Cerpen Mengharukan tentang Kehilangan Ibu dan Mencari Kedamaian dalam Kesendirian

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kosong banget setelah kehilangan orang yang paling kamu sayang? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ngerasain perjalanan seorang anak yang berjuang hidup setelah kepergian ibunya.

Dia harus ngadepin kesepian, kehilangan, dan tentunya mencoba untuk move on, meskipun hatinya masih penuh rasa rindu. Kalau kamu lagi butuh cerita yang bisa bikin hati hangat dan sekaligus ngebuka mata soal arti kehilangan, cerpen ini bisa banget jadi teman bacamu. Yuk, ikuti perjalanan si tokoh utama yang berusaha nemuin kedamaian dalam setiap langkahnya!

 

Cerpen Mengharukan

Bayang-bayang Kehilangan

Sore itu, seperti biasa, Wira duduk di meja makan, menatap piring nasi yang sudah dingin. Angin yang masuk lewat jendela rumah menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang mulai reda. Sebuah pemandangan yang dulu selalu disukai Bunda. “Sore yang bagus, ya, Wira?” Bunda sering berkata begitu dengan senyum lebar, sambil duduk di kursi sebelahnya. Namun, kini hanya ada keheningan. Hanya ada Wira yang menatap kosong, seakan harapan dan kenangan yang ada di sekitarnya tak pernah cukup untuk menghapus kesedihan yang menggantung di dadanya.

Piring nasi itu tak terjamah. Setiap kali Wira berusaha untuk makan, pikirannya melayang. Masa-masa bersama Bunda datang begitu saja, tanpa diundang. Kenangan itu datang begitu kuat, seakan Bunda baru saja ada di sini, berbicara, tertawa, atau bahkan sekadar memandanginya dengan penuh kasih. Semua itu kini terasa jauh. Semakin jauh.

Wira menundukkan kepala, jari-jarinya menekan pelan ujung sendok yang tergeletak di piring. Dadanya sesak, begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi entah bagaimana kata-kata itu tak kunjung keluar. Ia merindukan Bunda. Rindu yang tak terucapkan, rindu yang membuatnya merasa terjepit oleh keheningan yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Pintu depan rumah terdengar terbuka, dan langkah kaki Ayah mulai terdengar memasuki ruang tamu. Wira tahu betul itu adalah Ayah. Meski mereka tinggal satu rumah, Wira sering merasa seperti dua orang asing yang saling melintas tanpa pernah benar-benar berbicara. Ayah sibuk. Begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pernah ada waktu untuk berbagi cerita. Bahkan Wira kadang merasa, Ayah hanya sekadar pulang untuk tidur, lalu pergi lagi keesokan harinya tanpa sepatah kata pun.

“Wira,” suara Ayah memanggil, namun nada suaranya datar, seperti biasa. Ayah berdiri di ambang pintu dapur, menatap Wira tanpa ekspresi. “Kamu sudah makan?”

Wira mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari piring. “Sudah,” jawabnya singkat.

Ayah hanya mengangguk sekali, lalu melangkah ke ruang kerja. Tak ada lagi pertanyaan tentang hari ini, tentang apa yang terjadi di sekolah atau hal-hal yang biasa Ayah tanyakan dulu. Tak ada percakapan yang mengalir, hanya kehampaan yang tak terucapkan. Wira tahu, Ayah pun merasakan kekosongan yang sama, meski mereka tak pernah berbicara tentang itu. Kepergian Bunda telah meninggalkan bekas di hati mereka berdua, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana cara untuk mengisi kekosongan itu.

“Wira, kamu baik-baik saja?” Ayah tiba-tiba muncul lagi di ambang pintu, kali ini dengan tatapan lebih tajam, meski tetap saja datar. Mungkin dia mencoba untuk peduli, meskipun itu hanya sebentar.

“Aku baik-baik saja, Yah,” jawab Wira dengan suara rendah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari apapun.

Ayah mengangguk, kemudian kembali menghilang. Wira menatapnya pergi, dan merasa seolah ada jurang yang semakin lebar antara mereka. Bunda yang selalu menjadi jembatan, kini telah tiada, dan sepertinya tidak ada yang bisa mengisi celah itu. Ayah sibuk dengan dunia luar, dan Wira, meski tinggal satu atap dengan ayahnya, merasa seperti hidup dalam dunia yang sangat sunyi.

