Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih, kamu ngerasa cinta itu kayak sesuatu yang bikin kamu terbang tinggi, tapi tiba-tiba jadi jatuh terjerembab ke tanah? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh luka, harapan, dan cinta yang nggak selalu berjalan mulus. Siapin tisu, karena perjalanan hati di sini bakal bikin kamu mikir, Kenapa sih, cinta harus sesakit ini?
Cerpen Patah Hati yang Menyentuh Hati
Bayang-Bayang di Setiap Hujan
Hujan kembali turun, seperti biasa, tanpa aba-aba. Gerimisnya pelan, tapi terasa cukup dalam, seolah tiap tetesnya membawa pesan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kamar itu terasa semakin sempit, padahal aku baru saja duduk di samping jendela. Menatap jalanan yang basah, aku mencoba mengusir perasaan itu, yang entah kenapa selalu muncul setiap kali hujan turun. Suara hujan yang turun ke aspal itu seolah menyadarkan aku bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa diceritakan.
Aku membiarkan mataku tetap tertuju pada pemandangan yang berubah menjadi buram oleh hujan. Lampu jalan yang menyala menciptakan bayangan bergerak di jalan yang kosong, dan aku tak bisa menahan diri untuk membayangkan, apa yang akan terjadi jika Cella ada di sini. Kalau dia di sini, mungkin dia akan memaksa aku untuk berbicara, untuk berhenti memendam semuanya sendirian.
Aku menundukkan kepala, menggigit bibir. Pasti banyak orang yang berpikir aku bisa melupakan semuanya, bisa melanjutkan hidup. Tapi, mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatiku. Cella bukan hanya kenangan. Dia bagian dari hidup yang tak mudah terhapus, apalagi sekarang, setelah dia pergi tanpa kata-kata yang jelas.
Tiba-tiba ponselku bergetar, dan aku langsung menatapnya dengan penuh harap, meski aku tahu itu hanya notifikasi biasa. Tapi begitu aku melihat nama pengirimnya, aku merasa hati ini kembali terguncang. Bukan nama yang aku harapkan, tentu saja. Aku tahu, dia tidak akan pernah kembali, tapi aku tetap tidak bisa mengabaikan kenyataan itu.
Ponselku terjatuh ke kasur, dan aku menyandarkan kepala ke jendela, mencoba menghalau semua pikiran yang terus datang dengan cepat. Aku tahu, semua ini tidak akan selesai hanya dengan mengalihkan perhatian sejenak.
“Vano, kamu kenapa?” Suara Zena tiba-tiba terdengar, memecah keheningan yang cukup lama. Aku berbalik, melihatnya berdiri di pintu, memandangku dengan tatapan khawatir. Aku menarik napas panjang dan hanya menggeleng pelan.
“Aku baik-baik saja,” jawabku, meskipun aku tahu Zena bisa melihat kebohonganku dengan mudah. Tapi aku tidak ingin memberi tahu siapa pun tentang ini. Tidak ada yang mengerti. Aku bukan sedang sedih atau marah, aku hanya merasa kosong. Hati ini terasa berat, seolah ada beban yang terlalu besar untuk dibawa.
Zena melangkah lebih dekat, duduk di sampingku, dan meraih tanganku. Aku bisa merasakan kehangatannya, tapi itu tidak cukup untuk mengusir dingin yang ada di dalam diri. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang aku tahu tak akan pernah kembali.
“Kenapa kamu selalu bilang baik-baik saja?” Zena bertanya, suaranya lebih lembut sekarang. “Aku bisa lihat dari matamu, Vano. Kamu enggak baik-baik aja. Kamu harus bicara.”
Aku tertawa kecil, meskipun rasanya lebih seperti cekikan penuh keputusasaan. “Bicara tentang apa? Tentang Cella yang sudah pergi? Tentang bagaimana aku masih merasa dia ada di sini, meskipun dia sudah enggak ada?”
Zena diam sejenak. Dia tahu aku sedang berusaha mengendalikan diri, tapi tidak ada yang bisa mengendalikan perasaan ini. Cella—gadis yang selalu ada di sampingku, yang selalu tahu apa yang aku rasakan, yang selalu bisa membuat aku merasa aman—kini hanya tinggal kenangan. Dan kenangan itu, entah kenapa, terasa lebih tajam dari apa pun yang pernah kutahu.
