Daftar Isi
Pernah denger cerita tentang pedagang yang terlalu rakus dan akhirnya kehilangan segalanya? Nah, cerpen ini bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum coba main curang buat cari keuntungan.
Gak ada yang bisa lari dari karma, bro! Ini cerita tentang Murzali, si pedagang licik yang jatuh dalam perjalanan menuju kebohongannya. Yuk, simak dan lihat gimana segala tipu daya akhirnya menuntun dia ke jurang kehancuran.
Cerpen Pedagang Curang yang Jatuh
Tipu Daya Murzali
Di tengah hiruk-pikuk pasar kota, suara pedagang bersahut-sahutan, menawarkan barang dagangan dengan penuh semangat. Di antara mereka, Murzali berdiri di lapaknya yang lebih mencolok dari yang lain. Tumpukan rempah-rempah tersusun rapi, dengan warna-warna menggoda yang mampu menarik perhatian siapa pun yang melintas.
“Ayo, ayo! Lada terbaik dari negeri jauh! Kayu manis pilihan, kunyit asli yang harum! Semua dijamin kualitas nomor satu!” serunya lantang.
Warga kota sering berdesakan di depan lapaknya. Mereka percaya, rempah-rempah milik Murzali adalah yang terbaik. Padahal, di balik kemegahan dagangannya, ada tipu daya yang licik.
“Ini kunyitnya bagus kan?” tanya seorang wanita setengah baya, memeriksa serbuk kuning dalam genggamannya.
Murzali tersenyum lebar, matanya berkilat. “Tentu saja! Kunyit terbaik, dijemur dengan teknik khusus! Warnanya cerah, aromanya kuat! Kalau kamu pakai ini, masakanmu pasti seenak hidangan kerajaan!”
Wanita itu mengangguk puas, membayar tanpa curiga bahwa kunyit itu sudah dicampur tepung agar lebih banyak dan lebih berat saat ditimbang.
Tak jauh dari sana, seorang pemuda kurus dengan sorban lusuh mengamati Murzali. Namanya Hamir, seorang pedagang rempah juga, tapi dengan cara yang berbeda—dia jujur. Hamir sudah lama curiga dengan Murzali, tapi belum punya bukti untuk menyingkap kebusukannya.
Sore itu, seorang pelanggan lain datang, seorang pria tua dengan jenggot putih tebal. Ia membawa sekantong lada hitam yang baru saja dibelinya pagi tadi. Wajahnya tampak kesal.
“Murzali, aku beli lada ini pagi tadi, tapi kenapa rasanya aneh?” tanyanya, meletakkan kantong itu di meja.
Murzali tertawa kecil. “Mungkin kamu kena flu, jadi lidahmu nggak bisa merasakan dengan baik?”
Pria tua itu mendengus, mencubit butiran lada dan meremukkannya di antara jarinya. “Ini bukan lada hitam asli. Ada campuran abu di dalamnya.”
Orang-orang di sekitar mulai melirik. Beberapa bahkan ikut mendekat, penasaran. Murzali menyeringai, tapi tetap bersikap santai.
“Kamu bercanda? Mana mungkin aku menjual barang seperti itu?” katanya, berusaha menjaga ketenangan.
Pria tua itu mengangkat alis. “Kalau begitu, coba cicipi sendiri.”
Sesaat, Murzali ragu. Tapi kalau dia menolak, pasti semakin banyak yang curiga. Dengan enggan, dia mengambil sebutir lada dan menggigitnya.
Wajahnya langsung berubah. Rasa pahit menyebar di lidahnya. Ini memang lada oplosan, yang dia buat sendiri. Namun, dia tetap tersenyum.
“Hahaha! Kamu pasti bercanda! Ini lada terbaik, kok! Mungkin mulutmu aja yang lagi nggak enak!” katanya, berusaha menggiring opini orang-orang agar tetap percaya padanya.
Beberapa pelanggan mengangguk, termakan omongannya. Murzali memang licik, dan dia tahu cara meyakinkan orang. Pria tua itu mendengus kesal, lalu pergi tanpa berkata-kata. Murzali terkekeh, merasa dirinya menang.
Di sudut pasar, Hamir mengepalkan tangan.
“Lihat saja, Murzali. Kebohongan nggak akan bertahan selamanya,” gumamnya dalam hati.
Sementara itu, Murzali terus menjajakan dagangannya. Kekayaannya bertambah, hidupnya semakin mewah. Dia tidak tahu bahwa awan kelabu sudah menggantung di atasnya.
