Daftar Isi
Hai, kamu pernah nggak sih ngerasain hal aneh setelah bangun tidur? Kayak ngelirik ke cermin, terus tiba-tiba ada yang nggak beres, tapi kamu nggak bisa jelasin kenapa?
Nah, cerpen ini bakal bikin lo mikir dua kali tiap kali kamu gosok mata pas bangun tidur. Jadi, siap-siap deh dibawa ke dunia misteri yang penuh kejutan dan tawa absurd yang nggak bakal kamu duga! Cekidot ceritanya, semoga bikin kamu nggak bisa tidur malam ini.
Misteri Menggosok Mata yang Masih
Mata yang Tak Pernah Tertidur
Pagi itu, Karel terbangun dengan rasa pusing yang menghantui sejak ia membuka mata. Suara jam alarm yang keras tak memberi ampun, seakan-akan mengusir sisa-sisa mimpinya yang belum selesai. Langit di luar kamar terlihat abu-abu, sinar matahari hanya seberkas samar yang menyelinap melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Ia menarik selimutnya, mengangkat tubuhnya setengah duduk, dan meraba-raba jam tangan di meja samping tempat tidur.
“Ah, terlambat,” desah Karel pelan.
Rasa kantuk masih menempel di wajahnya, membuatnya meraba-raba matanya. Tak lama, ia menyentuh kulit matanya dengan jari telunjuknya, lalu menggosokkannya perlahan. Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya terpantul dari ujung jari yang menyentuh matanya. Karel terkejut, menarik tangannya secepat kilat, dan menatap jari yang kini kosong.
“Apa itu?” gumamnya, menatap kosong ke arah jari yang baru saja menyentuh matanya.
Tidak ada suara apapun di ruangan itu, hanya detak jam di meja samping tempat tidur yang terdengar keras. Karel mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba memastikan apakah yang ia lihat tadi benar-benar ada. Namun, tidak ada yang berubah. Semua tampak biasa, tapi entah mengapa, dunia di luar jendelanya terasa sedikit berbeda.
Dengan sedikit kebingungan, Karel bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin. Pipi, mata, rambut—semua tampak biasa saja. Namun, ada sesuatu yang aneh dengan cara ia memandang dirinya sendiri. Seakan ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, tapi ia tak bisa memahaminya.
Setelah mencuci wajahnya, Karel merasakan sensasi yang aneh saat air mengenai kulitnya. Seperti ada getaran halus yang merembet ke seluruh tubuhnya. Dia berhenti sejenak, memandang air yang mengalir di wastafel.
“Apa yang terjadi padaku?” ujarnya, melangkah mundur dari wastafel.
Ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, matanya menangkap sesuatu yang lain. Pintu balkon yang selalu tertutup, kini sedikit terbuka. Tak ada angin yang bertiup, namun pintu itu seperti terbuka dengan sendirinya. Karel mendekat dan menutupnya dengan cepat, mencoba mengusir perasaan aneh yang semakin menguasainya.
Begitu ia menutup pintu balkon, ia mendengar suara dari luar. Ada seseorang yang berlari cepat di jalanan, langkahnya terdengar jelas meskipun tak terlihat siapa yang melangkah. Karel menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk melihat ke luar.
Di bawah sana, di trotoar yang basah, seorang pria berbaju lusuh berjalan dengan langkah pelan, menatap ke arah jendela tempat Karel berdiri. Mata mereka bertemu untuk sesaat, dan Karel merasakan sensasi yang sulit dijelaskan—seperti ada sebuah pesan yang disampaikan lewat tatapan itu. Pria itu tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan ke arahnya.
Karel membeku. Tidak ada orang lain di sekitar pria itu. Hanya ada dirinya dan sosok itu. Tak ada angin yang bergerak, tak ada suara apapun selain suara langkah pria itu yang seakan-akan datang dari dalam pikirannya. Karel tergagap, tak tahu harus bagaimana, dan pada detik berikutnya, pria itu menghilang begitu saja, seperti ditelan tanah.
“Ini pasti hanya halusinasi,” ucap Karel, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, hatinya masih berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang baru saja ia alami, tapi perasaan tak nyaman itu terus menghantuinya.
