Cerpen Merantau Demi Keluarga: Perjuangan Seorang Anak untuk Mengangkat Derajat Keluarga

Posted on

Gimana rasanya jauh dari keluarga, merantau demi ngasih yang terbaik buat orang-orang yang kita sayang? Bisa bayangin nggak, tiap hari nahan rindu, ngadepin kesulitan, tapi tetap semangat karena ada tujuan besar di depan?

Cerpen ini bakal ngajak kamu ngerasain perjuangan seorang anak yang berjuang di kota besar demi ngangkat derajat keluarganya, meskipun semuanya terasa berat. Jadi, siap-siap dibawa nangis, ya!

 

Cerpen Merantau Demi Keluarga

Beranda yang Sepi

Pagi itu, udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya. Langit biru membentang luas, namun di dalam rumah tua yang terbuat dari kayu itu, suasana terasa sangat berat. Di meja makan yang sederhana, Ibu dan Ayah duduk dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Sementara di sudut ruangan, Ekarina sedang memeriksa tas besar yang sudah dipenuhi barang-barang yang akan dibawanya pergi.

“Kenapa kamu masih bawa barang sebanyak itu, Eka?” tanya Ibu dengan suara serak, berusaha tersenyum meski matanya terlihat memerah.

Ekarina mematung sejenak, memandangi tas itu seolah-olah barang-barang di dalamnya bisa menjawab semua pertanyaan yang berputar dalam benaknya. “Aku cuma bawa yang penting, Bu. Semua yang harus aku bawa,” jawabnya pelan, suaranya nyaris hilang oleh keramaian hatinya.

Ia tidak ingin meninggalkan rumah ini. Tidak ingin meninggalkan Ayah yang semakin lemah, tidak ingin meninggalkan Ibu yang terus berusaha keras untuk menanggung beban kehidupan yang tak pernah ringan. Tapi, apa lagi yang bisa ia lakukan? Mereka butuh uang. Dan satu-satunya jalan untuk itu adalah merantau ke kota besar, meski artinya harus menjauh dari keluarga, dari rumah yang penuh kenangan, dari tanah yang sudah menghidupi mereka selama bertahun-tahun.

Ibu mendekat, memegang tangan Ekarina dengan lembut. “Kamu ingatkan Ibu untuk makan ya, Eka. Jangan terlalu keras sama diri kamu, jaga kesehatan.”

Ekarina menatap tangan Ibu yang mulai keriput, terasa berat untuk menahan tangis yang sudah menggantung di tenggorokan. “Iya, Bu. Aku janji. Aku akan kirim uang setiap bulan, buat obat Ayah.”

Ibu mengangguk, namun senyum yang coba ia hadirkan tetap tampak dipaksakan. Di luar, suara ayam berkokok menyapa pagi, dan udara segar yang semula membuat Ekarina merasa sedikit lebih baik kini terasa seolah menekan dadanya.

“Ini semua demi kalian, Bu. Demi Ayah,” katanya lagi, suara hampir terhenti oleh air mata yang ingin jatuh.

Ayah yang duduk di sebelah Ibu hanya tersenyum tipis, matanya yang lelah memandang putri satu-satunya dengan bangga. “Kamu harus kuat, Eka. Kami di sini baik-baik saja. Jangan khawatirkan kami.”

Ekarina mengangguk pelan, merasa hampa mendengar kata-kata itu. Ia tahu Ayah berusaha menenangkan, namun hatinya tetap saja terhimpit oleh rasa rindu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sejak kecil, ia selalu dekat dengan Ibu, namun Ayah selalu menjadi orang yang selalu mengajarinya untuk kuat. Kini, ia merasa seperti mengkhianati pelajaran itu.

“Jangan lupa pulang kalau sudah ada waktu, ya,” Ibu menambahkan dengan suara bergetar.

Ekarina mengangguk lagi, mencoba memberi senyum yang meski dipaksakan, tetap ia tunjukkan. Tapi hatinya menangis, sangat berat.

“Tunggu dulu, Eka,” kata Ayah, sebelum Ekarina sempat melangkah ke pintu. Ayah menyodorkan selembar uang dalam amplop. “Bawa ini, untuk bekal perjalanan.”

Ekarina menatap uang itu, merasa tidak enak. “Ayah… aku sudah cukup kok, aku… aku bisa kerja.”

Ayah menarik tangan Ekarina dengan lembut, menatap matanya dengan penuh pengertian. “Ini untukmu, nak. Kami tidak bisa memberimu banyak, tapi kami ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian.”