Retaknya Kepercayaan
Matahari belum sepenuhnya naik ketika pasar kota mulai ramai kembali. Murzali, seperti biasa, sudah berdiri di lapaknya dengan senyum penuh percaya diri. Dagangannya masih menggunung, aromanya menyebar ke segala penjuru, seakan-akan memanggil pembeli untuk datang.
Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Biasanya, orang-orang akan berdesakan di depan lapaknya sejak pagi. Tapi kali ini, mereka hanya melintas tanpa banyak berhenti. Bahkan beberapa pelanggan tetapnya sekadar melirik dan memilih belanja di tempat lain.
Dahi Murzali berkerut, tapi dia tetap tenang. “Mungkin cuma kebetulan,” pikirnya.
Seorang wanita muda akhirnya datang, membawa daftar belanjaan di tangannya. “Aku mau beli kunyit dan kayu manis,” katanya tanpa banyak basa-basi.
Murzali tersenyum lebar, berusaha terdengar ramah seperti biasa. “Tentu! Aku kasih yang terbaik buat kamu!”
Tapi saat dia hendak meraih takaran, wanita itu menyela. “Aku mau lihat dulu. Aku dengar ada yang bilang rempah-rempahmu udah nggak sebaik dulu.”
Murzali menegang sejenak. Dia menelan ludah, lalu tertawa santai. “Ah, gosip dari mana itu? Orang-orang iri aja sama aku.”
Wanita itu tetap memasang wajah curiga. Dia mengambil sejumput kunyit dan merasakan teksturnya di jari. Ada yang aneh. Terlalu halus, tidak sepekat kunyit asli.
“Ini dicampur sesuatu?” tanyanya dengan nada dingin.
Murzali segera menggeleng. “Mana mungkin! Aku nggak pernah main-main sama dagangan.”
Tapi wanita itu tidak bodoh. Dia mencubit serbuk kunyit lebih banyak dan meniupnya pelan. Butiran putih kecil beterbangan di udara. Tepung.
Wajah wanita itu langsung berubah. “Jadi ini beneran oplosan?” suaranya terdengar tajam.
Beberapa orang yang mendengar mulai mendekat. Murzali mengangkat tangan, mencoba mengendalikan situasi. “Kamu salah lihat. Ini kunyit murni. Mungkin ada debu di tanganmu.”
Wanita itu mendengus. “Jangan anggap aku bodoh!”
Seorang pria di dekatnya ikut bicara. “Aku juga curiga sama lada yang aku beli kemarin. Rasanya hambar.”
Lalu seorang ibu-ibu menimpali, “Iya, aku juga ngerasa ada yang aneh sama kayu manisnya. Biasanya kalau direbus, baunya kuat. Tapi ini malah kayak batang biasa!”
Desas-desus mulai menyebar. Orang-orang saling bertukar cerita tentang rempah-rempah Murzali yang semakin buruk. Satu per satu, mereka mulai menyadari bahwa mereka telah lama tertipu.
Hamir, yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, hanya tersenyum tipis.
“Aku udah bilang, kebohongan nggak akan bertahan selamanya,” gumamnya.
Murzali merasakan hawa panas menjalari tubuhnya. Dia tersenyum kaku, mencoba tetap tenang. “Ah, kalian jangan percaya gosip murahan. Aku nggak mungkin menjual barang jelek!”
Tapi kali ini, kata-katanya tak lagi memiliki efek. Orang-orang mulai mundur, menjauh dari lapaknya seakan itu adalah sarang penyakit.
Hari itu, Murzali hampir tidak menjual apa pun.
Dan untuk pertama kalinya, dia merasa takut.
Keadilan Menyapa
Hari-hari berikutnya seperti mimpi buruk yang semakin nyata bagi Murzali. Meskipun dia terus berusaha dengan segala cara untuk menutupi kebohongannya, angin perubahan datang begitu cepat. Di setiap sudut pasar, pembeli mulai saling memperingatkan tentang kualitas rempah-rempah yang dia jual. Wajah-wajah yang dulu menghampirinya dengan penuh antusias kini menghindar, dan barang dagangannya perlahan-lahan menumpuk tanpa ada yang membeli.
Pada suatu pagi yang mendung, saat Murzali tengah merapikan lapaknya dengan hati-hati, seorang lelaki berjas rapi tiba-tiba datang menghampirinya. Wajahnya serius, tak menunjukkan ekspresi apapun. Di tangannya, ia membawa beberapa kantong rempah-rempah yang sudah tampak rusak.