Karel melangkah keluar, mencoba untuk melupakan kejadian aneh tadi. Tetapi jalanan yang biasa ia lewati terasa berbeda. Semuanya tampak lebih hidup—setiap suara, setiap gerakan, setiap detail. Seperti dunia ini dipenuhi rahasia yang hanya bisa ia rasakan, tapi tidak bisa ia ungkapkan.
Saat ia melintas di depan sebuah toko, kaca jendela tiba-tiba menampilkan refleksi dirinya, namun bukan hanya dirinya yang ia lihat. Di balik bayangannya, ada sesuatu yang bergerak—sebuah sosok samar yang tampak melangkah mengikuti jejaknya. Karel menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Hanya ada trotoar kosong.
“Apa-apaan ini?” tanyanya pada diri sendiri, bingung.
Ia mempercepat langkahnya, berusaha mengabaikan perasaan yang semakin aneh. Namun, setiap kali ia menggosok matanya, dunia di sekitarnya semakin membingungkan. Semua yang tampak biasa, seketika berubah menjadi teka-teki yang harus ia pecahkan.
Sampai akhirnya, ia tiba di sebuah kedai kopi kecil yang biasa ia kunjungi untuk meredakan pikiran-pikirannya. Begitu ia melangkah masuk, aroma kopi yang harum menyambutnya, tetapi rasanya tidak bisa mengusir kecemasan yang terus menggelayuti.
Di sudut meja, seorang wanita yang belum pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk, menatapnya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Mata wanita itu berbinar-binar, seolah dia tahu sesuatu yang Karel tidak ketahui.
“Hei, kamu baik-baik aja?” tanya wanita itu, suaranya halus namun penuh perhatian.
Karel terkejut, tak tahu bagaimana harus merespons. Ia hanya mengangguk, berusaha tersenyum.
“Ya, cuma… sedikit bingung saja,” jawabnya, masih berusaha mengendalikan diri.
Wanita itu tersenyum tipis. “Kalau gitu, kamu harus hati-hati. Mata itu bisa jadi lebih banyak dari yang kamu kira.”
Karel terdiam. Kata-kata itu, seperti sebuah peringatan yang tak bisa ia abaikan.
Dengan langkah pelan, Karel duduk di meja sebelahnya, matanya tetap mengarah pada wanita itu yang kini mengalihkan pandangannya, seolah kembali melanjutkan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar obrolan pagi.
Mata Karel terasa semakin berat. Ia menggosoknya lagi, perlahan. Tapi kali ini, rasa gatalnya tidak hilang. Sebaliknya, ia merasa seperti dunia ini semakin dekat padanya. Seolah-olah, dengan setiap gerakan matanya, rahasia baru akan terungkap.
Cahaya di Ujung Jari
Karel terbangun dengan rasa pusing yang masih menggantung. Matahari sudah tinggi, namun perasaan berat itu belum juga hilang. Sejak kejadian aneh di kedai kopi tadi, ia merasa ada yang berubah—sesuatu yang tersembunyi, menunggu untuk ditemukan. Pikirannya terus berputar, seolah setiap sudut kota ini menyimpan misteri yang siap untuk membingungkan dirinya lebih jauh.
Dengan langkah pelan, ia berjalan keluar dari rumah, menuju ke jalan yang biasanya sepi. Namun, kali ini, suasananya terasa berbeda. Bukan hanya karena kekosongan, tetapi juga karena kesunyian yang begitu nyata. Tak ada suara burung berkicau, tak ada angin yang menggerakkan daun-daun di pohon. Seolah dunia sedang menunggu sesuatu.
Karel menggosok matanya lagi, mencoba menghilangkan rasa aneh yang mulai meresap dalam dirinya. Tapi saat itu, kembali, ia melihat sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Di ujung jalan, sebuah sinar biru terang melesat, memancar ke langit dan menghilang secepat ia melihatnya. Ia terhenti sejenak, mencoba memusatkan pandangannya. Tak ada yang tampak biasa lagi di sekitar jalan itu—semua terlihat lebih hidup, namun dengan cara yang sangat asing.
“Harusnya aku tidak keluar hari ini,” bisiknya, merasa semakin bingung.
