Cerpen Nelayan dan Iblis Jahat: Godaan Maut di Lautan Malam

Posted on

Pernah dengar soal nelayan yang buat perjanjian sama iblis? Ini bukan cerita dongeng biasa, bro. Bayangin aja, laut malam yang gelap gulita, angin kencang, dan suara bisikan dari sesuatu yang nggak kasat mata—tapi nyata banget.

Ada seorang nelayan biasa, tapi malam itu dia dihadapkan sama pilihan yang bisa nentuin hidup dan matinya. Kaya dan berkuasa? Atau tetap jadi manusia yang utuh tanpa harus ngorbanin jiwanya? Ini bukan sekadar cerita horor, ini tentang pertarungan iman di tengah laut yang nggak kenal ampun. Siap ngerasain tegangnya?

 

Godaan Maut di Lautan Malam

Ombak yang Berbisik

Malam itu, langit di desa pesisir tampak kelam. Bulan enggan menampakkan dirinya, bersembunyi di balik gumpalan awan hitam yang bergelayut rendah. Angin laut berembus malas, membawa aroma asin yang bercampur dengan kelembapan malam. Ombak bergulung lemah di bibir pantai, namun di kejauhan, suara hempasan air terdengar lebih berat dari biasanya—seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.

Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, para nelayan berkumpul di pondok kayu dekat dermaga. Wajah mereka muram, beberapa bahkan terlihat gelisah. Seorang lelaki tua bertubuh kurus dengan janggut memutih, yang dikenal sebagai Pak Gurang, duduk di atas peti kayu, memutar-mutar pipa rokok di tangannya.

“Aku bilang, ada yang nggak beres di laut,” suaranya parau, sarat dengan kelelahan dan ketakutan yang ia coba sembunyikan. “Semalam, aku lihat sesuatu… bayangan hitam besar di antara ombak. Matanya merah menyala, seakan nunggu sesuatu.”

Seorang nelayan muda bernama Ranu menelan ludah, tubuhnya merinding. “Banyak yang bilang ikan-ikan menghilang karena musim berubah, tapi… kalau memang begitu, kenapa cuma di laut kita? Nelayan dari desa sebelah masih dapet tangkapan bagus.”

Pak Gurang mengangguk pelan, matanya menyipit. “Kalian tahu legenda itu, kan? Dulu, sebelum kita tinggal di sini, laut ini bukan milik manusia. Ada yang menguasainya, makhluk dari dasar samudra… Iblis Laut.”

Suasana pondok mendadak hening. Tak ada yang berani mengeluarkan suara, bahkan napas mereka terasa tertahan.

Namun, seorang lelaki berdiri di sudut, bersandar santai di tiang kayu dengan tangan terlipat di dada. Jatmaya, nelayan yang lebih sering diam dan memilih fokus pada pekerjaannya, menatap mereka dengan ekspresi datar.

“Kalian percaya takhayul?” tanyanya, suara tenang tapi terdengar jelas. “Ikan nggak ada, ya kita cari lebih jauh. Laut itu luas, bukan cuma milik satu desa.”

Pak Gurang menatapnya dengan sorot tajam. “Kamu nggak paham, Jatmaya. Ini bukan soal jarak. Laut ini mulai berubah. Dan kalau itu benar-benar ulah iblis, kita semua dalam bahaya.”

Jatmaya mendengus, lalu berjalan ke arah pintu. “Kalau kalian takut, ya udah. Aku tetap berangkat. Nggak ada ikan, nggak ada makan.”

Seisi pondok saling pandang, beberapa mencoba menahan Jatmaya, tapi ia sudah melangkah keluar, meninggalkan suara gumaman khawatir di belakangnya.

Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jatmaya berjalan menuju dermaga, tempat perahunya tertambat. Ombak kecil berayun pelan, memantulkan cahaya lampu-lampu kecil yang tergantung di pondok nelayan.