“Lapakmu mulai ramai dengan keluhan, Murzali,” kata lelaki itu, memandangi rempah-rempah yang tergeletak di meja.
Murzali menegakkan badan, mencoba tetap terlihat percaya diri meski perasaan tidak nyaman menggerogoti dirinya. “Apa maksudmu?” jawabnya dengan suara bergetar, namun berusaha terdengar tenang.
“Ini keluhan dari para pedagang dan pembeli. Mereka semua mengaku tertipu oleh kualitas rempah-rempahmu. Kamu nggak bisa terus-terusan menipu orang,” kata lelaki itu dengan tegas.
Murzali mulai merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku nggak tahu apa yang kamu maksud. Semua yang aku jual adalah yang terbaik. Kalau ada yang merasa dirugikan, itu mungkin kesalahpahaman saja.”
Lelaki itu menggelengkan kepala. “Kesalahanmu sudah terlalu banyak, Murzali. Kamu tidak bisa menutupi semua ini lagi.”
Pada saat itu, lebih banyak orang mulai mendekat. Beberapa pedagang yang sudah lama merasa curiga dengan Murzali juga ikut muncul, membawa bukti-bukti yang mereka kumpulkan. Lada yang tidak lagi terasa pedas, kunyit yang tampak lebih putih dari seharusnya, hingga kayu manis yang bau dan rasanya tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Semua kesalahan Murzali terbongkar di hadapan banyak orang.
“Semua bukti ada di sini,” kata seorang wanita tua yang dulu pernah membeli rempah dari Murzali, sambil menunjuk tumpukan rempah yang sudah tak bisa dipakai. “Aku sudah jadi korban, dan sekarang aku nggak bisa diam aja.”
Lelaki berjas rapi itu mengangguk pelan. “Kami telah mengumpulkan semua bukti. Kamu akan dihadapkan pada pengadilan. Semua yang kamu lakukan selama ini adalah penipuan, dan sekarang saatnya kamu membayar untuk itu.”
Murzali merasakan dunia sekitarnya mulai runtuh. Orang-orang mulai berbisik, saling menunjuk ke arahnya. Semua pandangan penuh kebencian. Dalam sekejap, seluruh kebohongan yang dia bangun selama ini hancur tak bersisa.
Tapi Murzali tetap bersikeras, meskipun suaranya hampir tak terdengar. “Ini tidak adil! Aku hanya berusaha mencari nafkah!”
Seorang lelaki muda yang sudah lama merasa dirugikan oleh Murzali, dengan penuh kesabaran, akhirnya berbicara. “Nafkah yang kamu cari dengan menipu orang lain? Kamu nggak bisa terus-terusan hidup dengan cara itu. Orang-orang di sini sudah cukup sabar, Murzali. Kami sudah memberimu kesempatan, tapi kamu tak mau berubah.”
Wajah Murzali pucat. Dia tahu, tak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk membela diri.
Dalam beberapa jam, berita tentang kecurangan Murzali menyebar ke seluruh kota. Keputusan diambil, dan Murzali akhirnya dipanggil untuk diadili. Para pembeli yang merasa tertipu berkumpul di balai kota, menuntut keadilan.
Di hadapan hakim, Murzali hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa menghindari kenyataan. Semua kebohongannya terbongkar.
Hakim yang memimpin persidangan, seorang lelaki tua yang bijaksana, memandang Murzali dengan penuh penyesalan. “Kamu telah menipu banyak orang demi keuntungan pribadi. Kamu merusak kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun. Untuk itu, kamu akan dihukum, dan seluruh hartamu akan disita.”
Saat hukuman dijatuhkan, Murzali merasa dunia semakin gelap. Dia tak lagi memiliki apa-apa—tak ada uang, tak ada barang dagangan, tak ada lagi pelanggan yang datang.
Orang-orang yang dulu percaya padanya kini mengabaikannya. Tak ada belas kasihan yang datang. Dan di sana, di tengah keramaian balai kota, Murzali hanya bisa menunduk, merasakan keadilan yang datang terlalu terlambat.
Jatuh Tanpa Simpati
Beberapa bulan telah berlalu sejak keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman pada Murzali. Kota yang dulu begitu familiar baginya, kini terasa asing dan sepi. Lapaknya di pasar kosong. Tak ada suara tawar-menawar, tak ada pembeli yang tertarik mendekat. Setiap kali langkahnya terdengar di jalanan, orang-orang akan menghindar, berbisik satu sama lain, dan menjauhi pandangannya.