Ekarina menerima amplop itu, dengan rasa haru yang semakin membesar di dadanya. Tanpa bisa menahan, air matanya pun jatuh. “Aku akan pulang kalau sudah bisa. Aku janji, Ayah, Bu.”

Ibu menariknya ke dalam pelukan, dan dalam pelukan itu, Ekarina merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Semua kenangan tentang rumah ini, tentang masa kecil yang penuh kehangatan, semuanya kini terasa seperti kabut yang perlahan menghilang.

Akhirnya, Ekarina menatap rumah itu sekali lagi sebelum melangkah keluar, menuju bus yang sudah menunggu. Tangan Ibu yang melepasnya perlahan, dan Ayah yang menatapnya dengan tatapan penuh harapan, semua itu menghantui langkahnya. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti jarak yang semakin menjauh dari mereka, dari rumah, dari tanah kelahiran yang sudah memberinya banyak cinta.

Ia tahu, ini adalah keputusan yang harus ia ambil. Untuk keluarga, untuk masa depan mereka. Namun, perasaan itu—perasaan bahwa ia akan merindukan mereka lebih dari apa pun—terus menghantui, bahkan saat bus itu melaju meninggalkan desa, dan Ekarina hanya bisa menatap rumah kecil itu dalam diam.

 

Kota yang Tak Ramah

Kota besar itu ternyata lebih kejam daripada yang Ekarina bayangkan. Begitu busnya berhenti di terminal, aroma asfalt, asap kendaraan, dan hiruk-pikuk suara orang berlalu-lalang langsung menyambutnya. Tak ada lagi suara alam yang menenangkan seperti di desa, tak ada lagi angin sejuk yang berhembus lembut. Yang ada hanyalah kebisingan yang membuat kepalanya pusing, suara klakson yang tak pernah berhenti, dan ratusan wajah asing yang tampak berjalan cepat dengan tujuan masing-masing. Semua orang terlihat sibuk, seolah tidak ada waktu untuk sekadar menyapa.

Ekarina menatap sekeliling dengan ragu. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Begitu banyak gedung-gedung tinggi menjulang, semua tampak dingin dan tak bersahabat. Ia menarik tas besar yang kini terasa semakin berat, berusaha menenangkan diri. Baru saja ia melangkah ke luar terminal, sebuah taksi berhenti di depannya. Seorang pria berperawakan tinggi dengan ekspresi serius keluar dari mobil.

“Kamu butuh tumpangan ke mana, Neng?” tanya pria itu dengan suara datar.

Ekarina sedikit terkejut, namun segera mengangguk. “Ke kawasan pusat kota, Pak. Ada tempat tinggal di sana.”

Dengan sedikit keraguan, Ekarina masuk ke dalam taksi, dan perjalanan pun dimulai. Jendela taksi tertutup rapat, namun suara bising kota tak pernah benar-benar hilang. Kota ini, meskipun penuh dengan kehidupan, terasa sangat kesepian bagi Ekarina.

Setelah menemukan kontrakan kecil yang ia sewa dengan uang yang ia bawa, hari-hari Ekarina mulai dipenuhi dengan rutinitas yang keras. Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun untuk bersiap bekerja. Hari pertama di toko itu, ia merasa sangat canggung. Semua orang di sekitarnya terlihat profesional, sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sementara dirinya hanya bisa mematung di sudut, merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya ia anggap sebagai rumah baru.

“Eka, kamu bisa bantu siapkan barang-barang ini untuk pelanggan?” tanya Pak Darma, pemilik toko, dengan suara keras dari belakang meja.

Ekarina mengangguk cepat, meskipun tangannya sedikit gemetar. Ia mulai mengangkat barang-barang dengan hati-hati, mencoba untuk tak terlihat canggung. Semua gerakannya terasa kikuk. Setiap kali ada pelanggan datang, ia mencoba untuk tersenyum, meskipun kadang ia merasa sangat lelah dan tak bersemangat. Ia rindu Ibu, rindu Ayah, rindu rumah kecil yang penuh kenangan.

Namun, tidak ada waktu untuk merindukan rumah. Pekerjaan itu tidak mudah, dan gaji yang dijanjikan pun tak sebesar yang ia harapkan. Setiap malam setelah pulang kerja, Ekarina duduk di tempat tidurnya yang sempit, menatap foto keluarga yang masih ia simpan dengan rapat. Ia ingin sekali menghubungi mereka, namun terkadang ia merasa malu. Apakah mereka tahu betapa kerasnya hidup di sini? Apakah mereka tahu betapa ia merasa sendirian, terasing di kota yang tak mengenalnya sama sekali?

