Daftar Isi
Pernah nggak sih, merasa dunia kayak lagi ngelawan kamu? Semua orang ngejek, ngebuli, bahkan ngerasa berhak untuk merendahkanmu cuma karena kamu beda? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ngerasain gimana rasanya jadi pelajar yang jenius, tapi malah jadi sasaran bully.
Gak cuma soal ketakutan, tapi juga tentang perasaan yang dilupakan, rasa trauma yang nggak kelihatan, dan perjalanan seorang cewek buat nemuin kekuatan dirinya. Kalau kamu pernah ngerasa dimanfaatin atau nggak dihargain, cerpen ini bakal bikin kamu ngerasa nggak sendirian.
Cerpen Pelajar Pintar yang Dibuli
Bayang-Bayang di Kelas Oksigen
Hari itu seperti biasa, aku duduk di pojok kelas, jauh dari keramaian. Aku lebih memilih duduk sendirian, tenggelam dalam buku-buku yang selalu menenangkan pikiranku. Setiap lembar yang kubaca seperti membuka dunia baru yang jauh lebih indah dan damai daripada kelas ini. Di sini, di antara teman-teman yang sepertinya selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, aku merasa seperti benda asing yang tak pernah bisa menyatu.
Kelas 12 IPA bukan tempat yang menyenangkan bagi aku. Banyak yang bilang, jika seseorang pintar, dia pasti akan dihormati dan dihargai. Tapi kenyataannya tidak selalu begitu. Aku bukanlah seseorang yang bisa menonjol dalam keramaian. Aku lebih memilih duduk di belakang, dengan kepala tertunduk, dan membaca. Setiap kali aku mengangkat kepala dan melihat wajah mereka, aku bisa merasakan pandangan-pandangan itu, pandangan yang selalu penuh dengan kebencian atau rasa jijik.
Tak ada yang tahu, bagaimana rasanya memiliki pikiran yang tajam namun tak tahu harus bagaimana menggunakannya di tengah dunia yang penuh dengan stereotip ini. Raka, ketua kelas, selalu saja menemukan cara untuk menjadikanku bahan lelucon. Hari itu, dia berdiri di depan kelas, dengan senyum menggoda yang selalu bisa membuat hampir semua orang terpingkal-pingkal.
“Ayo, teman-teman, kalian pasti tahu kan, si Athe si jenius di kelas ini?” suaranya menggema di seluruh ruangan. Raka berjalan mendekat ke mejaku, tangannya bergerak ke arah tumpukan buku yang sedang kubaca. “Kalian harus lihat nih, buku yang dibawa Athe selalu setebal kamus! Pasti mikirnya bakal jadi penemu terkenal gitu, ya, Athe?”
Aku menurunkan buku itu pelan-pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai memanas. Aku bisa merasakan tawa mereka. Bukan tawa yang hangat atau menyenangkan, melainkan tawa yang penuh dengan ejekan. Aku hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang semakin memerah. Seperti biasa, aku memilih diam.
“Eh, Athe, ngapain sih bawa buku tebel-tebel? Lagi belajar teori apa, nih?” Fira, salah satu pengikut Raka, ikut berbicara sambil menyeringai. “Pasti buat pamer ya, biar kelihatan lebih pintar dari kita semua. Tapi ngapain juga, sih? Kita semua juga ngerti kok, siapa yang lebih sukses nanti.”
Aku ingin menjawab, ingin membela diriku, tapi kata-kata itu selalu terjebak di tenggorokan. Rasanya aku semakin sulit bernapas, semakin sesak. Raka, Dira, Fira, mereka semua seperti menunggu untuk melihatku jatuh. Aku merasa seakan-akan mereka sedang menunggu satu kesalahan kecil yang akan membuat mereka semakin tertawa.
“Kamu tahu nggak, Athe, orang yang terlalu pintar biasanya nggak punya teman, kan?” Dira menambahkan, suaranya mengandung nada sinis yang jelas. “Coba lihat aja, nggak ada yang mau deketin kamu. Mereka takut nanti otak mereka kebakar.” Tawa mereka makin keras, seakan-akan aku adalah lelucon terbesar di sekolah ini.