Namun, sebuah dorongan tak terdefinisi menarik langkahnya untuk melangkah lebih jauh, seakan sesuatu menariknya menuju sumber cahaya itu. Ia berbalik ke arah sinar biru yang baru saja menghilang, dan tanpa sadar, langkah kakinya semakin cepat. Ia hanya ingin tahu—apa yang terjadi di balik cahaya itu.
Di sepanjang jalan, setiap detail yang biasanya ia abaikan kini tampak begitu jelas. Setiap batu di trotoar, setiap daun yang bergoyang, bahkan aroma tanah yang segar setelah hujan, semuanya terasa begitu nyata. Seakan dunia ini berubah menjadi lebih terang, lebih hidup, dan lebih penuh dengan rahasia.
Ia tiba di sebuah taman kecil di ujung jalan, tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya. Di tengah taman itu, ada sebuah patung batu yang sudah agak usang, dengan wajah yang tampak seperti sedang tersenyum. Di bawah patung itu, terdapat sebuah kolam kecil yang airnya begitu jernih, memantulkan cahaya yang datang entah dari mana.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Di bawah kolam itu, ada sesuatu yang bergerak. Seperti bayangan yang menyelam, seolah menyembunyikan diri di kedalaman yang tak terlihat. Karel menundukkan kepala, mencoba melihat lebih jelas, namun bayangan itu segera menghilang.
Ia terperangah, merasa matanya menipu dirinya sendiri. “Apa ini?” Karel bertanya, bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Sekilas, ia merasa seperti ada yang mengawasi dirinya. Mungkin hanya perasaan, namun ia tahu sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang berhubungan dengan matanya, yang terus merasa gatal dan semakin berat. Perasaan itu kian intens, dan Karel sadar, dunia sekitarnya seolah bermain-main dengannya. Setiap sudut, setiap bayangan, bahkan setiap suara, seakan memanggil-manggilnya untuk lebih dalam lagi.
Tanpa berpikir panjang, Karel merunduk dan mendekatkan tangannya ke air kolam yang tenang itu. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan air, sebuah kilatan cahaya yang sama dengan yang ia lihat di langit beberapa waktu lalu memancar dari kolam itu, begitu terang dan kuat. Karel hampir terjatuh ke kolam, terkejut dengan apa yang terjadi.
Namun, sebelum ia bisa menarik tangannya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan melintas di hadapannya—sebuah sosok, hanya bayangan, namun sangat nyata. Sosok itu hanya muncul sesaat, cukup untuk membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Sosok itu melangkah pergi, menghilang dalam gelap, seperti mencair dan terbawa oleh angin.
Karel menatap tangan yang kini basah oleh air kolam. Perasaan takut dan bingung bercampur aduk di dalam dirinya. Apakah ini semua hanya ilusi? Ataukah dunia ini benar-benar berbeda, seperti yang dirasakannya? Ia merasakan ada yang salah, namun entah apa itu.
“Ini bukan hal biasa,” gumamnya, dengan suara pelan namun tegas.
Ia berbalik dan melangkah keluar dari taman, namun langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap detik yang berlalu semakin membingungkan, semakin membuatnya bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi padanya? Apa yang sedang disembunyikan oleh dunia ini?
Di kejauhan, sebuah suara tiba-tiba terdengar. Tertawa. Tertawa yang datang dari sebuah sudut yang jauh, entah dari mana. Karel memalingkan kepala, tetapi tak ada siapapun di sana. Suara itu semakin dekat, semakin nyata, semakin meluas hingga memenuhi udara di sekelilingnya. Karel merasa seperti dikelilingi oleh gelombang suara yang tak bisa ia kendalikan. Setiap tawa itu, seakan mengarah padanya, menertawakan kebingungannya, menunggu ia untuk menemukan kebenarannya.
Pernahkah ia merasa seperti ini sebelumnya? Tak pernah. Semua yang ia rasakan kini—semua yang ia lihat—begitu berbeda. Dunia ini bukan lagi tempat yang familiar. Ini adalah dunia baru, dunia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berani mencari tahu.
Dan Karel tahu, ia tidak akan berhenti sampai ia menemukan apa yang tersembunyi di balik cahaya itu.