“Vano,” Zena memanggilku, suaranya sedikit lebih lembut. “Kamu enggak bisa terus begini. Aku tahu kamu masih… merasa banyak hal tentang Cella, tapi itu bukan alasan untuk menghancurkan diri sendiri.”
Aku menatap Zena, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang aku rasakan. Tapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan perasaan ini. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa hancurnya hati ini setiap kali aku mengingat Cella.
“Aku enggak tahu harus gimana,” jawabku akhirnya, suaraku hampir tidak terdengar. “Semua ini terasa terlalu cepat, Zena. Dia datang ke hidup aku begitu mendalam, dan sekarang… sekarang aku enggak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa dia.”
Zena menatapku dengan penuh perhatian. Aku bisa merasakan keprihatinan dalam tatapannya, tapi dia tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Aku merasa seperti aku terjebak dalam ruangan kosong, menunggu seseorang yang tidak pernah datang.
“Cella itu bagian dari hidupmu, Vano. Tapi kamu enggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang dia,” Zena berkata dengan lembut, tetapi ada ketegasan dalam suaranya. “Kamu harus belajar untuk melepaskan, supaya kamu bisa melangkah maju.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Melepaskan… aku enggak tahu bagaimana caranya.”
“Kamu harus mulai dengan melepaskan kenangan itu,” jawab Zena, lalu dia terdiam sejenak. “Aku tahu itu sulit, tapi kamu enggak bisa hidup terus dalam masa lalu.”
Aku menatap Zena dan berpikir, apakah aku sudah siap untuk melepaskan? Bahkan hanya memikirkan hal itu membuat hatiku terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang hilang dan tidak bisa digantikan.
Ponselku bergetar lagi, dan kali ini aku tidak bisa menahan diri. Aku mengambilnya dan melihat notifikasi yang masuk. Namun, yang muncul di layar bukan pesan yang kutunggu, melainkan gambar-gambar kenangan yang selalu membuat hatiku berdebar. Foto-foto itu, semua tentang Cella, tak pernah bisa aku hapus.
Zena mengamati reaksiku. “Apa itu dari Cella?” tanyanya, dan aku hanya mengangguk pelan, menatap gambar yang muncul di layar ponselku.
“Ya,” jawabku, suaraku serak. “Tapi dia enggak akan pernah kembali.”
“Aku tahu,” Zena menjawab lembut, “Tapi kamu harus belajar untuk menerima bahwa semua itu sudah berlalu.”
Aku tidak bisa menjawab. Hanya ada kebisuan yang mengisi ruang di antara kami. Karena aku tahu, dalam hati ini, aku masih menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
Jejak yang Terlupakan
Hari-hari terasa semakin kelabu sejak Cella pergi. Aku mencoba bertahan, seolah hidup ini masih bisa berjalan seperti biasa, tetapi kenyataannya, aku merasa seperti ada yang hilang dalam diri ini—sesuatu yang tak bisa digantikan. Setiap kali aku membuka mata, aku hanya melihat bayang-bayangnya, wajahnya yang selalu terukir jelas di setiap sudut ingatanku.
Zena tidak pernah berhenti mencoba mengajak aku bicara. Dia selalu ada, berusaha membuat aku terbuka, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah. Aku terlalu terjebak dalam kesedihan ini. Meski aku tahu, Zena hanya ingin membantu, tapi ada saat-saat aku merasa tidak ada yang mengerti betapa perihnya kehilangan Cella.
Aku duduk di kursi depan meja belajarku, menatap kertas-kertas kosong yang berserakan, mencoba mengalihkan pikiranku. Ponselku yang tergeletak di sampingnya tiba-tiba bergetar lagi. Aku meraih ponsel itu dengan ragu, berharap itu bukan lagi pesan yang membuat aku semakin terjebak dalam kenangan.
Tapi kali ini, pesan itu datang dari nomor yang berbeda. Nomor yang sudah lama tak kulihat. Namanya, Aira, tertulis di layar. Hanya namanya yang cukup untuk membuat dadaku terasa sesak.
