. Itulah yang bisa merusaknya. Perasaan itu bisa memecah rutinitas yang telah disusun dengan hati-hati. Itu bisa menjadi gangguan.

Di tengah malam yang sunyi, Ezra berdiri di depan jendela kamar, menatap hujan yang semakin lebat. Sesuatu di dalam dirinya bergejolak. Apakah dia akan terus mengikutinya? Apakah dia bisa berani memilih jalan yang berbeda, yang tidak terikat oleh harapan orang tuanya?

Dia merasa terjebak di dalam kotak, sebuah kotak yang dia ciptakan untuk dirinya sendiri—kotak yang nyaman, tapi juga mengekangnya. Dalam heningnya malam, Ezra bertanya pada dirinya sendiri: Apakah kotak itu layak untuk dipertahankan, atau apakah dia siap keluar dari sana dan merasakan dunia yang lebih luas?

Hujan terus turun, dan jawabannya belum ditemukan.

 

Ketika Diam Berbicara

Keheningan itu bukanlah ketenangan yang menenangkan. Sebaliknya, itu terasa seperti beban yang tak terlihat, semakin berat dan semakin sulit untuk diabaikan. Ezra mulai merasa aneh dengan dirinya sendiri. Suatu pagi, ketika bangun dari tidur, perasaan itu sudah menyelimutinya—sesuatu yang selalu ditahan dalam diri, yang tak pernah dia sadari sebelumnya.

Dia sudah lama tahu bahwa hidupnya tak akan pernah mudah. Tetapi, belakangan ini, ada ketegangan yang lebih dari sekadar rutinitas dan tekanan orang tuanya. Ada sesuatu yang mengusik di dalam dirinya—sebuah dorongan untuk lebih dari sekadar mengikuti. Sesuatu yang bahkan dia tak tahu bagaimana cara menamainya.

Di sekolah, dia kembali menjadi bagian dari alur yang tidak bisa dihindari. Pelajaran datang dan pergi, ulangan demi ulangan, tugas-tugas yang harus diselesaikan. Ezra tidak pernah absen dari apa pun. Bahkan saat ada kesempatan untuk berbicara atau bergabung dengan teman-teman sekelas yang lebih sosial, dia memilih untuk tetap diam. Semua itu tampak biasa—tapi di dalam dirinya, ada gesekan halus yang semakin keras.

Namun, kejadian kecil di hari itu mengubah segalanya.

Saat jam istirahat, Ezra berjalan melewati meja kantin yang selalu dipenuhi kelompok-kelompok siswa yang bersenda gurau. Mata mereka, yang biasanya tidak pernah memperhatikannya, kini seakan mengawasinya. Di antara mereka, Liora sedang duduk bersama dua temannya. Mereka tertawa, berbicara seperti biasa, tetapi mata Liora mengikuti Ezra dengan cara yang berbeda.

“Kamu nggak mau duduk?” Liora memanggil Ezra, suaranya ringan dan tidak memaksa.

Ezra sedikit terkejut, tetapi tak banyak memberi reaksi. Sudah lama dia tidak merasakan perhatian seperti ini. Perlahan, dia berjalan ke meja itu, masih dengan sikap dingin seperti biasa. “Nggak, makasih.”

Liora tersenyum, tidak kecewa. “Gitu ya? Kalau ada waktu, kita bisa ngobrol lebih lama.”

Ezra hanya mengangguk dan pergi. Tapi, tidak seperti biasanya, hari itu perasaannya berbeda. Ada rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.

Keesokan harinya, saat pelajaran matematika dimulai, Ezra merasa seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal yang berbeda. Saat guru menjelaskan soal yang lebih rumit, di saat seluruh kelas mulai kebingungan, dia menatap buku dan mulai menulis jawabannya.

Namun, kali ini, dia tidak langsung menyelesaikan semuanya. Dia berhenti sejenak, melihat sekeliling kelas. Mata-mata teman-teman sekelasnya tampak tersesat, mencoba mencari cara untuk menyelesaikan soal yang sulit. Lalu, tanpa berpikir panjang, Ezra berdiri dan mengangkat tangannya.

“Pak, boleh saya menjelaskan soal ini ke kelas?”

