Cerpen Misterius yang Menghilang: Kisah Tak Terlupakan di Perpustakaan Tua

Posted on

Pernah dengar cerita tentang sebuah cerpen yang hanya bisa dibaca sekali seumur hidup? Keren, kan? Di dunia ini ada banyak cerita yang nggak bisa kita lupain, tapi ada satu cerita yang bahkan begitu dibaca, semua isinya langsung menghilang.

Tapi, jangan khawatir, cerita ini nggak sekadar soal kata-kata yang hilang, ini lebih dari itu. Kalau kamu penasaran, yuk simak terus cerpen ini yang bakal bikin kamu mikir, Ini kenapa bisa begitu?

 

Cerpen Misterius yang Menghilang

Perpustakaan Cahaya Senja

Di sudut kota Cahaya Senja, berdiri sebuah perpustakaan tua yang sudah lama kehilangan gemerlapnya. Bangunannya bercat cokelat pudar, dengan jendela-jendela besar yang kacanya mulai menguning dimakan waktu. Pintu kayunya berderit pelan setiap kali terbuka, seakan menyambut dengan nostalgia yang berat.

Di dalamnya, rak-rak tinggi menjulang, menyimpan buku-buku berdebu yang jarang disentuh. Cahaya matahari sore masuk dari sela-sela jendela, membentuk garis-garis emas di udara yang penuh partikel debu beterbangan. Aroma kertas tua dan kayu lapuk memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat tapi misterius.

Di balik meja kayu di sudut ruangan, seorang lelaki tua duduk dengan tenang. Sangara, satu-satunya penjaga perpustakaan itu, adalah sosok yang selalu ada di sana, meskipun pengunjung semakin jarang datang. Rambutnya telah memutih, kulitnya penuh kerutan, tapi matanya tetap tajam, seperti menyimpan cerita-cerita yang tak pernah diceritakan.

Meski terlihat biasa, ada satu hal yang membuat perpustakaan ini berbeda dari tempat lain. Sebuah cerpen tanpa judul yang konon hanya bisa dibaca sekali seumur hidup.

Tak ada yang tahu dari mana cerpen itu berasal. Tak ada nama penulis, tak ada catatan sejarah tentang siapa yang pertama kali menemukannya. Hanya Sangara yang tahu di mana lembaran tua itu disimpan, dan hanya dia yang boleh mengizinkan seseorang untuk membacanya.

Suatu sore yang tenang, pintu perpustakaan berderit, membuat Sangara mengangkat kepala dari buku yang sedang dibacanya. Seorang pemuda melangkah masuk.

Ia tampak berusia sekitar dua puluh tahunan, mengenakan jaket hitam yang sedikit lusuh dan membawa sebuah buku catatan di tangannya. Rambutnya sedikit berantakan, seolah telah melewati perjalanan panjang. Matanya menelusuri perpustakaan dengan penuh rasa ingin tahu, lalu akhirnya berhenti di meja Sangara.

“Selamat sore,” kata pemuda itu, suaranya tenang namun penuh keyakinan.

“Sore,” balas Sangara singkat, menutup bukunya. “Baru pertama kali ke sini?”

Pemuda itu mengangguk. “Aku Vindra.” Ia menyunggingkan senyum kecil. “Aku seorang penulis, dan aku dengar ada sebuah cerpen di tempat ini yang hanya bisa dibaca sekali.”

Sangara menatapnya lama. Sudah bertahun-tahun ia mendengar kalimat yang sama dari banyak orang yang datang ke perpustakaan ini. Semua ingin membaca cerpen itu, semua ingin tahu rahasianya.

“Kalau kamu hanya penasaran, lebih baik lupakan saja,” kata Sangara akhirnya.

Vindra tertawa pelan. “Kalau aku hanya penasaran, aku tidak akan jauh-jauh datang ke kota ini.”

Sangara menghela napas. Pemuda ini berbeda dari kebanyakan orang yang datang ke sini. Tatapannya tidak penuh ambisi, tapi juga tidak ragu. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Sangara merasa seolah-olah cerita itu memang sedang menunggu seseorang seperti dia.

“Tahu aturannya?” tanya Sangara akhirnya.

“Ya. Aku hanya bisa membacanya sekali, dan setelah itu, aku tidak akan bisa mengingatnya dengan jelas.”

Sangara tersenyum kecil. “Lalu, kenapa tetap ingin membacanya?”

