Cerpen Menyentuh Hati: Perjalanan Bangkit dari Kehilangan dan Kesedihan

Posted on

Kadang hidup bikin kita jatuh, rasanya kayak nggak ada jalan keluar. Tapi siapa sangka, di balik segala kesedihan, kita bisa nemuin kekuatan buat bangkit lagi?

Cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang perjalanan seorang yang lagi berjuang keluar dari bayang-bayang kehilangan. Jadi, siap-siap aja bawa tisu, karena cerita ini bakalan bikin hati kamu benar-benar tersentuh.

 

Cerpen Menyentuh Hati

Jejak Cinta di Rumah Sederhana

Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Zein melangkah pelan ke dapur, mencari ibunya. Rumah mereka kecil, hanya terdiri dari dua kamar dan ruang tamu yang sederhana, namun bagi Zein, setiap sudut rumah itu penuh dengan kehangatan yang selalu menghibur hatinya. Ibu selalu ada di sana—selalu tersenyum, selalu siap mendengarkan cerita tentang sekolah atau hanya sekadar menyiapkan sarapan dengan penuh cinta.

“Ibu?” Zein memanggil dengan suara pelan, menyesap udara pagi yang segar.

Tak ada jawaban. Ia melangkah lebih jauh, membuka pintu dapur, dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi kayu, menyandarkan punggungnya ke dinding. Rambut ibu yang panjang tergerai sedikit acak-acakan, namun wajahnya tetap cantik dan lembut. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memandang tetesan air hujan yang mengalir di kaca.

“Ibu, kenapa diem aja?” Zein bertanya, mendekat dan duduk di sebelah ibunya.

Ibunya tersenyum lembut, meskipun ada kesan kelelahan yang jelas terlihat di wajahnya. “Ibu cuma capek, sayang. Nanti, kita makan bareng ya, kamu sekolah dulu, ya?”

Zein mengangguk, meski dia merasa ada yang berbeda dari biasa. Biasanya, ibunya tidak pernah tampak begitu letih. Mata ibunya agak sayu, dan suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. Tapi, Zein tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Sebagai seorang anak, ia hanya tahu satu hal—ibu selalu ada untuknya.

“Iya, Bu. Aku berangkat dulu ya.” Zein berkata sambil meraih tas sekolahnya yang sudah siap di meja.

“Jangan lupa bawa payung, ya,” kata ibu, dengan nada yang selalu penuh perhatian.

Zein hanya mengangguk dan pergi. Sepanjang perjalanan ke sekolah, ia tidak bisa menghilangkan perasaan aneh itu. Udara terasa lebih berat, dan jalanan yang biasa ramai dengan orang-orang seolah menjadi lebih sunyi. Saat ia sampai di sekolah, perasaan itu semakin menjadi-jadi, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dada. Namun, ia berusaha mengabaikannya, berfokus pada pelajaran dan teman-temannya.

Tapi, sepanjang hari, rasa cemas itu tak bisa hilang. Ada yang tidak beres, tapi Zein tidak tahu apa. Setiap kali ia melirik jam, hatinya semakin gelisah.

Jam pulang tiba, dan ia bergegas pulang dengan langkah cepat. Di dalam hatinya, ada dorongan kuat untuk segera sampai rumah. Ia ingin melihat ibu, memastikan semuanya baik-baik saja.

Namun, sesampainya di rumah, keheningan menyergap. Tidak ada suara ibu yang menyambutnya. Tidak ada aroma masakan yang tercium dari dapur. Ia mengedarkan pandangannya, merasa ada yang hilang.

“Ibu?” panggilnya dengan suara gemetar.

Ia berjalan ke ruang tamu, kemudian membuka pintu dapur. Saat itu, ia melihat ibunya terbaring di sofa, wajahnya pucat dan napasnya begitu berat. Zein terhenti sejenak, matanya terbuka lebar, tubuhnya membeku.

“Ibu?” suaranya nyaris tidak terdengar.

Zein mendekat dan mengguncang tubuh ibunya dengan lembut. “Ibu, bangun, dong. Aku sudah pulang.”