Kelas terdiam sejenak. Ini bukan hal yang biasa. Tidak ada yang pernah benar-benar mengundang Ezra untuk berbicara, apalagi untuk menjelaskan soal yang rumit di depan seluruh kelas. Biasanya, dia akan menyelesaikan soal sendiri, diam-diam. Tidak ada yang tahu seberapa cerdasnya dia, karena dia selalu memilih untuk tetap berada di bayang-bayang.

Guru memandangnya, sedikit terkejut. “Tentu, Ezra. Silakan.”

Ezra melangkah ke depan, menggenggam kapur, dan mulai menulis di papan tulis. Meskipun dia tahu betul bahwa sebagian besar dari mereka mungkin tidak akan mendengarkan atau bahkan memahami, dia merasa dorongan untuk melakukannya. Dia tidak tahu kenapa, tapi saat itu, dia merasa harus melakukannya.

Dia menjelaskan soal itu dengan cara yang sangat jelas—bukan hanya karena dia pintar, tetapi karena dia mulai merasa sesuatu yang berbeda: kebutuhan untuk berbicara, untuk mengungkapkan dirinya.

Liora yang duduk di belakang tidak bisa menahan senyumannya. Dia terkejut melihat Ezra yang biasanya hanya diam, kini dengan percaya diri menjelaskan sesuatu dengan tenang dan fokus.

Setelah Ezra selesai menjelaskan, dia kembali duduk di tempatnya. Suasana kelas hening sejenak, dan guru hanya mengangguk, puas dengan penjelasan Ezra yang begitu terstruktur.

Tetapi, yang lebih penting adalah reaksi teman-temannya. Mereka tampak lebih memperhatikannya dari sebelumnya, dan beberapa dari mereka mulai berbicara, meskipun dengan cara yang canggung.

“Gila, ternyata lo pinter banget, Ezra,” ujar Tio, yang biasanya menjadi salah satu orang yang menjahilinya. “Gue nggak nyangka lo bisa jelasin kayak gitu.”

Ezra hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi apapun yang menunjukkan kebanggaan. Dia hanya merasa seperti melakukan sesuatu yang benar. Sesuatu yang sebenarnya sudah lama dia ingin lakukan.

Tapi bukan itu yang lebih mengganggu pikirannya.

Sesuatu berubah dalam dirinya. Ada dorongan untuk lebih—lebih dari sekadar menjadi pelajar yang baik, lebih dari sekadar mengikuti aturan dan menuruti harapan. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tetapi Ezra tahu bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikannya.

Dan pada hari itu, saat pelajaran berakhir dan bel masuk berbunyi, Ezra menyadari satu hal yang jelas: Diamnya dia tidak lagi bisa menahan dirinya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitas telah terbentuk di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak akan lagi bisa dia sembunyikan.

Dia hanya tidak tahu seberapa besar itu akan mengubahnya.

 

Sebuah Roti, Sebuah Celah

Hari itu, cuaca cerah setelah hujan deras semalam. Matahari memancarkan sinar lembut, menyinari gedung-gedung sekolah yang sudah mulai terisi dengan siswa yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ezra berjalan menuju kantin, suasana sekeliling terasa berbeda. Kakinya bergerak dengan tujuan, meskipun dia masih merasa sedikit canggung, seperti baru saja keluar dari dunia lama yang penuh dengan kebisuan.

Dia tahu apa yang akan dia temui. Kantin selalu ramai, tetapi hari itu terasa agak hampa—mungkin karena dirinya yang berbeda, bukan kantin itu. Ketika dia melangkah, dia melihat Liora duduk sendirian di meja yang biasa dipenuhi teman-temannya. Dia sedang memegang sepotong roti dan menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Ezra ragu sejenak. Dulu, dia akan langsung memilih meja lain, berusaha menghindari interaksi yang tidak perlu. Tapi kali ini, langkahnya terhenti. Sesuatu menariknya untuk mendekat.

Liora menyadari kedatangannya dan tersenyum tanpa kata, seperti sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Ezra. “Lo mau duduk?” tanyanya dengan nada ringan.

Ezra mengangguk perlahan, melangkah mendekat dan duduk di hadapannya. Sebuah keheningan datang seiring dengan keberadaan mereka yang berada di ruang yang lebih terbuka ini, tetapi tidak terasa mengganggu. Ada rasa nyaman yang asing, yang sepertinya mulai mengisi ruang kosong dalam dirinya.

Liora menyerahkan roti yang tadi dipegangnya. “Coba deh, ini enak.”