Aku merasa perutku bergejolak. Sakit. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku ingin lari, ingin keluar dari kelas ini, namun itu berarti aku akan mengakui bahwa mereka menang. Aku tidak mau terlihat lemah, meskipun hatiku merasa remuk.
Buku yang kubawa, yang kuanggap sebagai penyelamat di tengah keramaian, kini terasa berat sekali. Berat bukan karena fisiknya, tapi karena semua mata yang menatap penuh hina. Aku merasa seperti aku sedang dikelilingi oleh segerombolan orang yang ingin melihatku tersungkur. Aku ingin berteriak, namun yang keluar hanya suara pelan yang hampir tak terdengar.
“Eh, Athe, jangan marah ya. Kami cuma bercanda kok,” kata Raka, dengan nada yang tidak meyakinkan. “Jangan baper ya. Lagian, siapa juga yang peduli sama anak super pintar kayak kamu?”
Aku tersenyum kecut, mencoba untuk tidak menangis di depan mereka. Aku tahu, mereka hanya akan tertawa lebih keras jika melihat aku rapuh. Jadi aku hanya diam, mengunci perasaan itu rapat-rapat. Tidak ada gunanya melawan. Tak ada yang peduli jika aku merasa sakit, jika aku merasa dihina. Mereka tak akan pernah memahami.
Saat bel berbunyi, aku bergegas keluar dari kelas, berjalan cepat menuju pintu tanpa melihat ke belakang. Aku tidak peduli apakah mereka melihatku, apakah mereka masih melanjutkan cemoohan mereka. Aku hanya ingin keluar dari sana, bersembunyi, dan melupakan apa yang baru saja terjadi.
Di luar kelas, udara terasa lebih lega. Namun, perasaan di hatiku tetap sama, cemas dan penuh ketakutan. Tak pernah mudah menjadi orang yang berbeda. Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan di sini. Setiap kali aku kembali ke kelas, aku tahu bahwa mereka akan terus mencarikanku. Mereka akan terus mengejek, dan aku tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa terus bertahan.
Aku melihat jam di tanganku. Masih ada satu pelajaran lagi sebelum akhir sekolah. Dengan langkah yang lebih berat, aku kembali ke kelas, memasuki ruangan yang sudah tak lagi terasa seperti rumah bagiku. Di dalam kelas itu, aku kembali menjadi aku—Athela, si anak pintar yang tak pernah bisa berbuat apa-apa selain diam.
Tertawaan yang Mengiris
Setelah kejadian di kelas pagi itu, hari-hari berikutnya semakin berat. Seperti rutinitas yang tak pernah berakhir, setiap kali aku masuk ke dalam kelas, aku langsung merasa ada yang mengunci tenggorokanku, membuat napasku sesak. Tidak ada yang berubah. Raka, Fira, dan Dira, mereka tetap menyasar aku, tanpa henti, tanpa ampun. Bahkan, seakan-akan mereka semakin menunggu kesempatan untuk membuatku jatuh lebih dalam.
Di luar, saat aku berjalan menuju kantin, aku bisa merasakan pandangan-pandangan itu lagi—mata yang memandang penuh rasa jijik, penuh dengan ejekan yang tak bisa mereka tahan. Bahkan orang-orang yang biasanya aku anggap tidak terlalu peduli, mulai bergabung dalam cemoohan itu. Tak ada yang mau berdiri di sampingku. Tak ada yang mau berteman denganku.
“Ayo, Athe, sini! Aku kasih lihat cara belajar yang lebih seru,” Raka berteriak di seberang kantin, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menantangku. Raka memegang buku tipis berwarna merah, sambil tersenyum sinis. “Jangan bawa buku tebel lagi deh, itu cuma bikin pusing. Kamu harus belajar cara yang lebih fun,” katanya sambil tertawa.
Aku berjalan mendekat, namun ada perasaan aneh yang membuat kakiku terasa berat. Raka tahu aku tidak akan melawan. Aku tidak pernah melawan. Bukan karena aku takut—tapi karena aku sudah lelah. Lelah dengan semuanya.