Saat tangannya menyentuh tali perahu, suara lain menyusulnya.

“Kamu yakin mau melaut sendirian?”

Jatmaya menoleh. Seorang gadis berdiri tak jauh darinya, wajahnya samar dalam cahaya remang. Itu Kirana, putri salah satu nelayan tua di desa. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, seolah mencoba melindungi diri dari udara malam.

“Aku nggak takut,” jawab Jatmaya, menatapnya sebentar sebelum kembali mengatur jaringnya.

Kirana menghela napas. “Tapi ini beda, Jatmaya. Semua nelayan nggak ada yang berani turun ke laut. Mereka bilang ada sesuatu di air.”

“Laut nggak bisa dimiliki siapa pun,” Jatmaya menarik simpul tali dengan cekatan. “Kalau memang ada yang tinggal di sana, dia harus tahu, manusia juga butuh hidup.”

Kirana terdiam. Matanya memandang Jatmaya dengan ekspresi sulit ditebak. “Aku cuma nggak mau ada yang hilang lagi.”

Jatmaya menghentikan tangannya sejenak, tapi tak menjawab. Hanya suara kayu yang berderit ketika ia naik ke perahunya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mendorong perahu itu menjauh dari dermaga, membiarkan angin malam membawanya ke tengah laut. Kirana tetap berdiri di sana, menatapnya hingga hanya siluetnya yang tersisa di kegelapan.

Sementara itu, jauh di lautan, sesuatu bergerak di antara gelombang. Seolah-olah lautan sendiri menyambut kehadiran sang nelayan—atau mungkin mengawasi langkahnya yang penuh keyakinan.

 

Mata Merah di Kedalaman

Lautan di sekeliling Jatmaya begitu pekat, seolah tinta hitam telah dituangkan ke dalamnya. Angin berhenti berembus, membuat ombak terasa mati. Hanya suara air yang berdesir lembut di sisi perahunya, menciptakan kesunyian yang aneh. Ia menggenggam dayung lebih erat, mengayuh perlahan ke tengah laut.

Langit tanpa bulan membuat segalanya terasa lebih dingin. Di kejauhan, cahaya-cahaya dari desa telah menghilang, menegaskan betapa jauh ia telah melaju. Jatmaya menghela napas pelan, matanya menatap permukaan air yang berkilau samar di bawah cahaya bintang.

Ia melemparkan jaringnya. Air beriak saat jaring itu tenggelam, menghilang ke dalam kegelapan. Detik demi detik berlalu tanpa hasil. Tidak ada tarikan, tidak ada gerakan dari bawah sana. Hampa.

Tapi kemudian…

Tiba-tiba, tali jaringnya menegang. Bukan tarikan kecil seperti ikan biasa, melainkan hentakan kuat yang hampir menariknya jatuh ke laut. Jatmaya segera mencengkeram tali itu dengan kedua tangan.

“Apa ini…?” gumamnya, matanya menatap air dengan waspada.

Di dalam kegelapan lautan, sesuatu berkilat samar. Kilauan aneh, bukan pantulan cahaya bintang, melainkan sepasang mata merah menyala.

Jatmaya tertegun. Dadanya berdegup lebih cepat. Napasnya terasa berat saat ia menatap mata itu yang perlahan naik ke permukaan. Ombak di sekitarnya mulai bergerak, seakan laut pun ikut bernapas bersama makhluk itu.

Jatmaya meraih pisau kecil yang terselip di ikat pinggangnya, bersiap memotong jaring jika perlu. Tapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, sesuatu muncul dari dalam air—tangan, panjang dan kurus, berwarna hitam kebiruan seperti daging yang telah membusuk di dasar laut. Jari-jarinya panjang, dengan kuku runcing seperti cakar.

Tangan itu meraih sisi perahu.

Jatmaya tersentak mundur, tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara berat menggema dari dalam air.

“Manusia… akhirnya, kau datang ke tempatku.”