Ezra menatap roti itu sebentar, sedikit terkejut. “Kamu serius?”

Liora tertawa pelan. “Iya, coba aja. Roti buatan rumah. Gak bakal nyesel.”

Ezra mengambil sepotong roti itu, dan meskipun masih ragu, dia menggigitnya. Tidak ada yang istimewa tentang roti itu—hanya roti biasa dengan selai cokelat. Namun, entah kenapa, rasanya lebih enak dari yang dia bayangkan. Mungkin karena itu datang dari seseorang yang tidak seperti orang lain yang biasa dia temui.

“Ternyata enak juga,” kata Ezra, jujur.

Liora tersenyum, menatapnya dengan tatapan yang tidak terburu-buru. “Tahu kan kenapa gue ngasih lo roti ini?”

Ezra mengangkat alis. “Kenapa?”

“Karena roti itu sederhana,” jawab Liora sambil menatap roti di tangannya. “Tapi punya cara untuk bikin lo merasa lebih baik. Gak perlu hal yang ribet buat jadi bahagia, kan?”

Ezra terdiam. Kata-kata Liora menyentuh bagian dirinya yang sudah lama terkubur. Sebuah kebahagiaan yang bukan datang dari nilai tinggi, bukan dari pujian, atau dari harapan-harapan yang dipaksakan.

“Lo orang yang nggak biasa, Liora,” Ezra berkata pelan, matanya masih tertuju pada roti yang setengah dimakannya.

Liora tertawa kecil. “Banyak orang yang bilang gitu. Tapi kalau menurut gue, yang nggak biasa itu cuma yang belum pernah dicoba.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ezra merasakan sesuatu yang lebih ringan, lebih jelas, lebih manusiawi dalam dirinya. Tidak ada tuntutan, tidak ada standar yang harus dicapai. Hanya ada dia dan Liora, dua orang yang sepertinya berada di dunia yang sama sekali berbeda, namun saling mengerti tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.

Ezra menatap ke luar jendela kantin. Ada langit biru yang luas dan penuh kemungkinan, tanpa batas, tanpa aturan. Sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang terasa begitu alami.

“Liora,” suara Ezra terdengar lebih berat dari sebelumnya. “Lo pernah merasa kayak… gak tahu apa yang harus lo lakuin?”

Liora mengangguk perlahan. “Sering banget. Kadang hidup itu bikin kita bingung, kan? Tapi justru itu yang bikin kita hidup.”

Ezra terdiam. Di dalam hatinya, ada sebuah pencerahan yang datang dengan sangat perlahan. Terkadang, yang dia butuhkan bukanlah jawaban yang pasti, tetapi kesempatan untuk merasakannya—untuk merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar mengikuti semua aturan yang ada.

Saat bel berbunyi, menandakan istirahat berakhir, Ezra berdiri. Namun kali ini, perasaannya berbeda. Tidak ada beban, tidak ada kesan terpaksa. Hanya ada keputusan yang datang dari dalam dirinya, keputusan untuk berhenti mengikuti alur yang sudah ditentukan oleh orang lain.

“Terima kasih, Liora,” katanya dengan tulus, untuk pertama kalinya merasa seperti dirinya sendiri.

Liora tersenyum dan mengangguk. “Jangan terlalu keras sama diri lo, Ezra. Terkadang, hidup itu butuh waktu untuk dimengerti. Cobalah untuk menikmati roti yang sederhana ini.”

Ezra berjalan kembali ke kelas dengan langkah yang lebih ringan. Setiap langkahnya kini terasa lebih jelas, lebih sadar. Dunia di luar sana, yang dulu terasa asing dan penuh ketakutan, kini mulai terlihat berbeda—lebih terbuka, lebih penuh warna.

Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Tapi, untuk pertama kalinya, dia merasa siap.

 

Jadi, gimana? Cerita Ezra yang awalnya kelihatan biasa banget, ternyata punya pesan dalam yang cukup dalam. Enggak semua pelajar pintar itu hidupnya gampang, dan enggak semua orang yang diem itu berarti nggak punya pendapat.

Kadang, kita cuma perlu waktu buat nemuin diri kita sendiri, dan siapa tau, cerita Ezra ini bisa jadi inspirasi buat kamu yang lagi cari jalan keluar dari tekanan hidup. Jangan lupa, hidup ini nggak selalu soal mengejar target, tapi soal menikmati prosesnya juga.

Leave a Reply