Aku menatap ponsel itu sejenak, ragu untuk membukanya. Aira—gadis yang pernah aku kenal, sahabat baik Cella. Sejak Cella pergi, aku tidak pernah mendengar kabar darinya. Mereka berdua seolah menyimpan banyak rahasia yang tidak pernah aku tahu. Sebuah perasaan aneh muncul ketika aku akhirnya memutuskan untuk membuka pesan itu.
“Aku tahu ini mungkin terlambat, Vano,” tulis Aira. “Tapi aku ingin kamu tahu, Cella sangat mencintaimu. Dan aku rasa, kamu perlu tahu apa yang terjadi sebelum semuanya berakhir.”
Hati aku berdebar saat membaca kata-kata itu. Apa maksudnya? Apa yang dia katakan tentang Cella? Bukankah sudah cukup jelas bahwa dia pergi, meninggalkan aku tanpa penjelasan? Apa yang selama ini disembunyikan? Aku segera mengetik balasan, tak peduli seberapa terburu-buru, meski tangan ini terasa gemetar.
“Apa maksudmu, Aira? Apa yang terjadi pada Cella? Kenapa dia pergi tanpa memberi tahu aku apa pun?” jawabku, lalu aku menunggu beberapa saat, berharap balasan datang secepatnya.
Tak lama, pesan balasan muncul lagi.
“Vano,” Aira menulis, “Cella tidak pergi begitu saja. Ada alasan yang lebih besar dari apa yang kamu kira. Dia berjuang dengan sesuatu yang tak bisa dia ceritakan. Aku ingin kamu tahu, meskipun dia tidak pernah mengatakannya, dia selalu berjuang demi kamu. Itu sebabnya dia pergi—karena dia ingin kamu bisa hidup lebih baik tanpa beban.”
Aku merasa dunia seakan berhenti berputar sejenak. Cella… berjuang demi aku? Sejak kapan? Tidak ada yang pernah memberitahuku tentang itu. Selama ini aku hanya merasa bahwa dia meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Mengapa dia tidak pernah memberitahuku? Mengapa dia membiarkan aku hidup dalam kebingungannya?
Tetesan air mata tiba-tiba jatuh, menetes ke layar ponselku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Perasaan ini begitu berat, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Cella… mengapa dia tidak memberi tahu aku tentang semua ini?
Ponselku bergetar lagi, menarik perhatian aku.
“Ada satu hal yang harus kamu tahu, Vano,” Aira melanjutkan. “Cella tidak hanya mencintaimu. Dia takut kehilanganmu. Itulah kenapa dia memilih pergi. Dia tidak ingin kamu melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dia berharap kamu bisa terus berjalan tanpa melihat ke belakang.”
Aku merasakan sesuatu yang begitu mendalam. Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Kenapa perasaan ini begitu rumit? Aku ingin sekali memeluknya, menghapus semua keraguan dan kesakitan ini. Tetapi sekarang, yang tinggal hanya kenangan yang sulit untuk dilepaskan.
“Aku… aku enggak tahu apa yang harus aku lakukan,” balasku, dengan jari yang gemetar. “Aku merasa hancur. Kenapa aku enggak tahu apa pun tentang ini?”
“Ada banyak hal yang Cella sembunyikan, Vano. Itu semua untuk kebaikanmu. Tetapi sekarang, aku ingin kamu tahu. Aku ingin kamu tahu bahwa dia selalu mencintaimu, bahkan sampai akhir,” tulis Aira, dan kali ini, tidak ada lagi kata-kata yang bisa aku ucapkan. Hanya kesedihan yang mengisi ruang di hatiku.
Aku mematikan ponselku, tidak sanggup melihat layar itu lebih lama. Semua yang terjadi, semua yang aku rasakan, terlalu banyak untuk ditanggung sendiri. Aku meraih bantal di sampingku, menekannya ke wajah, mencoba menahan tangis yang datang begitu mendalam. Tidak ada yang tahu betapa sulitnya menerima kenyataan ini. Cella yang selalu aku kenal, yang selalu ada di sampingku, kini hanya tinggal bayangan yang akan terus menghantuiku.
Zena mengetuk pintu kamar dengan lembut. “Vano, kamu oke?” tanyanya dengan cemas. Aku hanya mengangguk pelan, meskipun hatiku berteriak kesakitan. Tidak ada yang bisa aku katakan lagi. Cella sudah pergi, dan aku merasa seperti aku baru saja kehilangan bagian terpenting dalam hidupku.