“Serius, Athela, kamu nggak capek jadi nerd terus?” Fira menambahkan dengan nada yang dibuat-buat santai, namun aku bisa mendengar ada nada menantang di balik itu. “Coba deh sekali-sekali jalanin hidup kayak orang normal, yang bisa ketawa dan bersenang-senang. Jangan cuma baca buku mulu.” Mereka semua tertawa, seakan itu adalah hal yang paling lucu yang pernah mereka dengar.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan diri untuk tidak terjatuh ke dalam pusaran rasa malu yang semakin dalam. Apa yang mereka katakan benar? Apakah aku memang terlalu fokus dengan otakku? Apakah aku memang tidak tahu bagaimana cara bersenang-senang?
“Ayo, jangan baper, Athe. Kita cuma bercanda kok,” Dira bergabung, menyenggol pundakku dengan sengaja, membuatku terhuyung sedikit. “Kamu tuh bawa buku terus, siapa yang peduli? Kita aja bisa belajar sambil ketawa-ketawa. Itu baru seru.”
Aku tak bisa menjawab. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku ingin mengatakan bahwa aku lebih suka dunia yang aku pilih, dunia yang bisa kupegang dengan pasti, dunia yang tidak menuntutku untuk menjadi seperti mereka—dunia yang hanya ada di dalam buku-buku itu. Tapi aku tahu, kata-kata itu tidak akan berguna. Mereka tidak akan mengerti.
Rasa takutku bukan hanya karena apa yang mereka katakan, tetapi karena ketakutan akan apa yang akan terjadi setelah itu. Aku takut jika aku terus membiarkan mereka seperti ini, aku akan semakin tenggelam, semakin terkunci dalam rasa rendah diri yang menggerogoti pikiranku. Aku takut mereka akan terus menghancurkan sedikit demi sedikit keberadaanku di sini.
Aku berusaha untuk fokus pada makanan di depanku, namun rasa sakit itu semakin menguasai. Mereka tertawa lebih keras, lebih menusuk. Kadang-kadang, aku merasa mereka bukan hanya mengejek kepintaranku—mereka mengejek diriku. Mereka mengejek keberadaanku di dunia ini.
Namun, yang paling membuatku merasa terperangkap adalah ketika mereka mulai mempermainkan kata-kata yang seharusnya tak pernah mereka bicarakan. “Coba lihat tuh, si Athe, makin lama makin aneh aja, ya? Udah gitu, makin pintar, malah jadi makin kesepian,” kata Raka dengan suara sarkastis, yang diikuti tawa teman-temannya.
Hatiku berdesir mendengar kalimat itu. Aku tidak ingin orang tahu bahwa aku merasa sendirian. Aku tidak ingin mereka melihatku seperti itu, seperti orang yang tidak punya tempat untuk bernafas selain di antara buku-buku itu.
Semakin lama, semakin banyak kejadian seperti itu terjadi. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka, namun entah kenapa, perasaan ini semakin menyesakkan dada. Setiap kali aku duduk di kelas, duduk di kantin, atau berada di mana pun mereka ada, aku selalu merasa seperti aku sedang diam-diam diserang.
Kehidupan sekolah yang harusnya penuh dengan kenangan indah, kini berubah menjadi tempat yang penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Aku mulai merasa kalau semua yang aku lakukan hanya sia-sia. Aku memutar ulang kejadian-kejadian itu dalam kepalaku, mencari tahu kapan semuanya dimulai, kapan aku mulai menjadi sasaran empuk mereka. Namun tak ada jawabannya. Yang aku tahu, aku terjebak, dan semakin terperangkap.
Hari itu, aku berjalan menuju kelas dengan hati yang berat. Aku tahu, hari-hari yang akan datang akan sama. Mungkin mereka akan menemukan cara baru untuk menghancurkan aku. Mungkin aku akan semakin sulit bernapas. Tapi aku harus pergi ke sana, aku harus menjalani hari itu, meskipun dengan perasaan yang sudah semakin rapuh.
Di pintu kelas, aku berhenti sejenak, menarik napas panjang. Mereka ada di dalam, menungguku. Raka, Fira, Dira—mereka menunggu untuk kembali membuatku lelucon mereka. Aku membuka pintu dengan perlahan, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketakutanku. Aku tahu, jika aku terlihat lemah, mereka akan semakin menyengat.