Tapi tidak ada respons. Wajah ibu yang biasanya hangat kini terasa dingin, dan Zein mulai merasa ada yang salah. Tangannya menggenggam tangan ibunya yang terasa lebih dingin dari biasanya, dan ia mulai panik.

“Ibu! Ibu!” Zein berteriak, suaranya mulai pecah, namun tidak ada balasan.

Ia merasakan dadanya sesak, seolah-olah dunia di sekitarnya tiba-tiba runtuh. Semua yang sebelumnya tampak begitu indah dan penuh warna kini terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.

Kakinya terhuyung mundur, dan ia jatuh terduduk di lantai. Air mata pertama itu mulai mengalir, pelan, namun pasti. Zein memegangi wajahnya, merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk dipikulnya. Di luar, hujan mulai turun, mengiringi tangisannya yang makin tak terkendali.

Tidak lama kemudian, seorang tetangga datang. Wajahnya terkejut melihat Zein yang terisak, sendirian, sementara ibunya terbaring tak bergerak. Dengan cepat, tetangga itu menghubungi orang lain, dan tak lama, rumah kecil itu dipenuhi dengan orang-orang yang datang untuk membantu. Namun, Zein tetap duduk di sana, matanya kosong menatap tubuh ibunya yang terbaring dingin.

Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan. Keheningan yang aneh mengisi seluruh ruangan. Hanya suara tetesan hujan yang terdengar jelas di luar. Zein merasa tubuhnya begitu lelah, meskipun ia tidak melakukan apa-apa selain menangis.

Saat malam mulai turun, seseorang membawa Zein ke kamar. Ia terbaring di tempat tidur, masih terjaga dengan mata terbuka lebar. Tangisan itu masih terasa, menggema di dalam hatinya, namun tubuhnya tak mampu lagi menangis.

Ia meraih bantal, menggenggamnya erat, dan dengan perlahan, ia memejamkan mata. Dalam kesunyian itu, ia merasakan kehilangan yang sangat dalam, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak akan pernah bisa kembali ke hari-hari itu. Hari-hari yang penuh dengan senyum ibunya, tawa riang, dan kehangatan yang selalu menyelimuti setiap langkahnya. Semuanya telah berubah.

 

Hening di Tengah Kehilangan

Keesokan harinya, Zein bangun dengan perasaan yang berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya tanpa henti. Semua yang terjadi kemarin malam terasa seperti mimpi, tapi kenyataan yang ia rasakan begitu nyata. Suara hujan yang mengalir dari jendela, aroma dingin di udara, dan kesunyian yang semakin menggigit, semuanya mengingatkannya pada kehilangan yang belum bisa ia pahami.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang terbuka, mengarah pada ruang tamu yang kini terasa begitu asing. Rumah yang sebelumnya penuh dengan suara ibu, kini terasa sepi dan sunyi, hanya ada suara langkah kakinya yang menggema. Setiap sudut rumah itu seakan mengingatkannya pada kenangan yang begitu hangat, kenangan yang kini tinggal di dalam bayangan.

Zein menyeka matanya yang masih merah. Ia ingin bangun dan berbuat sesuatu—menangis lagi, berbicara pada seseorang, atau sekadar merasakan kehadiran ibunya. Namun, semua itu terasa sia-sia. Dunia di luar rumahnya, bahkan dunia itu sendiri, tampak bergerak dengan caranya sendiri, sementara ia merasa terhenti.

“Ibu…” Zein berbisik pelan, meski ia tahu ibunya tidak akan bisa mendengarnya.

Setelah beberapa lama menatap ke luar jendela, Zein akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berjalan perlahan menuju ruang tamu. Matanya masih mencari-cari sosok yang seharusnya ada di sana, tapi hanya ada ruang kosong, kursi yang terbengkalai, dan meja kecil yang berdebu.

Langkahnya terhenti di depan foto keluarga yang terletak di meja samping. Sebuah foto yang diambil saat mereka merayakan ulang tahun ibunya setahun lalu. Senyum ibu yang cerah di foto itu terasa begitu jauh, seperti sebuah kenangan dari dunia lain.