Jejak yang Terlupakan
Langkah kaki Karel terasa semakin berat, meskipun matanya tak pernah berhenti memeriksa setiap sudut kota yang semakin asing. Jalanan yang dulu ia kenal, kini tampak seperti labirin penuh misteri. Tawa yang ia dengar tadi, meskipun jauh, masih menggema di kepalanya. Setiap detik berasa begitu berat, seakan waktu mempermainkan dirinya. Namun, entah kenapa, ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan. Ia merasa sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang.
Jari-jarinya terasa sedikit kaku setelah menyentuh air kolam tadi. Seolah ada sesuatu yang tertinggal, sebuah energi yang ia tak bisa jelaskan. Sejak kejadian itu, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda yang aneh—seperti ada sesuatu yang terhubung dengan dirinya, entah dari mana asalnya.
Karel melangkah lebih jauh, semakin menjauh dari taman yang tadi, tanpa arah yang jelas. Kota ini, dengan segala kebisuan dan keheningannya, semakin membuatnya merasa seperti berada di dalam mimpi. Setiap langkah seolah membawa dirinya ke dunia yang lebih gelap, namun juga lebih terang pada waktu yang bersamaan.
Ia melintas di depan sebuah bangunan tua yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Pintu kayunya yang setengah terbuka membuatnya merasa ada yang memanggil. Karel ragu sejenak. “Tidak mungkin,” gumamnya, tetapi langkahnya terus bergerak menuju pintu itu, seolah kaki dan pikirannya sudah dipengaruhi oleh sesuatu yang lebih besar.
Begitu melangkah masuk, udara di dalam terasa berbeda—lebih berat, lebih dingin. Debu-debu menari di udara, dan langit-langit yang tinggi dipenuhi dengan jaring laba-laba. Bangunan itu seperti sudah lama ditinggalkan, namun ada jejak-jejak yang seolah mengingatkan bahwa tempat ini masih berfungsi, atau setidaknya pernah digunakan.
Tanpa suara, Karel melangkah lebih dalam ke dalam ruang utama. Matahari yang mulai turun dari cakrawala membuat cahaya masuk melalui jendela-jendela pecah, menciptakan bayangan panjang yang bergerak pelan di dinding. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu besar yang tampak sangat usang, dengan banyak potongan kertas yang berserakan di atasnya. Karel mendekat, memeriksa lebih cermat.
Di antara tumpukan kertas itu, ada sebuah gambar—sebuah gambar yang tak ia kenal, namun terasa sangat akrab. Gambar itu menggambarkan pola yang sangat mirip dengan cahaya biru yang pernah ia lihat di langit beberapa jam yang lalu. Pola itu rumit, penuh lengkungan dan garis-garis yang saling menghubungkan, seolah membentuk suatu simbol atau peta yang tersembunyi.
Karel mengambil gambar itu dengan hati-hati. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk melanjutkan pencariannya, untuk mengungkap lebih dalam lagi. Matanya meneliti setiap detail, setiap goresan. Namun, saat ia hampir selesai memeriksa gambar itu, sebuah suara keras terdengar dari belakangnya, membuat tubuhnya terlonjak.
“Jangan sentuh itu,” suara itu terdengar seperti bisikan, namun penuh tekanan, seolah datang dari dalam tembok.
Karel membalikkan badan dengan cepat, mencari asal suara itu. Tapi, ia hanya melihat bayangan bergerak di balik tirai tebal yang tergantung di sudut ruangan. Hati Karel berdegup lebih cepat, ia tahu ada seseorang di dalam bangunan ini, namun siapa?
Dengan langkah hati-hati, ia mendekat ke tirai itu, matanya memindai setiap detail yang ada. Namun, ketika ia menarik tirai itu, tak ada apa-apa di sana. Ruangan itu kosong, lebih kosong dari sebelumnya.
Namun, Karel tahu, suara itu bukan ilusi. Ada sesuatu di dalam bangunan ini—sesuatu yang ia harus temukan.
“Siapa kamu?” suara Karel hampir terdengar seperti bisikan, merasa cemas dan bingung, namun juga penuh rasa penasaran.