Darah Jatmaya terasa membeku. Suara itu tidak berasal dari satu arah, melainkan seolah datang dari segala penjuru lautan.

Dari dalam air, muncul sesosok makhluk tinggi, lebih besar dari manusia biasa. Tubuhnya ramping tapi kuat, berwarna gelap seperti bayangan yang menyatu dengan malam. Wajahnya samar, tapi mata merah itu tetap menyala, menatap Jatmaya dengan intensitas yang menusuk ke dalam jiwa.

Jatmaya menguatkan genggaman pada pisaunya. “Siapa kamu?”

Makhluk itu menyeringai, menampakkan deretan gigi tajam yang berkilauan.

“Aku? Aku adalah yang telah lama menunggu kalian, manusia rakus yang mengambil apa yang bukan milikmu.”

Ombak di sekeliling mereka mulai berputar, menciptakan pusaran kecil yang membuat perahu Jatmaya bergoyang hebat.

“Laut ini dulu tenang sebelum manusia datang. Kau dan kaummu mengambil ikan, membunuh makhluk-makhlukku, dan mengotori perairanku. Sudah saatnya aku mengambil sesuatu darimu.”

Jatmaya menahan napas. Ia bukan orang yang mudah percaya pada legenda atau takhayul, tapi makhluk ini—makhluk ini benar-benar ada di hadapannya.

“Aku cuma nelayan,” katanya, berusaha terdengar tenang meski keringat dingin mulai membasahi punggungnya. “Aku cuma cari makan.”

Makhluk itu tertawa, suaranya bergema menyeramkan.

“Kau bilang hanya mencari makan? Tidak, manusia. Kau semua serakah. Dan aku ingin membuat perjanjian.”

Jatmaya menegang. “Perjanjian apa?”

Makhluk itu menyandarkan kepalanya ke sisi perahu, tatapan matanya tidak pernah lepas dari Jatmaya.

“Aku bisa memberimu kekayaan. Perahu penuh ikan, emas, apa pun yang kau inginkan.”

Jatmaya mengerutkan kening. “Dan apa yang kamu mau sebagai gantinya?”

Senyuman iblis itu semakin lebar.

“Satu hal kecil saja… jiwamu.”

Angin dingin berembus tiba-tiba, membuat bulu kuduk Jatmaya meremang. Hening. Laut terasa semakin pekat, seakan menunggunya memberikan jawaban.

Jatmaya menggenggam pisaunya lebih erat. Ia bisa merasakan sesuatu di dalam dirinya—dorongan untuk menolak, tapi juga bisikan kecil yang bertanya: bagaimana jika ia menerima?

Di depan matanya, iblis itu masih menatap, menunggu jawabannya.

 

Perjanjian di Atas Darah

Jatmaya menelan ludah. Angin dingin berputar di sekelilingnya, membawa suara laut yang berbisik seperti makhluk-makhluk tak kasatmata sedang mengawasi. Di depannya, iblis laut itu menunggu dengan mata merah menyala, seperti dua bara api yang siap membakar jiwanya.

“Jiwaku?” suara Jatmaya bergetar.

Iblis itu mengangguk, sudut bibirnya tertarik ke atas dalam senyum yang lebih mirip ancaman daripada tawaran. “Hanya itu. Sebuah harga kecil untuk kekayaan yang tak akan pernah kau bayangkan.”

Jatmaya diam, pikirannya berputar liar. Jika ia menerima, ia bisa menjadi nelayan terkaya di desa. Tidak perlu lagi bertarung dengan ombak kosong, tidak perlu lagi pulang dengan tangan hampa. Tapi… menyerahkan jiwanya? Apa yang sebenarnya dimaksud iblis itu? Apakah ia akan mati? Atau ada harga lain yang harus dibayar?