Ketika pintu itu terbuka, suara tawa mereka langsung terdengar, seakan menyambutku dengan penuh kebencian. Tapi aku sudah tidak bisa merasa apa-apa lagi. Aku sudah terbiasa. Aku hanya berharap hari ini berlalu lebih cepat, dan mungkin, hanya mungkin, besok aku bisa sedikit lebih kuat.
Ketika Cemas Menjadi Teman
Seminggu berlalu sejak hari itu, dan segala sesuatu tampak semakin berat. Setiap pagi, aku merasa perutku bergemuruh, bukan karena lapar, tetapi karena ketakutan yang datang begitu saja. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai di balik dinding, siap untuk menghantam kapan saja. Aku hampir tidak pernah merasa tenang.
Aku tidak pernah menyangka kalau dunia sekolah bisa sekejam ini. Mereka yang dulu tampak seperti teman, kini berubah menjadi sekelompok pemburu yang dengan penuh semangat mengincarku. Mereka tidak hanya mengejek atau mengolok-olokku, mereka mencari cara untuk membuatku merasa tidak berharga, membuatku merasa seperti aku tidak seharusnya ada di sini.
Hari ini, aku masuk ke kelas dengan perasaan yang sama seperti sebelumnya—berat, penuh kecemasan. Tapi hari ini berbeda. Aku merasakan sesuatu yang lebih tajam. Ada bisikan yang semakin keras di telingaku, mengatakan bahwa aku tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran ini. Mereka tahu kelemahanku, dan mereka akan memanfaatkannya dengan sempurna.
Ketika aku duduk di meja, Raka mendekat, sengaja menarik kursi di sebelahku dengan suara yang keras, membuat seluruh kelas terdiam sejenak. Matanya menyipit, seakan menilai apakah aku akan bereaksi atau tidak.
“Hei, Athe,” katanya dengan nada sinis, “Tadi pagi kita lihat kamu nggak semangat, kayaknya otakmu udah terlalu banyak berpikir ya. Gimana kalau kamu coba berhenti berpikir dan mulailah jadi orang yang lebih… hidup?” Suaranya berubah menjadi seperti nada ejekan yang sangat tajam.
Aku menelan ludah, mencoba untuk tidak merespon. Tapi, aku tahu mereka tidak akan berhenti sampai aku benar-benar terganggu. Tidak hanya Raka yang berbicara, Fira dan Dira juga sudah bersiap dengan senyum lebar mereka. Mereka mulai saling bertukar pandang, mengatur strategi untuk menjatuhkan aku lebih jauh.
Aku ingin berteriak, mengatakan pada mereka bahwa aku sudah lelah, bahwa aku sudah cukup terjatuh. Tapi mulutku terkatup rapat. Aku hanya bisa menunduk, fokus pada bukuku, mencoba menenggelamkan diri dalam tulisan yang sepertinya lebih bisa mengerti aku daripada mereka.
Tidak lama setelah itu, kelas dimulai, dan guru masuk. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Raka kembali membuka percakapan yang lebih sengaja untuk memancing emosi.
“Yakin kamu bisa ngerti pelajaran ini, Athe? Bukannya buku-bukumu udah terlalu berat buat otakmu?” Raka berkata lagi dengan penuh keyakinan, namun nada suaranya sengaja dibuat sangat merendahkan.
Aku menghela napas panjang. Sekali lagi, aku mengabaikan. Aku berpura-pura tidak mendengar, tidak ada yang lebih baik selain membiarkan mereka berbicara. Tapi di dalam hatiku, rasa cemas semakin menjadi-jadi. Setiap kalimat yang mereka lemparkan semakin menggerogoti rasa percayaku pada diriku sendiri. Mereka melukai aku lebih dalam, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan cara mereka menanamkan keraguan.
Di tengah pelajaran, aku merasa mataku semakin berat. Entah kenapa, perasaan lelah ini semakin menjadi-jadi, semakin memaksa tubuhku untuk menyerah. Aku merasa seperti berada di tengah lautan gelap yang tak pernah berujung, dan setiap kali aku mencoba untuk menggapai sesuatu yang bisa menyelamatkan aku, semuanya hanya semakin menjauh.