Sesekali, Wira melirik foto keluarga yang terletak di atas meja. Itu adalah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya pada kebersamaan yang dulu ada. Bunda tersenyum dengan penuh cinta di sampingnya, sementara Wira masih kecil dan ceria. Wira tidak tahu kenapa, tapi setiap kali menatap foto itu, ia merasa seolah Bunda masih ada di sana, tersenyum padanya dengan penuh harapan.

“Tidak ada yang tahu seberapa berat rasanya, Bunda,” gumamnya pelan, berharap kalau saja kata-kata itu bisa sampai ke sana, entah ke mana. Ke arah foto? Ke arah angin yang berhembus ke dalam rumah? Atau entah ke mana.

Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat tirai jendela terangkat sedikit, dan membawa aroma hujan yang masih menempel di udara. Wira menyandarkan kepalanya di meja makan. Matanya perlahan tertutup, dan kenangan-kenangan masa kecil mulai mengalir begitu saja. Ada suara tawa Bunda yang terdengar begitu jelas, seolah ia baru saja mendengarnya.

“Wira, ayo makan yang banyak, nanti tumbuh besar, pintar, jadi orang yang baik,” suara Bunda terngiang di telinganya.

Itu adalah kenangan yang paling indah. Wira tak tahu kenapa, tapi selalu ada rasa hangat yang mengalir dalam dirinya setiap kali mengenang suara Bunda. Walaupun Bunda tak lagi ada di dunia ini, namun suara itu terasa nyata, seakan Bunda masih ada di sini, mengawasi dan memberi petunjuk tentang bagaimana harus hidup.

Namun, suara itu tak bisa menggantikan apa yang hilang. Wira merindukan lebih dari sekadar kata-kata. Ia merindukan kehadiran Bunda yang penuh kasih, pelukan hangat yang membuatnya merasa aman dari dunia yang tak selalu ramah. Kehilangan itu menyakitkan, tak ada yang bisa menggantikan tempat Bunda.

Hujan yang reda di luar rumah kini kembali turun, dengan gerimis yang semakin deras. Di luar, jalanan sepi. Tidak ada suara lain kecuali suara tetesan air yang jatuh dari atap rumah. Wira masih duduk di meja makan, membiarkan angin yang masuk ke dalam rumah menyentuh kulitnya. Dalam diam, ia berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa meskipun Bunda telah tiada, kenangan dan cinta yang Bunda berikan akan selalu ada. Tapi tetap saja, kekosongan itu terlalu besar untuk diisi hanya dengan kenangan.

“Hujan selalu turun setelah kepergian,” gumam Wira, seolah memberi arti pada setiap tetes air yang jatuh.

Dan dalam keheningan itu, Wira tahu satu hal: ia tak akan pernah melupakan Bunda.

 

Rumah Tanpa Kehangatan

Malam telah menjelang, dan rumah yang dulu terasa hangat kini seperti ruang kosong yang menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Wira masih duduk di ruang tamu, menatap televisi yang hanya menampilkan gambar buram karena antena yang rusak. Tidak ada suara selain suara detakan jam dinding yang semakin lama semakin terasa menggema di kesunyian.

Ayah belum pulang. Seperti biasa, ia pasti akan sampai larut malam, dengan tas kerja yang hampir tak pernah terlepas dari bahunya. Wira sudah terbiasa dengan kebiasaan ini—makan malam sendiri, tidur tanpa ada yang menyapa, dan bangun pagi-pagi hanya untuk melihat Ayah yang sudah pergi bekerja sebelum ia sempat menyapanya.

Wira teringat suatu masa, saat masih ada Bunda. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, menonton acara favorit atau sekadar berbicara tentang hal-hal kecil. Bunda selalu menanyakan tentang teman-teman Wira di sekolah, apakah ada yang membuatnya marah atau bahagia. Wira selalu menjawab dengan semangat, sementara Bunda tersenyum mendengarnya, memberi nasihat dengan lembut.

Namun, sejak Bunda tiada, ruang tamu itu sepi. Tidak ada lagi percakapan hangat, hanya hening yang meresap di setiap sudut ruangan. Wira menundukkan kepala, merasa seperti ada sesuatu yang berat mengikat dadanya. Dia ingin bercerita, tetapi tak ada yang mendengarkan.