Seminggu berlalu, dan Ekarina mulai terbiasa dengan kesibukan di toko. Namun, senyumnya semakin jarang terlihat. Setiap hari, ia merasa semakin lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga batinnya. Pekerjaan yang awalnya ia anggap sebagai kesempatan besar untuk mengubah nasib, kini terasa begitu berat. Ia bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mengenalnya, dan sering kali ia merasa seperti tidak ada yang peduli. Setiap malam, sesekali air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

Pada suatu malam, ketika ia selesai bekerja, ia duduk sendirian di kamar kontrakan, menatap langit malam yang gelap. Tidak ada bintang di langit kota ini, hanya lampu-lampu jalan yang berkelip-kelip seperti harapan yang semakin memudar. Ia menghubungi Ibu, namun teleponnya tidak bisa tersambung. Mungkin Ibu sedang tidur. Ia ingin bercerita, ingin merasakan kehangatan rumah, tapi ia tahu itu tidak mungkin.

Tiba-tiba, telepon berdering.

“Ibu…?”

Suara Ibu terdengar di ujung sana, sedikit terputus karena sinyal yang buruk. “Eka, kamu baik-baik saja di sana? Ibu dengar dari Ayah, kamu sudah mulai bekerja?”

Ekarina menahan napas, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. “Iya, Bu. Aku baik-baik saja. Kerja di toko. Cuma capek.”

“Jaga kesehatan kamu, Eka. Jangan terlalu banyak bekerja. Ibu dan Ayah selalu berdoa untukmu.”

“Iya, Bu. Aku akan jaga diri.” Ekarina tersenyum, meskipun itu hanya senyum yang terasa kosong. “Aku akan kirim uang bulan depan.”

Di balik senyum itu, ada sejuta perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Perasaan bahwa meskipun jarak memisahkan, kerinduan akan rumah, akan keluarga, terus menggigit hatinya.

Setelah menutup telepon, Ekarina menatap foto keluarga itu sekali lagi. Ia tahu, jalan yang ia pilih tidak mudah. Namun, tak ada pilihan lain. Keluarga mereka membutuhkan pengobatan, mereka membutuhkan bantuan. Dan meskipun hatinya menangis, Ekarina tahu ia harus terus bertahan. Untuk mereka. Untuk masa depan yang lebih baik.

Namun, di malam yang sepi itu, di antara gemerlap lampu kota, Ekarina merasa jauh lebih kesepian daripada sebelumnya.

 

Tangisan di Balik Foto

Minggu-minggu berlalu dengan cepat, dan Ekarina mulai terbiasa dengan rutinitas barunya di kota. Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun, menyiapkan diri untuk bekerja, dan menghabiskan hari di toko dengan jarang berbicara, hanya fokus pada tugas-tugas yang harus diselesaikan. Namun, meski tampaknya ia sudah mulai bisa menyesuaikan diri, ada bagian dari dirinya yang tetap merasa kosong, merindukan kehangatan yang hanya bisa ia dapatkan dari rumah.

Hari itu, setelah selesai bekerja, Ekarina kembali ke kontrakan yang sudah mulai terasa seperti tempat berlindung, meskipun jauh dari kenyamanan rumah yang dulu. Ia duduk di tepi tempat tidur kecilnya, memandangi foto keluarga yang terletak di atas meja. Foto itu sudah mulai agak pudar, tapi wajah Ibu dan Ayah yang tersenyum lebar masih bisa ia lihat dengan jelas. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

“Kenapa harus begini, ya, Bu?” bisiknya pelan pada foto itu, berharap Ibu bisa mendengarnya, meski tahu itu mustahil. “Aku sudah berjanji, kan, untuk bantu keluarga? Kenapa aku masih merasa sendirian?”

Tiba-tiba, telepon genggamnya bergetar. Ekarina mengusap wajahnya terburu-buru, mencoba menahan tangisnya, dan melihat layar ponselnya. Sebuah pesan singkat dari Ayah masuk.

“Eka, Ayah cuma mau bilang, kami bangga sama kamu. Jangan ragu, kami selalu ada di sini. Cuma, Ibu sakit sedikit. Kalau ada waktu, pulanglah.”

Membaca pesan itu, Ekarina merasakan sesak di dadanya. Ibu sakit? Hatinya terasa tercabik-cabik. Ia tahu, meskipun Ayah berusaha tenang, ada hal-hal yang mereka sembunyikan darinya. Mereka tidak ingin membuatnya lebih khawatir lagi.