“Aku bukan orang bodoh,” ujar Jatmaya akhirnya, suaranya lebih stabil sekarang. “Kalau kau benar bisa memberiku kekayaan, mana buktinya?”

Iblis laut itu tertawa. Ombak di sekeliling mereka bergetar hebat, lalu—byur!—dari dalam air, ikan-ikan mulai bermunculan. Bukan hanya satu atau dua, tapi puluhan, ratusan, melompat ke dalam perahu Jatmaya. Ikan tuna, kakap merah, bahkan beberapa ikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Perahunya hampir tenggelam oleh beban ikan-ikan yang tiba-tiba datang dari kegelapan laut.

Mata Jatmaya membelalak. Ini gila. Ini tidak masuk akal.

“Lihat?” iblis itu berbisik, suaranya seperti desiran angin di malam hari. “Ini hanya sebagian kecil dari yang bisa kau dapatkan. Terima perjanjianku, dan aku akan membuatmu kaya. Orang-orang akan memujamu, menghormatimu.”

Jatmaya menatap perahunya yang penuh ikan. Ia bisa pulang malam ini dan membuat desa tercengang. Mereka akan menyebutnya nelayan terhebat. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganjal.

Ia menatap iblis itu. “Dan jika aku menolak?”

Iblis itu tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berubah di matanya. Mata merahnya kini lebih pekat, lebih dalam, seperti jurang yang siap menelan siapa pun yang menatapnya terlalu lama.

“Maka aku akan mengambil sesuatu darimu, manusia,”suaranya tak lagi terdengar ramah.“Kau telah memasuki wilayahku. Kau telah melihatku. Kau telah menerima berkahku, walau sesaat. Dan tidak ada yang bertemu denganku lalu pergi tanpa membayar harga.”

Jatmaya mencengkeram pisaunya. Dingin mulai menjalari tubuhnya, bukan karena angin laut, tapi karena firasat buruk yang kini membesar dalam dadanya.

Ombak semakin liar. Perahunya bergoyang hebat, ikan-ikan yang tadi melompat masuk kini berdesakan seperti mereka pun ingin keluar dari situasi ini.

Jatmaya mengambil napas dalam. Jika ia menolak, iblis ini mungkin akan membunuhnya. Tapi jika ia menerima… jiwanya akan menjadi milik iblis ini.

Ia menatap iblis itu lurus-lurus. “Kalau aku menerima, bagaimana caranya?”

Senyum iblis itu kembali melebar. “Kau hanya perlu memberikan darahmu kepadaku.”

Jatmaya terdiam.

Iblis itu mengulurkan tangannya. “Teteskan darahmu ke laut. Dengan begitu, aku tahu bahwa kau menerima. Lalu, hidupmu akan berubah selamanya.”

Jatmaya menatap tangannya sendiri, pisau masih ia genggam. Hanya sedikit darah. Hanya satu tetes. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, ini bukan sekadar darah. Ini adalah ikatan.

Ia mengangkat pisaunya perlahan, lalu…

Tiba-tiba, terdengar suara.

“Jatmaya!”

Suara keras itu datang dari kejauhan, dari arah desa. Jatmaya tersentak, menoleh. Di batas antara daratan dan lautan, tampak seseorang berdiri di atas perahu kecil, membawa lentera yang cahayanya berkedip-kedip tertiup angin.

Itu Mbah Wira.

Jatmaya membeku. Napasnya tercekat.

Mbah Wira adalah nelayan tertua di desa, seorang pria tua yang selalu memperingatkan anak-anak muda untuk tidak melaut di malam tanpa bulan. Ia sering bercerita tentang makhluk-makhluk gelap di laut, tentang para iblis yang menunggu manusia-manusia serakah.

Dan sekarang, di tengah malam yang pekat, ia ada di sini.

“Jangan lakukan, Jatmaya!”suaranya terdengar putus asa.“Keluar dari situ sebelum terlambat!”