Pintu depan terdengar terbuka. Wira menoleh, berharap itu Ayah yang pulang, tetapi kali ini suara langkahnya terdengar berbeda. Ayah sudah di rumah, berdiri di ambang pintu ruang tamu dengan ekspresi lelah di wajahnya. Seperti biasa, ia terlihat terburu-buru, seolah ada urusan penting yang harus segera dituntaskan.

“Sudah makan?” Ayah bertanya tanpa menunggu jawaban, sambil meletakkan tas kerja di meja dekat pintu. Wira hanya mengangguk pelan, mata masih tertuju pada layar televisi yang kosong.

Ayah berjalan menuju dapur tanpa berbicara lagi. Suara langkahnya yang berat memenuhi rumah yang sunyi. Wira tahu, Ayah tak tahu bagaimana cara berbicara dengan dia, dan Wira pun merasa tak tahu bagaimana cara berbicara dengan Ayah. Kepergian Bunda telah mengubah segalanya, dan meskipun mereka tinggal bersama, rumah ini terasa semakin jauh dari kata “keluarga.”

Di dapur, Ayah membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air mineral. Ia meminumnya dengan cepat, seolah haus akan sesuatu yang lebih dari sekadar air. Wira menatap dari balik pintu, merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka berdua. Setiap kali Ayah pulang, Wira merasa seperti orang asing yang hanya kebetulan tinggal di rumah yang sama. Tidak ada lagi tawa Bunda yang mengisi kekosongan itu, tidak ada lagi sapaan hangat yang membuatnya merasa dicintai.

Ayah kembali ke ruang tamu, duduk di sofa dengan ekspresi lelah yang tak bisa disembunyikan. “Aku sibuk sekali hari ini,” katanya akhirnya, dengan nada suara yang lebih rendah dari biasanya. Wira mengangguk, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu, apa yang Ayah butuhkan bukan hanya sekadar percakapan biasa. Ada sesuatu yang hilang di antara mereka, dan itu lebih besar dari sekadar jarak fisik.

“Mungkin besok aku bisa cuti,” lanjut Ayah, meskipun Wira bisa melihat bahwa niat itu hanya sebatas ucapan. Tidak ada niat untuk benar-benar menghabiskan waktu bersama. Ayah seolah berusaha memberi kesan peduli, tetapi Wira tahu, sesungguhnya kesepian itu sudah terlalu lama berakar di dalam hati mereka berdua.

Wira kembali menunduk, mengalihkan pandangannya ke tangan yang terletak di pangkuannya. “Aku… Aku kangen Bunda,” ujarnya, tanpa sadar, seolah kata-kata itu datang begitu saja.

Ayah terdiam sejenak. Tidak ada jawaban. Wira menatap wajah Ayah yang kini tertunduk, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat. Wira ingin sekali melihat Ayah menangis, ingin melihat Ayah menunjukkan rasa kehilangan yang sama. Tetapi yang ia dapatkan hanya keteguhan yang tampaknya sudah lama mengeras. Ayah menatapnya, lalu berkata pelan, “Aku juga, Wira.”

Di sana, di ruang tamu yang penuh kesunyian itu, mereka berdua duduk tanpa berbicara. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar memecah kesunyian. Kepergian Bunda memang telah merenggut banyak hal, dan kini mereka berdua terjebak dalam kehampaan yang tak bisa mereka ungkapkan.

“Susah ya, Yah,” Wira akhirnya berkata, melanjutkan kalimat yang mengambang begitu lama. “Semua jadi terasa jauh. Bahkan kita.”

Ayah menatapnya, seperti berusaha menemukan jawaban, tetapi kemudian hanya mengangguk pelan. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. “Aku… Aku merasa seperti kehilangan arah.”

Wira tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Ia merasa cemas, tetapi lebih dari itu, ia merasa bingung. Mereka berdua sama-sama merasakan kekosongan, tetapi tak tahu harus bagaimana untuk mengisi kekosongan itu. Rumah yang dulu penuh tawa kini menjadi tempat yang penuh dengan kenangan yang tak terucapkan.

“Aku cuma ingin kita kembali seperti dulu,” Wira berkata pelan, tetapi penuh harapan.

Namun, Ayah hanya diam. Kata-kata itu seperti terjebak di antara mereka berdua, seperti sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. Wira tahu, meskipun mereka duduk di ruang yang sama, masing-masing dari mereka terjebak dalam dunia kesendirian yang berbeda.