Tiba-tiba, pintu rumah diketuk dari luar. Zein menoleh, dan wajah tetangga yang kemarin datang masuk ke dalam rumah, membawa sekantung makanan dan beberapa barang. Ia tersenyum pelan, mencoba menunjukkan perhatian yang lebih, meskipun tatapannya masih penuh belas kasihan.

“Zein, bagaimana keadaanmu?” tanya tetangga itu, dengan suara yang lembut.

Zein hanya menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Tak ada kata yang cukup untuk menjelaskan perasaannya saat ini.

Tetangga itu duduk di sampingnya, meletakkan kantong belanjaan di meja. “Kamu nggak sendiri, Zein. Kalau ada yang kamu butuhkan, aku di sini, ya?”

Zein hanya mengangguk, meskipun hatinya terasa kosong. Ia ingin berkata sesuatu, mengeluarkan semua perasaan yang membebaninya, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya.

Sementara itu, hujan mulai turun dengan lebat. Suara gemuruhnya membuat suasana semakin hening, dan dalam diam, Zein merasakan segala sesuatu yang tidak bisa ia pahami.

Pada siang harinya, seseorang dari kantor polisi datang, membawa berita yang semakin membuat Zein tak mengerti apa yang harus ia rasakan. Prosedur-prosedur yang harus dijalani, pengaturan untuk pemakaman, dan segala hal yang di luar pemahamannya. Ia hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menanggapi dengan cara yang paling tenang, meskipun perasaan di dalam dirinya bergejolak.

Setelah semua selesai, Zein duduk di ruang tamu lagi, sendirian. Semua orang telah pergi. Dunia di luar rumah tetap berjalan, sementara di dalam rumah ini, ia merasa seperti terjebak dalam ruang waktu yang hampa. Setiap detik terasa begitu berat, dan dalam kesunyian itu, ia bertanya-tanya apakah ia akan bisa keluar dari rasa sakit ini.

Tapi yang lebih mengganggu pikirannya adalah pertanyaan yang selalu muncul tanpa henti: Kenapa ini harus terjadi?

Kenapa ibu harus pergi?

Hatinya merasa robek, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang dan tidak akan pernah kembali. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Ia hanya seorang anak kecil yang mencoba mengerti dunia yang kini terasa begitu asing.

Sambil memandang jendela yang kini basah dengan tetesan hujan, Zein merasa semakin kesepian. Tidak ada lagi yang mengingatkannya untuk makan, tidak ada lagi yang menanyainya tentang tugas sekolah. Semua itu hilang bersama dengan ibu yang seharusnya selalu ada di sana.

Keesokan harinya, tetangga kembali datang, dan kali ini, ia membawa beberapa buku dan mainan untuk Zein. Tapi, meskipun orang-orang di sekitarnya peduli, Zein merasa sangat sulit untuk menerima kenyataan. Semua yang dilakukan orang-orang di sekitarnya hanyalah pengingat bahwa ibu tidak akan pernah kembali.

Zein berjalan ke luar rumah sebentar, hanya untuk merasakan udara dingin yang menyentuh wajahnya. Ia berjalan ke taman kecil di belakang rumah, tempat di mana ibu sering duduk sambil merajut atau membaca buku. Tempat itu sekarang kosong, sepi, hanya ada bunga-bunga yang tampak layu, seperti menggambarkan hatinya yang mulai pudar.

Di bawah pohon besar, Zein berhenti sejenak. Ia duduk di tanah basah dan menatap ke atas, memandang langit yang kelabu, seolah-olah ingin mencari jawaban yang tidak akan pernah datang.

Di tengah kesepian yang mendalam, Zein merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sesuatu yang tumbuh dari rasa kehilangan yang begitu dalam, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Rasa kesepian ini bukan hanya tentang tidak adanya ibu di sisi, tapi juga tentang bagaimana dunia yang tadinya begitu familiar tiba-tiba terasa begitu asing.

Zein menundukkan kepala, dan kali ini, air mata kembali mengalir. Namun, kali ini bukan air mata yang bisa menghentikan rasa sakit. Sebaliknya, air mata itu mengalir seperti sungai yang tak bisa dibendung. Rasa kehilangan itu semakin dalam, lebih dalam dari yang ia kira.