Iblis laut itu menoleh ke arah Mbah Wira, dan dalam sekejap, wajahnya berubah. Mata merahnya berkilat marah, rahangnya mengeras, giginya yang tajam kini terlihat lebih panjang.

Ombak naik dengan cepat, seperti lautan sedang mengamuk.

“Pergi, manusia tua,” suara iblis itu menggelegar. “Ini bukan urusanmu.”

Tapi Mbah Wira tidak gentar. Ia mendayung mendekat dengan cepat. “Jatmaya, kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan!”

Jatmaya memandang Mbah Wira, lalu kembali menatap iblis laut itu. Sekarang, ia menyadari sesuatu.

Iblis ini… takut.

Ia takut pada Mbah Wira.

Tapi kenapa?

Jatmaya menahan napas, pikirannya berputar cepat. Apakah iblis ini memiliki kelemahan? Apakah Mbah Wira tahu sesuatu yang bisa menyelamatkannya?

Ombak semakin liar, iblis itu mulai bergerak lebih agresif, bayangannya membesar, tubuhnya tampak lebih kelam.

“Jatmaya, kau harus menolak sebelum dia benar-benar mengikatmu!” teriak Mbah Wira.

Jatmaya terdiam.

Ia menatap iblis itu. Ia menatap Mbah Wira.

Dan dalam hatinya, ia tahu—keputusan yang akan ia buat malam ini akan menentukan apakah ia akan pulang… atau hilang di lautan selamanya.

 

Ombak Tak Menginginkan Darah

Angin menderu makin kencang. Ombak bergulung-gulung, menciptakan dinding air raksasa yang seakan siap menelan perahu Jatmaya. Di depan, iblis laut itu menatapnya tajam, kesabarannya hampir habis.

“Jatmaya, waktumu hampir habis,”suara iblis itu kini berat dan bergaung, seperti datang dari kedalaman laut yang paling dalam.“Teteskan darahmu, atau aku akan mengambilnya sendiri!”

Jatmaya mencengkeram pisaunya lebih erat. Hatinya berdebar, pikirannya berkecamuk. Jika ia menyerahkan dirinya sekarang, ia akan kaya, dihormati, tak perlu lagi takut melaut dengan tangan kosong. Tapi jika ia menolak… apa yang akan dilakukan iblis itu padanya?

“Jatmaya! Jangan biarkan dia menguasaimu!” suara Mbah Wira kembali menggema.

Jatmaya menoleh. Perahu Mbah Wira sudah semakin dekat, lentera di tangannya bergoyang tertiup angin kencang. Wajah lelaki tua itu tegang, tatapannya penuh ketakutan—bukan pada ombak, bukan pada badai, tapi pada iblis yang kini berdiri di hadapan mereka.

“Lihat sekelilingmu!” lanjut Mbah Wira. “Laut ini bukan milik iblis! Kau bukan miliknya! Dia hanya bisa menguasai orang yang menyerah pada ketakutan dan keserakahan mereka sendiri!”

Jatmaya membeku. Kata-kata Mbah Wira menggema di dalam benaknya.

Bukan milik iblis.

Laut ini bukan miliknya.

Iblis itu tidak bisa memaksa… kecuali ia menyerah sendiri.

Tangan Jatmaya yang menggenggam pisau mulai gemetar. Lalu, dengan gerakan cepat, ia melempar pisau itu ke dalam laut.

“Aku tidak akan memberikan jiwaku padamu!” suaranya menggelegar, menembus suara angin dan ombak.

Iblis laut itu membelalak. Matanya yang merah menyala berubah lebih pekat, ekspresinya seketika bertransformasi dari senyum licik menjadi kemarahan yang tak terbendung.

“Kau menolak…?” suaranya rendah dan berbahaya.

Tiba-tiba, ombak menggila. Perahu Jatmaya berguncang hebat, air mulai masuk ke dalamnya. Dari dalam laut, muncul tangan-tangan hitam berkerangka, mencoba meraih perahunya, mencoba menariknya ke dasar laut.