Hari itu berakhir seperti hari-hari lainnya. Ayah kembali ke kamar tidurnya tanpa berkata banyak, dan Wira pun kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan. Namun, sebelum tidur, ia memandang foto Bunda yang ada di atas meja. Senyuman itu masih tampak jelas, meskipun kini sudah buram oleh waktu.

Bunda selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat semuanya terasa lebih baik. Tetapi tanpa Bunda, mereka hanya bisa berdiam dalam kesendirian, berusaha menjalani hari-hari yang semakin terasa panjang dan kosong.

Dalam keheningan malam, Wira memejamkan mata, berharap esok akan menjadi hari yang lebih baik, meski ia tahu bahwa kekosongan ini mungkin takkan pernah hilang.

 

Bisikan dari Angin

Pagi itu, Wira bangun lebih awal dari biasanya. Meskipun tak ada yang spesial, ada rasa gelisah yang membuatnya terjaga. Biasanya, Bunda yang akan memanggilnya dengan suara lembut dari dapur, mengingatkannya untuk cepat mandi atau menyiapkan tas sekolah. Namun kini, semuanya terasa berbeda. Hanya ada suara jam dinding yang terus berdetak dan angin yang menyusup melalui celah jendela, membawa aroma segar yang mengingatkannya pada pagi-pagi yang dulu.

Wira menarik napas panjang, duduk di tepi tempat tidur. Dulu, setiap kali ia merasa sedih atau bingung, Bunda selalu ada untuk memberikan pelukan hangat atau hanya sekadar menenangkan dengan kata-kata yang penuh kasih. Tapi kini, ia hanya bisa mengingat itu semua, berusaha menggenggam kenangan yang seakan semakin memudar.

Matanya terarah pada jendela yang terbuka sedikit, di mana daun-daun pohon besar di halaman depan bergerak perlahan tertiup angin. Ada sesuatu yang aneh dalam keheningan pagi itu, sesuatu yang terasa begitu familiar. Wira menatap daun-daun itu lebih lama, merasa seolah angin itu berbisik padanya.

“Wira…” suara itu terdengar begitu jelas, meskipun ia tahu tak ada orang lain di rumah. Itu adalah suara Bunda. Suara yang sering mengingatkannya akan hal-hal kecil, suara yang selalu menyelimutinya dalam rasa aman.

Wira terdiam, mendengarkan dengan cermat. Angin yang bertiup itu seperti membawa pesan yang tak bisa dijelaskan, seolah Bunda sedang ada di dekatnya, hanya dengan cara yang berbeda. Dalam diam, Wira merasakan kehadiran itu—tidak nyata, namun begitu kuat. Ia tahu, meskipun Bunda sudah tiada, cinta itu masih mengalir dalam setiap hembusan angin yang masuk ke dalam rumah ini.

Wira bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, dan membuka sedikit tirai. Di luar, udara pagi terasa sejuk, seolah menenangkan segala kegelisahan yang ada dalam dirinya. Dia tahu, seiring berjalannya waktu, ia harus belajar untuk hidup dengan kenangan itu. Mungkin Bunda tak bisa kembali, tetapi cinta yang Bunda berikan akan selalu ada.

Kaki Wira melangkah pelan menuju ruang tamu, tempat ia duduk setiap malam dalam kesunyian. Rumah itu masih sama, namun terasa semakin sunyi. Ayah belum juga pulang, dan Wira merasa sudah cukup lama ia menunggu—bukan untuk berbicara dengan Ayah, tapi untuk merasa ada sesuatu yang mengisi kekosongan ini.

Tiba-tiba, Wira teringat sesuatu. Sebuah tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Bunda. Sebuah pohon besar yang ada di halaman belakang rumah. Di bawah pohon itu, mereka sering berbicara tentang hal-hal kecil, tentang impian, dan tentang masa depan. Wira masih ingat betul bagaimana Bunda selalu berkata bahwa di bawah pohon itu, segala masalah bisa hilang seketika, bahwa hanya dengan duduk bersama di sana, mereka bisa merasakan kedamaian.

Tanpa berpikir panjang, Wira memutuskan untuk pergi ke halaman belakang. Dia ingin merasakan lagi kedamaian itu, meskipun hanya dalam sekejap. Langkahnya terasa ringan, meskipun hatinya penuh dengan berbagai macam perasaan yang tak bisa diungkapkan.

Pohon besar itu masih berdiri kokoh di tengah halaman, seperti yang ia ingat. Wira duduk di bawahnya, menyandarkan punggungnya pada batang pohon yang besar dan kuat. Angin yang berhembus terasa lebih menenangkan di sini. Mungkin, hanya di sini, ia bisa merasakan sedikit kedamaian.