Dengan tangan yang gemetar, ia membalas pesan itu. “Aku akan pulang, Ayah. Tunggu aku.”

Namun, kata-kata itu terasa hampa. Bagaimana ia bisa pulang? Bagaimana ia bisa kembali jika masih ada banyak hal yang harus ia atasi di sini? Ekarina menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu, di sini, di kota yang jauh dari rumah, ia harus lebih kuat.

Malam itu, Ekarina tidak bisa tidur. Rasa rindu dan cemas memenuhi pikirannya. Kenangan tentang Ibu dan Ayah terus menghantui. Ia teringat saat kecil dulu, ketika ia masih bermain di halaman rumah yang luas, berlari dengan riang bersama teman-temannya. Ibu selalu menunggu di beranda, menyapa dengan senyum hangat, sementara Ayah selalu ada untuk mengajarinya cara berkebun, menyiram tanaman, dan memetik buah. Semua kenangan itu kini terasa seperti bayangan yang memudar.

Namun, yang paling ia ingat adalah saat-saat mereka bertiga duduk bersama di meja makan, menikmati makanan sederhana yang Ibu masak. Di situlah ia merasa paling aman, paling bahagia, dan paling dicintai.

“Semuanya terasa begitu jauh sekarang,” gumamnya pada diri sendiri, merasakan sepi yang semakin dalam.

Pagi-pagi, Ekarina berangkat bekerja dengan pikiran yang masih berat. Namun, saat tiba di toko, ia mencoba untuk tidak terbawa perasaan. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha fokus pada pekerjaan yang menanti. Seperti biasa, toko ramai dengan pembeli, dan Ekarina harus melayani mereka satu per satu. Namun, hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Seseorang menegur Ekarina dengan lembut.

“Maaf, Neng, kamu terlihat letih. Apa kamu baik-baik saja?” tanya seorang wanita paruh baya yang tampak seperti pelanggan tetap.

Ekarina sedikit terkejut, namun mencoba tersenyum. “Oh, iya, Bu. Saya cuma capek sedikit. Terima kasih.”

Wanita itu memandangnya dengan tatapan yang lembut. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Neng. Dunia ini memang berat, tapi kamu pasti bisa. Jangan ragu untuk berbagi kalau ada yang mengganggu.”

Ekarina hanya mengangguk, meski dalam hatinya, kata-kata itu terasa begitu menenangkan. Ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang membuatnya merasa dipahami, meskipun mereka baru pertama kali berbicara.

Setelah pelanggan itu pergi, Ekarina kembali ke tempatnya dan duduk sejenak, menatap ke luar jendela toko. Semua orang tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri, namun hatinya merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, tidak ada yang tahu betapa berat beban yang ia rasakan, tapi ia merasa ada sedikit harapan di tengah kesepian ini. Mungkin, di kota yang besar ini, ada orang-orang baik yang bisa memberinya kekuatan, meski tak banyak yang bisa mengerti.

Hari itu, setelah pulang kerja, Ekarina duduk di meja, menatap foto keluarga lagi. Ia mengingat pesan dari Ayah yang menyebutkan Ibu sakit. Ia tahu, dengan kondisi mereka yang semakin sulit, ia harus lebih kuat. Namun, perasaan rindu yang membebani hatinya semakin besar.

Sambil memegang teleponnya, ia menghubungi Ayah lagi, kali ini dengan suara lebih tegas. “Ayah, Ibu benar-benar sakit? Aku bisa pulang kalau perlu.”

Beberapa detik, telepon tetap hening. Kemudian suara Ayah terdengar di ujung sana, lebih berat dari biasanya. “Ibu cuma capek, Eka. Jangan khawatir. Kamu di sana harus tetap semangat.”

Ekarina tahu Ayah berusaha menenangkan, namun ia bisa mendengar ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Air mata kembali menggenang di matanya.

“Iya, Ayah. Aku… aku akan terus bekerja keras. Demi kalian.”

Setelah menutup telepon, Ekarina menatap malam yang semakin larut. Ia ingin pulang. Ia ingin berada di sisi mereka, tapi ia tahu, tidak ada jalan mundur sekarang. Ia harus tetap di sini, berjuang, meski dengan hati yang terasa hancur.

Di balik senyum yang ia paksa setiap hari, ada sebuah dunia yang penuh dengan kerinduan dan pengorbanan. Dunia yang harus ia jalani, meskipun tak pernah mudah.