“Tentu, aku baik-baik saja,” jawabku dengan suara serak, mencoba untuk tidak terdengar terlalu patah hati. Tapi Zena tahu, lebih dari siapa pun, bahwa aku tidak pernah benar-benar baik-baik saja.
Jejak yang Tertinggal
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Aku tidak bisa tidur. Setiap kali mataku terpejam, bayangan Cella datang menghantui pikiranku. Wajahnya yang selalu tersenyum, meski kini hanya aku yang bisa mengenang senyumnya itu. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lebih lambat untuk aku yang masih terjebak dalam kenangan. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapinya. Setiap tempat yang aku kunjungi, setiap sudut kota yang kujelajahi, semuanya selalu mengingatkanku padanya. Di kafe yang biasa kami datangi, di taman tempat kami berjalan berdua—semua itu terasa kosong tanpa kehadirannya.
Aku tahu, aku harus mencoba move on. Zena sudah sering mengingatkanku untuk tidak larut dalam kesedihan ini. Tapi bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang begitu penting dalam hidupku? Bagaimana bisa aku menutup hati yang sudah terbuka begitu dalam untuknya?
Pagi itu, Zena datang ke rumahku. Dengan langkah cepat, dia memasuki kamar dan duduk di samping tempat tidurku. Wajahnya menunjukkan keseriusan yang membuatku tahu ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
“Vano,” katanya, suaranya lembut namun penuh penekanan, “Aku tahu kamu masih merasa sakit. Tapi kamu harus sadar, Cella sudah pergi. Kamu tidak bisa hidup seperti ini selamanya. Kamu harus melanjutkan hidup.”
Aku hanya terdiam, menatap kosong ke depan. Kata-kata Zena benar, tapi kenyataannya, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Sesuatu yang sangat penting.
“Apa kamu sudah bicara dengan Aira?” tanya Zena, menyadari diamku.
Aku mengangguk perlahan, memikirkan kembali percakapan dengan Aira yang beberapa hari lalu masih terasa seperti mimpi. Aku merasa seolah ada banyak hal yang belum aku pahami tentang Cella, tentang perasaannya, dan tentang segala hal yang dia sembunyikan dari aku.
“Aira bilang… Cella pergi bukan karena dia tidak mencintaiku,” ujarku, berusaha mengungkapkan apa yang sudah lama mengendap dalam pikiranku. “Tapi… kenapa dia tidak memberitahuku? Kenapa dia tidak memberi kesempatan untuk aku tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Zena menunduk, sepertinya dia sedang berpikir keras. “Cella… mungkin dia takut, Vano. Dia takut kamu tidak bisa menerima kenyataan tentang apa yang dia alami. Aku rasa, dia berjuang sendirian, berusaha untuk tidak menjadi beban buatmu.”
Aku menatap Zena, mencoba mencari jawaban dalam matanya. “Tapi aku ingin tahu, Zena. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Zena menarik napas panjang dan akhirnya berkata, “Ada banyak hal yang Cella simpan. Aku rasa dia tidak ingin kamu melihatnya dalam keadaan seperti itu. Aku… aku sudah mencoba menolongnya, tapi dia selalu menolak untuk berbicara.”
Aku merasa seperti ada yang terlewatkan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Cella? Kenapa dia menutup diri begitu rapat? Mengapa dia lebih memilih untuk menghadapinya sendiri daripada berbagi denganku? Ada banyak pertanyaan yang masih mengganggu pikiranku, dan aku tak tahu siapa lagi yang bisa memberikan jawaban.
Zena bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku. “Aku tidak bisa memberitahumu semua yang terjadi, Vano. Itu bukan urusanku. Tapi aku tahu satu hal—Cella selalu ingin kamu bahagia. Mungkin itu alasan dia memilih pergi. Mungkin dia pikir, dengan perpisahan ini, kamu bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa ada bayang-bayangnya.”
Aku merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam diriku. Seseorang yang pernah sangat dekat denganku, yang selalu ada di sampingku, kini terasa seperti hilang begitu saja tanpa bekas. Aku merasa kesepian, tak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa dia. Namun, entah mengapa, kata-kata Zena sedikit membuka mataku.
“Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa bahagia tanpanya?” kataku perlahan, suaraku nyaris tidak terdengar. “Bagaimana kalau aku tidak bisa mencintai lagi setelah semua yang terjadi?”
Zena menatapku dengan penuh pengertian. “Cella tidak ingin kamu merasa seperti itu, Vano. Dia ingin kamu tahu, dia pergi karena itu adalah pilihan yang terbaik—untuk kamu dan untuk dirinya sendiri.”
Aku merasa jantungku terhimpit. Semua yang aku tahu tentang Cella, semua kenangan indah yang kami buat bersama, kini terasa seperti mimpi yang hilang begitu saja. Apakah benar Cella pergi demi kebahagiaanku? Apakah dia benar-benar rela meninggalkan aku tanpa penjelasan hanya demi melihat aku hidup tanpa rasa sakit?
Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, aku harus berusaha untuk bangkit. Aku harus melanjutkan hidup, meskipun hatiku masih terasa hancur.
Beberapa hari setelah percakapan itu, aku memutuskan untuk mengunjungi tempat yang dulu sering kami datangi bersama. Taman yang penuh dengan kenangan. Saat aku duduk di bangku yang biasa kami duduki, ada perasaan kosong yang datang menyelimutiku. Suara angin yang berdesir seolah mengingatkanku pada tawa Cella, pada hari-hari yang pernah kami habiskan bersama.
Di tengah lamunanku, aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku menoleh dan melihat Aira berdiri di depan aku, dengan wajah yang tampak khawatir.
“Aku tahu kamu sedang berjuang, Vano,” katanya pelan. “Tapi jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kenangan yang menyakitkan. Cella tidak ingin itu terjadi.”
Aku menatap Aira dengan pandangan kosong, lalu memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Apa yang terjadi pada Cella, Aira? Kenapa dia tidak memberitahuku?”
Aira menghela napas panjang. “Ada banyak hal yang kamu tidak tahu, Vano. Tapi aku bisa janji padamu, Cella tidak ingin kamu merasa kesepian. Dia ingin kamu tahu bahwa meskipun dia tidak ada lagi di sini, dia akan selalu mencintaimu. Itu adalah hal yang dia simpan dalam hati, bahkan saat dia pergi.”
Aku menundukkan kepala, merasakan setiap kata yang Aira ucapkan menghantam jantungku. Cella… mencintaiku sampai akhir. Aku tidak pernah tahu betapa dalam perasaannya, sampai akhirnya semuanya terlambat.
Aku menatap langit yang semakin kelam, dan dalam hati, aku berbisik, “Terima kasih, Cella. Terima kasih sudah mencintaiku, meski kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk tahu semuanya.”
Namun, aku tahu, meski Cella telah pergi, dia akan selalu ada dalam kenanganku. Dan aku berjanji, aku akan berusaha untuk terus berjalan, meskipun jalan itu terasa begitu berat.
Menghadapi Masa Depan
Waktu terus bergerak, tak peduli apakah aku siap untuk menghadapinya atau tidak. Setiap detik yang berlalu terasa seperti langkah-langkah kecil menuju sesuatu yang tidak aku ketahui. Entah kebahagiaan atau kesedihan, aku tidak bisa lagi menentukan. Yang jelas, hidup harus terus berjalan, meski setiap langkahku terasa berat.
Aku sudah beberapa kali mencoba untuk bangkit dari semua yang terjadi, tetapi rasanya, seiring waktu, semakin banyak kenangan yang mengikatku pada masa lalu. Di malam hari, aku sering terjaga, menatap langit yang sama dengan yang dulu aku pandangi bersama Cella. Aku tak bisa menyangkal, dia tetap ada di setiap sudut pikiranku. Namun, ada satu hal yang aku sadari: hidupku tidak bisa terus terhenti di masa lalu.
Zena, yang selama ini ada di sisiku, selalu mengingatkanku untuk melangkah maju. Meski aku tahu, tidak ada yang bisa menggantikan Cella. Namun, Zena adalah pengingat bahwa aku masih memiliki dunia yang harus dijalani.
Hari itu, aku memutuskan untuk menepati janji yang kutetapkan pada diriku sendiri. Untuk pertama kalinya setelah kepergian Cella, aku keluar untuk berjumpa dengan dunia. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayangnya selamanya. Meski hati ini terasa kosong, aku ingin merasakannya. Merasa hidup kembali.