Saat ia menutup mata, angin kembali berbisik di telinganya. “Jangan takut, Wira. Aku selalu ada,” suara Bunda terdengar jelas, seperti sebuah pesan yang langsung menyentuh hati.

Wira membuka mata, merasakan sejuknya angin yang berhembus dan menyentuh wajahnya. Ia tahu, Bunda mungkin tidak lagi ada di dunia ini, tetapi cinta dan kehadirannya tetap ada dalam setiap hembusan angin, dalam setiap langkahnya. Wira tersenyum pelan, meski ada rasa sakit yang masih menyelip di dadanya. Setidaknya, ia merasa tidak sendirian di dunia ini.

Tiba-tiba, Wira merasa seperti ada seseorang yang berdiri di dekatnya. Ia menoleh, namun tak ada siapa pun di sekitarnya. Hanya ada pohon dan semak-semak yang berbisik tertiup angin. Namun, perasaan itu tidak hilang. Seolah Bunda sedang berdiri di dekatnya, mengamatinya dengan penuh kasih.

“Jangan pernah merasa sendiri, Wira,” bisik angin itu lagi. “Aku selalu bersamamu, di setiap langkahmu.”

Wira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di matanya. Ia tahu, Bunda tidak akan pernah meninggalkannya, meskipun tubuhnya telah tiada. Cinta itu tak bisa hilang begitu saja. Cinta itu seperti angin, yang tak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan dengan begitu kuat.

Wira menghela napas dalam-dalam, merasakan ketenangan yang perlahan mengisi hatinya. Mungkin, selama ini ia terlalu fokus pada kehilangan, pada kesepian yang tak kunjung pergi. Namun kini, ia tahu, ia tak perlu lagi takut. Kehilangan itu adalah bagian dari hidup, tetapi cinta itu—cinta yang Bunda berikan—akan selalu ada, mengalir dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap hembusan angin yang menyapanya.

Setelah beberapa lama, Wira berdiri, menatap pohon besar itu dengan penuh rasa terima kasih. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Bunda telah tiada. Tetapi ia juga tahu, cinta Bunda akan selalu membimbingnya, meskipun hanya dalam bentuk yang tak kasat mata.

Langkahnya kembali ke dalam rumah terasa lebih ringan. Wira tahu, ia harus terus berjalan, meskipun jalan itu terasa berat. Namun dengan setiap bisikan angin, ia merasa ada sesuatu yang memberi kekuatan, sesuatu yang membimbingnya untuk tidak menyerah.

Di bawah pohon itu, Wira merasa seperti kembali menemukan sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan dalam setiap sudut hatinya.

 

Langkah yang Baru

Hari-hari berlalu, dan meskipun keheningan masih menyelimuti rumah mereka, Wira mulai merasakan perubahan. Tidak lagi ada perasaan kosong yang menggantung di dadanya setiap kali ia bangun. Meski ia masih sering merindukan Bunda, ada rasa kedamaian yang perlahan mengisi ruang itu. Kepergian Bunda memang menyisakan luka yang mendalam, tetapi Wira mulai memahami bahwa luka itu tidak akan selamanya mengikatnya pada masa lalu.

Pada suatu pagi yang cerah, Wira berdiri di depan pintu rumah, menatap halaman yang masih terasa asing baginya setelah sekian lama. Ayah sedang di dalam, sibuk dengan pekerjaannya yang seolah tak pernah ada habisnya. Wira tidak tahu kenapa, tapi pagi itu ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ada rasa tenang yang menuntun langkahnya ke depan. Seolah angin yang dulu berbisik padanya kini membawa semangat baru untuk melangkah maju.

Ia memutuskan untuk pergi ke sekolah lebih awal. Bukannya untuk bertemu dengan teman-teman, melainkan untuk menghadapinya sendiri—menjalani hari dengan cara yang berbeda. Wira menyadari, hidup tidak bisa terus berputar di sekitar kenangan. Terkadang, untuk bisa maju, kita harus berani meninggalkan bagian-bagian dari masa lalu yang tak bisa diubah.

Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, Wira merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi perasaan tertekan atau ragu dalam langkahnya. Ia merasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul mulai terlepas. Saat ia melintasi taman kecil di jalan, Wira berhenti sejenak. Di sana, di bawah pohon yang rindang, ia duduk sebentar, mengingat kembali semua kenangan indah bersama Bunda.