Namun, di dalam kesedihan itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh perlahan. Ia tidak tahu bagaimana atau kapan, tapi di balik setiap air mata, ada kekuatan yang mulai menanti untuk keluar.

 

Melawan Hening

Pagi hari datang dengan nuansa yang lebih dingin, dan Zein merasa dirinya seperti terjebak dalam pusaran yang tidak bisa ia hindari. Setiap detik yang berlalu seperti memaksa dia untuk tetap melangkah, meskipun jiwanya merasa lelah. Ada banyak hal yang belum selesai dalam dirinya, dan dunia di luar tetap terus bergerak maju, sementara hatinya masih berputar-putar di tempat yang sama.

Sesudah sarapan, Zein kembali merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Tidak ada lagi ibu yang sibuk menyiapkan makanan di dapur atau suara ceria yang biasanya mengisi pagi-pagi mereka. Seiring waktu, rasa hampa itu semakin menyelimuti pikirannya.

Namun, hari itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Tiba-tiba, pintu rumah diketuk. Zein yang sedang duduk di ruang tamu memandang dengan ragu, sebelum akhirnya berdiri untuk membuka pintu.

Di ambang pintu, berdiri seorang pria muda, mengenakan jaket hitam dan membawa sebuah tas punggung. Zein tidak mengenalnya, tapi ekspresi pria itu cukup mengundang perhatian. Ada tatapan yang dalam, seperti pria itu tahu persis bagaimana rasanya kehilangan.

“Zein?” pria itu bertanya dengan suara yang lembut namun tegas.

Zein mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari wajah pria itu. Ia merasa seperti ada yang berbeda dengan pria ini. Tidak seperti orang-orang lain yang datang dengan rasa kasihan di mata mereka, pria ini malah seperti datang dengan niat untuk memberi kekuatan.

“Aku Alfian,” pria itu memperkenalkan diri, sambil memberikan senyuman yang hampir tidak terlihat. “Aku datang untuk mengajak kamu keluar sebentar, kalau kamu nggak keberatan.”

Zein bingung, ragu-ragu. “Keluar? Kemana?”

Alfian mengangkat bahunya sedikit, menatap Zein dengan penuh perhatian. “Kemana saja, yang penting kamu nggak sendirian. Aku tahu ini mungkin terasa aneh, tapi mungkin ini cara terbaik buat kamu bisa sedikit keluar dari kesedihanmu.”

Zein memandangnya beberapa saat. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak ia kenal ingin mengajaknya keluar, sementara ia sendiri bahkan kesulitan untuk menghadapi kenyataan di rumahnya? Namun, ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa lebih tenang.

“Aku nggak tahu…” Zein mulai ragu, “Aku nggak tahu kalau ini akan membantu, Alfian.”

“Tapi kamu nggak akan tahu sampai kamu mencoba, kan?” Alfian menjawab dengan lembut.

Zein menatap lantai sejenak. Ada rasa enggan yang sangat besar, namun sesuatu dalam dirinya memutuskan untuk ikut. Mungkin karena ini adalah kesempatan untuk merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin karena dia tidak ingin terjebak dalam keheningan yang terus-menerus menghantuinya.

“Baiklah,” Zein akhirnya berkata, meskipun dengan langkah ragu. “Tapi cuma sebentar.”

Dengan itu, mereka berdua keluar dari rumah. Alfian mengajak Zein berjalan ke sebuah taman yang tidak terlalu jauh. Di tengah-tengah perjalanan, Zein merasa aneh. Biasanya, ia akan merasa canggung berhadapan dengan orang asing, tapi kehadiran Alfian membuatnya merasa lebih sedikit ringan. Mungkin karena pria itu tidak memaksanya untuk berbicara atau mengungkit masa lalu.

Sesampainya di taman, mereka duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu, di bawah pohon yang daunnya sudah mulai berguguran. Zein menatap sekeliling dengan hampa, matanya menangkap beberapa anak kecil yang sedang bermain. Mereka tampak ceria, riang, sementara ia… merasa kosong.

“Tahu nggak, kadang kita harus merasakan kesedihan itu supaya bisa tumbuh,” Alfian mulai berbicara, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku.

Zein memandangnya dengan cermat. “Tumbuh? Aku nggak merasa tumbuh, Alfian. Aku merasa seperti terhenti.”