Di sebuah kafe yang ramai, aku duduk sendiri, memandangi orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Ada sesuatu yang hangat dalam ruangan itu, seolah-olah hidup terus berputar, tak peduli apa yang sedang terjadi dalam hati seseorang. Aku menarik napas panjang dan mencoba menikmati secangkir kopi yang terhidang di meja.
Saat aku menyesap perlahan, pandanganku tertuju pada seorang wanita yang sedang duduk di meja dekat jendela. Dia tampak seperti seseorang yang sedang menunggu sesuatu. Aku memperhatikannya lebih dekat. Wajahnya tampak familiar. Perlahan, aku menyadari bahwa dia adalah Aira.
Dia menyadari pandanganku dan tersenyum. Tanpa berkata apa-apa, Aira berjalan ke arahku, dan duduk di seberang meja. Ada kehangatan di matanya yang selalu mampu membuat aku merasa sedikit tenang.
“Bagaimana rasanya, Vano?” tanyanya, suaranya lembut, namun tajam menembus hatiku. “Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Aku menatapnya dalam-dalam. Aira, meskipun tidak pernah bisa menggantikan Cella, tetap menjadi seseorang yang membuatku merasa lebih hidup. Ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya, sebuah ketulusan yang aku rasakan. “Aku tidak tahu, Aira,” jawabku perlahan, “Rasanya, aku hanya berusaha untuk menerima kenyataan.”
Aira mengangguk pelan, lalu menatap keluar jendela, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu kamu masih merasa sakit, Vano. Tapi kamu harus tahu satu hal—kepergian Cella bukanlah akhir dari segalanya. Kita masih punya hidup yang harus dijalani.”
Aku menghela napas, menatap cangkir kopi di depanku. “Aku tahu, Aira. Aku hanya… tidak tahu bagaimana harus memulai lagi. Aku tidak tahu bagaimana bisa melupakan Cella.”
Aira tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu melupakan dia. Cella selalu ingin kamu bahagia, Vano. Dia ingin kamu bisa melanjutkan hidup dengan cara yang baik. Kamu harus belajar untuk melepaskan, bukan untuk melupakan.”
Aku menunduk, merasa seperti ada beban yang berat di dada. Cella selalu ada dalam setiap langkahku, dalam setiap keputusan yang kuambil, meskipun kini dia tak lagi di sini. Tapi, kata-kata Aira membuatku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin memang benar, aku tidak perlu melupakan Cella. Aku hanya perlu melepaskan, memberi kesempatan pada diriku untuk merasa bahagia lagi.
“Aira…” aku mulai berbicara pelan, “Aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba untuk hidup lagi, meski tanpa Cella di sampingku.”
Aira mengangguk. “Itu adalah langkah yang benar, Vano.”
Saat kami terdiam sejenak, suasana di kafe itu tiba-tiba terasa berbeda. Bukan hanya karena keberadaan Aira, tapi ada perasaan baru yang mulai tumbuh dalam hatiku. Perasaan bahwa meskipun Cella telah pergi, hidupku masih berlanjut. Ada banyak hal yang masih bisa kucapai, banyak kenangan indah yang bisa aku hargai, dan banyak orang yang akan terus mendukungku.
Ketika aku melangkah keluar dari kafe itu, udara pagi terasa lebih segar dari sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu satu hal—aku akan terus berjalan. Mungkin perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku siap menghadapinya.
Cella mungkin sudah pergi, tetapi cintanya tetap ada, ada dalam setiap langkahku, dalam setiap kenangan yang kupegang erat. Aku akan terus hidup dengan membawa semua yang dia ajarkan padaku. Untuk dirinya, dan untuk diriku sendiri.
Perjalanan hidup ini belum berakhir.
Jadi, kalau kamu masih nyimpen hati yang patah, ingat aja—perjalanan hidup nggak selalu mudah, tapi pasti ada alasan kenapa kita harus ngalamin semua itu. Mungkin, cinta nggak selalu berakhir bahagia, tapi pasti ada pelajaran yang bikin kita lebih kuat. Jadi, jangan takut buat melangkah lagi, karena di luar sana masih banyak cerita yang menunggu untuk kamu tulis.