Tak ada jawaban. Yang ada hanya kesunyian yang menekan, semakin membuatnya merasa terperangkap dalam jaring-jaring misteri yang semakin rumit.
Tiba-tiba, lampu-lampu di sekitar ruangan mulai berkedip, seperti ada yang mengontrolnya dari jauh. Cahaya biru yang ia lihat sebelumnya kembali muncul, kini lebih terang, lebih dekat, seolah sedang memanggilnya. Karel menoleh ke arah cahaya itu, dan untuk beberapa detik, ia merasa seperti ditarik oleh sebuah kekuatan yang tak terlihat. Ia ingin berlari, namun tubuhnya terasa kaku, seakan terikat oleh sesuatu yang lebih kuat dari kehendaknya.
Sosok bayangan yang ia lihat di balik tirai muncul lagi, namun kali ini ia bisa melihat lebih jelas. Itu bukanlah manusia, melainkan sesuatu yang lebih… asing. Wajahnya samar, namun aura yang dipancarkannya terasa begitu nyata, begitu menekan.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Karel bertanya, suaranya lebih penuh dengan ketegangan.
Namun, sosok itu hanya tersenyum, senyum yang tak bisa ia pahami. Seiring senyum itu, lampu-lampu di sekitar ruangan kembali padam, menyisakan hanya kegelapan yang semakin dalam.
Karel terdiam, rasa takut bercampur dengan kebingungannya. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah di sini. Sesuatu yang lebih besar daripada yang ia bisa bayangkan.
“Siapa kamu? Apa ini semua?” Karel berteriak, namun tidak ada yang menjawab. Yang ada hanya suara tawa ringan yang kembali terdengar, semakin jelas, semakin menakutkan.
Dan saat itu juga, Karel merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang menyentuhnya dari dalam—sebuah rasa yang memaksanya untuk berlari keluar dari ruangan itu. Namun, saat ia melangkah maju, sesuatu yang tak terlihat menariknya kembali.
Misteri ini belum selesai.
Kegelapan yang Menunggu
Karel terhuyung-huyung, berusaha mengatur napasnya yang sudah mulai terengah. Kepalanya pusing, matanya berputar-putar, dan tubuhnya terasa semakin berat. Kegelapan yang menyelimuti bangunan itu seolah hidup, bergerak mengikuti langkahnya, mendekatkan dirinya pada jurang ketakutan yang tak bisa ia elakkan. Langkahnya semakin cepat, namun seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya untuk melangkah lebih jauh. Ia berbalik, mencoba menghindari bayangan yang terus mengikuti, namun hanya bertemu dengan ruang kosong yang terasa semakin mengurung.
Tawa itu kembali terdengar, lebih keras, lebih dekat, seolah menggema dari seluruh sudut ruangan. Setiap tawa membawa Karel lebih dalam ke dalam labirin tanpa akhir. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan, tenggelam dalam ruang yang penuh dengan misteri ini. Semua pintu yang pernah ia coba buka kini seakan terkunci rapat, seolah bangunan ini punya cara sendiri untuk mengatur langkahnya. Setiap jengkal jalan yang ia tempuh tampak semakin memerah, seolah dunia ini berubah menjadi mimpi buruk yang semakin gelap.
Namun, di tengah ketegangan itu, sesuatu yang lain muncul—suatu kehangatan yang sangat kontras dengan kegelapan yang mengelilinginya. Karel menoleh, melihat seberkas cahaya yang tiba-tiba menyala di ujung ruangan. Cahaya itu lembut, hampir seperti cahaya matahari yang menembus sela-sela jendela. Ia merasa seperti seseorang sedang memanggilnya. Entah mengapa, rasa takut itu perlahan tergantikan oleh rasa penasaran yang lebih dalam. Tanpa berpikir panjang, Karel melangkah menuju cahaya itu.
Semakin dekat ia menuju cahaya, semakin kuat perasaan yang datang. Cahaya itu, meskipun tak terlalu terang, terasa sangat hangat dan mengundang. Langkahnya semakin cepat, seperti ada sesuatu yang mendorongnya, sesuatu yang lebih dari sekadar dorongan fisik. Begitu Karel sampai di depan cahaya itu, ia menemukan sebuah pintu yang berbeda dari yang lain. Pintu itu tampak tua, namun sangat terawat, seolah baru saja dipasang.