“Kadang, kita memang merasa seperti itu. Terhenti.” Alfian menatap langit. “Tapi bukan berarti kita nggak bisa bergerak lagi. Setiap orang yang kehilangan, mereka pasti punya cara untuk bangkit, meskipun nggak selalu mudah.”

Zein merasa ada sesuatu yang berbeda dalam kata-kata itu. Entah kenapa, mendengarnya seolah memberikan ruang sedikit untuk menerima kenyataan. Mungkin ia belum siap untuk bangkit, tapi setidaknya, untuk pertama kalinya setelah hari itu, ia merasa seperti ada harapan.

“Kadang aku ingin berteriak,” Zein berkata pelan. “Berteriak karena semuanya terasa salah. Aku ingin ibu kembali, Alfian. Aku… aku nggak siap kehilangan dia.”

Alfian menatapnya dengan penuh pengertian, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu itu. Kehilangan itu nggak ada yang siap. Tapi percaya deh, nggak ada cara yang lebih baik untuk menghormati orang yang sudah pergi selain dengan menjalani hidup kita sebaik mungkin, meski rasanya sangat berat.”

Zein menunduk, mengusap wajahnya yang mulai basah. Ada rasa yang sangat kuat yang tiba-tiba muncul, dan itu bukan hanya kesedihan. Ini adalah perasaan yang tidak bisa dijelaskan—seperti ada kekuatan yang mulai datang perlahan, meskipun sangat tipis.

Mereka terdiam beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin dan gemericik air dari kolam kecil di taman. Zein merasa waktu bergerak dengan cara yang berbeda, tidak terlalu cepat atau lambat, hanya bergerak sesuai dengan ritmenya sendiri.

“Kenapa kamu begitu peduli, Alfian?” Zein akhirnya bertanya.

Alfian tersenyum pelan. “Aku pernah kehilangan orang yang sangat aku cintai juga, Zein. Aku tahu bagaimana rasanya merasa sendiri dan hampa. Kadang, kita cuma butuh seseorang yang mau mendengarkan, meski hanya untuk beberapa jam.”

Zein menunduk, mencerna kata-kata itu dalam-dalam. Ia merasa sedikit lebih ringan. Meski rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, ada sedikit kekuatan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.

“Aku masih merasa sangat kosong,” Zein akhirnya mengakui. “Tapi… aku rasa aku bisa mencobanya.”

Alfian tersenyum dan menepuk bahu Zein, dengan lembut. “Itu yang paling penting, Zein. Kamu nggak perlu langsung merasa baik, tapi setidaknya kamu mencoba untuk bangkit.”

Zein mengangguk perlahan. Langkah-langkah kecil menuju kesembuhan memang masih jauh, tapi untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, ia merasa ada harapan di ujung jalan.

 

Menyusun Kembali

Hari-hari setelah itu berlalu dengan cara yang tak terduga. Zein merasa seperti hidupnya perlahan-lahan menemukan jalannya, meskipun masih banyak ruang kosong yang harus ia isi. Alfian, meskipun tak datang setiap hari, tetap ada di sana. Seperti teman yang mengerti tanpa perlu banyak kata. Mereka kadang berbicara tentang hal-hal sederhana, tentang mimpi yang dulu ia miliki, atau sekadar berjalan-jalan tanpa tujuan. Semuanya terasa lebih ringan. Tidak ada paksaan untuk melupakan, hanya ada ruang untuk menerima.

Suatu sore, Zein duduk di taman yang sama, tempat ia pertama kali berbicara dengan Alfian. Matahari mulai tenggelam di balik pohon-pohon, menciptakan cahaya kemerahan yang menenangkan. Angin yang semilir menyapa kulitnya, dan meski keheningan mendalam, ia merasa lebih damai daripada sebelumnya.

“Dulu, aku pernah berpikir kalau hidup ini harus sempurna,” kata Zein, hampir tanpa sadar. Ia memandang ke arah langit yang berwarna oranye, menyaksikan burung-burung pulang ke sarangnya. “Aku selalu berharap semuanya berjalan seperti yang aku inginkan.”

Alfian duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa. Cukup mendengarkan, seperti biasanya.