Setelah kelas selesai, aku bergegas keluar dari ruang kelas, mencoba untuk menghindari mereka. Namun langkahku terhenti ketika aku mendengar langkah kaki mereka mendekat. Ternyata mereka mengejarku.
“Ayo, Athe, mau kemana? Jangan lari!” Dira berteriak, memanggilku dengan suara yang terdengar semakin tajam. “Ada yang harus kamu jawab, kan? Kamu tuh kelihatan banget, nggak punya teman di sini.”
Aku berbalik, memaksakan diriku untuk menghadap mereka, meskipun hatiku seperti terperosok ke dalam jurang ketakutan yang dalam. Mereka sudah mengepungku. Raka, Fira, dan Dira berdiri di depanku, menunggu aku menjawab. Mungkin mereka merasa menang, melihat aku yang tak punya ruang untuk bernafas, tak punya ruang untuk melarikan diri.
“Kenapa sih, Athe, kamu nggak mau nyenengin diri? Kalau kamu mau, kita bisa ajak kamu ke tempat yang lebih seru. Nggak usah diem aja terus, hidup itu bukan buat kerja terus, ‘kan?” Fira berbicara, tetapi nada itu kembali mengandung makna sinis yang semakin menembus hatiku.
Aku menggigit bibir bawah, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di mataku. Aku ingin berteriak, ingin memberitahu mereka betapa sakitnya setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Aku ingin melawan, tapi aku tidak tahu bagaimana. Kata-kata itu, ejekan mereka, sudah terlalu dalam menempel di kulitku. Aku merasa seperti tidak ada yang bisa mendengar, dan yang lebih buruk lagi—aku merasa seperti tidak ada yang peduli.
Tanpa bisa mengontrolnya, air mata itu menetes. Aku menunduk, memeluk tubuhku, berusaha untuk menahan rasa malu yang semakin menguasai. Aku merasa seperti gagal, merasa seperti tak ada yang bisa menyelamatkan aku.
“Aduh, lihat tuh, si Athe nangis,” Dira mengejek dengan suara yang memuakkan. “Jadi cengeng banget, ya? Gitu aja nangis, dikit-dikit baper. Ngapain sih sekolah kalau nggak bisa tahanin hal kayak gini?”
Aku merasa seolah-olah dunia ini benar-benar runtuh di depanku. Ketika aku mengangkat wajahku, mereka tidak berhenti tertawa. Aku, yang selalu terlihat seperti orang yang tidak bisa menangis, kini harus menanggung penghinaan yang lebih dalam lagi. Raka, Fira, dan Dira berdiri di hadapanku dengan tawa mereka, seakan menikmati setiap detik penderitaanku.
Aku ingin berlari, ingin melarikan diri dari mereka, tapi aku tahu bahwa lari dari kenyataan hanya akan membuatku semakin terperangkap dalam rasa takut ini. Sejenak aku berpikir, mungkin ini adalah takdirku. Mungkin inilah yang harus kuterima.
Namun, di balik tangisanku, ada suara hati yang mulai bergema, membisikkan satu kata—cukup.
Langkah Baru
Malam itu aku duduk di meja belajarku, memandangi buku-buku yang berjejer rapi, tapi pikiranku jauh dari segala hal yang tertulis di dalamnya. Keceriaan yang dulu aku rasakan saat memegang pena dan menulis, kini hilang. Setiap hal yang ada di sekitarku, setiap kalimat yang aku baca, terasa begitu kosong. Namun, ada satu hal yang masih menggema dalam benakku—satu kata yang terus muncul: cukup.
Aku tidak bisa bertahan lebih lama di tempat ini. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang rasa takut, cemas, dan hinaan yang semakin menekan. Setiap kali aku menatap cermin, aku tidak lagi melihat gadis yang dulu penuh dengan semangat dan harapan. Aku hanya melihat seseorang yang hancur perlahan, terkubur oleh kata-kata kasar mereka, terperangkap dalam ketakutan yang semakin mencekik.
Pagi ini aku memutuskan untuk berbicara pada ibu. Aku tahu, ini bukanlah keputusan yang mudah, apalagi setelah segala hal yang telah terjadi. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Aku tahu, ibu akan mengerti. Setelah semua yang aku alami, aku merasa seperti aku tidak punya pilihan lain. Aku perlu keluar dari sini.