Vindra terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Karena aku ingin merasakan seperti apa cerita yang bisa membuat seseorang kehilangan kata-kata.”

Ada jeda singkat sebelum Sangara akhirnya bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju lemari kayu tua di belakang meja, membuka salah satu lacinya, dan mengeluarkan sebuah map yang sudah menguning.

“Baiklah,” katanya sambil meletakkan map itu di atas meja. “Tapi jangan menyesal setelahnya.”

Vindra menatap map itu dengan penuh rasa ingin tahu. Tangannya perlahan terangkat, menyentuh permukaannya yang kasar.

Sangara menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperhatikan dengan seksama. Ia tahu, sejak hari ini, sesuatu akan berubah. Ia hanya belum tahu apakah itu sesuatu yang baik atau buruk.

Dan begitulah, lembaran kisah yang telah lama menunggu akhirnya bertemu dengan pembacanya.

 

Pemuda yang Mencari Inspirasi

Vindra membuka map itu dengan hati-hati. Kertas di dalamnya tampak tua, ujung-ujungnya mulai rapuh, tapi tulisan tangan di sana masih jelas terbaca. Cahaya sore yang masuk dari jendela menerangi lembaran itu, seakan memberi kesan sakral pada momen ini.

Sangara diam di tempatnya, memperhatikan dengan tenang. Ia telah melihat banyak orang membaca cerpen itu—ada yang menangis, ada yang tersenyum, ada yang hanya terdiam lama setelah selesai. Tapi satu hal yang pasti: tak ada yang bisa mengingat isinya dengan jelas setelah membacanya.

Vindra menarik napas dalam, lalu mulai membaca.

Seiring dengan matanya yang bergerak mengikuti baris demi baris tulisan, ekspresinya perlahan berubah. Dahinya sedikit berkerut, bibirnya sempat terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian tertutup kembali. Tangannya yang tadi mantap menggenggam kertas itu kini sedikit gemetar.

Sangara memperhatikannya tanpa bersuara.

Setelah beberapa menit berlalu, sesuatu yang tak biasa terjadi.

Vindra tiba-tiba berhenti membaca. Tangannya terangkat ke dahinya, matanya membelalak. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, seperti seseorang yang baru saja tersadar dari mimpi yang begitu nyata.

“Apa ini…” suaranya nyaris berbisik.

Sangara tetap diam.

Vindra menunduk menatap kertas itu, tapi ada sesuatu yang aneh—tulisan yang tadi jelas terbaca kini mulai memudar. Ia berkedip lagi, mencoba fokus, tapi kata-kata di sana terus lenyap, huruf demi huruf, hingga akhirnya tak tersisa apa-apa.

Hanya kertas kosong.

Vindra terkejut, tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaannya. “Tulisan ini… hilang?!”

Sangara menghela napas pelan. “Itulah yang selalu terjadi.”

“Tidak, tidak,” Vindra menggeleng keras. “Aku baru saja membacanya, aku mengerti setiap kata yang ada di sana, tapi sekarang…” Ia menutup matanya, mencoba mengingat, tetapi semakin ia berusaha, semakin kosong pikirannya. “Aku tidak bisa mengingat apa pun…”

“Itulah yang sudah aku katakan sebelumnya,” kata Sangara, suaranya tetap tenang. “Cerpen itu hanya bisa dibaca sekali, dan setelah itu, ingatan tentang isinya akan kabur.”

Vindra membeku di tempatnya, masih menatap kertas kosong itu dengan ekspresi tak percaya.

“Aku ingat rasanya,” katanya akhirnya, suaranya hampir bergetar. “Aku ingat bahwa aku telah membaca sesuatu yang luar biasa… sesuatu yang begitu dalam, begitu nyata. Tapi isinya… semua detailnya… hilang.”

Sangara menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang Vindra dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Jadi sekarang kamu paham?” tanyanya pelan.

Vindra menatap ke depan, pikirannya masih berkecamuk. “Apa yang sebenarnya ada dalam cerita itu?”

“Itu pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh semua orang setelah membacanya,” jawab Sangara. “Dan tak seorang pun bisa memberikan jawaban.”

Vindra menutup map itu perlahan. Jantungnya masih berdetak cepat, seperti baru saja mengalami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Kenapa bisa begini?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Sangara mengangkat bahu. “Mungkin itulah kekuatan dari cerita itu. Sesuatu yang tidak bisa kita miliki selamanya, tapi meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang.”