Jatmaya terhuyung, hampir terjatuh ke dalam air.

“Pegang ini!” Mbah Wira melempar sesuatu ke arahnya.

Jatmaya reflek menangkapnya—seutas tali yang basah, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tali itu terasa hangat di tangannya, seakan menyala dengan kekuatan yang tak terlihat.

“Tarik aku keluar dari sini!” teriak Jatmaya.

Mbah Wira menarik tali itu dengan sekuat tenaga, sementara Jatmaya berpegangan erat. Ombak menghantam lebih keras, suara iblis itu kini berubah menjadi jeritan penuh amarah.

“Kau bodoh, Jatmaya! Aku memberimu kesempatan emas, dan kau menyia-nyiakannya!”

Jatmaya tidak peduli. Ia terus berpegangan pada tali itu, tubuhnya bergetar, hatinya berdebar kencang.

“Kau hanya bisa menipu orang yang takut dan tamak!” balas Jatmaya. “Tapi aku tidak akan jatuh ke dalam jebakanmu!”

Seketika, lentera di tangan Mbah Wira berkedip—dan cahaya dari lentera itu semakin terang, bersinar begitu kuat hingga menyelimuti perahu mereka dalam cahaya keemasan.

Iblis itu berteriak. Tubuhnya yang hitam pekat mulai terbelah, bergetar, lalu…

Byar!

Sosoknya meledak menjadi buih hitam yang berhamburan ke udara, lalu jatuh ke laut, menghilang dalam ombak yang kini mulai mereda.

Sejenak, hanya suara angin yang tersisa. Laut yang tadi mengamuk kini kembali tenang, seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Jatmaya terengah-engah, matanya masih menatap kosong ke permukaan laut.

“Dia… sudah pergi?”

Mbah Wira mengangguk, matanya masih tajam. “Untuk sekarang.”

Jatmaya menelan ludah. “Apa maksudmu?”

Mbah Wira menghela napas dalam. “Iblis seperti dia tidak pernah benar-benar mati. Dia hanya kembali ke tempat asalnya… menunggu kesempatan lain, menunggu orang lain yang cukup putus asa untuk menerima tawarannya.”

Jatmaya mengeratkan genggamannya pada sisi perahu. Ada rasa lega di dadanya, tapi juga ketakutan yang tersisa.

Mbah Wira menepuk bahunya. “Kau telah memilih dengan benar, Jatmaya.”

Jatmaya menatap Mbah Wira dalam-dalam. “Apa kau pernah berhadapan dengannya sebelumnya?”

Lelaki tua itu tidak langsung menjawab. Tapi dari sorot matanya yang kelam, Jatmaya tahu… jawabannya adalah ya.

Namun, itu adalah cerita untuk lain waktu.

Langit mulai berubah. Cahaya keperakan muncul di kejauhan, menandakan fajar akan segera datang.

Jatmaya dan Mbah Wira mendayung kembali ke desa, meninggalkan lautan yang kini kembali sunyi. Namun, satu hal pasti—Jatmaya tidak akan pernah melupakan malam ini.

Malam ketika ia hampir kehilangan jiwanya.

Malam ketika ia menolak tawaran iblis.

Malam ketika ia mengalahkan kegelapan… dan memilih tetap menjadi manusia.

 

Laut akhirnya kembali tenang, tapi siapa yang bisa jamin iblis itu nggak bakal muncul lagi? Hari ini Jatmaya menang, tapi besok… siapa yang tahu? Mungkin di luar sana, ada orang lain yang udah nyerah sebelum bertarung.

Mungkin lautan menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kita kira. Jadi, kalau suatu hari kamu ada di tengah laut dan dengar suara yang bukan milik manusia… jangan pernah jawab. Karena sekali kamu meladeni, kamu nggak akan bisa kabur.

Leave a Reply