Ibu mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan dengan penuh perhatian, matanya yang lembut tidak meninggalkan rasa khawatir. Ia menunggu sampai aku selesai berbicara, kemudian ia mengangguk pelan. “Aku tahu kamu sudah sangat berjuang, Athe. Kamu sudah berusaha bertahan, tapi terkadang, mencari tempat yang lebih baik untuk dirimu sendiri adalah langkah yang tepat. Kita tidak bisa memaksa diri untuk tetap tinggal di tempat yang membuatmu sakit.”
Aku menatap ibu, merasakan kasih sayangnya yang begitu dalam. Aku tahu ia ingin aku bahagia, dan aku juga tahu, aku harus mengambil keputusan ini untuk diriku sendiri. Jadi, aku mengemas barang-barangku dengan perasaan campur aduk, antara cemas dan lega. Cemas karena ini berarti aku meninggalkan segalanya—teman-teman yang ada, sekolah, bahkan semua kenangan yang pernah aku bangun di sini. Tapi juga lega, karena aku tahu aku akan menemukan kesempatan baru untuk memulai semuanya dari awal.
Hari itu juga, aku menghadap kepala sekolah untuk memberitahukan keputusan besar ini. Tanpa ada rasa takut seperti sebelumnya, aku berkata dengan tegas, “Saya ingin pindah sekolah, Pak. Saya merasa ini adalah keputusan terbaik untuk saya.”
Kepala sekolah tidak langsung menanggapi, tetapi aku bisa melihat tatapan prihatin di matanya. “Kami akan mendukung keputusanmu, Athe. Jika kamu merasa ini adalah yang terbaik, kami tidak bisa menghalangi. Kami hanya berharap kamu bisa menemukan tempat yang lebih baik, tempat di mana kamu bisa berkembang tanpa merasa tertekan.”
Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku hanya mengangguk, berterima kasih, dan keluar dari ruangannya. Langkahku terasa ringan, lebih ringan dari yang pernah aku rasakan dalam beberapa minggu terakhir. Aku tahu, meski perpisahan ini sulit, aku sedang melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Pindah sekolah bukanlah keputusan yang aku buat dengan mudah, tapi aku tahu ini adalah keputusan yang paling tepat. Setelah semua yang aku alami, aku merasa inilah saatnya untuk mencari tempat di mana aku bisa bebas dari bayang-bayang ketakutan dan rasa rendah diri. Di tempat baru nanti, aku akan belajar untuk menjadi diriku sendiri lagi—tanpa harus merasa cemas akan pandangan orang lain, tanpa harus menahan diri untuk menjadi siapa aku sebenarnya.
Sesampainya di rumah, aku membuka koperku yang sudah terisi barang-barang, lalu meletakkannya di pojok kamar. Aku duduk sejenak di kasur, menatap langit-langit kamar yang kini terasa lebih damai. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sekolah baruku nanti, apakah aku akan bertemu dengan orang-orang yang lebih baik atau lebih buruk dari yang ada di sini, tetapi satu hal yang pasti—aku akan mulai menulis bab baru dalam hidupku, jauh dari rasa takut dan trauma yang selama ini menghantui.
Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya sembuh dari luka-luka yang sudah tergores dalam hatiku. Tapi, aku percaya, setiap langkah baru yang aku ambil akan membawaku lebih dekat pada kebahagiaan yang selama ini hilang.
Aku akan berhenti menjadi seseorang yang hidup dalam bayang-bayang mereka. Aku akan mulai hidup untuk diriku sendiri. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku merasa sedikit lebih baik. Aku merasa sedikit lebih bebas.
Inilah awal dari sesuatu yang baru.
Jadi, mungkin perjalanan Athe belum selesai, dan mungkin kamu juga masih berjuang dengan rasa takut atau trauma yang kamu alami. Tapi ingat, setiap langkah kecil untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu adalah kemenangan besar.
Kita nggak perlu nunggu orang lain untuk menyelamatkan kita, karena pada akhirnya, kekuatan itu ada di diri kita sendiri. Jangan biarkan siapapun merendahkanmu, dan jangan pernah takut untuk mulai lagi dari awal. Kalau Athe bisa, kamu juga pasti bisa.