Dengan satu dorongan kuat, pintu itu terbuka.
Di balik pintu, Karel melihat sebuah ruangan yang sangat berbeda dari yang lainnya. Ruangan itu penuh dengan cermin-cermin besar yang memantulkan dirinya dalam berbagai sudut yang aneh. Setiap cermin tampak memiliki kilau sendiri, memantulkan bayangan yang berbeda. Namun, di tengah cermin-cermin itu, ada satu cermin yang lebih besar dari yang lain, dan di dalamnya, Karel melihat sebuah bayangan yang bukan dirinya—sebuah sosok yang lebih gelap, lebih tajam, dan penuh dengan misteri.
“Ini adalah langkah terakhirmu,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dalam, lebih berat. Seperti suara dari bawah tanah yang datang dari kedalaman yang tak terduga.
Karel terdiam, menatap bayangan dirinya yang tak bisa ia kenali. Ia tahu, ini bukanlah dirinya yang sebenarnya. Ini adalah sisi lain dari dirinya—sisi yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Bayangan itu mulai bergerak, melangkah keluar dari cermin dengan gerakan yang sangat halus, seolah mengalir keluar dari permukaan kaca. Karel mundur, merasa tubuhnya semakin berat, namun sesuatu dalam dirinya menggerakkan dia untuk tetap berdiri. Ia tahu, ada hal yang harus ia selesaikan, ada teka-teki yang harus dipecahkan.
“Siapa kamu?” tanya Karel dengan suara yang hampir tak terdengar, namun bayangan itu hanya tersenyum, senyuman yang sangat tidak manusiawi.
“Aku adalah bagian dari dirimu yang terabaikan,” jawab bayangan itu, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Karel menggigil. “Tidak… tidak mungkin.”
“Begitulah,” jawab bayangan itu, “kau telah lama mengabaikan aku, dan sekarang saatnya untuk bertemu. Karena semua yang kau cari, Karel, ada di dalam dirimu sendiri.”
Setiap kata yang diucapkan bayangan itu seakan membekukan waktu. Karel merasakan perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan seolah ia berada di titik akhir dari perjalanan panjang—di mana kenyataan dan mimpi berbaur, di mana ia harus memilih.
Bayangan itu melangkah lebih dekat, dan Karel merasa tubuhnya tak bisa bergerak. Hanya ada satu pilihan yang tersisa. Ia harus menghadapi sisi dirinya yang selama ini ia lupakan. Bayangan itu semakin mendekat, menyentuh wajahnya dengan tangan yang dingin dan penuh tekanan.
Tiba-tiba, seberkas cahaya melesat melalui ruangan, menerangi seluruh ruang dan menghancurkan cermin-cermin di sekitarnya. Semua bayangan menghilang dalam sekejap. Karel terjatuh ke lantai, tubuhnya terasa lemah. Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya kembali di luar bangunan itu, berdiri di tengah jalan yang sunyi. Tak ada tanda-tanda aneh, tak ada cermin, tak ada bayangan—hanya kota yang tenang seperti biasa.
Namun, di dalam dirinya, sesuatu telah berubah. Karel tahu, meskipun ia telah kembali ke dunia nyata, misteri yang ia temui belum berakhir. Bayangan itu—sebuah bagian dari dirinya—akan selalu ada, menunggu saat yang tepat untuk muncul lagi.
Dan ketika Karel melangkah pergi, ia tahu, meskipun ia telah menyelesaikan babak pertama, kisah ini—misteri ini—akan terus mengikutinya, selamanya.
Oke deh, itu dia kisahnya. Gimana? Makin penasaran kan sama apa yang bakal terjadi selanjutnya? Kadang, yang kita kira cuma mimpi aneh, malah bisa jadi kenyataan yang lebih gelap dari yang kita bayangin.
Jadi, jangan pernah anggap remeh hal-hal kecil yang kamu temuin, karena bisa jadi itu kunci dari misteri yang lebih besar. Sampai ketemu lagi di cerita-cerita selanjutnya yang nggak kalah gokil dan penuh kejutan!