Vindra terdiam lama. Ia menatap ke luar jendela, matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat oranye di langit. Ada perasaan aneh di dadanya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—seperti kehilangan, tapi sekaligus penuh.

Ia datang ke sini mencari inspirasi.

Dan kini, ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar inspirasi.

Ia hanya belum tahu apa itu.

Namun, satu hal yang pasti…

Cerita itu, meski telah lenyap dari kertas, tetap hidup di dalam dirinya.

Tulisan yang Menghilang

Sejak hari itu, Vindra merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Malam pertama setelah membaca cerpen itu, ia duduk di kamar penginapan kecilnya dengan secarik kertas kosong di depan mata. Lampu meja menerangi lembaran putih itu, sementara pena di tangannya menggantung tanpa arah. Ia mencoba menulis—apa pun yang bisa ia ingat dari cerpen itu.

Tapi setiap kali pena itu menyentuh kertas, otaknya terasa kosong.

Frustasi, ia mengacak rambutnya dan menatap langit-langit.

“Aku ingat aku membaca sesuatu… aku tahu itu luar biasa… tapi kenapa aku tidak bisa menulis ulang?” gumamnya.

Kata-kata yang ia cari terasa seperti pasir yang terus mengalir dari sela-sela jari. Setiap kali ia berusaha menangkapnya, yang tersisa hanyalah kehampaan.

Tapi ada satu hal yang ia yakini—perasaan yang tersisa dari cerpen itu masih melekat di hatinya.

Keesokan harinya, Vindra kembali ke perpustakaan.

Sangara, seperti biasa, duduk di meja kayunya dengan buku di tangan. Saat melihat Vindra masuk, lelaki tua itu hanya menaikkan alis sedikit, seolah sudah menduga kedatangannya.

“Sudah mulai terasa, kan?” katanya tanpa perlu bertanya lebih dulu.

Vindra mengangguk pelan. “Aku tidak bisa mengingatnya… tapi aku juga tidak bisa melupakannya.”

Sangara terkekeh kecil. “Sama seperti yang lain.”

“Tapi ada yang aneh,” lanjut Vindra, suaranya lebih serius. “Aku merasa harus menulis sesuatu… tapi aku tidak tahu apa.”

Sangara meletakkan bukunya. “Kamu merasa cerita itu belum selesai?”

Vindra terdiam. Pertanyaan itu terasa aneh, tapi di saat yang sama, sangat masuk akal.

“Aku… tidak tahu.” Ia menghela napas, lalu menggeleng. “Aku hanya merasa seperti ada sesuatu yang masih tertinggal. Sesuatu yang belum selesai.”

Sangara memandangnya lama, lalu bangkit dari kursinya. Tanpa bicara, ia melangkah ke arah lemari tua yang kemarin ia buka.

Vindra menegakkan tubuhnya.

Ia pikir lelaki tua itu akan mengeluarkan map yang sama, tapi yang terjadi justru lebih mengejutkan—Sangara mengeluarkan selembar kertas kosong dan meletakkannya di atas meja.

Vindra menatapnya bingung. “Apa ini?”

“Kertas itu… adalah kertas yang sama dengan yang kamu baca kemarin,” kata Sangara.

Vindra terdiam.

“Tapi…” Ia meraih kertas itu dengan hati-hati. Ia tahu bahwa ini memang kertas yang sama—teksturnya, warnanya, bahkan lipatan kecil di sudutnya. Namun, tak ada satu pun tulisan yang tersisa di sana.

“Ini cuma kertas kosong sekarang,” bisiknya.

Sangara tersenyum kecil. “Dari awal, cerpen itu memang seperti ini. Tulisan di sana selalu menghilang setelah seseorang membacanya. Dan aku… hanya bisa menunggu sampai tulisan itu muncul kembali.”

Vindra mendongak dengan kaget. “Tulisan itu… bisa muncul lagi?”

Sangara mengangguk pelan. “Tapi bukan aku yang menentukannya.”

Vindra menatap kertas di tangannya, jantungnya berdebar.

“Jadi… bagaimana tulisan itu bisa kembali?” tanyanya.

Sangara menatapnya dalam-dalam. “Kamu yang harus mencari tahu.”

Vindra kembali ke penginapannya dengan kertas kosong itu. Ia duduk di mejanya, menyalakan lampu, lalu menatap lembaran itu dalam-dalam.

Ada sesuatu yang aneh dari kertas ini. Meski tampak kosong, ia bisa merasakan sesuatu di dalamnya—seolah ada jejak samar dari kata-kata yang pernah tertulis di sana.