 

Langkah Kecil Menuju Harapan

Beberapa bulan berlalu sejak Ekarina menerima kenyataan bahwa ia harus tetap tinggal di kota ini, jauh dari orang tuanya, meskipun kerinduan yang ia rasakan semakin membebani hatinya. Setiap pagi, ia bangun lebih pagi dari biasanya, mencoba memulai hari dengan semangat, meskipun terkadang ia merasa seperti melawan arus yang begitu kuat. Semua yang ia lakukan, mulai dari bekerja keras di toko hingga berusaha menjaga jarak dengan perasaan rindu yang kerap datang, membuatnya lelah—secara fisik dan emosional. Namun, di tengah rasa lelah itu, Ekarina mulai menyadari sesuatu yang penting.

Hari itu, ia duduk di sebuah kafe kecil setelah pulang kerja, menatap secangkir kopi hitam yang hangat. Matanya menelusuri jalanan di luar jendela, melihat orang-orang berlalu lalang dengan kehidupan mereka yang seolah-olah berjalan dengan mudah. Ekarina sering merasa seperti asing di tengah keramaian itu. Namun, saat itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang memberi ketenangan dalam dirinya.

“Aku harus kuat,” katanya pada diri sendiri, bisikan lembut itu hampir tak terdengar. Tapi kata-kata itu terasa lebih berat daripada sebelumnya, dan lebih bermakna.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ayah. Ekarina membukanya dengan cepat, merasa deg-degan, meski sudah beberapa kali Ayah menghubunginya dengan kabar baik tentang Ibu yang mulai pulih. Kali ini, pesan itu singkat, namun penuh dengan harapan.

“Eka, Ibu sudah lebih baik. Kami semua baik-baik saja. Jangan khawatir terlalu banyak. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kami bangga padamu.”

Air mata Ekarina langsung mengalir. Bukan karena kesedihan, tetapi karena sebuah rasa lega yang membuncah di dalam hatinya. Akhirnya, Ibu baik-baik saja. Semua pengorbanannya, semua perjuangannya selama ini, terasa sepadan dengan satu kalimat itu. Ia menatap layar ponselnya dengan hati yang lebih tenang.

“Iya, Ayah, aku akan terus berjuang. Aku akan pulang, suatu saat nanti.”

Di balik pesan yang dikirim Ayah, Ekarina merasa bahwa jarak yang memisahkan mereka tidak lagi seberat dulu. Ia tahu, meskipun ia jauh dari orang tuanya, mereka selalu ada dalam hatinya, selalu memberi kekuatan.

Sambil memandangi foto keluarga di ponselnya, Ekarina merasa ada ketenangan yang menyelubungi dirinya. Ia masih jauh dari orang tuanya, namun kini ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia tidak sendirian. Ada cinta dan dukungan dari keluarga yang selalu menguatkannya, meskipun mereka terpisah jarak yang begitu jauh.

“Suatu saat nanti, aku akan pulang dengan lebih baik,” bisiknya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ekarina merasa percaya diri tentang masa depannya.

Malam itu, saat ia kembali ke kontrakan kecilnya, Ekarina duduk di samping jendela, memandang bulan yang terbit di langit malam. Bulan yang dulu sering ia pandangi bersama keluarganya, kini terasa seperti teman yang selalu mengawasi, memberi tanda bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja pada waktunya.

Ekarina menutup matanya sejenak, bernafas dalam-dalam, merasakan udara malam yang segar. Ia tahu, langkah-langkah kecil yang ia ambil hari demi hari, meskipun penuh dengan kesedihan dan kerinduan, akan membawa hasil yang lebih besar. Ia sudah membuat keputusan besar untuk mengangkat derajat keluarganya, dan meskipun itu berat, ia tak akan mundur.

Akan ada saatnya ia kembali ke rumah, ke orang tuanya, dan menceritakan semua yang telah ia perjuangkan. Tapi untuk sekarang, ia harus terus maju. Dan itu sudah cukup untuk memberi ketenangan dalam hatinya.

Dengan senyum tipis, Ekarina berbisik pada dirinya sendiri, “Aku pasti bisa.”

 

Nah, itu dia cerita tentang perjalanan panjang yang nggak selalu mudah, tapi penuh arti. Kadang, jauh dari orang tua bukan berarti kita sendirian. Justru, itu jadi alasan kuat buat terus berjuang, kan? Semoga cerita ini bisa ngasih sedikit semangat buat kamu yang lagi berjuang demi keluarga atau mimpi-mimpi kamu sendiri. Karena, percaya deh, setiap langkah kecil itu berarti besar di akhirnya.

Leave a Reply