“Tapi kenyataannya… kenyataannya hidup nggak selalu seperti itu, kan?” Zein melanjutkan, suaranya sedikit serak, meskipun tidak ada air mata yang keluar lagi. “Kadang, kamu kehilangan orang yang paling kamu sayang, dan kamu harus berjuang untuk bisa tetap berdiri.”

Alfian mengangguk pelan. “Iya. Tapi itu bukan berarti hidup berhenti di situ, Zein. Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Kadang, justru itu awal dari sesuatu yang baru.”

Zein menatap ke depan, melihat anak-anak bermain bola di ujung taman, tertawa ceria meski tak ada yang tahu kesedihan mereka. Rasanya, untuk pertama kalinya, ia tidak merasa terasingkan oleh dunia di sekitarnya. Ada ketenangan yang hadir begitu saja. Tidak ada lagi rasa hampa yang menggelayuti hatinya.

“Aku nggak tahu apakah aku bisa kembali seperti dulu,” Zein berkata dengan pelan. “Tapi aku tahu satu hal. Aku nggak akan terus-menerus terjebak dalam kesedihan ini.”

Alfian tersenyum, lebih lebar dari biasanya. “Itu sudah langkah yang sangat besar, Zein. Kamu sudah mulai bangkit, meskipun perlahan. Dan itu sudah cukup.”

Zein menghela napas panjang. Ia merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Perasaan berat yang dulu menghimpit kini terasa sedikit lebih ringan. Mungkin, memang benar seperti yang dikatakan Alfian—bahwa kesedihan tidak akan selamanya menguasai.

Beberapa minggu kemudian, Zein kembali memulai rutinitasnya. Ia kembali ke sekolah, meskipun tidak sepenuhnya merasa siap. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat daripada sebelumnya, tetapi kali ini, ia tidak sendirian. Setiap kali ia merasa ragu, ia mengingat apa yang Alfian katakan—bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa berjalan.

Saat berada di kelas, ia merasa cemas saat melihat kursi kosong di sebelahnya. Kursi yang biasanya ditempati oleh ibunya. Namun, kali ini, ia berusaha untuk tidak menangis. Ia hanya duduk dengan tenang dan melanjutkan pelajarannya. Setiap kali rasa itu datang, ia mengingat langkah-langkah kecil yang telah ia ambil untuk bisa melanjutkan hidupnya.

Alfian tetap ada di sana, memberi semangat tanpa banyak kata. Zein akhirnya menyadari bahwa kehadirannya adalah hal yang lebih penting daripada kata-kata.

“Terima kasih,” Zein mengucapkan itu suatu malam, saat mereka berbicara melalui pesan teks. “Terima kasih sudah ada di sana.”

Alfian membalas dengan sebuah pesan singkat. “Kamu nggak sendirian, Zein. Aku di sini, dan kamu nggak akan pernah benar-benar sendirian.”

Zein tersenyum, meskipun sendu. Rasanya seperti ada cahaya yang mulai masuk ke dalam hidupnya. Mungkin itu adalah jalan yang harus ia lewati, untuk menemukan kembali dirinya, untuk menerima kenyataan, dan untuk belajar bagaimana berjalan tanpa melihat ke belakang.

Kini, ia tidak lagi menginginkan semuanya kembali seperti semula. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu, dan ia tahu itu. Tetapi ia mulai menerima kenyataan, bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa dilanjutkan. Begitu pun dirinya—ia tidak harus utuh untuk bisa merasa lengkap.

Langkah pertama untuk bangkit telah ia ambil. Kini, langkah berikutnya adalah berjalan dengan kepala tegak, walau kadang masih terasa berat. Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal: ia sudah tidak sendirian.

 

Jadi, buat kamu yang lagi ngerasa terjebak dalam kesedihan, ingat aja, nggak ada yang salah dengan merasa rapuh. Proses penyembuhan itu butuh waktu, dan kadang yang kita perlukan cuma sedikit keberanian buat mulai lagi. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat bahwa meskipun hidup nggak selalu berjalan mulus, ada selalu jalan untuk bangkit dan melangkah maju. Jangan pernah berhenti percaya, ya.

Leave a Reply