Di sebuah sudut kota, di balik tumpukan sampah dan deretan rumah yang mulai lapuk, Murzali duduk dengan wajah lesu. Bajunya compang-camping, wajahnya penuh bekas air mata dan keringat, tubuhnya semakin kurus. Dulu, dia adalah seorang pedagang yang dihormati. Namun kini, dia hanyalah seorang lelaki tanpa tujuan yang tak punya tempat di kota itu.
Malam hari tiba, dan udara terasa semakin dingin. Murzali duduk sendirian, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit. Hatinya kosong. Setiap kali dia mencoba menutup mata, bayangan wajah-wajah yang telah ditipunya muncul di benaknya. Mereka bukan hanya mengabaikannya, tapi juga memandangnya dengan rasa jijik.
Satu-satunya hal yang dulu membuatnya merasa besar adalah kekayaan yang didapat dari kebohongannya. Sekarang, dia tak memiliki apa-apa lagi. Uangnya habis untuk membayar denda dan biaya hidup yang terus meningkat. Rumah mewah yang dulu ia banggakan kini dijual dengan harga murah, jauh di bawah nilai aslinya. Semua yang dia miliki telah disita—kehilangan tak terbayangkan yang membuatnya hanya bisa meratapi dirinya.
“Kenapa aku bodoh?” bisiknya pada dirinya sendiri, suara serak dan penuh penyesalan. “Kenapa aku harus merusak segalanya demi keserakahan?”
Beberapa kali, Murzali mencoba meminta bantuan pada pedagang lain, berharap ada yang mau memberi kesempatan padanya. Namun, setiap kali dia mengunjungi lapak pedagang yang dulu dikenal, mereka menutup pintu dan menolak berbicara dengannya. “Kamu bukan lagi siapa-siapa, Murzali,” kata seorang pedagang tua dengan nada datar. “Kamu bukan bagian dari kami. Ini akibat dari perbuatanmu.”
Tak ada yang peduli lagi. Tak ada yang mengingatnya dengan baik. Murzali sudah jatuh terlalu dalam, dan tak ada tangan yang meraih untuk membantunya bangkit. Hari demi hari, dia semakin terpuruk dalam kesendirian, dengan kesalahan-kesalahannya yang tak bisa dia ubah.
Di satu malam yang gelap, setelah beberapa hari tak makan, Murzali berjalan menyusuri jalanan kota, langkahnya lesu. Perutnya kosong, tubuhnya lemah, dan matanya mulai kabur. Tidak ada lagi pembeli yang menyapanya. Tidak ada lagi teman yang berbicara padanya. Bahkan orang-orang yang dulu pernah membeli barang darinya tak menunjukkan belas kasihan.
Sambil berjalan, dia memandangi rumah-rumah megah yang dulu dia idam-idamkan. Dulu, dia pernah merasa lebih unggul dari mereka semua—lebih pintar, lebih licik, dan lebih kaya. Kini, dia hanya bisa menatap kosong, menyadari bahwa keangkuhan dan kebohongan yang dia percayai telah membawa kehancuran yang tak terelakkan.
Di jalanan yang sepi itu, Murzali jatuh terduduk. Dia tak kuat lagi untuk berjalan, tak mampu lagi untuk bertahan. Semua yang dia lakukan untuk meraih kekayaan kini terasa sia-sia. Dalam sekejap, dia mengerti bahwa hidup yang dibangun dengan penipuan dan kebohongan hanya akan berakhir dengan kehancuran.
Tidak ada yang datang untuk menolongnya. Tidak ada yang mengingatnya dengan baik. Begitu banyak orang yang merasa bahwa keadilan telah terlaksana, dan mereka tidak merasa perlu untuk menoleh kembali ke arah pria yang dulu menipu mereka.
Murzali hanya bisa menatap langit yang penuh bintang, sendirian, tanpa seorang pun yang peduli. Dalam kesunyian malam itu, dia merasakan beban dari setiap pilihan yang pernah dia buat. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa sepi—terlalu sepi untuk bisa bangkit lagi.
Gimana, bro? Seru kan? Jangan sampe deh kita jatuh ke jurang yang sama kayak Murzali. Kadang, buat jadi sukses, gak perlu jalan pintas atau curang. Karma itu beneran ada, dan yang kita tabur, itu yang kita tuai. Jadi, yuk pilih jalan yang bener dan hindari jebakan keserakahan.