Tapi bagaimana cara membawanya kembali?

Dengan hati-hati, ia mengambil pena dan menyentuhkan ujungnya ke kertas itu.

Dan sesuatu yang tak terduga terjadi.

Begitu ia mulai menulis, tangannya bergerak sendiri. Kata-kata mengalir keluar tanpa bisa ia kontrol, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang mencoba keluar. Ia tidak tahu apa yang sedang ia tulis, tapi perasaannya begitu kuat—seakan-akan cerita itu masih hidup, masih bernafas, dan sedang menunggu seseorang untuk menghidupkannya kembali.

Dan saat ia selesai…

Ia menatap lembaran di depannya dengan napas tertahan.

Kertas itu kini tidak lagi kosong.

Tapi kata-kata yang tertulis di sana…

Bukan dari cerpen yang ia baca kemarin.

Melainkan sesuatu yang baru.

Sesuatu yang berasal dari dalam dirinya sendiri.

 

Kisah yang Tak Pernah Mati

Vindra terdiam, menatap kertas itu dengan penuh kekaguman. Kata-kata yang baru saja ia tulis tampak sempurna, meski ia tak ingat menuliskannya sama sekali. Setiap kalimat yang tercetak di sana terasa hidup, penuh makna, dan lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia baca sebelumnya. Ini bukan sekadar tulisan biasa—ini adalah cerita.

Tapi ada satu hal yang masih mengganggunya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bisiknya, tak percaya pada apa yang ada di hadapannya.

Ia mengangkat kertas itu perlahan, memandangi setiap kata dengan seksama. Tiba-tiba, sebuah pemahaman yang dalam menyelusup ke dalam hatinya—cerpen yang ia baca di perpustakaan, yang telah menghilang begitu saja, tidak benar-benar hilang. Itu hanya berpindah. Pindah ke dalam dirinya. Menjadi bagian dari dirinya.

Vindra menyadari bahwa cerpen itu, meski tak pernah benar-benar bisa diingat, selalu meninggalkan jejak. Bukan di dalam ingatan, tetapi di dalam perasaan, di dalam cerita yang hidup dalam dirinya sendiri.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Dengan tekad yang kuat, Vindra bangkit dari kursinya, membawa kertas itu ke lemari tua di kamarnya. Ia meletakkannya di atas meja, memandangnya dengan penuh rasa syukur. Kini, cerita itu bukan hanya sekadar kenangan yang hilang, tetapi sesuatu yang hidup—sesuatu yang bisa ia bagi, sesuatu yang bisa ia tulis ulang.

Vindra tahu bahwa cerpen itu akan selalu ada, seperti benang merah yang menghubungkan jiwa-jiwa yang datang mencarinya. Mereka yang membaca cerpen itu, meski tidak bisa mengingat setiap kata, akan selalu membawa bagian dari cerita itu dalam hidup mereka.

Begitu juga dirinya.

Cerpen yang telah menghilang kini berada di tangannya. Tapi bukan hanya itu—ia adalah pewaris cerita itu.

Sangara benar. Ia telah menunggu seseorang seperti Vindra untuk melanjutkan kisah yang tak pernah selesai.

Vindra menghela napas panjang dan menatap langit malam lewat jendela. Ada kedamaian yang datang begitu saja.

Dia tahu, cerpen ini bukan miliknya. Ini adalah milik semua orang yang membutuhkannya. Mereka yang mencari, mereka yang haus akan cerita yang lebih dari sekadar kata-kata. Cerita yang lebih dari sekadar sebuah tulisan yang menghilang.

Vindra memegang pena dengan penuh keyakinan, lalu menulis baris pertama.

Dan cerita itu dimulai lagi.

Kisah yang tak pernah mati, karena selalu ada seseorang yang akan melanjutkannya.

 

Jadi, siapa sangka cerita yang nggak bisa diingat itu justru bisa jadi yang paling berkesan? Mungkin ada banyak cerita di luar sana yang kayak gitu—hilang, tapi tetap ada. Dan mungkin kita semua sebenarnya sedang mencari ceritanya sendiri.

Jangan khawatir, kalau kamu merasa cerita ini masih belum selesai, kamu bukan sendirian. Cerpen ini mungkin sudah selesai dibaca, tapi kisahnya tetap hidup. Jadi, siap untuk menemukan ceritamu sendiri?

Leave a Reply