Namun kali ini, ia tidak merasa kehilangan. Ia merasa damai, seolah Bunda mengingatkannya dengan lembut bahwa hidup harus terus berjalan. “Jangan khawatir, Wira. Aku selalu bersamamu,” suara itu kembali berbisik, namun kali ini lebih tenang dan penuh harapan.

Sampai di sekolah, Wira merasa tidak ada yang terlalu berbeda, tetapi ada sesuatu yang terasa lebih terang dalam hatinya. Ia menyapa teman-temannya dengan senyum, meski sebelumnya ia hanya bisa mengamati mereka dari jauh. Tidak ada lagi perasaan terasing, tidak ada lagi keraguan untuk berbaur dengan mereka. Wira tahu, ia harus membuka diri, meski itu bukan hal yang mudah.

Selama beberapa minggu berikutnya, Wira mulai lebih banyak berbicara dengan Ayah. Meskipun percakapan mereka tidak selalu panjang, ada perubahan yang terasa. Ayah mulai memperhatikan Wira dengan cara yang berbeda. Mungkin mereka berdua tidak akan pernah kembali ke masa lalu, ke masa di mana mereka tertawa bersama di ruang tamu atau berbagi cerita tentang segala hal. Namun mereka mulai menemukan cara baru untuk saling mengerti.

Pada suatu sore, setelah Ayah pulang dari kantor, mereka duduk bersama di ruang tamu. Tidak ada percakapan panjang, tetapi suasana itu lebih nyaman daripada sebelumnya. Ayah membuka pembicaraan dengan suara pelan, “Wira… aku tahu aku sering sibuk, tapi aku ingin kamu tahu, aku masih di sini.”

Wira menatap Ayah, dan untuk pertama kalinya sejak Bunda pergi, ia merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa mulai membangun kembali hubungan yang pernah mereka miliki. “Aku tahu, Yah,” jawab Wira, dengan suara yang lebih lembut daripada biasanya. “Aku cuma… aku cuma ingin kita bisa lebih banyak bersama.”

Ayah mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Kita akan coba, Wira.”

Di malam hari, Wira duduk di kamarnya dengan perasaan yang lebih ringan. Dia tidak lagi merasa terjebak di dalam kesedihan yang mendalam. Ada rasa kedamaian yang kini menghampirinya, sebuah kedamaian yang datang bukan karena ia melupakan, tetapi karena ia akhirnya bisa menerima. Menerima bahwa kepergian Bunda adalah kenyataan yang tak bisa dihindari, namun cinta yang Bunda berikan tetap hidup dalam dirinya.

Wira menatap foto Bunda yang masih terletak di atas meja. Senyum itu, meskipun sudah lama tak lagi terlihat secara fisik, tetap ada di dalam dirinya. “Terima kasih, Bunda,” bisiknya pelan, seolah berbicara langsung pada foto itu. “Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”

Dan meskipun dunia di luar tetap berjalan, meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, Wira merasa siap untuk melangkah maju. Ia tahu, tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi ia memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya. Cinta Bunda akan selalu ada di sana, menjadi bagian dari dirinya yang tak akan pernah hilang.

Langkah Wira kini lebih mantap. Tidak ada lagi beban yang mengikatnya. Ia tahu, hidup akan selalu penuh dengan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian. Cinta yang ia miliki, meskipun dalam bentuk yang tak terlihat, akan selalu membimbingnya dalam setiap langkah.

Dan saat matahari terbenam, menandakan akhir dari hari itu, Wira tahu bahwa besok adalah kesempatan baru. Sebuah langkah baru yang penuh harapan, menuju masa depan yang lebih terang.

 

Jadi, gimana? Cerita ini emang nggak bakal bisa ngubah kenyataan kalau orang yang kita sayang udah nggak ada, tapi setidaknya bisa ngebantu kita buat melihat sisi lain dari kehilangan. Kadang, kita cuma perlu waktu buat menerima dan belajar bahwa meski mereka pergi, kenangan dan cinta yang mereka kasih bakal terus hidup dalam diri kita.

Semoga cerpen ini bisa jadi pengingat buat kamu, kalau dalam setiap kesendirian, selalu ada kesempatan untuk menemukan kedamaian. Jangan takut melangkah, karena hidup terus berjalan, dan kamu nggak pernah sendirian.

Leave a Reply